Akhirnya Ku Menemukanmu"Mas," ucapku lirih sambil meraih lengannya. Perlahan pelukanku makin mengerat seiring dengan rasa tak percaya dengan apa yang kulihat."Ulah mama ini pasti!" sungut Mas Risky setelah bibirnya berdecak. Satu tangannya yang lain ia banting lalu mengacak rambutnya kesal. Ia tak bisa leluasa meluapkan emosinya karena satu tangannya yang lain berada dalam dekapanku."Mama?" tanyaku tak paham."Iya, mama bisa lakuin apa aja kalau kita ngga nurut apa maunya.""Termasuk melakukan ini?"Mas Risky menatapku sejenak, kemudian mengangguk lemah."Lalu? Kemana kita setelah ini, Mas?" tanyaku sambil menahan getir.Bayang-bayang tidur di dalam mobil atau di bawah kolong jembatan perlahan berkelindan dalam kepalaku. Rasa dingin malam ini menambah dingin hatiku yang sedang kalut. Seakan tubuh tegap di sebelahku tak mampu memberikan efek apapun."Maafkan aku, Mas. Ini semua karena ulahku." Perlahan mataku menghangat. Aliran rasa hangat yang bersumber dari dalam dada menyebabkan
Akhirnya Ku Menemukanmu Mobil Mas Risky berhenti di depan rumah di sebuah perumahan sederhana. Terdapat satu motor yang sudah terparkir di halamannya. Mungkin rumah itu sedang disiapkan pemiliknya untuk kami tempati."Itu rumahnya, Mas?" tanyaku sambil mengamati kondisi rumah yang sudah menyala lampunya."Sesuai alamat yang dikasi Pak Tio sih iya, bener ini." Mas Risky kembali melihat layar ponselnya untuk memastikan.Seorang bapak-bapak keluar dari ruang tamu. Sepertinya beliau mendengar suara mobil kami dan ingin melihatnya.Namun setelah melihat mobil kami berhenti, beliau masuk lagi. Mungkin memberitahu seseorang di dalamnya bahwa kami sudah sampai. Atau bisa jadi ia mempercepat pekerjaannya agar bisa segera kami tempati."Turun yuk?" ajak Mas Risky. "Biar Caca di sini dulu."Aku melihat ke bangku belakang. Caca sedang tidur terlelap. Kasihan jika ia dibangunkan ketika kami masih proses melihat kondisi dalam rumahnya.Mas Risky menggandeng tanganku menuju rumah di depan kami ini.
Akhirnya Ku Menemukanmu "Mas ngerasa aneh ngga sih?" tanyaku saat kami sama-sama sudah merebahkan diri di atas tempat tidur. Aku tidur menyamping dan bersandar pada telapak tanganku yang menekuk. "Aneh apa?" tanyanya sambil mengalihkan pandangan dari layar ponsel di depannya. "Rumah ini terbilang baik dan layak huni, ngga mungkin dihargai semurah itu tanpa ada sesuatu hal." Wajah yang matanya tampak sayu di depanku tersenyum tipis. Lalu tangannya terulur mengusap pucuk kepalaku yang hijabnya telah kulepas. "Mungkin ini kerjaan Pak Tio. Nanti biar aku bilang sama dia." "Kok Mas bisa nebak gitu?" "Pak Tio itu orang kepercayaan papa sejak dulu. Beliau yang selalu mewakili keluarga kalau ada masalah sama hukum atau apapun yang membutuhkan bantuannya. Besok Mas ketemuan sama dia, biar sekalian Mas bilang ke dia soal ini ya?" Aku mengangguk cepat lalu tersenyum sambil memandangnya. "Tidur yuk?" "Sini tidur di lengan Mas. Biar Mas bisa puas-puasin meluk kamu malam ini. Biar makin pul
"Ca?" panikku saat aku masuk ke dalam rumah usai mengantar kepergian Mas Risky. Kulihat Caca terkulai lemas sambil memegang pensil warna. Matanya terpejam dan bibirnya mengatup rapat."Caca kenapa?" lirihku lagi. Kuraih badannya dalam dekapanku. Masya Allah, suhu badannya terasa panas. Tidak seperti biasanya. "Kepala Caca pusing, Ma," jawabnya pelan sekali. "Kita minum obat ya, Nak? Yuk masuk dulu ke kamar."Kuraih badan Caca yang sudah terkulai itu ke dalam dekapanku dan kubawa ia ke dalam kamar. "Kenapa Mama ngga peka kalau Caca sakit?" racauku merutuki diri. "Maafkan Mama ya, Nak?" Tanganku terulur mengusap keningnya yang terasa mendidih."Sudah lama sakitnya? Kenapa Caca ngga bilang Mama?""Sejak kemarin badan Caca sudah ngga enak. Tapi Caca takut bikin Mama khawatir makanya Caca diam saja.""Ya Allah, harusnya kan Caca bilang sama Mama. Ngga apa-apa Mama khawatir, dari pada terlambat kasih obat ke Caca, kan jadi makin parah nanti?"Caca mengangguk lemah sambil memandangi waj
Akhirnya Ku Menemukanmu"Santai saja. Jangan grogi." Mas Risky mencoba menenangkanku. Ia mengusap punggung tanganku lembut.Suamiku itu berdiri saat wanita paruh baya yang sangat dikenalnya berhenti tepat di depannya. Ia mengulurkan tangannya untuk bersalaman."Apa kabar, Ma?" sapanya sopan. Manik hitam milik Mas Risky menatap dalam wajah Bu Maria, ibunya."Baik." Tanpa berucap apapun lagi, Bu Maria beranjak dari hadapan kami. Beliau tidak sedikitpun melirikku. Ia hanya menatap wajah putranya sekilas lalu mengalihkan pandangan ke arah lain.Baru kusadari ada luka yang menganga dalam sinar matanya. Luka yang dalam, yang mungkin membuatnya sangat merasa tersakiti.Ya, karena aku. Luka itu karena aku. Lagi-lagi rasa bersalah datang silih berganti menghampiriku. Sesakit ini berada di posisiku saat ini. Ya Allah, jika saja saat itu Mas Risky tidak melakukan hal itu, mungkin semua masih baik-baik saja. Rasa sakit ini tidak akan menghampiriku dan Bu Maria secara bersamaan.Rasa bersalah ki
"Siapa, Mas?" tanyaku setelah Mas Risky mematikan sambungan telepon ketika kami menikmati makan malam bersama."Pak Bagas. Mau datang ke sini," jawabnya cepat. Setelahnya ia meletakkan ponsel di depannya lalu kembali menikmati makan malamnya yang tinggal separuh."Ada masalah? Apa prosesnya sudah selesai?""Ngga tau, sepertinya ada masalah. Ngga biasanya beliau menghubungi dijam begini. Mugkin ada hal penting yang mau disampaikan padaku.""Pak Bagas mau datang?"Mas Risky mengangguk cepat. Ia mempercepat mengunyah makanannya."Bagaimana jika proses perceraian Mas dengan Adinda dipersulit?""Kenapa punya pikiran begitu?""Ya, aku khawatir aja. Lebih-lebih lihat wajah Bu Maria saat di rumah sakit kemarin. Aku ngeri bayanginnya.""Ngga apa-apa. Mama memang orang yang tegas. Tapi manusia semuanya punya sisi baik dan buruk. Meskipun mama terlihat jahat tapi sebenarnya baik.""Iya, sih. Cuma kan aku belum lama kenalan dengan beliau.""Nanti, setelah kita bisa dapatkan restu, insya Allah kam
Akhirnya Ku Menemukanmu"Kok cuma segini ya, Mas? Ini diluar ekspektasi kita." Aku mulai gelisah saat sudah hampir sore tapi jumlah pengunjung tak sebanyak yang kami bayangkan. Tidak ramai, tapi setelah satu pengunjung pergi, selalu ada satu pengunjung yang lainnya yang mengisi salah satu meja dan kursi."Ngga apa-apa, namanya juga kan kita masih baru. Anggap saja kita lagi proses cari pelanggan. Kamu tahu kan itu ngga mudah? Yang penting konsisten buka.""Iya. Tapi kan biasanya kalau kafe baru buka itu pengunjung selalu ramai sekali. Tapi ini," ucapku terhenti. Aku tak kuasa melanjutkan kalimatku."Yang penting selalu ada yang datang. Ngga apa-apa ngga ramai. Yang penting ada yang mampir."Aku masih saja cemberut sambil memandang ke arah depan. Meja-meja dan kursi-kursi yang tersedia masih longgar, hanya terisi satu sampai dua meja saja. Sementara untuk modal, kita sudah keluar banyak dan belum bisa dikatakan mendapatkan untung. "Hei, kok cemberut? Wajah yang cemberut bisa mempengar
"Bu," panggil Mira yang seketika membuatku menoleh. Ia tampak berdiri dengan tatapan aneh terhadapku."Aku boleh tanya?" "Apa?""Kok Pak Risky urus perceraian? Sama Ibu mau cerai?" Kening Mira terlihat mengerut. Tatapan penuh tanya itu ia lontarkan padaku.Dadaku seperti tertohok mendengar pertanyaan Mira. Sebenarnya bukan salahnya jika timbul pertanyaan itu dalam kepalanya karena Mas Risky mengatakan itu secara terang-terangan. Tapi, sebagai orang lain, aku khawatir akan timbul pendapat lain yang bisa saja membuatnya berburuk sangka terhadap apa yang tidak diketahuinya."Bukan maksud saya mau tahu urusan orang lain. Tapi ya, aneh aja. Bapak dan Ibu baik-baik saja. Tapi kok urus surat cerai?"Aku tersenyum mendengar pertanyaan Mira, meskipun dalam hati ada yang harus kutahan."Itu pernikahan Bapak dengan istrinya dahulu yang belum selesai. Baru diselesaikan sekarang saat ada saya." Aku tersenyum mengiringi ucapanku pada Mira.Gadis di depanku itu tampak manggut-manggut. Entah apalagi
Aku dan Mas Risky sama-sama kebingungan mencari Mama. Kemana perginya beliau yang sama sekali tak paham daerah sini. Rumah Bude Nikmah pun terlihat sepi. "Kemana lagi nyarinya, Mas? Semua ngga ada yang tahu." Aku berujar setelah bertanya pada beberapa tetangga yang kebetulan berada di luar.Mas Risky berusaha terlihat tenang. Ia tak mau gegabah. Terlebih Mama sudah dewasa dan masih normal atau belum pikun. Minimal Mama masih bisa kembali dengan selamat. Hanya saja kami panik karena beliau tak izin lebih dulu."Mama ngga akan hilang. Cuma pergi aja mungkin dan ngga pamit." Mas Risky mencoba menenangkanku."Iya. Tapi Mama kan ngga kenal siapa-siapa di sini. Gimana ngga panik coba?""Kita tunggu ya? Kamu tenang aja." Mas Risky menggandengku berjalan kembali menuju arah rumah. Ia tak mau terlihat kebingungan di jalanan. Sebaiknya kami menunggu saja di rumah.Aku duduk di kursi teras dengan cemas. Baru kali ini Mama keluar tanpa pamit. Bahkan Mas Dimas pun tak tahu kemana mamanya pergi.
Akhirnya Ku Menemukanmu"Kita balik?" tawar Mas Dimas malam ini. Bakda tarawih kami semua duduk bersantai di ruang tamu. Mengeratkan diri satu sama lainnya dengan obrolan yang ringan dan seru.Bu Maria terdiam. Ia memandangku dan Mas Risky bergantian."Kayaknya enak di sini. Sampai lebaran juga boleh. Gimana?" balas Bu Maria."Apa boleh kami menginap di sini sampai lebaran?" tanya Bu Maria. Kini wajah itu menghadap ke wajahku, seakan ia sedang meminta persetujuanku."Boleh dong, Ma. Silahkan saja. Sania malah senang bisa lebaran di kampung ini lagi.""Gimana, Mas?" tanyaku pada Mas Risky. Bagaimana pun aku harus meminta persetujuannya sebelum mengambil keputusan."Kalau Mama minta begitu ya sudah. Kita di sini dulu. Tapi aku minta Bi Siti buat antar Kiaa dulu ke sini. Biar rame.""Biar kujemput, Bang.""Apa Caca boleh ikutan?" sela Caca tak mau ketinggalan."Boleh. Ajak Mbak Mira juga boleh," sambut Mas Dimas malu-malu."Mbak Mira ikutan ya? Biar seru. Nanti bantu aku gendong adik Kia
Akhirnya Ku Menemukanmu "Halo Sayang," ujar Bu Maria ramah.Akan tetapi yang diberi ucapan malah bersembunyi dibalik badan langsing milik Mira. Ia memegang ujung baju Mira dengan eratnya. Seperti sedang merasa terintimidasi.Dadaku mencelos melihat sikap Caca. Begitu takutnya ia melihat wanita yang pernah marah-marah di hadapannya waktu itu. Tapi aku pun tidak bisa menyalahkan. Itu adalah sebuah respon natural dari apa yang pernah ia lihat dan saksikan. Terlebih sebuah kejadian itu tidak pernah ia alami sebelumnya.Aku berinisiatif untuk mendekati tubuh putriku. Bukan tidak mau, hanya saja butuh waktu dan pengertian. Aku memaklumi itu."Sayang, Nenek sudah minta maaf sama Mama. Nenek sudah baik sama Mama dan Papa. Caca jangan takut lagi ya? Nenek sayang kok sama Caca," ujarku sambil menoleh ke arah Bu Maria.Caca masih saja bersembunyi di balik badan Mira. Ia masih dengan posisi yang sama. Menggenggam erat baju Mira dengan kedua tangannya.Badan tambun yang wajahnya sudah terlihat se
Akhirnya Ku Menemukanmu "Maafkan aku, aku telah membuatmu menderita. Aku telah berbuat dosa padamu," lirih Bu Maria sambil terisak.Wanita yang kini mulai membuka hati untukku itu merengkuhku dalam dekapannya. Erat sekali. Dada yang naik turun tak beraturan itu membuatku turut merasakan sesak yang teramat sangat. Betapa dalam dirinya juga sebenarnya merasakan hal yang serupa denganku. Hanya saja terbalut gengsi dan malu untuk mengakui segala kesalahan yang telah diperbuat."Tidak, Ibu tidak berbuat dosa." Aku mengusap punggung lebar itu dengan lembut dan seirama. Sebisa mungkin aku tidak terlalu menyudutkan posisinya.Semakin tua seseorang, hati dan perasaannya makin sensitif. Sedikit saja ucapan atau perilaku yang tidak sesuai dengan keinginannya, pasti akan membuatnya mudah emosi atau marah-marah. Hal ini juga terjadi dengan Bu Maria, mertuaku. Sikap Bu Maria itu sudah fitrahnya sebagai orang tua yang sudah lanjut. Bahkan hal ini sudah dibahas dalam Al Qur'an. Ini yang membuatku b
"Ibu apanya Kiaa?" tanya Mbak Sari, yang sejak tadi diam menyaksikanku memeluk dan sesekali mencium gemas pipi Kiaa yang berada dalam dekapanku.Aku terdiam, lalu mendudukkan Kiaa di pangkuanku setelah memberinya sebuah mainan agar ia tak lagi merengek."Saya ibu sambungnya Kiaa." Aku menjawab sekenanya. Hendak menceritakan semua pun rasanya tak etis."Ibu sambung?" kagetnya. Kedua matanya melebar sambil menatapku tak percaya.Aku tersenyum melihat reaksinya. Wajar dia kaget melihat kedekatanku yang tidak biasanya. Terlebih saat ia bertemu denganku tadi, Bu Maria dalam keadaan marah-marah.Saat aku hendak mengalihkan pembicaraan, kulihat Bi Siti lewat di depan kamar Kiaa sambil membawa nampan berisi makanan."Mbak, nitip sebentar ya," ucapku sambil berdiri. Tanpa menunggu jawaban Mbak Sari, aku mengejar tubuh Bi Siti yang sedang berjalan menuju kamar Bu Maria. Ini adalah saat yang tepat untuk kembali merayu wanita paruh baya itu."Bi, makanannya buat Mama?" tanyaku setelah Bi Siti be
Akhirnya Ku MenemukanmuAku berjingkat mendengarkan suara yang tiba-tiba memekakkan telinga. Tangan yang semula sudah terulur untuk menggendong bayi mungil di hadapanku kembali kutarik. Wajahku yang semula sudah bahagia karena bisa melepas rindu dengan Kiaa, sekarang terdiam, bahkan cenderung tegang.Mas Risky berjalan beberapa langkah mendekati badanku berdiri di dekat pengasuh Kiaa. Aku menyambutnya dengan meraih pergelangan tangannya untuk kugenggam erat karena rasa takut yang kembali mendera."Jangan lagi sentuh cucuku," hardik Bu Maria keras. Dua bola mata itu membulat sempurna. Bahkan wajah yang pucat tak membuat dia menurunkan nada bicaranya.Jari telunjuk yang dihiasi dengan cincin emas itu mengarah sempurna searah dengan dua mataku. Aku tertegun, sebegitu besar bencinya terhadapku. Sungguh, perbuatan Mas Risky kemarin menyisakan dendam dalam sinar mata Bu Maria yang penuh luka."Kami datang untuk menjenguk Mama." Mas Risky mulai bersuara. "Mbak Sari, bawa Kiaa masuk kamar.
Melihat wajah Mas Risky yang cemberut, aku malah tertawa. Lucu saja melihat wajah tampannya dibuat jelek dengan bibir yang maju beberapa senti. Namun saat aku tergelak, tanpa aba-aba Mas Risky berdiri dan mengangkat tubuhku hingga aku memekik kaget."Mas," pekikku. Dengan cepat tanganku mengalung ke lehernya. Mataku membulat sempurna menatap wajahnya yang tepat berada di depanku. Tapi tak urung, aku menyandarkan kepalaku ke bahunya."Salah sendiri. Dibilang Mas lagi rindu malah cekikikan," kesalnya. Tapi tak urung wajah itu akhirnya tersenyum juga.Mas Risky meletakkan bobot tubuhku ke atas ranjang sederhana yang menjadi tempat bersatunya kami setelah akad beberapa waktu lalu. Ranjang yang menjadi saksi bahwa lelaki yang kerap kusebut dalam doaku benar-benar menyentuhku dengan segenap cinta dan kasih yang dia miliki."Habis Mas lucu sih." Aku masih saja tak bisa menahan bibirku untuk tidak tertawa."Kok lucu?" sela Mas Risky. Ia mengunci tubuhku di bawah tubuh gagahnya. Kedua tangann
Akhirnya Ku Menemukanmu 57"Mama sakit, Sayang." Mas Risky berujar setelah meletakkan ponselnya. Ia menatapku dalam tak berkedip."Kita ke sana?" tawarku pelan."Tidak."Aku terkejut. Mataku membulat menatap wajah suamiku yang duduk di sebelahku. Begitu tegasnya ia menolak."Mas, Ibumu sedang sakit, bagaimana mungkin Mas tidak mau datang ke sana?" tanyaku tak percaya."Tidak akan datang sebelum Mama mau menerimamu sebagai menantunya." Mas Risky berujar tanpa menatapku.Aku tertegun mendengar ucapan Mas Risky. Sebegitu kerasnya ia berusaha untuk memaksa Bu Maria untuk menerima kehadiranku."Mas sudah lelah menuruti apa kemauan Mama. Sudahlah, biarkan ini jadi pelajaran buat dia. Biar Mama juga sadar kalau anaknya juga punya kemauan, ngga harus selalu menuruti kemauan Mama saja."Mas Risky kembali meraih sendok yang sebelum menerima telepon ia letakkan. Ia mulai melahap masakanku yang menurutku setelah mendengar kabar ini semua makanan di depanku ini jadi hambar. Padahal sebelumnya aku
"Kamu ngga apa-apa, Dek?" tanya Mas Risky setelah ia terbangun. Gurat kekhawatiran terlihat jelas dari pandangan matanya yang tak lepas menatapku. Telapak tangannya berulang kali memegang dahiku.Hatiku berbunga mendapati perhatian dari lelaki yang telah lama berpisah denganku."Aku ngga apa-apa, Mas. Jangan khawatir." Aku menenangkan. Kuubah posisi tidurku menjadi duduk bersandar di sandaran ranjang."Jangan puasa ya?" pintanya sedikit memaksa."Enggak, Mas. Aku puasa aja. Sayang lebaran kurang beberapa hari lagi. Aku juga sudah bolong banyak." Aku mengelak. "Kamu lagi sakit, Dek.""Enggak. Langsung sembuh pas ketemu Mas di sini," elakku. "Nih lihat sudah sembuh," sambungku sambil kupegang dahiku sendiri.Mas Risky terdiam menatapku sambil mengerjap. Perlahan seulas senyuman terkembang dari bibirnya yang kemerahan. Dimataku ketampanannya meningkat drastis karena lama tak berjumpa. Lebay ya? Biar saja. Aku cinta.Tangan Mas Risky yang kokoh itu meraih jemariku dengan lembut, lalu ia