"Silahkan isi berkas untuk segera melakukan tindakan operasi, Bu. Kondisi pasien tidak boleh dibiarkan terlalu lama karena bisa membahayakan keselamatannya."Seorang perawat memberikan sebuah berkas padaku. Aku menerimanya dengan tangan yang basah oleh keringat dingin.Sekilas kulihat wajah suamiku yang sedang terbaring di ranjang sana. Seketika dadaku berdenyut nyeri merasakan keadaannya yang lemah, ditambah dengan kabar yang perawat bilang.Aku menatap wajah Mas Dimas setelah menerima berkas tersebut. Mataku menatapnya dengan tatapan penuh tanya. Kondisiku yang panik bercampur cemas membuatku tak bisa berpikir secara jernih. "Tanda tangan aja, Mbak. Soal biaya biar kita cari sama-sama."Tanpa pikir panjang lagi, aku segera membubuhkan tanda tanganku sebagai istri sahnya di atas berkas yang sudah dibawa oleh perawat tersebut. Nyawa Mas Risky harus segera tertolong. Berapapun biayanya nanti, seharusnya bukanlah sebuah persoalan besar. Apapun akan kulakukan untuk bisa membayar biaya
Akhirnya Ku Menemukanmu"Mas, aku datang," ucapku berbisik pada Mas Risky yang matanya terpejam. Kuusap lengannya dengan lembut agar ia merasakan kehadiranku."Mas cari aku ya?" bisikku lagi. Aku mengusap pucuk kepalanya di sisi yang tidak terdapat perban.Perlahan mata lelakiku itu mengerjap. Lalu terbuka dengan pelannya dan bibirnya tertarik saat mata itu mendapatiku di sisinya."Mas kenapa ini," tanyanya dengan suara lemah. Hampir saja tak terdengar suaranya saking pelannya."Mas kecelakaan," ucapku lirih. Ada rasa berat saat mengucapkan kata kecelakaan."Adam tadi ngajak Mas keluar, jadi lama baliknya," ucapnya setelah beberapa saat ia terdiam mengingat-ingat."Mas ngebut ya?" tanyaku sambil membingkai wajahnya dengan dua ekor mataku. Dadaku berdenyut nyeri melihat kondisi Mas Risky di depanku ini. Wajah yang pucat, kepala yang dililit perban serta beberapa alat yang menempel di tubuhnya membuatku tak kuasa menahan air dalam mataku untuk tidak mengalir."Mas lupa.""Ngga apa-apa.
"Mama ngga pulang?" tanya Caca yang seketika membuat dadaku teriris. Bibirku mengatup menahan isak.Kuarahkan wajahku di sebelah kamera agar Caca tidak melihat serpihan kaca yang berjejalan dalam kelopak mataku. Lalu kuembuskan napas perlahan untuk menetralkan suara agar Caca tidak tahu bahwa aku sedang menahan isakan."Sebentar ya, Sayang. Nanti mama pulang kalau papa sudah pindah ke kamar perawatan." Aku kembali lagi menghadap layar.Terdapat banyak serpihan kaca di mata bening milik Caca di dalam layar. Ada rindu yang bisa kurasakan dari tatapannya yang dalam menatapku."Caca kangen sama mama." Hanya dengan satu kedipan saja, serpihan kaca yang berubah menjadi air itu meluncur dengan cepatnya."Mama juga kangen sama Caca. Sabar ya, Sayang?" ucapku lembut.Namun setelah berucap Caca malah menghilang dari layar. Entah apa yang ia lakukan di sana. Yang tampak hanya wajah Mira yang sedang tersenyum."Maafkan ibu ya, Mir? Ibu merepotkan mu." Aku sungkan terhadap Mira, baru bekerja tapi
"Maa! Tunggu!!" teriak Mas Dimas. Ia berjalan cepat untuk menghentikan langkah kaki mamanya yang sudah berdiri tepat di hadapanku."Ma, ini Dimas yang minta, ngga ada hubungannya sama Mbak Sania!""Kamu yang minta tapi untuk kepentingan mereka! Apa bedanya?" pekik Bu Maria lantang. Mata yang dihiasi dengan eye shadow natural itu menatap sang putra tak berkedip.Wajah itu lantas kembali menoleh ke arahku yang sedang menatap mereka dengan ragu-ragu."Ayolah, Ma. Kesampingkan dulu rasa benci Mama sama mereka. Ini bukan saatnya memanfaatkan keadaan untuk membuat Mbak Sania menuruti apa yang Mama mau! Ini soal rasa kemanusiaan, dimana rasa kemanusiaan Mama? Dia anak yang Mama lahirkan, sedang berjuang antara hidup dan mati, sementara Mama tahu istrinya tidak bisa berbuat apapun, apa Mama tega membiarkan Mbak Sania pontang-panting tak karuan?" cecar Mas Dimas tak peduli lalu lalang pengunjung di depan ruangan tempat Mas Risky dirawat."Jangan sok mengajari mama kamu!" ujar Bu Maria dengan
Puas menemani Caca hingga tertidur, aku terduduk lemas di ruang tengah. Menatap nanar layar televisi yang menyala. Bahkan mataku tak paham acara apa yang sejak tadi bermain dalam layar datar yang berada di atas meja kecil itu."Bu," sapa Mira. Ia duduk di sebelahku tanpa permisi.Mataku meliriknya sekilas. Lalu aku mengubah posisi dudukku menjadi sedikit lebih tegak. Setelahnya mataku mengerjap, mengumpulkan kesadaran yang sejak tadi tersita oleh beban pikiran yang sungguh berat."Ada yang bisa Mira bantu lagi?" tanyanya lembut. Tatapan matanya yang dalam membuatku merasa salah tingkah telah membuatnya terperangkap dalam rumah ini bersama Caca."Maafkan saya harus memintamu menjaga Caca di sini. Ibu ngga tahu harus minta tolong ke siapa lagi." Aku membalas tatapannya dengan nanar. Mata yang semula sudah tak bisa fokus, kini ditambah dengan wajah Mira yang tampak iba melihatku membuat hawa panas perlahan menjalari sekujur tubuhku.Badan yang sejak kemarin kupaksa kuat, kini mendadak le
Akhirnya Ku Menemukanmu"Terima kasih Pak Tio," ucapku pada Pak Tio karena diam-diam telah meminta Pak Tio mengurus alih oper sewa kafe tempat usaha kami. "Sama-sama, Bu. Ibu jangan khawatir, saya akan bantu prosesnya sampai benar-benar selesai.""Terima kasih, Pak. Terima kasih telah bersedia membantu saya yang bodoh ini.""Tidak, Bu. Pak Risky itu sudah seperti saudara bagi saya. Jadi jangan ragu atau sungkan untuk meminta bantuan."Aku tersenyum samar mendengar apa yang diucapkan Pak Tio. Satu lagi orang baik yang bersedia membantuku. Akhirnya satu masalah selesai meskipun belum seratus persen. Minimal untuk sementara biaya rumah sakit bisa tercover dengan baik.Perlu banyak pertimbangan untuk mengambil langkah ini, mengingat ini adalah cita-cita Mas Risky ke depannya. Tapi apalah daya jika memang diri ini tak sanggup membayar semuanya. Lebih baik berusaha dengan mengorbankan apa yang ada dari pada hanya duduk berpangku tangan."Mama mau ke rumah sakit lagi?" tanya Caca saat aku t
"Sesuai permintaan pasien, Kak." Suster itu menjawab setelah mengentikan laju brankar yang didorongnya.Aku yang sudah ketar-ketir dengan pertanyaan itu merasa lega seketika. Tak perlu susah aku menjelaskan apa yang menjadi landasan dipindahkannya di kamar yang tidak sesuai dengan standar orang tua Mas Risky biasanya."Di kamar VIP atau kelas berapapun, yang penting bersama dengan orang yang dicintai pasti tetap terasa nyaman," ujar Mas Risky setelah melirik Adinda yang saat brankar itu berhenti ia berada di sisinya.Adinda mencebik. Wajahnya melengos menghindari tatapan Mas Risky yang meskipun sayu tetapi ia berusaha menajamkan pandangannya, menatap mantan istrinya."Silahkan dilanjutkan kembali, Sus," ujar Mas Risky setelahnya. Ia kembali terpejam saat brankar itu mulai melaju.Sedangkan aku tak lagi mampu berkata-kata. Berkali-kali kuembuskan napas agar sesak karena keadaan ini tidak membuatku susah bernapas. Terlebih agar mata ini tak lagi mengeluarkan hujan air mata yang makin me
Akhirnya Ku Menemukanmu "Bahagia sekali hidupmu, Mbak," ujar suara perempuan itu lagi yang tak lain adalah Adinda. Lagi-lagi ia tak bisa membuatku sedikit saja merasa tenang. Selalu saja apa yang kulakukan salah dimatanya."Sudahlah, Mbak. Jangan lagi mengusik hidup Mbak Sania. Bukankan kamu juga sedang menjalin hubungan gelap dengan teman Mas Risky?" sela Mas Dimas yakin. Seulas senyum miring terbit dari bibir Mas Dimas saat matanya membingkai wajah perempuan di depannya."Jangan asal kalau bicara!" sungut Adinda cepat. Ia mendorong bahu Mas Dimas yang berdiri tepat di depannya."Ngga asal kok. Aku tahu apa yang mama ngga tahu. Jadi santai saja menanggapi apa yang Mas Risky pilih. Jangan lagi turut merasa kebakaran karena Mas Risky lebih memilih pengasuh putrinya yang dulunya adalah kekasihnya.""Apa yang bisa dibanggakan dari seorang pengasuh macam dia?" ujar Adinda menantang. Matanya melirikku penuh dengan kilatan rasa tak suka."Jika segumpal daging dalam hati manusia itu baik, m
Aku dan Mas Risky sama-sama kebingungan mencari Mama. Kemana perginya beliau yang sama sekali tak paham daerah sini. Rumah Bude Nikmah pun terlihat sepi. "Kemana lagi nyarinya, Mas? Semua ngga ada yang tahu." Aku berujar setelah bertanya pada beberapa tetangga yang kebetulan berada di luar.Mas Risky berusaha terlihat tenang. Ia tak mau gegabah. Terlebih Mama sudah dewasa dan masih normal atau belum pikun. Minimal Mama masih bisa kembali dengan selamat. Hanya saja kami panik karena beliau tak izin lebih dulu."Mama ngga akan hilang. Cuma pergi aja mungkin dan ngga pamit." Mas Risky mencoba menenangkanku."Iya. Tapi Mama kan ngga kenal siapa-siapa di sini. Gimana ngga panik coba?""Kita tunggu ya? Kamu tenang aja." Mas Risky menggandengku berjalan kembali menuju arah rumah. Ia tak mau terlihat kebingungan di jalanan. Sebaiknya kami menunggu saja di rumah.Aku duduk di kursi teras dengan cemas. Baru kali ini Mama keluar tanpa pamit. Bahkan Mas Dimas pun tak tahu kemana mamanya pergi.
Akhirnya Ku Menemukanmu"Kita balik?" tawar Mas Dimas malam ini. Bakda tarawih kami semua duduk bersantai di ruang tamu. Mengeratkan diri satu sama lainnya dengan obrolan yang ringan dan seru.Bu Maria terdiam. Ia memandangku dan Mas Risky bergantian."Kayaknya enak di sini. Sampai lebaran juga boleh. Gimana?" balas Bu Maria."Apa boleh kami menginap di sini sampai lebaran?" tanya Bu Maria. Kini wajah itu menghadap ke wajahku, seakan ia sedang meminta persetujuanku."Boleh dong, Ma. Silahkan saja. Sania malah senang bisa lebaran di kampung ini lagi.""Gimana, Mas?" tanyaku pada Mas Risky. Bagaimana pun aku harus meminta persetujuannya sebelum mengambil keputusan."Kalau Mama minta begitu ya sudah. Kita di sini dulu. Tapi aku minta Bi Siti buat antar Kiaa dulu ke sini. Biar rame.""Biar kujemput, Bang.""Apa Caca boleh ikutan?" sela Caca tak mau ketinggalan."Boleh. Ajak Mbak Mira juga boleh," sambut Mas Dimas malu-malu."Mbak Mira ikutan ya? Biar seru. Nanti bantu aku gendong adik Kia
Akhirnya Ku Menemukanmu "Halo Sayang," ujar Bu Maria ramah.Akan tetapi yang diberi ucapan malah bersembunyi dibalik badan langsing milik Mira. Ia memegang ujung baju Mira dengan eratnya. Seperti sedang merasa terintimidasi.Dadaku mencelos melihat sikap Caca. Begitu takutnya ia melihat wanita yang pernah marah-marah di hadapannya waktu itu. Tapi aku pun tidak bisa menyalahkan. Itu adalah sebuah respon natural dari apa yang pernah ia lihat dan saksikan. Terlebih sebuah kejadian itu tidak pernah ia alami sebelumnya.Aku berinisiatif untuk mendekati tubuh putriku. Bukan tidak mau, hanya saja butuh waktu dan pengertian. Aku memaklumi itu."Sayang, Nenek sudah minta maaf sama Mama. Nenek sudah baik sama Mama dan Papa. Caca jangan takut lagi ya? Nenek sayang kok sama Caca," ujarku sambil menoleh ke arah Bu Maria.Caca masih saja bersembunyi di balik badan Mira. Ia masih dengan posisi yang sama. Menggenggam erat baju Mira dengan kedua tangannya.Badan tambun yang wajahnya sudah terlihat se
Akhirnya Ku Menemukanmu "Maafkan aku, aku telah membuatmu menderita. Aku telah berbuat dosa padamu," lirih Bu Maria sambil terisak.Wanita yang kini mulai membuka hati untukku itu merengkuhku dalam dekapannya. Erat sekali. Dada yang naik turun tak beraturan itu membuatku turut merasakan sesak yang teramat sangat. Betapa dalam dirinya juga sebenarnya merasakan hal yang serupa denganku. Hanya saja terbalut gengsi dan malu untuk mengakui segala kesalahan yang telah diperbuat."Tidak, Ibu tidak berbuat dosa." Aku mengusap punggung lebar itu dengan lembut dan seirama. Sebisa mungkin aku tidak terlalu menyudutkan posisinya.Semakin tua seseorang, hati dan perasaannya makin sensitif. Sedikit saja ucapan atau perilaku yang tidak sesuai dengan keinginannya, pasti akan membuatnya mudah emosi atau marah-marah. Hal ini juga terjadi dengan Bu Maria, mertuaku. Sikap Bu Maria itu sudah fitrahnya sebagai orang tua yang sudah lanjut. Bahkan hal ini sudah dibahas dalam Al Qur'an. Ini yang membuatku b
"Ibu apanya Kiaa?" tanya Mbak Sari, yang sejak tadi diam menyaksikanku memeluk dan sesekali mencium gemas pipi Kiaa yang berada dalam dekapanku.Aku terdiam, lalu mendudukkan Kiaa di pangkuanku setelah memberinya sebuah mainan agar ia tak lagi merengek."Saya ibu sambungnya Kiaa." Aku menjawab sekenanya. Hendak menceritakan semua pun rasanya tak etis."Ibu sambung?" kagetnya. Kedua matanya melebar sambil menatapku tak percaya.Aku tersenyum melihat reaksinya. Wajar dia kaget melihat kedekatanku yang tidak biasanya. Terlebih saat ia bertemu denganku tadi, Bu Maria dalam keadaan marah-marah.Saat aku hendak mengalihkan pembicaraan, kulihat Bi Siti lewat di depan kamar Kiaa sambil membawa nampan berisi makanan."Mbak, nitip sebentar ya," ucapku sambil berdiri. Tanpa menunggu jawaban Mbak Sari, aku mengejar tubuh Bi Siti yang sedang berjalan menuju kamar Bu Maria. Ini adalah saat yang tepat untuk kembali merayu wanita paruh baya itu."Bi, makanannya buat Mama?" tanyaku setelah Bi Siti be
Akhirnya Ku MenemukanmuAku berjingkat mendengarkan suara yang tiba-tiba memekakkan telinga. Tangan yang semula sudah terulur untuk menggendong bayi mungil di hadapanku kembali kutarik. Wajahku yang semula sudah bahagia karena bisa melepas rindu dengan Kiaa, sekarang terdiam, bahkan cenderung tegang.Mas Risky berjalan beberapa langkah mendekati badanku berdiri di dekat pengasuh Kiaa. Aku menyambutnya dengan meraih pergelangan tangannya untuk kugenggam erat karena rasa takut yang kembali mendera."Jangan lagi sentuh cucuku," hardik Bu Maria keras. Dua bola mata itu membulat sempurna. Bahkan wajah yang pucat tak membuat dia menurunkan nada bicaranya.Jari telunjuk yang dihiasi dengan cincin emas itu mengarah sempurna searah dengan dua mataku. Aku tertegun, sebegitu besar bencinya terhadapku. Sungguh, perbuatan Mas Risky kemarin menyisakan dendam dalam sinar mata Bu Maria yang penuh luka."Kami datang untuk menjenguk Mama." Mas Risky mulai bersuara. "Mbak Sari, bawa Kiaa masuk kamar.
Melihat wajah Mas Risky yang cemberut, aku malah tertawa. Lucu saja melihat wajah tampannya dibuat jelek dengan bibir yang maju beberapa senti. Namun saat aku tergelak, tanpa aba-aba Mas Risky berdiri dan mengangkat tubuhku hingga aku memekik kaget."Mas," pekikku. Dengan cepat tanganku mengalung ke lehernya. Mataku membulat sempurna menatap wajahnya yang tepat berada di depanku. Tapi tak urung, aku menyandarkan kepalaku ke bahunya."Salah sendiri. Dibilang Mas lagi rindu malah cekikikan," kesalnya. Tapi tak urung wajah itu akhirnya tersenyum juga.Mas Risky meletakkan bobot tubuhku ke atas ranjang sederhana yang menjadi tempat bersatunya kami setelah akad beberapa waktu lalu. Ranjang yang menjadi saksi bahwa lelaki yang kerap kusebut dalam doaku benar-benar menyentuhku dengan segenap cinta dan kasih yang dia miliki."Habis Mas lucu sih." Aku masih saja tak bisa menahan bibirku untuk tidak tertawa."Kok lucu?" sela Mas Risky. Ia mengunci tubuhku di bawah tubuh gagahnya. Kedua tangann
Akhirnya Ku Menemukanmu 57"Mama sakit, Sayang." Mas Risky berujar setelah meletakkan ponselnya. Ia menatapku dalam tak berkedip."Kita ke sana?" tawarku pelan."Tidak."Aku terkejut. Mataku membulat menatap wajah suamiku yang duduk di sebelahku. Begitu tegasnya ia menolak."Mas, Ibumu sedang sakit, bagaimana mungkin Mas tidak mau datang ke sana?" tanyaku tak percaya."Tidak akan datang sebelum Mama mau menerimamu sebagai menantunya." Mas Risky berujar tanpa menatapku.Aku tertegun mendengar ucapan Mas Risky. Sebegitu kerasnya ia berusaha untuk memaksa Bu Maria untuk menerima kehadiranku."Mas sudah lelah menuruti apa kemauan Mama. Sudahlah, biarkan ini jadi pelajaran buat dia. Biar Mama juga sadar kalau anaknya juga punya kemauan, ngga harus selalu menuruti kemauan Mama saja."Mas Risky kembali meraih sendok yang sebelum menerima telepon ia letakkan. Ia mulai melahap masakanku yang menurutku setelah mendengar kabar ini semua makanan di depanku ini jadi hambar. Padahal sebelumnya aku
"Kamu ngga apa-apa, Dek?" tanya Mas Risky setelah ia terbangun. Gurat kekhawatiran terlihat jelas dari pandangan matanya yang tak lepas menatapku. Telapak tangannya berulang kali memegang dahiku.Hatiku berbunga mendapati perhatian dari lelaki yang telah lama berpisah denganku."Aku ngga apa-apa, Mas. Jangan khawatir." Aku menenangkan. Kuubah posisi tidurku menjadi duduk bersandar di sandaran ranjang."Jangan puasa ya?" pintanya sedikit memaksa."Enggak, Mas. Aku puasa aja. Sayang lebaran kurang beberapa hari lagi. Aku juga sudah bolong banyak." Aku mengelak. "Kamu lagi sakit, Dek.""Enggak. Langsung sembuh pas ketemu Mas di sini," elakku. "Nih lihat sudah sembuh," sambungku sambil kupegang dahiku sendiri.Mas Risky terdiam menatapku sambil mengerjap. Perlahan seulas senyuman terkembang dari bibirnya yang kemerahan. Dimataku ketampanannya meningkat drastis karena lama tak berjumpa. Lebay ya? Biar saja. Aku cinta.Tangan Mas Risky yang kokoh itu meraih jemariku dengan lembut, lalu ia