Akhirnya Ku Menemukanmu"Capek ya?" tanya Mas Risky saat kesadaranku telah kembali sempurna.Bibirku tersungging sambil memandang wajah di depanku yang tampak panik karena aku ketiduran. Wajah tampan di depanku ini, membuat rasa letih lenyap seketika. Terlebih saat melihat rasa khawatir terlihat jelas dari tatapan matanya yang penuh rasa cemas."Tidur aja sebentar," ucapnya sambil terus mencari sesuatu di bola mataku."Kok tidur sih? Yang bantu Mas jualan siapa?" jawabku sambil bangkit dari tempat duduk. Aku meraih lengannya untuk menopang tubuhku merubah posisi "Capek, ya tidur," jawabnya lembut. "Aku mau bersih-bersih badan sebentar, lalu bantu jualan di depan. Udah seger lagi habis duduk di situ." Sebuah kerlingan nakal kuhadirkan untuknya agar tak lagi cemas dengan kondisiku. Perjuangan telah dimulai. Ini adalah kali pertama aku bekerja sedemikian keras selama hidup. Ditambah dengan sikap ibu Mas Risky yang masih mengganjal di dalam dada.Namun, aku berhasil menepis rasa-rasa
"Siapa, Dek? Itu kayak mobil mama," ucap Mas Risky. Pandangannya tak lepas dari kendaraan roda empat yang perlahan berhenti di depan rumah kami."Mama? Bagaimana ini, Mas?" tanyaku panik. Kejadian kemarin masih membekas di ingatan, belum bisa kulupakan. Bagaimana jika beliau datang lagi untuk memporak-porandakan rumah ini. Aku mundur dari tempatku semula. Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori kulitku yang tak lagi halus. Tanganku meremas ujung kaos lengan panjang yang kukenakan untuk menahan debar jantung yang makin tak bisa kukontrol. "Ngga apa-apa. Kamu jangan takut, kita hadapi sama-sama."Mas Risky mendekatiku. Lengan kekarnya merangkul bahuku yang tak lagi tenang. Jika bisa, ingin rasanya aku lari dari tempat ini sekarang juga.Sayangnya, setakut apapun, kenyataan tetap harus dihadapi. Usapan lembut jemarinya di bahuku sedikit bisa membuatku merasa terlindungi. Tubuh tegap ini, lengan kekar ini yang kini akan setia mendampingiku menghadapi badai apapun dalam kehidupan ini
Akhirnya Ku MenemukanmuAku menatap kepergian dua orang dewasa itu dengan gejolak rasa bersalah yang memenuhi rongga dada. Mataku memanas, perlahan kabut mulai berlomba-lomba memenuhi ruang di kelopak mataku.Helaan napas panjang dari bibirku membuat Mas Risky menoleh ke arahku seketika. "Kenapa, Dek?" tanya Mas Risky. Ia yang semula berdiri di sebelahku, kini menggamit lenganku untuk membawaku duduk di ruang tamu."Kenapa sih? Mikir apa? Baru ketemu Kiaa kok mukanya langsung sedih gitu?" Mas Risky mengulangi pertanyaannya. Kembali kuhela napas panjang untuk mengurai sesak yang merasuki dada setelah mendengar ucapan Bi Siti tadi. Jika yang mengucapkan adalah Mas Risky, mungkin dengan mudah aku bisa memakluminya karena kita sama-sama sebagai pelaku.Namun, yang berujar itu adalah Bi Siti yang notabene adalah orang lain, membuatku merasa tak enak hati dan seketika merasa bersalah.Aku mendongak menghalau air yang mulai berjejalan untuk jatuh. Dengan sigap aku mengusapnya dengan ujung
"Langsung saja ya? Saya ngga mau berbasa-basi di sini." Bu Hajjah itu berucap dengan mimik wajah geram. Tidak ada senyuman atau keramahan yang tersirat di wajahnya.Hatiku gusar. Sejak pertama tinggal di sini, Bu Hajjah memang tidak seramah tetangga lainnya. Entahlah, aku tak tahu karena apAku hanya berusaha baik pada semua orang terlebih pada Pak Haji juga keluarganya. Karena beliau telah sudi memberi tumpangan di rumah in"Saya dari awal tidak pernah berniat mengontrakkan rumah ini. Tapi karena Bapak yang minta dengan alasan menolong Mbak Sania dan suami, saya memaklumi. Tapi maaf, jika rumah ini digunakan untuk berdagang sampai seperti ini, saya tidak mengizinkanDeHatiku bak dihantam batu besar. Kukira boleh saja dipakai asal tidak merubah bangunan terlebih sampai rusak. Kami hanya memakai teras dan halaman rumah yang tak seberapa untuk mengais rejeki tapi ternyata sang pemilik tidak berkena"Maafkan saya, Bu. Saya tidak tahu kalau ibu tidak memberi izin," sahutku menjelaska"Se
Akhirnya Ku Menemukan Mas Risky menatapku dalam dan tajam. Terlihat jelas bahwa ia sedang menimbang-nimbang sesuatu dalam kepalanya. Bibir itu mengatup rapat dengan pandangan tak beralih dari wajahku. "Tidak," ucapnya keras. Seketika aku menciut melihat wajah kerasnya. Kutundukkan pandangan untuk menghindari tatapannya yang tajam. "Rumah itu milik Caca. Bagaimana mungkin aku bisa bersantai tinggal di rumah milik anak yatim sementara kedua tanganku masih sanggup bekerja keras untuk menghidupi kalian?" ucapnya tanpa merubah ekspresi di wajahnya. Tatapan datar masih terpatri dalam raut tampan di depanku itu. Mendengar jawabannya, seketika aku menghela napas dalam dan panjang. Ah sejenak aku lupa bahwa aku sedang berbicara dengan laki-laki mandiri yang harga dirinya sedang dipertaruhkan. "Untuk sementara tidak ada salahnya, Mas." Aku mencoba membela diri mengingat kondisi kami memang sedang tidak baik-baik saja saat ini. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan kedepannya, terlebi
Akhirnya Ku MenemukanmuPagi harinya, Mas Risky memintaku bersiap. Kami harus meninggalkan rumah ini segera karena ia tak mau berlama-lama membuang waktu percuma. Untuk berdagang pun sudah tak berminat karena ucapan sang pemilik rumah kemarin yang cukup membuat kami terusik.Satu tas besar berisi pakaian kami sudah berada di dalam kabin mobil bagian belakang. Rumah beserta segala isinya sudah kembali bersih sama seperti saat kami masuk pertama kali. Berulang kali kuperiksa agar tak ada satu barang pun yang tertinggal di rumah ini. Karena aku tak mau kami harus kembali lagi ke rumah ini dan kembali bertemu dengan istri Pak Haji yang sudah tak lagi bisa beramah tamah dengah kami."Aku di rumah saja. Mas aja yang ngembalikan kunci," tolakku saat Mas Risky memaksa turut serta berpamitan ke rumah Pak Haji dan mengembalikan kunci rumah."Ngga sopan, Dek. Kita datang baik-baik, pergi juga harus baik-baik."Wajah serius terpatri dalam wajah tampan suamiku. Tak berani aku menolak jika wajahn
Akhirnya Ku Menemukanmu"Apa boleh kalau kita berkunjung ke makam ayahnya Caca?" tanyaku pada Mas Risky yang sedang fokus mengemudi.Wajah tampan itu menoleh sejenak. Lalu tersenyum tipis sebelum pandangannya mengarah ke Caca yang sedang berdiri di belakang kursi tempatku duduk.Mataku turut mengikuti arah iris matanya melihat. Kuraih tangan mungil Caca yang berada di atas pundakku. Lalu kucium perlahan sebelum suara bariton itu memenuhi seluruh kabin mobil."Caca rindu ayah, ya?" Pertanyaan itu terlontar saat mata indah milik suamiku kembali fokus pada jalanan."Iya, Pa. Caca rindu ayah." Suara lirih Caca terdengar pilu. Hatiku serasa seperti ada yang menikamnya. Perih tapi tidak terluka. Sakit tapi tidak berdarah. Gadis kecilku sudah paham caranya mengungkapkan rindu. "Maaf ya, Papa belum bisa benar-benar menjadi ayah yang baik buat Caca?"Sebuah lirikan dari sudut mata Mas Risky mengarah pada badan mungil di belakangku. Lalu kembali ia fokus pada kemudi yang sedang berada di jalan
Akhirnya Ku Menemukanmu Aku tersenyum ramah mendengar pertanyaan Bulik Fida. Ucapannya selalu terdengar menyakitkan hati, tapi lama-lama aku sudah kebal. Karena terlalu sering beliau menyakiti sampai aku tak sedikitpun merespon ucapannya. "Opo lagi, sih? Masih di sini aja," ujar Bude Nikmah yang baru saja keluar dari dalam ruang tamu. "Nenek," teriak Caca senang. Ia langsung berlari dan memeluk Bude dengan erat. "Masya Allah, Caca, apa kabarnya?" sahut Bude sambil tangannya membalas pelukan Caca. "Halah, sok," sindir Bulik Fida sambil tersenyum miring memandang Bude Nikmah dengan Caca. "Wes to, kamu buruan pergi. Dibilangin ngga ada kok masih ngeyel aja ada di sini," kata Bude Nikmah sambil menatap tajam wajah Bulik Fida. "Emang sampean itu pelit sama aku." Mata Bulik Fida melotot membalas tatapan Bude Nikmah. Satu sudut bibir tipis tanpa lipstik itu terangkat ke atas sebelum kakinya benar-benar melangkah. "Wes Mbak ayo balik," ucap Intan yang sejak tadi tak banyak bicara. Ak
Aku dan Mas Risky sama-sama kebingungan mencari Mama. Kemana perginya beliau yang sama sekali tak paham daerah sini. Rumah Bude Nikmah pun terlihat sepi. "Kemana lagi nyarinya, Mas? Semua ngga ada yang tahu." Aku berujar setelah bertanya pada beberapa tetangga yang kebetulan berada di luar.Mas Risky berusaha terlihat tenang. Ia tak mau gegabah. Terlebih Mama sudah dewasa dan masih normal atau belum pikun. Minimal Mama masih bisa kembali dengan selamat. Hanya saja kami panik karena beliau tak izin lebih dulu."Mama ngga akan hilang. Cuma pergi aja mungkin dan ngga pamit." Mas Risky mencoba menenangkanku."Iya. Tapi Mama kan ngga kenal siapa-siapa di sini. Gimana ngga panik coba?""Kita tunggu ya? Kamu tenang aja." Mas Risky menggandengku berjalan kembali menuju arah rumah. Ia tak mau terlihat kebingungan di jalanan. Sebaiknya kami menunggu saja di rumah.Aku duduk di kursi teras dengan cemas. Baru kali ini Mama keluar tanpa pamit. Bahkan Mas Dimas pun tak tahu kemana mamanya pergi.
Akhirnya Ku Menemukanmu"Kita balik?" tawar Mas Dimas malam ini. Bakda tarawih kami semua duduk bersantai di ruang tamu. Mengeratkan diri satu sama lainnya dengan obrolan yang ringan dan seru.Bu Maria terdiam. Ia memandangku dan Mas Risky bergantian."Kayaknya enak di sini. Sampai lebaran juga boleh. Gimana?" balas Bu Maria."Apa boleh kami menginap di sini sampai lebaran?" tanya Bu Maria. Kini wajah itu menghadap ke wajahku, seakan ia sedang meminta persetujuanku."Boleh dong, Ma. Silahkan saja. Sania malah senang bisa lebaran di kampung ini lagi.""Gimana, Mas?" tanyaku pada Mas Risky. Bagaimana pun aku harus meminta persetujuannya sebelum mengambil keputusan."Kalau Mama minta begitu ya sudah. Kita di sini dulu. Tapi aku minta Bi Siti buat antar Kiaa dulu ke sini. Biar rame.""Biar kujemput, Bang.""Apa Caca boleh ikutan?" sela Caca tak mau ketinggalan."Boleh. Ajak Mbak Mira juga boleh," sambut Mas Dimas malu-malu."Mbak Mira ikutan ya? Biar seru. Nanti bantu aku gendong adik Kia
Akhirnya Ku Menemukanmu "Halo Sayang," ujar Bu Maria ramah.Akan tetapi yang diberi ucapan malah bersembunyi dibalik badan langsing milik Mira. Ia memegang ujung baju Mira dengan eratnya. Seperti sedang merasa terintimidasi.Dadaku mencelos melihat sikap Caca. Begitu takutnya ia melihat wanita yang pernah marah-marah di hadapannya waktu itu. Tapi aku pun tidak bisa menyalahkan. Itu adalah sebuah respon natural dari apa yang pernah ia lihat dan saksikan. Terlebih sebuah kejadian itu tidak pernah ia alami sebelumnya.Aku berinisiatif untuk mendekati tubuh putriku. Bukan tidak mau, hanya saja butuh waktu dan pengertian. Aku memaklumi itu."Sayang, Nenek sudah minta maaf sama Mama. Nenek sudah baik sama Mama dan Papa. Caca jangan takut lagi ya? Nenek sayang kok sama Caca," ujarku sambil menoleh ke arah Bu Maria.Caca masih saja bersembunyi di balik badan Mira. Ia masih dengan posisi yang sama. Menggenggam erat baju Mira dengan kedua tangannya.Badan tambun yang wajahnya sudah terlihat se
Akhirnya Ku Menemukanmu "Maafkan aku, aku telah membuatmu menderita. Aku telah berbuat dosa padamu," lirih Bu Maria sambil terisak.Wanita yang kini mulai membuka hati untukku itu merengkuhku dalam dekapannya. Erat sekali. Dada yang naik turun tak beraturan itu membuatku turut merasakan sesak yang teramat sangat. Betapa dalam dirinya juga sebenarnya merasakan hal yang serupa denganku. Hanya saja terbalut gengsi dan malu untuk mengakui segala kesalahan yang telah diperbuat."Tidak, Ibu tidak berbuat dosa." Aku mengusap punggung lebar itu dengan lembut dan seirama. Sebisa mungkin aku tidak terlalu menyudutkan posisinya.Semakin tua seseorang, hati dan perasaannya makin sensitif. Sedikit saja ucapan atau perilaku yang tidak sesuai dengan keinginannya, pasti akan membuatnya mudah emosi atau marah-marah. Hal ini juga terjadi dengan Bu Maria, mertuaku. Sikap Bu Maria itu sudah fitrahnya sebagai orang tua yang sudah lanjut. Bahkan hal ini sudah dibahas dalam Al Qur'an. Ini yang membuatku b
"Ibu apanya Kiaa?" tanya Mbak Sari, yang sejak tadi diam menyaksikanku memeluk dan sesekali mencium gemas pipi Kiaa yang berada dalam dekapanku.Aku terdiam, lalu mendudukkan Kiaa di pangkuanku setelah memberinya sebuah mainan agar ia tak lagi merengek."Saya ibu sambungnya Kiaa." Aku menjawab sekenanya. Hendak menceritakan semua pun rasanya tak etis."Ibu sambung?" kagetnya. Kedua matanya melebar sambil menatapku tak percaya.Aku tersenyum melihat reaksinya. Wajar dia kaget melihat kedekatanku yang tidak biasanya. Terlebih saat ia bertemu denganku tadi, Bu Maria dalam keadaan marah-marah.Saat aku hendak mengalihkan pembicaraan, kulihat Bi Siti lewat di depan kamar Kiaa sambil membawa nampan berisi makanan."Mbak, nitip sebentar ya," ucapku sambil berdiri. Tanpa menunggu jawaban Mbak Sari, aku mengejar tubuh Bi Siti yang sedang berjalan menuju kamar Bu Maria. Ini adalah saat yang tepat untuk kembali merayu wanita paruh baya itu."Bi, makanannya buat Mama?" tanyaku setelah Bi Siti be
Akhirnya Ku MenemukanmuAku berjingkat mendengarkan suara yang tiba-tiba memekakkan telinga. Tangan yang semula sudah terulur untuk menggendong bayi mungil di hadapanku kembali kutarik. Wajahku yang semula sudah bahagia karena bisa melepas rindu dengan Kiaa, sekarang terdiam, bahkan cenderung tegang.Mas Risky berjalan beberapa langkah mendekati badanku berdiri di dekat pengasuh Kiaa. Aku menyambutnya dengan meraih pergelangan tangannya untuk kugenggam erat karena rasa takut yang kembali mendera."Jangan lagi sentuh cucuku," hardik Bu Maria keras. Dua bola mata itu membulat sempurna. Bahkan wajah yang pucat tak membuat dia menurunkan nada bicaranya.Jari telunjuk yang dihiasi dengan cincin emas itu mengarah sempurna searah dengan dua mataku. Aku tertegun, sebegitu besar bencinya terhadapku. Sungguh, perbuatan Mas Risky kemarin menyisakan dendam dalam sinar mata Bu Maria yang penuh luka."Kami datang untuk menjenguk Mama." Mas Risky mulai bersuara. "Mbak Sari, bawa Kiaa masuk kamar.
Melihat wajah Mas Risky yang cemberut, aku malah tertawa. Lucu saja melihat wajah tampannya dibuat jelek dengan bibir yang maju beberapa senti. Namun saat aku tergelak, tanpa aba-aba Mas Risky berdiri dan mengangkat tubuhku hingga aku memekik kaget."Mas," pekikku. Dengan cepat tanganku mengalung ke lehernya. Mataku membulat sempurna menatap wajahnya yang tepat berada di depanku. Tapi tak urung, aku menyandarkan kepalaku ke bahunya."Salah sendiri. Dibilang Mas lagi rindu malah cekikikan," kesalnya. Tapi tak urung wajah itu akhirnya tersenyum juga.Mas Risky meletakkan bobot tubuhku ke atas ranjang sederhana yang menjadi tempat bersatunya kami setelah akad beberapa waktu lalu. Ranjang yang menjadi saksi bahwa lelaki yang kerap kusebut dalam doaku benar-benar menyentuhku dengan segenap cinta dan kasih yang dia miliki."Habis Mas lucu sih." Aku masih saja tak bisa menahan bibirku untuk tidak tertawa."Kok lucu?" sela Mas Risky. Ia mengunci tubuhku di bawah tubuh gagahnya. Kedua tangann
Akhirnya Ku Menemukanmu 57"Mama sakit, Sayang." Mas Risky berujar setelah meletakkan ponselnya. Ia menatapku dalam tak berkedip."Kita ke sana?" tawarku pelan."Tidak."Aku terkejut. Mataku membulat menatap wajah suamiku yang duduk di sebelahku. Begitu tegasnya ia menolak."Mas, Ibumu sedang sakit, bagaimana mungkin Mas tidak mau datang ke sana?" tanyaku tak percaya."Tidak akan datang sebelum Mama mau menerimamu sebagai menantunya." Mas Risky berujar tanpa menatapku.Aku tertegun mendengar ucapan Mas Risky. Sebegitu kerasnya ia berusaha untuk memaksa Bu Maria untuk menerima kehadiranku."Mas sudah lelah menuruti apa kemauan Mama. Sudahlah, biarkan ini jadi pelajaran buat dia. Biar Mama juga sadar kalau anaknya juga punya kemauan, ngga harus selalu menuruti kemauan Mama saja."Mas Risky kembali meraih sendok yang sebelum menerima telepon ia letakkan. Ia mulai melahap masakanku yang menurutku setelah mendengar kabar ini semua makanan di depanku ini jadi hambar. Padahal sebelumnya aku
"Kamu ngga apa-apa, Dek?" tanya Mas Risky setelah ia terbangun. Gurat kekhawatiran terlihat jelas dari pandangan matanya yang tak lepas menatapku. Telapak tangannya berulang kali memegang dahiku.Hatiku berbunga mendapati perhatian dari lelaki yang telah lama berpisah denganku."Aku ngga apa-apa, Mas. Jangan khawatir." Aku menenangkan. Kuubah posisi tidurku menjadi duduk bersandar di sandaran ranjang."Jangan puasa ya?" pintanya sedikit memaksa."Enggak, Mas. Aku puasa aja. Sayang lebaran kurang beberapa hari lagi. Aku juga sudah bolong banyak." Aku mengelak. "Kamu lagi sakit, Dek.""Enggak. Langsung sembuh pas ketemu Mas di sini," elakku. "Nih lihat sudah sembuh," sambungku sambil kupegang dahiku sendiri.Mas Risky terdiam menatapku sambil mengerjap. Perlahan seulas senyuman terkembang dari bibirnya yang kemerahan. Dimataku ketampanannya meningkat drastis karena lama tak berjumpa. Lebay ya? Biar saja. Aku cinta.Tangan Mas Risky yang kokoh itu meraih jemariku dengan lembut, lalu ia