“Apa ini?” gadis itu membulak-balik benda yang terbungkus kotak persegi panjang.“Coklat yang kesekian ratus kalinya dari Edward!” Selly yang menjawab, dia menatap bosan kotak ditangan Sahara.Sahara membuka kotak tersebut, tiga batang coklat lengkap dengan pita berwarna pink. Dahinya mengernyit.“Kupikir Edward akan memberiku satu batang setiap hari. Seperti biasanya.” kata Sahara heran.“Kau 'kan tidak masuk sekolah selama tiga hari.” sahut Yuri menjelaskan, dia menunjuk coklat di tangan Sahara.“Tiga coklat untuk tiga hari.” tambahnya lagi.Sahara mengangguk-angguk. “Entah sampai kapan dia akan berhenti memberiku coklat.”“Masa kau tidak mengerti, sih?” Selly menatap lurus wajah Sahara.“Dia akan terus memberimu benda konyol itu sampai kau menerimanya.” lanjutnya.Sahara tersenyum kecut, tentu saja dia mengerti. Sudah pasti Edward memberinya coklat setiap hari dengan maksud terselubung.“Kau harusnya senang, Ra. Edward itu tampan dan manis, juga romantis.” ucap Yuri terlihat menggo
“Kau jangan bercanda, Ra!” ucap Selly tidak percaya.“Tidak, Sell. Dia memang suamiku.” jawab Sahara coba tersenyum.“Bagaimana bisa?” tanya Yuri.“Jadi kau sudah menikah?” tanya Selly lagi dengan tatapan tajam, gadis itu melipat kedua tangannya di dada, dia merasa sedikit kecewa saat Sahara menikah namun tidak memberitahunya, Selly merasa tidak dianggap sebagai seorang teman.Sahara mengangguk dan menyengir. “Dan kau tidak memberi tahu kami?” sahut Yuri dengan cemberut.Sahara tersenyum kecut, bukan dia tidak mau memberitahu, namun gadis itu merasa sekarang bukan waktu yang tepat untuk menceritakan semuanya, namun waktu yang tepat itu tidak pernah ada, sebab semuanya sudah terbongkar.“Maafkan aku, bukan maksudku tidak ingin memberitahu kalian, namun saat itu aku pun sama bingung dengan situasinya dan aku...” Sahara menghentikan keterangannya.“Aku.. aku malu ternyata suamiku seorang Om-om!” lanjut Sahara seraya menggigit bibir dalamnya, gadis itu mengalihkan pandangan sebab dirinya
Gadis itu tidak bersuara lagi, dia bergegas menghabiskan makan malamnya, yang dimasak oleh sang suami. Ya, memang Sagara yang memasak sebab gadis remaja itu belum bisa memasak sendiri, dia terbiasa dilayani dan dimanja. Jadi gadis itu sangat bergantung pada suaminya itu. Sahara harus mengakui bahwa hasil masakan Sagara cukup enak di lidahnya, dia sedikit kagum dengan keahlian pria itu.“Jangan lupa cuci piring kotormu!” ujar Sagara saat melihat istrinya itu mulai bangkit setelah piringnya kosong.“Kau harusnya mencari orang untuk melakukan pekerjaan ini” gadis itu menggerutu sebal.“Itu pekerjaan seorang istri, cepat kerjakan jangan membantah!” tukas lelaki itu dengan ketus.“Oh, istri ya? Baru saja kau menganggapku sebagai serangga pengganggu, sekarang seorang istri. Manis sekali mulutmu” ucap Sahara mengejek, kedua tangannya terlipat di bawah perut.Sagara mengesah pelan, “Jangan menguji kesabaranku!”“Baik, baik. Tidak perlu melotot seperti itu, itu membuat wajahmu jelek” ledek g
Matahari semakin meninggi membuat siang ini menjadi cerah, secerah wajah Sagara yang sedang duduk di dalam food court. Pria matang itu sudah sejak lima belas menit yang lalu menunggu sang kekasih, rasa rindu yang kian membesar membuatnya tidak sabar ingin bertemu dengan Maria.Mata elangnya menyisir suasana food court yang lumayan ramai, berharap manik matanya menangkap sosok yang dia nanti-nantikan. Pria itu hendak melirik jam yang melingkar di tangannya, namun tiba-tiba pandangannya menjadi gelap.Sagara meraih sesuatu yang menutupi matanya, sepasang tangan putih mulus menyapa penglihatannya.“Maria...” Saga tersenyum senang dengan kedatangan kekasihnya.Maria balas tersenyum, wanita itu mengecup ringan kedua pipi Sagara.“Apa aku terlalu lama?” Maria bertanya seraya mendaratkan bokongnya pada kursi disamping Sagara.Wanita itu memakai kacamata berwarna hitam pekat guna menyamarkan sedikit identitasnya.“Tidak, selama apapun aku tetap akan menunggu!” kata pria di sampingnya yang sel
Edward mengemudikan mobilnya dengan santai, bibirnya tidak berhenti tersenyum. Sesekali dia melirik gadis di sampingnya.Dia menyukai Sahara sejak lama, dan mengagumi kecantikannya. Gadis berambut sebahu itu menunjuk suatu arah.“Ed, kita berhenti di resto depan sana, ya.” ucap Sahara, suaranya terdengar seperti gemerincing lonceng di telinga Edward. Sangat lembut dan merdu.“Oh, kau mau makan disana?” tanya Edward menoleh sejenak.“Tidak, aku ingin membungkusnya untuk dibawa pulang.” jawab gadis itu tersenyum.“Kenapa tidak makan disana, saja. Aku bisa menemani.” tawar Edward balas tersenyum.Sahara menoleh dan menggeleng sungkan. “Aku harus pulang cepat.”“Oh, ada sesuatu yang mendesak?” alis Edward terangkat sebelah.Sahara berpikir mencari alasan, yang muncul secara spontan dibenaknya adalah isi kamar Sagara. Jadi dia mengangguk pelan. “Ada sesuatu yang mendesak.”“Baiklah”Mobil akhirnya berhenti tepat di depan restoran cepat saji. Mereka berdua turun dari mobil dan melangkah mas
“Aman bagaimana?” Sahara balik bertanya.“Kau tidak merasakan getaran-getaran apalah itu, kau tidak cemburu, tidak terluka?” Selly mencecar setengah menggoda. “Yang benar saja...”Sahara tersenyum kecut. “Apa aku selemah itu, akan cemburu atau terluka hanya karena melihat dia bersama wanita dan makan bersama?”Selly terkekeh, “Yah, kau kan sudah jadi istrinya. Barang kali kau akan jadi istri-istri yang mudah bawa perasaan.”“Tentu saja tidak, bodoh...” sahut Sahara tertawa miris.“Syukurlah kalau kau sekuat itu.” ucap Selly terkekeh kecil.Entah apa yang Sahara rasakan, gadis itu tidak mengerti dengan perasaannya sendiri. Dia memang merasakan sesuatu yang mencelos di jantungnya, sesuatu yang berdenyut. Sesuatu seperti kecewa, sedih dan marah bercampur aduk, dia merasakan suatu perasaan seperti pengkhianatan, mungkin. Dan dia membohongi Selly.“Hei, kau masih disana atau tidak, hallo?” Selly kembali menyahut saat tidak lagi mendengar suara temannya.“Sahara!” sahut Selly sedikit teriak
“Oh, ya. Siapa dia?” tanya Sahara dengan pelan, gadis itu sudah tidak bernafsu untuk menghabiskan makan malamnya.Sagara melirik istrinya lalu tersenyum mengejek, “Kenapa kau kepo sekali...”Sahara mendengus pelan, lantas meletakan sendok dan garpu di sisi piringnya.“Aku sudah kenyang” ucap gadis itu mulai menegak minumnya.Sagara melihat piring istrinya yang masih penuh dengan makanan, Sahara bahkan belum sempat menyentuh menu lainnya.“Kau baru makan sedikit” kata pria itu heran. Lebih heran lagi saat menatap wajah Sahara yang cemberut.“Aku sudah kenyang” ulang gadis itu lagi, mulai bangkit dan melangkah menuju kamar mengunci pintunya dari dalam.Sahara belum pernah merasa sekesal ini ketika mendengar orang lain menceritakan tentang pasangannya. Dia kesal, kesal pada dirinya sendiri.Sikap aneh yang ditunjukkan sang gadis membuat Sagara terdiam di meja makan, pria itu sungguh merasa bingung dengan tingkah laku Sahara yang berubah-ubah.‘Apa yang merasukinya?’ batinnya bertanya-ta
“Masuklah...” titah Sagara dengan suara lembut, tangannya turut membukakan pintu mobil untuk istri kecilnya.Sahara terdiam sejenak menatap wajah Sagara yang tidak sedatar biasanya. Kini pria dingin itu bukan cuma suaranya yang melembut namun sorot matanya pun ikut meneduh, tidak ada lagi kilatan tajam dimanik legamnya.“Ayo” Sagara mengucap heran saat Sahara hanya terdiam menelisik wajahnya.Sahara mengerjap sebelum akhirnya masuk dan mendudukkan diri di jok mobil, gadis itu memandang Sagara yang mulai mengitari mobil guna duduk dibelakang kemudi. Pria itu mulai memasangkan seatbelt ke tubuh istrinya, membuat Sahara menahan napas sebab wajah mereka begitu dekat.“Maaf, aku tidak berniat mesum” ucap Sagara diiringi senyum menawannya.Sahara memalingkan wajah, jantungnya berdetak lebih cepat. Kedua telapak tangannya mendingin, pipinya memanas. Bisa-bisanya diaa terpesona dengan senyum pria dingin itu.Sagara melirik sang istri yang sejak tadi tidak mengeluarkan sepatah kata pun, tidak
“Baiklah, karena kalian sudah datang kemari, kita langsung saja.” Liana berkata seraya memandang wajah orang-orang yang duduk bersamanya bergantian, lalu berhenti tepat di wajah Saga. Dia menatap lekat wajah menantunya itu. “Saga, bagaimana masalahmu dengan wanita itu?”Saat itu, Saga sedang menatap istrinya yang terus menunduk, lantas terkesiap ketika Liana bertanya dengan tatapan tajam. Bukan hanya Liana, Saga merasakan semua mata sedang menatap padanya. Hal itu sedikit membuatnya gugup.Setelah menghela napas panjang, Saga balas menatap wanita yang menjadi mertuanya dengan tegas namun tetap berusaha sesopan mungkin.“Masalah kami sudah selesai, Mam. Aku sudah menepis gosip-gosip bohong yang dibuat oleh wanita itu. Dan, Maria sudah kubuat menyesal sekaligus menjadi bulanan masyarakat.” terang Saga dengan senyum puas. Dia kembali melirik Sahara yang tersenyum manis padanya, lalu dibalas dengan kedipan sebelah mata dan seketika membuat gadis itu tersipu merona.“Oh, kenapa dengannya?”
“Selamat sore nona Maria.” sapa Dokter seraya tersenyum dan menghampiri pasiennya.Maria tak membalas sapaan sang Dokter, kedua matanya masih tertuju pada dua orang polisi yang berdiri tegak tak jauh dari pintu setelah di tutupnya. Maria bertanya-tanya sendiri, untuk apa polisi itu berada di ruangannya? Mungkinkah karena skandal yang di sebarkan William? Atau Saga masih dendam padanya lalu melaporkan dirinya mengenai kasus penculikan istrinya? Tapi, itukan sudah lama!“Nona?” panggil Dokter itu lagi seraya menyentuh lengan Maria.“Eh, iya Dok?” sahut wanita itu akhirnya. Dia menatap sang Dokter dengan raut wajah yang pias bercampur cemas.“Kita cek kondisi nona terlebih dahulu, ya.” kata Dokter yang Maria ketahui bernama Sheina. Dr. Sheina memeriksa detak jantung Maria sejenak, lalu dilanjutkan dengan alat vital lainnya. “Dokter, apa yang terjadi padaku?” Maria bertanya setengah berbisik, berusaha mengabaikan dua polisi yang berdiri di sana. Dia sendiri sangat penasaran dengan kondi
“Darren datang untuk meminta maaf pada Nana, Lucas. Biarkan saja mereka menyelesaikan masalahnya berdua dulu.” ucap Winona menatap sang suami yang pandangannya masih tertuju pada Darren dan Nana di tepi kolam.“Masalah apa? Bukankah semuanya sudah selesai ketika lelaki itu mencampakkan anakku?” balas Lucas dengan nada yang dingin. Masih segar dalam ingatannya tentang malam itu, Nana dipulangkan oleh Darren tanpa perasaan, tanpa memberikan kesempatan, tidak peduli Nana bersimpuh di kaki Darren agar di beri kesempatan untuk menjelaskan. Darren seolah tertutup mata dan hatinya hanya karena merasa ditipu soal keperawanan. Sebagai seorang ayah melihat bagaimana putrinya dicampakkan sebegitu jahatnya, tentu saja hal itu melukai harga dirinya dengan membiarkan Darren menginjakkan kaki di rumahnya.“Lucas, tenangkan dirimu.” ujar Winona mencegat Lucas yang ingin menghampiri Darren dan Nana. “Biarkan mereka bicara berdua dulu, sekarang kita kembali ke dalam. Ada yang akan aku bicarakan dengan
Liana menoleh ke arah pintu kamarnya yang diketuk dari luar. Bertanya-tanya sendiri, siapa yang mengetuk di luar sana kali ini. Mungkinkah putrinya lagi?Pintu itu kembali di ketuk, kini disertai suara pelayan yang berkata membawakan makanan untuknya. Liana melirik pada benda yang di sebut sebagai mesin waktu, jam makan siang sudah lewat cukup lama. Dia memang masih enggan keluar kamar. Melewatkan makan malam, sarapan pagi, dan sekarang Liana pun melewatkan makan siangnya.Meski tetap membukakan pintu untuk pelayan yang datang membawa makanan, tidak ada satu pun makanan yang di sentuhnya. Sampai membuat sang pelayan kebingungan dibuatnya.“Nyonya, anda tidak sarapan?” tanya pelayan perempuan yang umurnya lumayan muda. Dia melihat menu sarapan yang di antarnya pagi tadi masih tetap utuh di atas nampan.“Aku tidak lapar, Alma.” jawab Liana seraya memandang pelayan yang bernama Alma dengan senyum tipis.“Tapi, Nyonya ... anda harus makan.” ujar Alma dengan kepala tertunduk di depan sang
“Mau apa dia ke sini?”Terkejut. Tentu saja, tetapi Nana sebisa mungkin membuat raut wajahnya terlihat tenang dan terkendali. Pandangannya sempat menunduk beberapa saat , namun buru-buru dia mendongak kembali ketika Winona menyentuh tangannya.“Dia bilang ingin bicara denganmu.” jawab Winona kemudian, wanita itu menggeser duduknya agar lebih merapat pada sang putri. “Kau baik-baik saja, Sayang? Kalau tidak mau menemuinya, ibu akan menyuruhnya pergi.”Kepala Nana menggeleng pelan seraya menggigit bibir bagian dalamnya. “Apa ayah tahu Darren kemari?” tanyanya setengah berbisik.“Belum,” Winona menggeleng dengan kedua alis yang tertaut, “Sengaja ibu tidak bilang, ayahmu pasti akan marah kalau tahu dia kemari.”“Lalu, kenapa ibu ... tidak marah?” tanyanya lagi, sudut mata Nana sesekali melirik ke arah pintu ruang baca, khawatir tiba-tiba Darren keluar seolah menyadari keberadaannya.“Ibu marah, Nana. Tentu saja, marah. Bahkan ibu sempat mengusirnya, tetapi dia memohon agar diijinkan berte
Saga memutuskan kembali ke kantornya, namun saat sampai di sana dia menemukan kerumunan di depan lobi kantor. Puluhan orang wartawan serta Cameraman-nya tampak berkumpul menantikan kedatangan dirinya untuk diliput.“Papa, kenapa banyak wartawan di bawah sini?” Saga memilih menghubungi sang papa dan mengamati para wartawan itu dari dalam mobil.“Tidak apa-apa temui saja, mereka memang menunggumu untuk buka suara soal postingan klarifikasi serta bantahan yang dibuat William. Katakan saja yang sebenarnya.” balas Hanum dengan santai, membuat Saga menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan.“Baiklah.” setelah itu Saga memutuskan sambungan telepon dan bergegas keluar dari mobil yang langsung diambil alih oleh petugas.Saga berjalan gagah di tengah-tengah barikade yang dibuat oleh sekuriti serta para petugas keamanan di kantornya. Mereka menggiring Saga hingga memasuki lobi dan membiarkan tuannya diwawancarai di sana, seraya terus menjaganya.“Tenang semuanya, bertanyalah satu-satu
“Tuan, saya sudah menemukan keberadaan Maria. Dia ada di pusat perbelanjaan, mungkin sedang berbelanja.” lapor William pada Saga melalu telepon, lelaki berwajah oval itu terus memantau Maria dari balik kaca mobil.“Terus pantau dan ikuti, kalau wanita itu menuju ke apartemennya pastikan kau yang lebih dulu tiba di sana. Aku akan menunggumu di dalamnya.” balas Saga, menatap lurus pada jalanan dan berusaha mengemudi dengan perhatian penuh. Dia tidak sabar ingin bertemu dengan Maria dan membuat wanita itu menyesal sudah berani bermain-main dengan dirinya.Kini, Saga tengah berdiri tegak dengan raut wajah yang dingin, melayangkan tatapan setajam belati pada wajah Maria yang berubah pias. Wanita itu sesekali melirik William yang mulai bangkit dari sofa dan berjalan di belakangnya. Seolah memastikan William tidak berbuat sesuatu yang mengancam nyawanya seperti dulu.“Takut, eh?” tanya pria itu dengan seringai mengejek, Saga sendiri merasa puas dengan reaksi dari wanita yang tengah hamil mud
“Sayang, kau belum menunjukkan rekaman itu pada orang tuamu?” Saga melakukan panggilan telepon dengan istrinya setelah kepergian ayah mertuanya, dia berada di ruang kerjanya sendiri saat ini dan berdiri menghadap dinding kaca yang menampilkan pemandangan kota yang dihiasi gedung pencakar langit.“Emm, belum ... kenapa?” balas Sahara tersenyum salah tingkah di seberang telepon. Jari telunjuknya menggaruk ujung alis dengan canggung.Terdengar helaan napas berat dari mulut Saga, dia mengusap wajahnya menggunakan telapak tangan. “Tadi, papi kemari.” desisnya.“Oh, ya? Mau apa?” tanyanya terkejut dan sedikit cemas. “Apa papi menghajarmu?”“Tidak, papi menghargai permintaanmu agar tidak menyentuhku.” jawabnya disertai gelengan, kemudian tersenyum mengingat permintaan itu adalah bukti cinta istrinya pada dirinya. “Terima kasih sudah mencintaiku begitu besar, saking besarnya sampai mampu menutupi kemarahan seorang Brata yang konon dikenal memiliki watak keras dan tegas.” godanya terkekeh.Sa
Hanum menyambut dengan ramah dan mempersilahkan Brata duduk di sofa yang ada di ruang kerjanya. Dia tidak hanya berdua, Saga pun ada di antara mereka. Putranya itu mengulurkan tangan hendak bersalaman dengan mertuanya, tetapi Brata mengabaikannya dengan dingin. Membuat Saga menghela napas pelan, dan memakluminya sama sekali tidak merasa tersinggung.Brata datang ke kantor Hanum bukan untuk beramah tamah, dia ingin membuat perhitungan pada menantu dan besannya. Yang sedari awal sudah membohongi dirinya.“Aku merasa terhormat kau mau bertandang kemari.” ujar Hanum tersenyum pada Brata yang sudah mendudukan dirinya tepat berseberangan dengannya. “Aku benar-benar meminta maaf atas apa yang sudah dilakukan putraku.”Dia menoleh, memandang Saga yang berusaha mempertahankan senyumnya ketika Brata juga ikut menatapnya. Lalu, Hanum menepuk pundak putranya dengan tegas dan kembali menatap pada besannya yang menyandarkan tubuhnya pada bahu sofa dengan sorot mata yang tajam.“Kalau kedatanganmu