Saat Edwin pulang dari kantor, dia melihat paket dari Galang di meja ruang tamu. Pria itu tak mempermasalahkan dan meredam rasa cemburunya. Audrey pun senang, karena bisa berdamai dengan suaminya. Tak ada perdebatan lagi ataupun air mata yang jatuh lagi.Waktu terus berlalu. Tiba saat jatah curi dari kantor, merupakan kesempatan bagi Edwin, yaitu membuat sebuah kejutan mewah nan romantis di hotel. Pulang dari masjid, Edwin mengganti koko yang dipakainya, dengan kaus dan celana panjang. Kemudian, mengambil alih Dianti dari gendongan Ratmi yang ada di ruang makan. ART itu langsung pergi ke belakang untuk mencuci baju serta popok bayi."Loh, memangnya nggak ke kantor, Mas? Tumben, gendong dedek. Biasanya udah buru-buru mandi," tanya Audrey yang baru selesai salat berjamaah dengan Lia.Dahi Lia berkerut. "Iya, seharusnya kamu siap-siap ke kantor, kan?"Edwin mengembangkan senyum, lalu menjawab, "Selama lima hari ke depan, ada jatah cuti dari kantor. Kayaknya cukup untuk kita liburan seke
Edwin, Audrey yang menggendong Dianti, Ratmi, Fandi dan Lia sedang duduk-duduk di area taman. Mereka makan camilan dan minum minuman yang disediakan oleh pihak hotel, tentu semua dipesan oleh putra Juna."Pak," bisik Edwin, mendekat ke telinga Fandi. "Saya mau izin berdua dulu sama Audrey, boleh? Mungkin dalam waktu yang cukup lama, kami butuh privasi.""Boleh, dong! Boleh, biar Dianti sama Bapak dulu. Mumpung nggak ke sawah, he he," canda Fandi, membuat Audrey, Lia dan Ratmi mengernyitkan kening.Edwin tersenyum. "Terima kasih, Pak." Dia langsung berdiri dan menarik tangan istrinya."Eh, tunggu dulu, Mas! mau ke mana?" tanya Audrey.Pria di sampingnya diam saja, malah mengambil alih putrinya, lalu menyerahkannya pada Fandi.Audrey bertambah bingung. "Loh, kok, malah serahkan Dianti ke Bapak? Maksudnya apa, Mas?""Udah, ayo ikut. Nanti kamu juga tahu," jawab Edwin sambil menarik tangan Audrey.Istrinya itu mau tidak mau berdiri, lalu mengikuti ke mana Edwin melangkah. "Sebenarnya kita
Zofia dan Audrey sudah sampai di depan rumah Juna. Selama di perjalanan tadi, mereka hanya diam. Zofia sempat membuka pembicaraan dengan memberi informasi kalau dia tahu satu keluarga menginap di hotel, dari postingan instastory saat makan bersama dan di-tag tempatnya. Ibu Dianti menjadi agak menyesal, mengapa harus membagikan momen itu di sosial media."Ayo, kita ke taman bunga di samping rumah! Teman-teman arisan Mama sudah menunggu di sana," ajak Zofia, sambil membuka pintu mobil."Katanya tadi di dalam rumah, Ma?" tanya Audrey, mulai curiga.Zofia terkekeh. "Iya, maksudnya di taman dekat rumah."Mereka keluar, lalu masuk ke taman, menemui teman-teman arisan Zofia."Hai, Jeng! Maaf, udah nunggu lama. Jemput menantu, nih, abis bulan madu sama anakku di hotel. Namanya Audrey," kata Zofia, memperkenalkan istri Edwin."O, jadi ini perempuan nggak tahu diri itu?" tanya temannya, membuat Audrey terbelalak.Teman yang lain menimpali, "Enak, ya? Edwin yang kerja keras, dia yang menikmati."
Waktu terus berlalu. Dianti kini berusia dua tahun. Sejak kejadian Zofia dipermalukan, perempuan itu tidak mengganggu rumah tangga Audrey lagi. Edwin benar-benar menepati janjinya untuk tidak bertemu Mamanya. Namun, dia masih menemui Juna dan Sinta, hanya untuk urusan pekerjaan.Suatu malam, Audrey merasa mentalnya sudah pulih setelah apa yang dilakukan Zofia saat Dianti masih bayi. Dia merasa siap untuk mencoba kembali ke rumah Edwin, menghadapi mertua dan semua kakak ipar."Kamu yakin, Sayang?" tanya Edwin yang duduk di tepi ranjang."Yakin, Mas. Aku pasti bisa menghadapi mereka, walaupun mereka akan berniat jahat. Buktinya, Mama sudah nggak pernah ganggu kita lagi, kan? Pasti dia kapok karena tidak ada lagi teman sosialita yang mau menyambanginya," jawab Audrey yang sudah berbaring di kasur.Edwin menghela napas panjang, lalu mengembuskannya lagi. "Terserah kamu, aku hanya menurut. Bagiku sama saja, mau tinggal di sini atau di rumahku. Ya, walaupun perasaan kangen balik ke sana udah
Audrey sedang berjalan dengan menuntun Dianti, menuju warung penjual makanan matang untuk sarapan. Tampak dari kejauhan, antrian yang cukup banyak, didominasi oleh ibu-ibu termasuk Zofia. Sebenarnya istri Edwin berniat mencari warung lain, tetapi dia dipanggil oleh seorang tetangga."Eh, Mbak! Sini! Kamu duluan boleh, buat si kecil," seru seorang ibu-ibu. "He he. Bukan mau beli bubur, kok." Audrey beralasan.Ibu yang lain menyahut, "Kasihan anak kecil jam segini jalan pagi tapi perutnya belum terisi. Buruan, gih! Aku ngalah. Lagian, kita udah jarang ngobrol, kan?"Mau tak mau, Audrey menurut dan mendatangi kerumunan itu. Zofia tampak tak suka dengannya."Pagi, Ma." Audrey mencoba menyapa mertuanya, tetapi tak ada jawaban.Orang-orang merasa heran, lalu mulai menggunjing tentang Zofia dan Audrey.Penjual makanan bertanya, "Kamu lagi sariawan, Jeng?"Dengan cepat, Zofia menggeleng. "Aku lapar, makanya kurang fokus.""Itu, disapa mantumu, nggak dengar?" sahut yang lain.Istri Juna tak me
Malam pun tiba. Edwin pulang dari kantor. Terdengar keramaian di rumah sebelah, apalagi kalau bukan syukuran yang diadakan Zofia."Assalaamu'alaikum," salamnya, lalu masuk rumah.Dia menuju ruang tengah, melihat Audrey sedang membaca Alquran, sementara Ratmi di dalam kamar anak untuk menemani Dianti bermain.Edwin duduk di samping istrinya, tanpa sepatah kata pun karena tak mau mengganggu ibadahnya.Audrey mengakhiri kegiatan mengajinya, lalu menutup Alquran. "Wa'alaikumussalaam." Dia mengulas senyum, menaruh kitab suci di atas meja, lalu menjabat dan mencium tangan suaminya."Ada acara apa, sih, di rumah Mama?" tanya Edwin penasaran."Kamu nggak tahu, atau pura-pura nggak tahu?" Audrey balik bertanya.Edwin menggeleng. "Aku benar-benar nggak tahu."Perempuan di sampingnya mengembuskan napas panjang. "Ada acara syukuran, katanya karena kamu udah balik ke rumah ini lagi.""Hah?" Suami Audrey terperanjat. "Syukuran kedatanganku, kenapa nggak kasih tahu kita, ya? Kamu nggak diundang?""Ya
Edwin melongok ke arah istrinya yang sudah terlelap di samping Dianti. Dia tersenyum melihat dua bidadari yang selalu dicintainya."Alhamdulillaah, ya Allah. Aku memiliki dua harta yang tak ternilai harganya dalam hidupku. Semoga mereka bahagia selalu dan aku bisa mengupayakan hal itu untuk keluarga kecil kami ini." Pria itu berdoa dengan suara lirih.Dia bangun perlahan supaya tidak menimbulkan suara, lalu mengendap-ngendap ke luar kamar. 'Aku harus memastikan apa benar Mama memfitnah Audrey lagi?' batinnya, lalu menuju teras rumah dan mengunci pintu.Tak butuh waktu lama, Edwin sampai di depan pintu rumah Zofia yang terbuka. Mamanya itu masih memfitnah Audrey habis-habisan. Para tetangga masih mengeluarkan caci-maki.Dia menguping sebentar untuk memastikan dugaannya. Setelah yakin, baru melangkah masuk, membuat semua orang menoleh ke arahnya."Stop, Ma! Kenapa Mama selalu memfitnah menantu sendiri? Apa salah Audrey?" tanyanya, tak terima.Zofia geram, lalu tiba-tiba tersenyum kecil
Audrey mencium pucuk kepala anaknya agar tenang, lalu mengembuskan napas panjang. Dia segera melangkah keluar."Maaf, Bapak-bapak, Ibu-ibu. Ada apa ini?" tanyanya, bingung."Sekarang juga kamu pergi dari rumah ini, komplek kami! Kamu durhaka, nanti jadi maling kundang!" bentak salah seorang pria paruh baya.Audrey menutupi kedua telinga Dianti untuk meminimalisir rasa kaget karena bentakan itu. "Maaf, sebelumnya. Saya selama ini hanya diam. Bapak-Ibu tak menegur pun saya ikhlas menjalaninya. Namun, kenapa masih disalahkan?"Seorang ibu maju lalu berkata dengan nada keras, "Nggak usah pura-pura nggak tahu! Kamu sudah tidak menganggap mertuamu lagi. Kami takut dengan azab yang akan datang, kalau di komplek ini ada menantu durhaka sepertimu!""Ya, betul!" Semua kompak menyahut.Dianti menangis semakin kencang.Audrey kewalahan, hanya bisa menitikkan air mata, lalu menghapusnya cepat, karena merasa rapuh. "Maaf, sebelumnya. Ini rumah suami saya. Kami berhak tinggal di sini. Sebenarnya, bu
Di rumah sakit, Arumi sadar. Evan sudah membayar semua biaya perawatannya, serta meminta suster untuk menjaganya. Kini dia berbaring sendirian dalam ruangan serba putih.Arumi mengirimkan pesan pada Evan dan Sinta, bahwa dia tidak jadi mengungkit permasalahan tentang uang senilai tanah hak miliknya. Semua sudah dia ikhlaskan, karena tak mau rasa tamak menguasainya.Adik almarhum Juna takut, kalau itu akan mempengaruhi kesehatannya dan mendatangkan penyakit fisik, ataupun penyakit hati. Dia ingin sehat, hidup bahagia dan tak ada rasa benci, apalagi pada saudara sendiri. Zofia lega mendengarnya.Sejak sebulan lalu, sebenarnya perusahaan milik almarhum Juna mengalami penurunan omset. Gaya hidup Zofia dan keluarganya kini tak semewah dulu. Semua kebutuhan hidup yang bisa dipangkas, mereka kurangi sebisa mungkin. Mereka pun tak bisa menyombongkan harta lagi, seperti saat Juna masih hidup.Para tetangga seolah bahagia melihat mereka yang kini tak bisa menghina orang lain lagi, hanya karena
Satu pekan kemudian, Arumi kembali datang. Kali ini, ada Evan, Natasha dan Sinta yang menemani Zofia, agar tidak khawatir ketika menghadapi adik almarhum Juna."Aku tahu, Mbak Zofia tidak memberikan uang yang aku minta, karena tanah yang seharusnya menjadi milikku itu, tidak Mbak jual, tetapi justru dibagi rata pada anak-anak, yakni Evan, Sinta dan Edwin. Iya, kan?" tanya Arumi, membuat semua yang mendengarnya pun kaget setengah mati."Halah! Itu cuma akal-akalan kamu saja karena ada dendam tertentu sama kami. Iya, kan? Jangan fitnah, dong!" kesal Zofia.Arumi menyunggingkan senyum miring. "Kenapa, Mbak? Takut? Aku sudah punya banyak buktinya. Mulai dari foto-foto, terus salinan kepemilikan surat tanah dan juga sebuah flashdisk berisi banyak video saat pembagian itu. Kenapa Mas Juna memberikan sesuatu yang bukan haknya?"Wanita berjilbab itu menaruhsebuah map bersampul hijau dan sebuah flashdisk ke atas meja.Zofia menggertakkan gigi, lalu membuka dokumen itu. Semua bukti itu asli, te
Audrey sedang duduk di ruang tamu, berhadapan dengan Dianti dan Dino. "Alhamdulillaah, kalian kini bisa sadar bahwa perbuatan kalian itu salah. Mama sudah memaafkan kalian berdua.""Makasih, Ma," sahut Dianti."Terima kasih, Mama. Maafkan Dino yang selama ini mengekang Dianti. Kami sungguh anak yang durhaka," timpal Dino, dengan wajah tertunduk dalam.Sang Mama mangut-mangut. "Sudah, nggak perlu disesali. Mulai sekarang, Dino harus berbakti pada orang tua. Dianti juga, jangan mengulangi perbuatan yang salah!" "Iya, Ma. InsyaaAllaah," jawab keduanya, bersamaan.Dianti beranjak dari kursi, lalu memeluk Audrey dengan erat. Mulai terdengar tangisan keduanya. Sementara itu, air mata mulai menggenang di kedua netra Dino karena merasa sangat menyesal. Dari ruang tengah, Fandi muncul bersama Lia yang membawa tiga gelas minuman."Alhamdulillaah, akhirnya kalian semua berdamai. Kakek harap, kalian akan terus seperti ini dan tak ada lagi sandiwara atau sejenisnya, hanya karena silau harta," na
Pagi menjelang siang, cuaca cukup cerah. Galang mematut diri di depan cermin."Meskipun gue udah sedikit tua, tapi masih ganteng. Ya, siapa tahu, Audrey mau melabuhkan hatinya sama gue, meskipun kemarin sempat memuji-muji suaminya." Pria itu bergumam. Memang, dia belum menikah sampai sekarang. Dari sekian banyak perempuan yang pernah dekat dengannya, belum juga ada yang cocok dan klik di hati. Galang segera memacu mobilnya, setelah menyuruh satpam untuk menjaga rumah baik-baik.Sampai di depan rumah almarhum Edwin, semua sudah berkumpul. Kedatangan Galang berbarengan dengan Audrey, Fandi, dan Lia yang datang menggunakan taksi online. "Assalaamu'alaikum, Pak, Bu," sapa Galang.Fandi dan Lia menjawab salam. Mereka berbasa-basi sebentar. Sementara itu, Audrey mengembuskan napas kasar karena jenuh dan mulai merasa bahwa Galang sedang menarik simpatinya."Mari masuk, supaya bisa segera dimulai rapatnya," ajak Audrey, yang langsung disetujui oleh orang tuanya.Galang memandang punggung m
Hari terus berlalu. Audrey berusaha menghilangkan sakit hati karena tak diajak untuk menyaksikan pernikahan anaknya. Ya, meskipun dapat kiriman foto atau videonya, tetapi masih ada rasa sedih karena tak bisa memberikan restu secara langsung pada Dianti.Dia memilih untuk melanjutkan aktivitasnya berjualan baju di toko bersama Hana. Penghasilannya semakin meningkat begitu pesat, sampai bisa mendaftarkan haji plus, bertiga bersama Fandi dan Lia.Namun, hal itu tak diketahui oleh Zofia atau kakak-kakak iparnya. Para tetangga sekitar rumah almarhum Edwin pun tak ada yang mendengar tentang kabar tersebut. Selama ini, Audrey selalu bersedekah serta membayar zakat secara diam-diam, kepada orang fakir-miskin yang berhak menerimanya. 'Alhamdulillaah, tak menyangka bisa sampai di titik ini. Dulu, mau daftarkan Dianti kuliah aja nggak bisa. Andai anak itu nurut sama orang tua, pasti aku akan sekolahkan dia di perguruan tinggi, demi meraih apa yang menjadi cita-citanya. Bukan malah menikah dini
Audrey sedang istirahat sesudah melayani pembeli toko baju, yang memang ramai seperti biasa. Dia bersyukur bisa memenuhi kebutuhannya sendiri dan kedua orang tua. Sebagian lagi disisihkan untuk orang yang tidak mampu.Ponselnya berdering berulang kali. Dia penasaran, lalu segera dicek.[Kasihan sekali, ya, Bu. Ternyata kita dulu sudah salah sangka, bukan Bu Audrey yang durhaka, melainkan mertua dan kakak-kakak ipar beliau yang kejam.] Isi pesan di grup warga komplek.[Saya benar-benar nggak menyangka, masa iya ada mertua sejahat itu? Memisahkan anak gadis bernama Dianti dari Mamanya sendiri?][Astagfirullaah. Kakak-kakaknya juga kejamnya minta ampun.][Benar pepatah, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Alias sama aja! Andai kita orang kaya, mungkin bisa bela Bu Audrey, supaya mendapatkan Dianti kembali. Diajak pulang kampung, biar nggak ketularan kejam!]Tanpa sadar, Audrey menitikkan air mata membaca pesan-pesan di grup ibu-ibu tersebut. Antara sedih meratapi keadaan, tetapi juga se
Beberapa hari kemudian, Audrey mendapat kabar bahwa Juna meninggal. Semua kembali berduka. Audrey, Fandi dan Lia hanya melayat sebentar karena masih sakit hati dengan perlakuannya dulu. Zofia pun tidak memintakan maaf pada mereka. Dianti bersalaman dengan mereka bertiga, tetapi hanya terdiam saat ditinggal mereka pergi.**Lima bulan kemudian. Zofia kini sakit-sakitan dan sedikit linglung. Semua paman-bibi Dianti mulai mempersiapkan pernikahan Dianti. Audrey tak pernah diajak setiap kali kedua mertua dan semua kakak ipar membahas persiapan acara pernikahan anaknya sendiri.Pernikahan Dianti akan segera dilaksanakan dalam waktu dekat. Audrey tahu bahwa semua anggota keluarga almarhum Edwin dibelikan kain seragam, kecuali dia.Akhirnya, Audrey membeli kain sendiri yang agak mirip, lalu menjahitkannya di tempat tetangganya dulu, bernama Nurin. "Jadi, Mbak beli kain sendiri buat gamis di hari pernikahan anak Mbak sendiri?" tanya Nurin."Iya. Sudah nasib. Entah, kapan kebahagiaan itu akan
Satu bulan berlalu. Audrey menjalani rutinitasnya berjualan di toko baju bersama Hana. Zofia sudah tak mau peduli lagi pada menantunya itu, serta semakin ketat melarang Dianti untuk menemui Audrey, karena khawatir menantunya itu akan menghalangi perjodohan Dianti dengan Dino.Tak hanya itu, Juna juga meminta mobil Edwin yang terparkir di garasi rumah putranya. Audrey mempersilakan karena memang itu bukan miliknya, sekaligus legowo menyerahkan kunci, BPKP, STNK dan SIMnya tanpa meminta syarat apapun. Harta dunia memang titipan dan tak bisa dimiliki selamanya, sehingga Audrey ikhlas dan tidak melakukan protes apapun. Kini, mobil itu digunakan oleh Natasha dan Sinta secara bergantian jika ingin pergi ke manapun. Audrey tak pernah ambil pusing bagaimana sikap Juna, Zofia dan kakak-kakak iparnya, melainkan lebih fokus pada perkembangan tokonya. Modal dari uang Edwin, dia gunakan untuk memperbarui produk baju dan promosi di media sosial. Dalam tiga bulan, omsetnya pun naik pesat.Saat hari
Audrey menghitung uang yang jumlahnya cukup banyak milik almarhum suaminya di lemari, yang merupakan hasil dari perusahaan Juna dalam beberapa hari terakhir. Penghasilan itu dikirimkan langsung ke rumah oleh seorang bendahara kantor.Beberapa hari kemudian, ada dua orang rekan kerja Edwin yang datang untuk menagih utang. Besoknya ada lagi, lalu beberapa hari berikutnya.Audrey menggunakan uang Edwin untuk melunasi hutang-hutang itu. Setelah lewat dua pekan, tak ada lagi yang menagih, Audrey membagi-bagi uang di dalam tas milik almarhum suaminya.Sepertiga untuk membayar hutang pada Rudi, sepertiga lagi untuk Dianti dan sepertiga sisanya Audrey pakai untuk menyambung hidup.Sementara surat tanah tempat berdiri rumah megah milik Edwin, Audrey biarkan supaya diambil oleh Juna, karena ada bagian warisan untuk keluarga almarhum suaminya.Beberapa hari kemudian, Rudi memberi pesan ke Audrey bahwa dia ingin datang ke rumah. Mamanya Dianti pun mengundang Hana untuk datang juga, supaya terhind