Akhirnya Ku MenemukanmuPoV Risky"Kemana Sania. Lama sekali," ucapku sambil berjalan kesana kemari di dalam kamar perawatan. Bilangnya keluar untuk mengurus resep tapi tak kunjung kembali hingga beberapa jam setelahnya.Meskipun begitu, aku tetap sabar menunggu karena aku tak mungkin pulang sendirian tanpa ada keluarga yang bisa kuminta untuk mengurus administrasi rumah sakit.Ah ya, administrasi? Dari mana Sania bisa dapatkan uang untuk membayar seluruh biaya ini? Tapi kulihat ia tenang dan tak begitu kelihatan resah. Jika Sania tak punya uang untuk membayar, ia pasti sudah membahas masalah ini denganku.Namun betapa terkejutnya aku saat mendapati mama tiba-tiba datang ketika aku hampir putus asa menunggu Sania."Apa kabar, Ma?" sapaku seraya mengulurkan tangan padanya. Bagaimana pun hubungan kami, aku tetap menjaga sikap kepadanya. "Baik. Sudah siap? Mari pulang," ucapnya tanpa ada keramahan sedikitpun di wajahnya. Meskipun begitu aku senang Mama tiba-tiba mengajakku pulang. Apa
PoV Risky "Mama tidak turun?" tanyaku pada Mama yang duduk di kursi depan."Buat apa turun di rumah kosong? Lihatlah, rumah itu seperti rumah kosong." Kening Mama mengerut saat melihat rumah yang beberapa hari lalu menjadi tempat tinggalku.Aku membuang napas kasar. Berdebat dengan mama itu percuma. Tidak akan bisa menang atau ketemu titik tengah. Apapun harus sesuai dengan keinginannya.Kubuka pintu mobil dan aku segera turun. Tak peduli dengan Mama yang terlihat jijik saat menatap rumah kontrakan kami. Biarlah, aku tak lagi peduli dengan penolakan Mama. Yang aku pedulikan sekarang adalah Sania dan Caca. Dimana dia?"Dek," panggilku saat kulihat pagar rumah terkunci rapat. Aku berjalan ke samping, searah dengan pintu ruang tamu, tapi tak kudapati gerak gerik seseorang di dalam sana."Dek, ini Mas." Aku kembali berteriak. Mataku celingukan mencari keberadaan penghuni rumah ini, tapi tetap saja. Tidak ada pergerakan apapun."Cari siapa, Pak?" tanya tetangga sebelah rumah. Seorang ibu
Akhirnya Ku Menemukanmu PoV Risky"Aku tidak percaya Mama sekejam ini padaku," ucapku lantang. Kemudian aku pergi meninggalkan Mama sendirian. Aku berjalan menuju kamarku. Merebahkan diri di atas kasur empuk nan lebar tapi tak juga membuat merasa tenang dan nyaman. Hatiku remuk tak bersisa. Bagaimana mungkin Adam bisa melakukan ini padaku? Tega benar dia melecehkan istriku."Dimana kamu sayang?" gumamku dengan suara lirih. Bagaimana aku bisa melanjutkan hidup jika aku tahu fakta yang seperti ini. Bagaimana aku bisa diam saja melihat istriku trauma seperti ini.Tiba-tiba saja kepalaku terasa nyeri yang teramat sangat. Ya Allah, kenapa aku ini? Aku mencengkeram rambut kuat-kuat. Mungkin dengan cengkeraman ini bisa mengurangi nyeri yang sedang kurasakan di kepala. Aku meringkuk di atas ranjang sambil tangan yang masih saja meremas rambutku. Jika ada kamu, aku tidak akan seperti ini, Sayang. Aku tidak akan sendirian. Kamu pasti akan memijit kepalaku dengan lembut sampai aku tertidur
PoV Risky "Ma, sampai kapan Mama mau atur rumah tanggaku?" balasku sengit. Aku dan Dimas berdiri bersisian menghadap Mama yang sedang berdiri di ambang pintu kamar."Sampai kamu menemukan orang yang tepat dan setara dengan keluarga kita.""Dimana hati nurani Mama? Tidakkah Mama bisa melihat kalau dia sudah merawat Risky dengan baik? Dia urus sendiri apapun itu. Yang dia tidak bisa hanya membayar sisa biaya rumah sakit. Sangat tidak adil jika Mama menganggap Sania bukan wanita baik-baik. Lalu yang baik menurut Mama yang seperti apa?""Mama itu tahu yang terbaik buat anaknya. Dan menurut Mama dia bukan yang terbaik. Titik. Jangan dibantah!"Tanpa bicara lagi, Mama pergi dari hadapanku. Syukurlah. Aku bisa kembali melanjutkan acaraku tanpa ada halangan dari Mama.Namun saat aku hendak membuka pintu ruang tamu, pintunya tidak bisa dibuka. "Dobrak aja, Bang!" perintah Dimas dengan lantang.Aku membalas tatapan Dimas sambil berpikir. Tak banyak waktu untuk berdebat dengan Mama. Lebih ba
Akhirnya Ku Menemukanmu"Kita pergi kemana, Bu?" tanya Mira setelah kendaraan yang dikemudikannya mulai melaju membelah jalanan yang lumayan padat."Ibu juga ngga tau, Mir. Terserah kamu mau bawa kita kemana." Aku menjawab dengan malas. Berat rasanya meninggalkan kota Surabaya yang didalamnya berisi banyak kenangan tentang Mas Risky.Mataku membingkai sepanjang jalan raya yang kami lalui. Ada rasa tak rela untuk pergi mengingat kondisi Mas Risky yang baru saja sembuh dari sakit. Dimana biasanya kondisi seperti itu membuat siapapun penderitanya masih butuh dilayani dan ingin bermanja-manja."Ini beneran Ibu ngga tau mau kemana?""Iya. Mau pulang ke rumah Ibu tapi ngga dibolehin sama Mama-nya Mas Risky sebagai syarat beliau mau bantu Ibu.""Kalau ke rumahku aja gimana? Aku ada rumah peninggalan Ibu di perbatasan Mojokerto - Jombang. Kalau Ibu mau kita ke sana aja.""Boleh, deh, Mir. Kemana aja asal ngga bisa ditemui sama Mas Risky.""Astaga kisah cinta Ibu miris sekali." Mira melirikku
Aku masih berdiri menatap tubuh lelaki yang baru saja pulang dari rumah sakit itu dengan hati berdebar. Ingin rasanya aku berlari dan mendekap erat badannya, menghidu aroma tubuhnya, dan menikmati deru napasnya yang hangat. Akan tetapi sekilas ucapan Bu Maria kembali terngiang di telinga."Astaghfirullah," lirihku sambil meremas kerudung yang menutup dada.Lagi-lagi aku hanya bisa melihat dari kejauhan. "Pergilah, Mas. Pergi, bahagia bersama Kiaa dan Mama."Aku tertunduk. Kakiku tak lagi sanggup menopang beban tubuh yang ramping ini. Badanku merosot ke lantai. Biarlah aku seperti ini untuk menikmati luka ini sejenak.Berulang kali kuembuskan napas dalam dan panjang agar dada ini tak lagi terasa dililit oleh sesak karena getirnya perasaan. Mataku kembali melihat ke arah mobil Mas Dimas. Rupanya dua lelaki itu sudah berada di dalam kabin mobil dan bersiap untuk kembali melanjutkan perjalanan. "Akan pergi ke mana kamu, Mas?" lirihku sambil menatap mobil itu yang perlahan mulai melaju m
Akhirnya Ku MenemukanmuAku menangis sesenggukan saat tahu kenyataan bahwa ternyata aku sedang hamil dan malah melakukan perjalanan jauh. Kehamilan yang tak direncanakan membuatku abai pada tanda-tanda kecil kehamilan yang biasa dirasakan oleh seorang wanita.Pusing yang sering kurasakan ternyata sebagai pertanda bahwa ada benih Mas Risky dalam rahimku. Sayangnya aku gagal mempertahankan benih itu. Aku bodoh. Aku terlalu sibuk mengurusi semuanya seorang diri."Ya Allah," lirihku penuh sesal."Sabar Bu. Namanya juga musibah. Kalau tahu juga ngga mungkin saya berani ajak Ibu melakukan perjalanan jauh." Mira mengusap bahuku pelan."Salahnya Ibu, Mir, ngga peka sama sekali. Seandainya saja tahu, Ibu pasti akan jaga diri dengan baik." Air mataku kembali bercucuran.Ingin rasanya aku menghubungi Mas Risky dan menceritakan semua ini padanya. Tapi mana mungkin. Jika kuceritakan bisa jadi malah akan menambah kesedihannya atau malah menambah sesal dalam dirinya. Sementara kondisinya tidak boleh
Tak henti aku berdzikir agar perasaan gelisah segera sirna. Entah mengapa tiba-tiba bisa begini. Mungkinkah karena terlalu bersemangat memulai usaha sehingga aku mengabaikan kondisi badan yang sebenarnya masih butuh istirahat? Entahlah.Semoga saja ini hanya perasaanku saja.Deru motor Caca dan Mira terdengar setelah aku menyiapkan menu berbuka puasa. Sayur bening dengan pepes tahu juga sambal, menu sederhana tapi cukup nikmat untuk santap buka puasa. Usai ku tes rasa, aku segera mengusap bibir agar tak tampak bekas makanan di bibirku.Masa nifas setelah keguguran membuatku absen puasa sementara hingga bersih. Meskipun begitu, aku tetap tidak makan dan minum ketika Caca berada di rumah. Bagaimana pun aku harus menghormati anakku yang baru saja belajar berpuasa."Mama," teriak Caca setelah ia membuka pintu ruang tamu. Derap langkah Caca terdengar mendekat ke arahku yang tengah mencuci perabotan bekas memasak."Iya, Sayang. Bagaimana jualannya? Habis semua?" tanyaku menyambut kedatangan
Aku dan Mas Risky sama-sama kebingungan mencari Mama. Kemana perginya beliau yang sama sekali tak paham daerah sini. Rumah Bude Nikmah pun terlihat sepi. "Kemana lagi nyarinya, Mas? Semua ngga ada yang tahu." Aku berujar setelah bertanya pada beberapa tetangga yang kebetulan berada di luar.Mas Risky berusaha terlihat tenang. Ia tak mau gegabah. Terlebih Mama sudah dewasa dan masih normal atau belum pikun. Minimal Mama masih bisa kembali dengan selamat. Hanya saja kami panik karena beliau tak izin lebih dulu."Mama ngga akan hilang. Cuma pergi aja mungkin dan ngga pamit." Mas Risky mencoba menenangkanku."Iya. Tapi Mama kan ngga kenal siapa-siapa di sini. Gimana ngga panik coba?""Kita tunggu ya? Kamu tenang aja." Mas Risky menggandengku berjalan kembali menuju arah rumah. Ia tak mau terlihat kebingungan di jalanan. Sebaiknya kami menunggu saja di rumah.Aku duduk di kursi teras dengan cemas. Baru kali ini Mama keluar tanpa pamit. Bahkan Mas Dimas pun tak tahu kemana mamanya pergi.
Akhirnya Ku Menemukanmu"Kita balik?" tawar Mas Dimas malam ini. Bakda tarawih kami semua duduk bersantai di ruang tamu. Mengeratkan diri satu sama lainnya dengan obrolan yang ringan dan seru.Bu Maria terdiam. Ia memandangku dan Mas Risky bergantian."Kayaknya enak di sini. Sampai lebaran juga boleh. Gimana?" balas Bu Maria."Apa boleh kami menginap di sini sampai lebaran?" tanya Bu Maria. Kini wajah itu menghadap ke wajahku, seakan ia sedang meminta persetujuanku."Boleh dong, Ma. Silahkan saja. Sania malah senang bisa lebaran di kampung ini lagi.""Gimana, Mas?" tanyaku pada Mas Risky. Bagaimana pun aku harus meminta persetujuannya sebelum mengambil keputusan."Kalau Mama minta begitu ya sudah. Kita di sini dulu. Tapi aku minta Bi Siti buat antar Kiaa dulu ke sini. Biar rame.""Biar kujemput, Bang.""Apa Caca boleh ikutan?" sela Caca tak mau ketinggalan."Boleh. Ajak Mbak Mira juga boleh," sambut Mas Dimas malu-malu."Mbak Mira ikutan ya? Biar seru. Nanti bantu aku gendong adik Kia
Akhirnya Ku Menemukanmu "Halo Sayang," ujar Bu Maria ramah.Akan tetapi yang diberi ucapan malah bersembunyi dibalik badan langsing milik Mira. Ia memegang ujung baju Mira dengan eratnya. Seperti sedang merasa terintimidasi.Dadaku mencelos melihat sikap Caca. Begitu takutnya ia melihat wanita yang pernah marah-marah di hadapannya waktu itu. Tapi aku pun tidak bisa menyalahkan. Itu adalah sebuah respon natural dari apa yang pernah ia lihat dan saksikan. Terlebih sebuah kejadian itu tidak pernah ia alami sebelumnya.Aku berinisiatif untuk mendekati tubuh putriku. Bukan tidak mau, hanya saja butuh waktu dan pengertian. Aku memaklumi itu."Sayang, Nenek sudah minta maaf sama Mama. Nenek sudah baik sama Mama dan Papa. Caca jangan takut lagi ya? Nenek sayang kok sama Caca," ujarku sambil menoleh ke arah Bu Maria.Caca masih saja bersembunyi di balik badan Mira. Ia masih dengan posisi yang sama. Menggenggam erat baju Mira dengan kedua tangannya.Badan tambun yang wajahnya sudah terlihat se
Akhirnya Ku Menemukanmu "Maafkan aku, aku telah membuatmu menderita. Aku telah berbuat dosa padamu," lirih Bu Maria sambil terisak.Wanita yang kini mulai membuka hati untukku itu merengkuhku dalam dekapannya. Erat sekali. Dada yang naik turun tak beraturan itu membuatku turut merasakan sesak yang teramat sangat. Betapa dalam dirinya juga sebenarnya merasakan hal yang serupa denganku. Hanya saja terbalut gengsi dan malu untuk mengakui segala kesalahan yang telah diperbuat."Tidak, Ibu tidak berbuat dosa." Aku mengusap punggung lebar itu dengan lembut dan seirama. Sebisa mungkin aku tidak terlalu menyudutkan posisinya.Semakin tua seseorang, hati dan perasaannya makin sensitif. Sedikit saja ucapan atau perilaku yang tidak sesuai dengan keinginannya, pasti akan membuatnya mudah emosi atau marah-marah. Hal ini juga terjadi dengan Bu Maria, mertuaku. Sikap Bu Maria itu sudah fitrahnya sebagai orang tua yang sudah lanjut. Bahkan hal ini sudah dibahas dalam Al Qur'an. Ini yang membuatku b
"Ibu apanya Kiaa?" tanya Mbak Sari, yang sejak tadi diam menyaksikanku memeluk dan sesekali mencium gemas pipi Kiaa yang berada dalam dekapanku.Aku terdiam, lalu mendudukkan Kiaa di pangkuanku setelah memberinya sebuah mainan agar ia tak lagi merengek."Saya ibu sambungnya Kiaa." Aku menjawab sekenanya. Hendak menceritakan semua pun rasanya tak etis."Ibu sambung?" kagetnya. Kedua matanya melebar sambil menatapku tak percaya.Aku tersenyum melihat reaksinya. Wajar dia kaget melihat kedekatanku yang tidak biasanya. Terlebih saat ia bertemu denganku tadi, Bu Maria dalam keadaan marah-marah.Saat aku hendak mengalihkan pembicaraan, kulihat Bi Siti lewat di depan kamar Kiaa sambil membawa nampan berisi makanan."Mbak, nitip sebentar ya," ucapku sambil berdiri. Tanpa menunggu jawaban Mbak Sari, aku mengejar tubuh Bi Siti yang sedang berjalan menuju kamar Bu Maria. Ini adalah saat yang tepat untuk kembali merayu wanita paruh baya itu."Bi, makanannya buat Mama?" tanyaku setelah Bi Siti be
Akhirnya Ku MenemukanmuAku berjingkat mendengarkan suara yang tiba-tiba memekakkan telinga. Tangan yang semula sudah terulur untuk menggendong bayi mungil di hadapanku kembali kutarik. Wajahku yang semula sudah bahagia karena bisa melepas rindu dengan Kiaa, sekarang terdiam, bahkan cenderung tegang.Mas Risky berjalan beberapa langkah mendekati badanku berdiri di dekat pengasuh Kiaa. Aku menyambutnya dengan meraih pergelangan tangannya untuk kugenggam erat karena rasa takut yang kembali mendera."Jangan lagi sentuh cucuku," hardik Bu Maria keras. Dua bola mata itu membulat sempurna. Bahkan wajah yang pucat tak membuat dia menurunkan nada bicaranya.Jari telunjuk yang dihiasi dengan cincin emas itu mengarah sempurna searah dengan dua mataku. Aku tertegun, sebegitu besar bencinya terhadapku. Sungguh, perbuatan Mas Risky kemarin menyisakan dendam dalam sinar mata Bu Maria yang penuh luka."Kami datang untuk menjenguk Mama." Mas Risky mulai bersuara. "Mbak Sari, bawa Kiaa masuk kamar.
Melihat wajah Mas Risky yang cemberut, aku malah tertawa. Lucu saja melihat wajah tampannya dibuat jelek dengan bibir yang maju beberapa senti. Namun saat aku tergelak, tanpa aba-aba Mas Risky berdiri dan mengangkat tubuhku hingga aku memekik kaget."Mas," pekikku. Dengan cepat tanganku mengalung ke lehernya. Mataku membulat sempurna menatap wajahnya yang tepat berada di depanku. Tapi tak urung, aku menyandarkan kepalaku ke bahunya."Salah sendiri. Dibilang Mas lagi rindu malah cekikikan," kesalnya. Tapi tak urung wajah itu akhirnya tersenyum juga.Mas Risky meletakkan bobot tubuhku ke atas ranjang sederhana yang menjadi tempat bersatunya kami setelah akad beberapa waktu lalu. Ranjang yang menjadi saksi bahwa lelaki yang kerap kusebut dalam doaku benar-benar menyentuhku dengan segenap cinta dan kasih yang dia miliki."Habis Mas lucu sih." Aku masih saja tak bisa menahan bibirku untuk tidak tertawa."Kok lucu?" sela Mas Risky. Ia mengunci tubuhku di bawah tubuh gagahnya. Kedua tangann
Akhirnya Ku Menemukanmu 57"Mama sakit, Sayang." Mas Risky berujar setelah meletakkan ponselnya. Ia menatapku dalam tak berkedip."Kita ke sana?" tawarku pelan."Tidak."Aku terkejut. Mataku membulat menatap wajah suamiku yang duduk di sebelahku. Begitu tegasnya ia menolak."Mas, Ibumu sedang sakit, bagaimana mungkin Mas tidak mau datang ke sana?" tanyaku tak percaya."Tidak akan datang sebelum Mama mau menerimamu sebagai menantunya." Mas Risky berujar tanpa menatapku.Aku tertegun mendengar ucapan Mas Risky. Sebegitu kerasnya ia berusaha untuk memaksa Bu Maria untuk menerima kehadiranku."Mas sudah lelah menuruti apa kemauan Mama. Sudahlah, biarkan ini jadi pelajaran buat dia. Biar Mama juga sadar kalau anaknya juga punya kemauan, ngga harus selalu menuruti kemauan Mama saja."Mas Risky kembali meraih sendok yang sebelum menerima telepon ia letakkan. Ia mulai melahap masakanku yang menurutku setelah mendengar kabar ini semua makanan di depanku ini jadi hambar. Padahal sebelumnya aku
"Kamu ngga apa-apa, Dek?" tanya Mas Risky setelah ia terbangun. Gurat kekhawatiran terlihat jelas dari pandangan matanya yang tak lepas menatapku. Telapak tangannya berulang kali memegang dahiku.Hatiku berbunga mendapati perhatian dari lelaki yang telah lama berpisah denganku."Aku ngga apa-apa, Mas. Jangan khawatir." Aku menenangkan. Kuubah posisi tidurku menjadi duduk bersandar di sandaran ranjang."Jangan puasa ya?" pintanya sedikit memaksa."Enggak, Mas. Aku puasa aja. Sayang lebaran kurang beberapa hari lagi. Aku juga sudah bolong banyak." Aku mengelak. "Kamu lagi sakit, Dek.""Enggak. Langsung sembuh pas ketemu Mas di sini," elakku. "Nih lihat sudah sembuh," sambungku sambil kupegang dahiku sendiri.Mas Risky terdiam menatapku sambil mengerjap. Perlahan seulas senyuman terkembang dari bibirnya yang kemerahan. Dimataku ketampanannya meningkat drastis karena lama tak berjumpa. Lebay ya? Biar saja. Aku cinta.Tangan Mas Risky yang kokoh itu meraih jemariku dengan lembut, lalu ia