"Bu," panggil Mira yang seketika membuatku menoleh. Ia tampak berdiri dengan tatapan aneh terhadapku."Aku boleh tanya?" "Apa?""Kok Pak Risky urus perceraian? Sama Ibu mau cerai?" Kening Mira terlihat mengerut. Tatapan penuh tanya itu ia lontarkan padaku.Dadaku seperti tertohok mendengar pertanyaan Mira. Sebenarnya bukan salahnya jika timbul pertanyaan itu dalam kepalanya karena Mas Risky mengatakan itu secara terang-terangan. Tapi, sebagai orang lain, aku khawatir akan timbul pendapat lain yang bisa saja membuatnya berburuk sangka terhadap apa yang tidak diketahuinya."Bukan maksud saya mau tahu urusan orang lain. Tapi ya, aneh aja. Bapak dan Ibu baik-baik saja. Tapi kok urus surat cerai?"Aku tersenyum mendengar pertanyaan Mira, meskipun dalam hati ada yang harus kutahan."Itu pernikahan Bapak dengan istrinya dahulu yang belum selesai. Baru diselesaikan sekarang saat ada saya." Aku tersenyum mengiringi ucapanku pada Mira.Gadis di depanku itu tampak manggut-manggut. Entah apalagi
"Mobil siapa, Mas?" tanyaku saat Mas Risky kembali tetapi tidak dengan motor maticnya. Ia datang menaiki mobil berwarna hitam yang entah milik siapa. "Pinjem," jawabnya asal. Tangannya memainkan kunci mobil yang kemudian diletakkan di dalam saku celananya bagian belakang. Keningku mengerut mendengar jawaban asalnya yang tak masuk akal. "Pinjem? Ke mall aja kok pakai mobil? Pakai motor kan bisa, Mas! Jangan dibiasakan pinjem barang kalau kita ngga butuh banget." Aku mengomel meskipun tubuh tegap milik suamiku telah berlalu ke dalam ruang tamu. Dengan cepat kulangkahkan kakiku menuju ruang tamu, lalu duduk di sisinya. "Mas, diomelin kok diem aja!" "Tenang dong, Sayang. Kita mau jalan-jalan ke mana? Kan Mas belum bilang," jawabnya santai. Ia melingkarkan tangannya ke bahuku seraya menatapku dalam. "Kemana emang?" tanyaku cepat. "Sabar dong." Mas Risky mengeratkan pelukannya. Ia menarik badanku ke dalam rengkuhannya. Sejenak aku lupa bahwa kami baru saja bersama dan sedang dalam
"Iya. Surprisenya ada di sana," jawab Mas Risky sambil menahan senyuman.Surprise di rumah Bude? Keningku mengerut. "Sejak kapan Mas bisa kenal dekat dengan Bude dan membahas soal surprise segala?""Adalah. Bude kan sudah kayak orang tua kamu sendiri, jadi gampang aja buat mas bikin acara di sana.""Acara? Acara apaan, Mas?"Sebelum menjawabnya, mobil Mas Risky sudah masuk ke gang menuju rumah Bude Nikmah. Mataku pun mengitari sekitar. Ada beberapa motor yang sudah terparkir di halaman depan rumah Bude."Kok udah rame ya, Mas?" Aku mengalihkan pandangan dari jendela menuju wajah tampan di sebelahku."Iya, kok rame ya? Ada apa ini?" Bukannya menjawab, Mas Risky malah turut bertanya. Entah pertanyaan itu untuk menggodaku atau bagaimana."Serius dong Mas!" kesalku karena Mas Risky malah cengengesan ."Ya, sabar dong Sayang . Namanya juga surprise, kalau aku kasih tau siapa mereka nanti jatuhnya ngga surprise dong?"Aku mencebik. Berada dalam rasa penasaran itu sungguh tidak mengenakkan
Akhirnya Ku Menemukanmu"Kok ke arah sini lagi, Mas?" tanyaku saat perjalanan pulang tapi mobil kami malah menuju arah makam."Iya. Mas mau pamitan sama ayah Caca sekalian minta izin buat bawa anaknya tinggal menetap di Surabaya.""Menetap?" tanyaku cepat."Iya menetap. Kenapa memangnya?""Enggak. Nggak apa-apa. Aku sungguh ngga pernah kepikiran bisa sampai seperti ini. Menjadi istrimu, tinggal diluar kota, bikin kafe berdua. Kupikir, saat Mas Yudha wafat kemarin, hidup kami akan menderita tanpa laki-laki yang bisa melindungi kami dan menjaga kami. Bayanganku, aku akan bekerja keras banting tulang buat besarin Caca sendirian. Ditambah saat ibunya Mas Yudha meninggal, hatiku makin hancur. Aku merasa tidak punya siapa-siapa lagi. Semua orang yang kusayangi Allah minta kembali."Mataku penuh dengan kabut yang membuat pandanganku tertutup. Hanya dengan satu kedipan saja, kabut itu terjatuh menjadi buliran air yang membasahi pipiku. Mobil Mas Risky menepi. Ia menghentikan laju kendaraann
"Kamu?" ucap Mas Risky kaget. "Mas Risky?" balas seorang perempuan yang berada di depan pintu. Secepat mungkin ia mengubah rasa terkejutnya dengan seulas senyuman yang dipaksakan. Namun tidak denganku. Perlahan aliran darahku terasa mengalir lebih cepat. Dentuman jantungku terasa bertalu-talu membuat keringat dingin perlahan mengalir ke seluruh tubuh. Aku bukan wanita perebut suaminya. Aku hanya wanita yang dipaksa oleh keadaan menjadi miliknya, sekalipun sebenarnya aku juga ingin. Tapi sungguh, dalam hati aku tidak pernah punya niatan untuk mengambil miliknya. Hatiku berteriak, membela diri. "Apa kabar?" sambung perempuan itu lagi sambil berjalan mendekat. Tangan Mas Risky terulur di depan perempuan tersebut. Ia juga berusaha mengendalikan rasa terkejutnya. Sementara aku masih diam memperhatikan seraya mengendalikan dentuman jantung yang kian tak tentu arah. "Alhamdulillah baik. Waah pasangan yang serasi," ucap perempuan itu yang adalah Adinda. Wajahnya membingkai wajahku dan Ma
Akhirnya Ku MenemukanmuUrung masuk ke dalam ruangan, aku mematung di depan pintu. Bukan ingin menguping, hanya saja aku tak enak mengganggu obrolan mereka yang sepertinya sedang serius."Lihatlah penampilanmu, jauh berbeda dari ketika kamu kerja sama orang tuamu.""Itulah perbedaannya. Dan kamu ngga akan pernah bisa memahami apa yang kualami karena kamu ngga ngerasain sendiri.""Jangan sampailah. Hidup sudah enak begini, ngapain cari susah.""Bukan cari susah. Hanya saja, ketika kebahagiaan yang dilihat banyak orang hanya sebuah kebahagiaan semu, untuk apa dipertahankan? Bahagia yang sebenarnya adalah ketika kita bisa bersama dengan orang yang benar-benar kita harapkan kehadirannya. Aku tidak membahas soal rumah tanggaku dengan Alisya. Jelas aku dan Alisya bahagia saat itu. Hanya saja kepergiannya yang menyisakan luka, dan keberadaan Sania di tengah pernikahanku yang kedua sungguh membuatku merasa frustasi.Cinta lama yang mati-matian kupendam, tiba-tiba saja muncul dan memporak-por
Hari-hari kembali berlalu. Usaha yang kami geluti ini masih berjalan dengan baik. Dan kini pelanggan mulai stabil. Sayangnya, untuk balik modal kami masih harus bersabar. Sedikit keuntungan yang didapat masih harus dibagi dengan pengeluaran untuk memperbaiki pelayanan kafe."Ramai banget ya, Mir?" kataku pada Mira. Kami baru saja selesai membuatkan pesanan pelanggan. "Iya, Bu. Alhamdulillah setelah sepi pagi tadi.""Ngga apa-apa, Mir. Sedikit banyak disyukuri saja." Mas Risky menyahuti. Ia baru saja keluar dari dalam kamar mandi dan membawa tas kecil yang biasa ia pakai."Mau kemana, Mas?" tanyaku menelisik. Wajahnya segar, masih tersisa sedikit air di wajahnya. "Mau ke tempat Adam sebentar. Ada yang harus diurus." Aku menatapnya berharap ia mau bercerita soal apa yang hendak diurus itu.Namun setelah beberapa saat, ia tak juga mengungkapkan hal apa yang sedang ia kerjakan."Mas berangkat ya?" pamitnya. Ia berjalan mendekatiku dan mencium pucuk kerudung yang kupakai."Hati-hati ya?
Akhirnya Ku Menemukanmu 44Mataku memandang ruangan bercat putih itu dengan nanar. Ada denyut yang sulit kukendalikan dalam tubuh, yang membuat tenggorokanku serasa tidak bisa lagi meraup udara untuk bernapas. Mataku tak bisa lepas dari satu-satunya penghuni ruangan yang tampak tertidur pulas.Separuh jiwaku telah terbaring di kamar itu dengan kepala yang terbalut perban. Beberapa alat medis menempel di badannya yang lemah dan tak sadarkan diri. Satu-satunya bunyi dalam ruangan itu, yaitu alat yang menempel di badannya membuat dadaku bergetar juga rasa yang bercampur dalam perut. Aku seperti sedang dikembalikan ke masa lalu oleh Allah. Beberapa bulan lalu, disituasi yang sama tapi di tempat yang berbeda dan orang yang berbeda. Aku seperti berada diantara hidup dan mati melihat kekasih halalku terbaring tak berdaya. Lagi, kini aku ada di posisi yang sama. Sayangnya dulu kondisi Mas Yudha tak tertolong dan aku tak mau hal yang sama terulang pada Mas Risky.Cintaku sedang berjuang di d
Aku dan Mas Risky sama-sama kebingungan mencari Mama. Kemana perginya beliau yang sama sekali tak paham daerah sini. Rumah Bude Nikmah pun terlihat sepi. "Kemana lagi nyarinya, Mas? Semua ngga ada yang tahu." Aku berujar setelah bertanya pada beberapa tetangga yang kebetulan berada di luar.Mas Risky berusaha terlihat tenang. Ia tak mau gegabah. Terlebih Mama sudah dewasa dan masih normal atau belum pikun. Minimal Mama masih bisa kembali dengan selamat. Hanya saja kami panik karena beliau tak izin lebih dulu."Mama ngga akan hilang. Cuma pergi aja mungkin dan ngga pamit." Mas Risky mencoba menenangkanku."Iya. Tapi Mama kan ngga kenal siapa-siapa di sini. Gimana ngga panik coba?""Kita tunggu ya? Kamu tenang aja." Mas Risky menggandengku berjalan kembali menuju arah rumah. Ia tak mau terlihat kebingungan di jalanan. Sebaiknya kami menunggu saja di rumah.Aku duduk di kursi teras dengan cemas. Baru kali ini Mama keluar tanpa pamit. Bahkan Mas Dimas pun tak tahu kemana mamanya pergi.
Akhirnya Ku Menemukanmu"Kita balik?" tawar Mas Dimas malam ini. Bakda tarawih kami semua duduk bersantai di ruang tamu. Mengeratkan diri satu sama lainnya dengan obrolan yang ringan dan seru.Bu Maria terdiam. Ia memandangku dan Mas Risky bergantian."Kayaknya enak di sini. Sampai lebaran juga boleh. Gimana?" balas Bu Maria."Apa boleh kami menginap di sini sampai lebaran?" tanya Bu Maria. Kini wajah itu menghadap ke wajahku, seakan ia sedang meminta persetujuanku."Boleh dong, Ma. Silahkan saja. Sania malah senang bisa lebaran di kampung ini lagi.""Gimana, Mas?" tanyaku pada Mas Risky. Bagaimana pun aku harus meminta persetujuannya sebelum mengambil keputusan."Kalau Mama minta begitu ya sudah. Kita di sini dulu. Tapi aku minta Bi Siti buat antar Kiaa dulu ke sini. Biar rame.""Biar kujemput, Bang.""Apa Caca boleh ikutan?" sela Caca tak mau ketinggalan."Boleh. Ajak Mbak Mira juga boleh," sambut Mas Dimas malu-malu."Mbak Mira ikutan ya? Biar seru. Nanti bantu aku gendong adik Kia
Akhirnya Ku Menemukanmu "Halo Sayang," ujar Bu Maria ramah.Akan tetapi yang diberi ucapan malah bersembunyi dibalik badan langsing milik Mira. Ia memegang ujung baju Mira dengan eratnya. Seperti sedang merasa terintimidasi.Dadaku mencelos melihat sikap Caca. Begitu takutnya ia melihat wanita yang pernah marah-marah di hadapannya waktu itu. Tapi aku pun tidak bisa menyalahkan. Itu adalah sebuah respon natural dari apa yang pernah ia lihat dan saksikan. Terlebih sebuah kejadian itu tidak pernah ia alami sebelumnya.Aku berinisiatif untuk mendekati tubuh putriku. Bukan tidak mau, hanya saja butuh waktu dan pengertian. Aku memaklumi itu."Sayang, Nenek sudah minta maaf sama Mama. Nenek sudah baik sama Mama dan Papa. Caca jangan takut lagi ya? Nenek sayang kok sama Caca," ujarku sambil menoleh ke arah Bu Maria.Caca masih saja bersembunyi di balik badan Mira. Ia masih dengan posisi yang sama. Menggenggam erat baju Mira dengan kedua tangannya.Badan tambun yang wajahnya sudah terlihat se
Akhirnya Ku Menemukanmu "Maafkan aku, aku telah membuatmu menderita. Aku telah berbuat dosa padamu," lirih Bu Maria sambil terisak.Wanita yang kini mulai membuka hati untukku itu merengkuhku dalam dekapannya. Erat sekali. Dada yang naik turun tak beraturan itu membuatku turut merasakan sesak yang teramat sangat. Betapa dalam dirinya juga sebenarnya merasakan hal yang serupa denganku. Hanya saja terbalut gengsi dan malu untuk mengakui segala kesalahan yang telah diperbuat."Tidak, Ibu tidak berbuat dosa." Aku mengusap punggung lebar itu dengan lembut dan seirama. Sebisa mungkin aku tidak terlalu menyudutkan posisinya.Semakin tua seseorang, hati dan perasaannya makin sensitif. Sedikit saja ucapan atau perilaku yang tidak sesuai dengan keinginannya, pasti akan membuatnya mudah emosi atau marah-marah. Hal ini juga terjadi dengan Bu Maria, mertuaku. Sikap Bu Maria itu sudah fitrahnya sebagai orang tua yang sudah lanjut. Bahkan hal ini sudah dibahas dalam Al Qur'an. Ini yang membuatku b
"Ibu apanya Kiaa?" tanya Mbak Sari, yang sejak tadi diam menyaksikanku memeluk dan sesekali mencium gemas pipi Kiaa yang berada dalam dekapanku.Aku terdiam, lalu mendudukkan Kiaa di pangkuanku setelah memberinya sebuah mainan agar ia tak lagi merengek."Saya ibu sambungnya Kiaa." Aku menjawab sekenanya. Hendak menceritakan semua pun rasanya tak etis."Ibu sambung?" kagetnya. Kedua matanya melebar sambil menatapku tak percaya.Aku tersenyum melihat reaksinya. Wajar dia kaget melihat kedekatanku yang tidak biasanya. Terlebih saat ia bertemu denganku tadi, Bu Maria dalam keadaan marah-marah.Saat aku hendak mengalihkan pembicaraan, kulihat Bi Siti lewat di depan kamar Kiaa sambil membawa nampan berisi makanan."Mbak, nitip sebentar ya," ucapku sambil berdiri. Tanpa menunggu jawaban Mbak Sari, aku mengejar tubuh Bi Siti yang sedang berjalan menuju kamar Bu Maria. Ini adalah saat yang tepat untuk kembali merayu wanita paruh baya itu."Bi, makanannya buat Mama?" tanyaku setelah Bi Siti be
Akhirnya Ku MenemukanmuAku berjingkat mendengarkan suara yang tiba-tiba memekakkan telinga. Tangan yang semula sudah terulur untuk menggendong bayi mungil di hadapanku kembali kutarik. Wajahku yang semula sudah bahagia karena bisa melepas rindu dengan Kiaa, sekarang terdiam, bahkan cenderung tegang.Mas Risky berjalan beberapa langkah mendekati badanku berdiri di dekat pengasuh Kiaa. Aku menyambutnya dengan meraih pergelangan tangannya untuk kugenggam erat karena rasa takut yang kembali mendera."Jangan lagi sentuh cucuku," hardik Bu Maria keras. Dua bola mata itu membulat sempurna. Bahkan wajah yang pucat tak membuat dia menurunkan nada bicaranya.Jari telunjuk yang dihiasi dengan cincin emas itu mengarah sempurna searah dengan dua mataku. Aku tertegun, sebegitu besar bencinya terhadapku. Sungguh, perbuatan Mas Risky kemarin menyisakan dendam dalam sinar mata Bu Maria yang penuh luka."Kami datang untuk menjenguk Mama." Mas Risky mulai bersuara. "Mbak Sari, bawa Kiaa masuk kamar.
Melihat wajah Mas Risky yang cemberut, aku malah tertawa. Lucu saja melihat wajah tampannya dibuat jelek dengan bibir yang maju beberapa senti. Namun saat aku tergelak, tanpa aba-aba Mas Risky berdiri dan mengangkat tubuhku hingga aku memekik kaget."Mas," pekikku. Dengan cepat tanganku mengalung ke lehernya. Mataku membulat sempurna menatap wajahnya yang tepat berada di depanku. Tapi tak urung, aku menyandarkan kepalaku ke bahunya."Salah sendiri. Dibilang Mas lagi rindu malah cekikikan," kesalnya. Tapi tak urung wajah itu akhirnya tersenyum juga.Mas Risky meletakkan bobot tubuhku ke atas ranjang sederhana yang menjadi tempat bersatunya kami setelah akad beberapa waktu lalu. Ranjang yang menjadi saksi bahwa lelaki yang kerap kusebut dalam doaku benar-benar menyentuhku dengan segenap cinta dan kasih yang dia miliki."Habis Mas lucu sih." Aku masih saja tak bisa menahan bibirku untuk tidak tertawa."Kok lucu?" sela Mas Risky. Ia mengunci tubuhku di bawah tubuh gagahnya. Kedua tangann
Akhirnya Ku Menemukanmu 57"Mama sakit, Sayang." Mas Risky berujar setelah meletakkan ponselnya. Ia menatapku dalam tak berkedip."Kita ke sana?" tawarku pelan."Tidak."Aku terkejut. Mataku membulat menatap wajah suamiku yang duduk di sebelahku. Begitu tegasnya ia menolak."Mas, Ibumu sedang sakit, bagaimana mungkin Mas tidak mau datang ke sana?" tanyaku tak percaya."Tidak akan datang sebelum Mama mau menerimamu sebagai menantunya." Mas Risky berujar tanpa menatapku.Aku tertegun mendengar ucapan Mas Risky. Sebegitu kerasnya ia berusaha untuk memaksa Bu Maria untuk menerima kehadiranku."Mas sudah lelah menuruti apa kemauan Mama. Sudahlah, biarkan ini jadi pelajaran buat dia. Biar Mama juga sadar kalau anaknya juga punya kemauan, ngga harus selalu menuruti kemauan Mama saja."Mas Risky kembali meraih sendok yang sebelum menerima telepon ia letakkan. Ia mulai melahap masakanku yang menurutku setelah mendengar kabar ini semua makanan di depanku ini jadi hambar. Padahal sebelumnya aku
"Kamu ngga apa-apa, Dek?" tanya Mas Risky setelah ia terbangun. Gurat kekhawatiran terlihat jelas dari pandangan matanya yang tak lepas menatapku. Telapak tangannya berulang kali memegang dahiku.Hatiku berbunga mendapati perhatian dari lelaki yang telah lama berpisah denganku."Aku ngga apa-apa, Mas. Jangan khawatir." Aku menenangkan. Kuubah posisi tidurku menjadi duduk bersandar di sandaran ranjang."Jangan puasa ya?" pintanya sedikit memaksa."Enggak, Mas. Aku puasa aja. Sayang lebaran kurang beberapa hari lagi. Aku juga sudah bolong banyak." Aku mengelak. "Kamu lagi sakit, Dek.""Enggak. Langsung sembuh pas ketemu Mas di sini," elakku. "Nih lihat sudah sembuh," sambungku sambil kupegang dahiku sendiri.Mas Risky terdiam menatapku sambil mengerjap. Perlahan seulas senyuman terkembang dari bibirnya yang kemerahan. Dimataku ketampanannya meningkat drastis karena lama tak berjumpa. Lebay ya? Biar saja. Aku cinta.Tangan Mas Risky yang kokoh itu meraih jemariku dengan lembut, lalu ia