Akhirnya Ku Menemukanmu"Terima kasih Pak Tio," ucapku pada Pak Tio karena diam-diam telah meminta Pak Tio mengurus alih oper sewa kafe tempat usaha kami. "Sama-sama, Bu. Ibu jangan khawatir, saya akan bantu prosesnya sampai benar-benar selesai.""Terima kasih, Pak. Terima kasih telah bersedia membantu saya yang bodoh ini.""Tidak, Bu. Pak Risky itu sudah seperti saudara bagi saya. Jadi jangan ragu atau sungkan untuk meminta bantuan."Aku tersenyum samar mendengar apa yang diucapkan Pak Tio. Satu lagi orang baik yang bersedia membantuku. Akhirnya satu masalah selesai meskipun belum seratus persen. Minimal untuk sementara biaya rumah sakit bisa tercover dengan baik.Perlu banyak pertimbangan untuk mengambil langkah ini, mengingat ini adalah cita-cita Mas Risky ke depannya. Tapi apalah daya jika memang diri ini tak sanggup membayar semuanya. Lebih baik berusaha dengan mengorbankan apa yang ada dari pada hanya duduk berpangku tangan."Mama mau ke rumah sakit lagi?" tanya Caca saat aku t
"Sesuai permintaan pasien, Kak." Suster itu menjawab setelah mengentikan laju brankar yang didorongnya.Aku yang sudah ketar-ketir dengan pertanyaan itu merasa lega seketika. Tak perlu susah aku menjelaskan apa yang menjadi landasan dipindahkannya di kamar yang tidak sesuai dengan standar orang tua Mas Risky biasanya."Di kamar VIP atau kelas berapapun, yang penting bersama dengan orang yang dicintai pasti tetap terasa nyaman," ujar Mas Risky setelah melirik Adinda yang saat brankar itu berhenti ia berada di sisinya.Adinda mencebik. Wajahnya melengos menghindari tatapan Mas Risky yang meskipun sayu tetapi ia berusaha menajamkan pandangannya, menatap mantan istrinya."Silahkan dilanjutkan kembali, Sus," ujar Mas Risky setelahnya. Ia kembali terpejam saat brankar itu mulai melaju.Sedangkan aku tak lagi mampu berkata-kata. Berkali-kali kuembuskan napas agar sesak karena keadaan ini tidak membuatku susah bernapas. Terlebih agar mata ini tak lagi mengeluarkan hujan air mata yang makin me
Akhirnya Ku Menemukanmu "Bahagia sekali hidupmu, Mbak," ujar suara perempuan itu lagi yang tak lain adalah Adinda. Lagi-lagi ia tak bisa membuatku sedikit saja merasa tenang. Selalu saja apa yang kulakukan salah dimatanya."Sudahlah, Mbak. Jangan lagi mengusik hidup Mbak Sania. Bukankan kamu juga sedang menjalin hubungan gelap dengan teman Mas Risky?" sela Mas Dimas yakin. Seulas senyum miring terbit dari bibir Mas Dimas saat matanya membingkai wajah perempuan di depannya."Jangan asal kalau bicara!" sungut Adinda cepat. Ia mendorong bahu Mas Dimas yang berdiri tepat di depannya."Ngga asal kok. Aku tahu apa yang mama ngga tahu. Jadi santai saja menanggapi apa yang Mas Risky pilih. Jangan lagi turut merasa kebakaran karena Mas Risky lebih memilih pengasuh putrinya yang dulunya adalah kekasihnya.""Apa yang bisa dibanggakan dari seorang pengasuh macam dia?" ujar Adinda menantang. Matanya melirikku penuh dengan kilatan rasa tak suka."Jika segumpal daging dalam hati manusia itu baik, m
"Pak Tio" Nama yang tertera dalam layar panggilan.Aku ragu hendak mengambil ponsel di atas nakas tersebut. Terlebih membahas soal oper kontrak kafe di depan Mas Risky. Apa yang akan kukatakan padanya nanti? Alasan apa yang bisa membuatnya yakin bahwa ini adalah satu-satunya jalan yang bisa ditempuh."Dek, kok ngga dijawab?" tanya Mas Risky saat aku hanya diam tak bergerak. Padahal jarak nakas dan ponsel hanya satu langkah saja."Engga kok, Mas. Ngga penting. Sudah, biarkan saja." Aku mengelak. Biarkan sajalah ponsel itu berbunyi. Biar nanti aku yang menghubungi Pak Tio saat di luar kamar, agar Mas Risky tidak banyak bertanya soal apa yang akan kubahas nanti."Bunyi terus gitu masak ngga penting? Coba dilihat, dari siapa itu panggilannya?" pinta Mas Risky lembut.Nada bicaranya yang lembut makin membuatku tidak tega untuk berbicara di hadapannya. Rasa cemas dan gelisah dalam diriku membuat raut wajahku pucat seketika."Enggak, kok, Mas. Biar saja."Mata Mas Risky memicing menatap waj
Akhirnya Ku Menemukanmu"Mas Risky butuh sesuatu?" tanyaku saat aku berada di ambang pintu kamarnya. Kulihat ia sedang berusaha meraih sesuatu dengan tangannya yang tidak ada jarum infus di atasnya.Mas Risky menatapku sambil mengalihkan tangannya dari atas nakas. Ia kembali mengarahkan tangannya ke tempatnya semula."Mas haus," jawabnya singkat."Kenapa ngga panggil aku?" jawabku sambil berjalan mendekat. Aku lantas menuang air dalam botol ke dalam gelas yang ada di atas nakas.Mas Risky tidak menjawab. Matanya nanar menatap selimut yang membungkus separuh badannya. Ia seperti sedang merenung.Aku menoleh sambil membawa gelas berisi air. Mataku membingkai wajahnya yang tampak berbeda. Apakah Mas Risky mendengar apa yang kubicarakan dengan Mas Dimas tadi? Entahlah. Untuk bertanya aku tak punya nyali."Mas, kok melamun?" tanyaku lembut. Aku menarik kursi agar lebih dekat dengan badan suamiku.Urung memberikannya minum, aku kembali meletakkannya di atas nakas. Sepertinya bukan minuman y
Aku menggeleng cepat. Tidak bisa pulang paksa, harus pulang ketika memang benar-benar sudah sembuh total. Aku tidak mau terlalu banyak mengambil resiko yang bisa membahayakan kesehatan Mas Risky."Coba gerakkan kakinya, bisa gerak ngga?" tanyaku sambil membingkai wajahnya dengan ekor mataku.Mas Risky terdiam. Kaki di dalam selimutnya ia coba untuk digerakkan. Tetapi tidak bisa bergerak secara bebas seperti manusia normal pada umumnya."Susah." Keningnya mengernyit. Embusan napas panjang keluar dari bibirnya yang sudah tidak terlalu pucat.Aku membalasnya dengan senyuman."Makin lama nanti makin banyak biaya yang keluar, Sayang?" ucapnya lagi."Biaya bisa diatur. Yang penting Mas pulih benar. Sudah ya, jangan lagi banyak berdebat. Separuh biaya sudah tercover.""Tercover?" ulangnya lagi. Matanya memicing menatapku penuh tanya."Sudah, jangan khawatir."Setelah perdebatan itu, Mas Risky tak lagi banyak bertanya. Ia lebih fokus pada fisioterapi yang dilakukan agar kondisinya kembali nor
Akhirnya Ku Menemukanmu"Mas tunggu di sini ya?" ucapku berusaha setenang mungkin. Berulang kali kutarik napas teratur agar mampu menutupi keraguan dan kegelisahan dalam diriku."Kemana?" tanyanya. Matanya menatapku tak berkedip."Urus surat ini dulu." Aku berujar sambil menunjuk resep yang diberikan dokter untuk ditebus di apotek.Pandangan Mas Risky tak beralih dari wajahku. Bahkan keningnya mengerut seakan meragukan apa yang hendak kulakukan."Sebentar ya?" ucapku pelan. Tanpa basa-basi lagi, aku segera berjalan keluar kamar untuk menghindari pertanyaan Mas Risky lainnya. Beberapa barang sudah kumasukkan ke dalam tas dan siap untuk dibawa pulang. Hanya saja, aku harus mencari sisa biaya untuk bisa membawa Mas Risky keluar dari rumah sakit ini."Saya bisa minta tolong dicekkan biaya keseluruhan?" tanyaku pada petugas administrasi rumah sakit. Lelaki berpakaian putih itu kembali mengarahkan pandangannya ke layar yang sedang menyala. Jari-jarinya dengan lancar menari di atas keyboar
"Mas, ini hotel kan?" tanyaku dengan alis yang bertaut. Perlahan rasa cemas menyelimuti hatiku yang sudah tak karuan ini."Iya. Saya ada janji dengan klien sebentar. Mbak Sania bisa tunggu saya di sini, di kamar hotel ini, saya menemui kolega di restoran sebentar." Mas Adam berujar dengan meyakinkan."Menunggu di kamar?" tanyaku dengan cepat.Jika harus menunggu, bagaimana dengan Mas Risky yang masih menungguku di rumah sakit? Ada banyak pertanyaan yang mulai berjejalan memenuhi ruang dalam kepalaku."Iya. Saya di restoran. Nanti kalau selesai saya ambilkan uangnya di tas saya. Ada di kamar.""Mengapa ngga Mas ambilkan buat saya dulu saja? Biar saya bisa segera membawa Mas Risky pulang?""Saya sudah ditunggu kolega, Mbak. Ada bisnis yang sedang saya urus. Mbak tunggu sebentar saja."Tak lagi meladeni pertanyaanku, Mas Adam menyerahkan kunci mobil kepada seorang petugas yang sejak mobil berhenti beliau sigap berdiri di samping badan mobil.Aku pun dengan sangat terpaksa mengikuti apa y
Aku dan Mas Risky sama-sama kebingungan mencari Mama. Kemana perginya beliau yang sama sekali tak paham daerah sini. Rumah Bude Nikmah pun terlihat sepi. "Kemana lagi nyarinya, Mas? Semua ngga ada yang tahu." Aku berujar setelah bertanya pada beberapa tetangga yang kebetulan berada di luar.Mas Risky berusaha terlihat tenang. Ia tak mau gegabah. Terlebih Mama sudah dewasa dan masih normal atau belum pikun. Minimal Mama masih bisa kembali dengan selamat. Hanya saja kami panik karena beliau tak izin lebih dulu."Mama ngga akan hilang. Cuma pergi aja mungkin dan ngga pamit." Mas Risky mencoba menenangkanku."Iya. Tapi Mama kan ngga kenal siapa-siapa di sini. Gimana ngga panik coba?""Kita tunggu ya? Kamu tenang aja." Mas Risky menggandengku berjalan kembali menuju arah rumah. Ia tak mau terlihat kebingungan di jalanan. Sebaiknya kami menunggu saja di rumah.Aku duduk di kursi teras dengan cemas. Baru kali ini Mama keluar tanpa pamit. Bahkan Mas Dimas pun tak tahu kemana mamanya pergi.
Akhirnya Ku Menemukanmu"Kita balik?" tawar Mas Dimas malam ini. Bakda tarawih kami semua duduk bersantai di ruang tamu. Mengeratkan diri satu sama lainnya dengan obrolan yang ringan dan seru.Bu Maria terdiam. Ia memandangku dan Mas Risky bergantian."Kayaknya enak di sini. Sampai lebaran juga boleh. Gimana?" balas Bu Maria."Apa boleh kami menginap di sini sampai lebaran?" tanya Bu Maria. Kini wajah itu menghadap ke wajahku, seakan ia sedang meminta persetujuanku."Boleh dong, Ma. Silahkan saja. Sania malah senang bisa lebaran di kampung ini lagi.""Gimana, Mas?" tanyaku pada Mas Risky. Bagaimana pun aku harus meminta persetujuannya sebelum mengambil keputusan."Kalau Mama minta begitu ya sudah. Kita di sini dulu. Tapi aku minta Bi Siti buat antar Kiaa dulu ke sini. Biar rame.""Biar kujemput, Bang.""Apa Caca boleh ikutan?" sela Caca tak mau ketinggalan."Boleh. Ajak Mbak Mira juga boleh," sambut Mas Dimas malu-malu."Mbak Mira ikutan ya? Biar seru. Nanti bantu aku gendong adik Kia
Akhirnya Ku Menemukanmu "Halo Sayang," ujar Bu Maria ramah.Akan tetapi yang diberi ucapan malah bersembunyi dibalik badan langsing milik Mira. Ia memegang ujung baju Mira dengan eratnya. Seperti sedang merasa terintimidasi.Dadaku mencelos melihat sikap Caca. Begitu takutnya ia melihat wanita yang pernah marah-marah di hadapannya waktu itu. Tapi aku pun tidak bisa menyalahkan. Itu adalah sebuah respon natural dari apa yang pernah ia lihat dan saksikan. Terlebih sebuah kejadian itu tidak pernah ia alami sebelumnya.Aku berinisiatif untuk mendekati tubuh putriku. Bukan tidak mau, hanya saja butuh waktu dan pengertian. Aku memaklumi itu."Sayang, Nenek sudah minta maaf sama Mama. Nenek sudah baik sama Mama dan Papa. Caca jangan takut lagi ya? Nenek sayang kok sama Caca," ujarku sambil menoleh ke arah Bu Maria.Caca masih saja bersembunyi di balik badan Mira. Ia masih dengan posisi yang sama. Menggenggam erat baju Mira dengan kedua tangannya.Badan tambun yang wajahnya sudah terlihat se
Akhirnya Ku Menemukanmu "Maafkan aku, aku telah membuatmu menderita. Aku telah berbuat dosa padamu," lirih Bu Maria sambil terisak.Wanita yang kini mulai membuka hati untukku itu merengkuhku dalam dekapannya. Erat sekali. Dada yang naik turun tak beraturan itu membuatku turut merasakan sesak yang teramat sangat. Betapa dalam dirinya juga sebenarnya merasakan hal yang serupa denganku. Hanya saja terbalut gengsi dan malu untuk mengakui segala kesalahan yang telah diperbuat."Tidak, Ibu tidak berbuat dosa." Aku mengusap punggung lebar itu dengan lembut dan seirama. Sebisa mungkin aku tidak terlalu menyudutkan posisinya.Semakin tua seseorang, hati dan perasaannya makin sensitif. Sedikit saja ucapan atau perilaku yang tidak sesuai dengan keinginannya, pasti akan membuatnya mudah emosi atau marah-marah. Hal ini juga terjadi dengan Bu Maria, mertuaku. Sikap Bu Maria itu sudah fitrahnya sebagai orang tua yang sudah lanjut. Bahkan hal ini sudah dibahas dalam Al Qur'an. Ini yang membuatku b
"Ibu apanya Kiaa?" tanya Mbak Sari, yang sejak tadi diam menyaksikanku memeluk dan sesekali mencium gemas pipi Kiaa yang berada dalam dekapanku.Aku terdiam, lalu mendudukkan Kiaa di pangkuanku setelah memberinya sebuah mainan agar ia tak lagi merengek."Saya ibu sambungnya Kiaa." Aku menjawab sekenanya. Hendak menceritakan semua pun rasanya tak etis."Ibu sambung?" kagetnya. Kedua matanya melebar sambil menatapku tak percaya.Aku tersenyum melihat reaksinya. Wajar dia kaget melihat kedekatanku yang tidak biasanya. Terlebih saat ia bertemu denganku tadi, Bu Maria dalam keadaan marah-marah.Saat aku hendak mengalihkan pembicaraan, kulihat Bi Siti lewat di depan kamar Kiaa sambil membawa nampan berisi makanan."Mbak, nitip sebentar ya," ucapku sambil berdiri. Tanpa menunggu jawaban Mbak Sari, aku mengejar tubuh Bi Siti yang sedang berjalan menuju kamar Bu Maria. Ini adalah saat yang tepat untuk kembali merayu wanita paruh baya itu."Bi, makanannya buat Mama?" tanyaku setelah Bi Siti be
Akhirnya Ku MenemukanmuAku berjingkat mendengarkan suara yang tiba-tiba memekakkan telinga. Tangan yang semula sudah terulur untuk menggendong bayi mungil di hadapanku kembali kutarik. Wajahku yang semula sudah bahagia karena bisa melepas rindu dengan Kiaa, sekarang terdiam, bahkan cenderung tegang.Mas Risky berjalan beberapa langkah mendekati badanku berdiri di dekat pengasuh Kiaa. Aku menyambutnya dengan meraih pergelangan tangannya untuk kugenggam erat karena rasa takut yang kembali mendera."Jangan lagi sentuh cucuku," hardik Bu Maria keras. Dua bola mata itu membulat sempurna. Bahkan wajah yang pucat tak membuat dia menurunkan nada bicaranya.Jari telunjuk yang dihiasi dengan cincin emas itu mengarah sempurna searah dengan dua mataku. Aku tertegun, sebegitu besar bencinya terhadapku. Sungguh, perbuatan Mas Risky kemarin menyisakan dendam dalam sinar mata Bu Maria yang penuh luka."Kami datang untuk menjenguk Mama." Mas Risky mulai bersuara. "Mbak Sari, bawa Kiaa masuk kamar.
Melihat wajah Mas Risky yang cemberut, aku malah tertawa. Lucu saja melihat wajah tampannya dibuat jelek dengan bibir yang maju beberapa senti. Namun saat aku tergelak, tanpa aba-aba Mas Risky berdiri dan mengangkat tubuhku hingga aku memekik kaget."Mas," pekikku. Dengan cepat tanganku mengalung ke lehernya. Mataku membulat sempurna menatap wajahnya yang tepat berada di depanku. Tapi tak urung, aku menyandarkan kepalaku ke bahunya."Salah sendiri. Dibilang Mas lagi rindu malah cekikikan," kesalnya. Tapi tak urung wajah itu akhirnya tersenyum juga.Mas Risky meletakkan bobot tubuhku ke atas ranjang sederhana yang menjadi tempat bersatunya kami setelah akad beberapa waktu lalu. Ranjang yang menjadi saksi bahwa lelaki yang kerap kusebut dalam doaku benar-benar menyentuhku dengan segenap cinta dan kasih yang dia miliki."Habis Mas lucu sih." Aku masih saja tak bisa menahan bibirku untuk tidak tertawa."Kok lucu?" sela Mas Risky. Ia mengunci tubuhku di bawah tubuh gagahnya. Kedua tangann
Akhirnya Ku Menemukanmu 57"Mama sakit, Sayang." Mas Risky berujar setelah meletakkan ponselnya. Ia menatapku dalam tak berkedip."Kita ke sana?" tawarku pelan."Tidak."Aku terkejut. Mataku membulat menatap wajah suamiku yang duduk di sebelahku. Begitu tegasnya ia menolak."Mas, Ibumu sedang sakit, bagaimana mungkin Mas tidak mau datang ke sana?" tanyaku tak percaya."Tidak akan datang sebelum Mama mau menerimamu sebagai menantunya." Mas Risky berujar tanpa menatapku.Aku tertegun mendengar ucapan Mas Risky. Sebegitu kerasnya ia berusaha untuk memaksa Bu Maria untuk menerima kehadiranku."Mas sudah lelah menuruti apa kemauan Mama. Sudahlah, biarkan ini jadi pelajaran buat dia. Biar Mama juga sadar kalau anaknya juga punya kemauan, ngga harus selalu menuruti kemauan Mama saja."Mas Risky kembali meraih sendok yang sebelum menerima telepon ia letakkan. Ia mulai melahap masakanku yang menurutku setelah mendengar kabar ini semua makanan di depanku ini jadi hambar. Padahal sebelumnya aku
"Kamu ngga apa-apa, Dek?" tanya Mas Risky setelah ia terbangun. Gurat kekhawatiran terlihat jelas dari pandangan matanya yang tak lepas menatapku. Telapak tangannya berulang kali memegang dahiku.Hatiku berbunga mendapati perhatian dari lelaki yang telah lama berpisah denganku."Aku ngga apa-apa, Mas. Jangan khawatir." Aku menenangkan. Kuubah posisi tidurku menjadi duduk bersandar di sandaran ranjang."Jangan puasa ya?" pintanya sedikit memaksa."Enggak, Mas. Aku puasa aja. Sayang lebaran kurang beberapa hari lagi. Aku juga sudah bolong banyak." Aku mengelak. "Kamu lagi sakit, Dek.""Enggak. Langsung sembuh pas ketemu Mas di sini," elakku. "Nih lihat sudah sembuh," sambungku sambil kupegang dahiku sendiri.Mas Risky terdiam menatapku sambil mengerjap. Perlahan seulas senyuman terkembang dari bibirnya yang kemerahan. Dimataku ketampanannya meningkat drastis karena lama tak berjumpa. Lebay ya? Biar saja. Aku cinta.Tangan Mas Risky yang kokoh itu meraih jemariku dengan lembut, lalu ia