Akhirnya KumenemukanmuPov AdindaAzkiaa. Hanya Azkiaa yang membuatku mampu bertahan dengan segala peliknya masalah rumah tangga yang ada.[Yang, lihat ini aku dapat panggilan interview di sebuah hotel sebagai staf marketing.] Sebuah pesan dan gambar dikirim bersamaan dalam ponselku.Entah kenapa aku pun turut merasa senang melihatnya mendapatkan panggilan interview setelah putus kontrak dari tempatnya bekerja dahulu. Apapun pekerjaannya yang penting halal dan bisa menghidupinya.[Kapan, Yang?]Aku membalas dengan cepat. Tak sabar rasanya bisa melihatnya kembali bekerja dan memiliki penghasilan.[Lusa.]Mataku memicing membaca pesan balasannya. Lusa aku pun ada acara kantor di kota yang sama dengan hotel tempat Daniel interview. Sepertinya ini bisa diatur untuk kami bisa jalan berdua. Aku lelah diam. Aku lelah menjadi istri yang tak disentuhnya. Aku lelah berusaha tapi tak pernah mendapatkan balasan.Aku wanita biasa yang juga berharap sentuhan dan balasan rasa dari apa yang sudah k
Akhirnya Kumenemukanmu 27.1Pov RiskyAku mengusap rambutku dengan kasar karena hasrat yang sengaja kuputus. Beruntung Tuhan masih menolongku dengan mengingatkanku akan wajah Sania yang selalu memenuhi ruang dalam kepalaku. Ah ya, harusnya tak begini. Dia yang telah sah menjadi istriku tetapi tak sedikitpun aku tergerak untuk menyentuhnya. Aku tak mau hasrat itu tersalurkan hanya karena naf su. Yang kumau, aku melakukannya karena cinta. Aku pun tak mau memberikan harapan palsu pada dia yang berstatus menjadi istriku tetapi sama sekali tak berada dalam hatiku. Aku tak bisa.Usai mencuci muka dengan sabun aku segera keluar. Tak kudapati Adinda di dalam kamar dan aku pun enggan mencarinya. Sebaiknya aku tidur saja karena tubuhku rasanya lelah setelah seharian berjalan-jalan ke kebun binatang. Besok pun aku ada meeting penting dengan beberapa orang dinas untuk mengurus izin mendirikan bangunan.Aku terbaring tetapi mataku tak kunjung terpejam. Dalam kepalaku kembali terbayang saat-saat
Akhirnya Kumenemukanmu 27.2Pov Risky"Kamu tak salah. Aku yang salah mengambil keputusan. Aku tak bisa memaksakan hatiku menerima dirimu di dalamnya tapi aku pun tak berhak memintamu pergi."Terdengar helaan napas dari bibir Adinda tapi aku tak peduli. Sekilas kulirik ia mengusap sesuatu di pipinya. Aku pun kembali menikmati rokok yang tinggal sedikit sebelum membuangnya."Lantas mengapa Mas mau menikahiku?""Kukira aku bisa belajar menjadikanmu pengisi ruang di hatiku. Tetapi prediksiku salah. Aku tak bisa berpaling dari dia," sambungku lagi. Dia, dia bukan Alisya tapi dia Sania. Sayangnya kalimat itu hanya terucap dalam hati saja. Aku tak mungkin mengucapkannya di depan Adinda."Alisya?" sahutnya cepat.Kepalaku menoleh pada Adinda. Kudapati sepasang mata tegas itu tengah menatapku penuh selidik. Bibirnya mengatup rapat dan tangannya ia letakkan di atas pangkuannya.Aku tak mungkin bicara yang sebenarnya. Aku pun tak mungkin mengatakan tidak, aku hanya ingin membuat dia pergi deng
Akhirnya Kumenemukanmu 27.3Pov Risky Perlahan kurasakan sebuah gerakan di atas kakiku. Mataku berusaha terbuka untuk melirik siapa gerangan yang melakukan gerakan itu. Sania. Ya, Sania yang melakukannya. Ia mencoba membenarkan posisi selimut yang turun akibat gerakan kakiku.Saat Sania akan berbalik arah dengan cepat kuraih pergelangan tangannya agar ia tetap berada di sini bersamaku. Hanya dengan satu gerakan saja tubuh Sania sudah terhuyung di atas badanku. Segera kupeluk erat wanita yang entah mengapa menjadi candu buatku akhir-akhir ini."Mengapa bayangmu selalu hadir dalam setiap hari-hariku," bisikku sambil memeluknya dengan mata terpejam.Dapat kurasakan gerakan tangannya untuk bangkit dari pelukanku tetapi semkin kueratkan kedua lenganku memeluk tubuh langsingnya."Jangan pergi, tetaplah di sini bersamaku," bisikku lagi."Jangan begini, Mas! Nanti Adinda lihat!" pekiknya tertahan. Ia masih saja terus mencoba berontak. "Tidakkah kamu memikirkan perasaanku sedikit saja?" seng
Akhirnya Kumenemukanmu Pov Risky"Mas, bangun," panggil Bi Yati sambil menepuk bahuku pelan. Mataku menegerjap pelan sambil geragapan. Punggung dan leherku terasa sakit karena posisi tidur yang salah."Jam berapa, Bi?" tanyaku. Aku bangkit dari sofa dan berjalan menuju dispenser."Jam enam, Mas." Bi Yati sibuk dengan pekerjaannya di dapur. Aku pun kembali ke dalam kamar sambil membawa bantal dan bed cover yang kupakai semalam. Kudapati Adinda yang sudah siap dengan pakaian kerjanya tetapi aku masih enggan bicara. Kubiarkan keadaan ini membisu dan aku masuk ke kamar mandi.Usai dari kamar mandi tak lagi kudapati Adinda di dalam kamar. Aku pun bergegas mengganti pakaianku dengan kemeja dan celana sebelum pergi sarapan."Permisi, Pak. Itu Mbak Adinda, mesra banget sama laki-laki di depan situ," ujar Bi Yati menunjuk arah halaman setelah aku keluar dari kamar.Kuarahkan pandangan mata sesuai jari Bi Yati. Benar, kudapati Adinda sedang bercengkrama dengan mesranya sambil memegang helm y
Akhirnya KumenemukanmuAku sedang duduk di ruang tamu dengan deraian air mata. Beberapa pasang mata menatapku nyalang bak pesakitan yang tengah menunggu hasil putusan sidang. Tatapan mereka bak belati ta jam yang siap menghu nus mangsanya.Aku tertunduk lesu. Air mataku kubiarkan mengalir begitu saja. Keringat dingin bercucuran dari sekujur tubuhku. Deru napas yang memburu karena emosi membuat bulu kuduku meremang seketika. Tak pernah kubayangkan aku akan berada di posisi seperti ini. Harga diri yang kujaga tak sengaja mencoreng mukaku sendiri. Aku salah. Aku kalah."Sania nggak salah!" Mas Risky terus berujar. Ia duduk di sofa single yang ada di sisi kiriku. Sorot matanya mengiba pada wajah sang ibu berharap ada belas kasih dari wanita paruh baya itu untuk melepasku dari imej buruk."Ngga salah gimana? Kalian dalam kamar berdua, dia ada di pelukan kamu, siapa yang ngga berpikir buruk dengan pemandangan seperti itu?" Bu Maria mencebik. Ia menatap wajah Mas Risky dengan senyum miring.
Akhirnya Kumenemukanmu 28.2Aku masuk ke dalam kamar untuk memasukkan semua barang-barang yang kumiliki. Termasuk ponsel pemberian Mas Risky. Seharusnya tak boleh kubawa, tapi aku butuh untuk memulai kembali usahaku. Ini salah satu support sistem untukku memulai kembali bisnis kue yang pernah kutinggalkan.Kuraih tangan Caca dari dalam dekapan Dimas. Dia yang sejak tadi menjaga dua anak di dalam kamar ini hanya diam menatapku iba melihat apa yang menimpaku. Entah apa yang ada dalam kepalanya. Biarlah. Aku sudah tak peduli.Aku berjalan dengan langkah gontai melewati beberapa orang di ruang tamu. Tak kupedulikan sinar matahari yang sudah berganti dengan kehadiran rembulan di luar sana. Aku hanya ingin membuktikan bahwa aku tidak serendah apa yang mereka tuduhkan.Ini hanya soal hati yang tidak semua orang bisa memahami. Sebenarnya aku paham akan perasaan Mas Risky tetapi bagaimanapun itu tetap salah karena statusnya masih sah menjadi suami orang. Tak peduli dengan apa yang dilakukan Ad
Akhirnya Kumenemukanmu Suara "sah" menggema di seluruh ruangan masjid yang sudah sepi oleh jamaah. Syarat sah menikah secara siri tanpa susah payah sudah bisa dipenuhi oleh Mas Risky. Sehingga tak butuh waktu lama untuk melanjutkan prosesi ijab qabul di dalam masjid ini.Ada rasa haru yang mengeruak dalam dadaku. Tak kusangka jalan cintaku begitu rumit dan menyakitkan. Baru saja tadi aku mendapat hujatan dan sekarang aku mendapat sebuah kebahagiaan.Entah apa ini bisa disebut kebahagiaan atau malapetaka tetapi ini sungguh membuat debar dalam jantungku tak beraturan. Bunga-bunga dalam taman hati pun merekah sempurna.Mas Risky mengulurkan tangannya untuk kucium pertama kali sebagai suami yang sah. Ada haru dan bahagia terlebih gemetar tanganku saat memegang tangannya tak lagi dapat kututupi. Bahkan keringat dingin sudah membasahi telapak tanganku ini. Bibirku tersenyum malu-malu menatapnya."Selamat menempuh hidup baru. Tidak ada pernikahan tanpa ujian, sejatinya pernikahan itu ujian
Aku dan Mas Risky sama-sama kebingungan mencari Mama. Kemana perginya beliau yang sama sekali tak paham daerah sini. Rumah Bude Nikmah pun terlihat sepi. "Kemana lagi nyarinya, Mas? Semua ngga ada yang tahu." Aku berujar setelah bertanya pada beberapa tetangga yang kebetulan berada di luar.Mas Risky berusaha terlihat tenang. Ia tak mau gegabah. Terlebih Mama sudah dewasa dan masih normal atau belum pikun. Minimal Mama masih bisa kembali dengan selamat. Hanya saja kami panik karena beliau tak izin lebih dulu."Mama ngga akan hilang. Cuma pergi aja mungkin dan ngga pamit." Mas Risky mencoba menenangkanku."Iya. Tapi Mama kan ngga kenal siapa-siapa di sini. Gimana ngga panik coba?""Kita tunggu ya? Kamu tenang aja." Mas Risky menggandengku berjalan kembali menuju arah rumah. Ia tak mau terlihat kebingungan di jalanan. Sebaiknya kami menunggu saja di rumah.Aku duduk di kursi teras dengan cemas. Baru kali ini Mama keluar tanpa pamit. Bahkan Mas Dimas pun tak tahu kemana mamanya pergi.
Akhirnya Ku Menemukanmu"Kita balik?" tawar Mas Dimas malam ini. Bakda tarawih kami semua duduk bersantai di ruang tamu. Mengeratkan diri satu sama lainnya dengan obrolan yang ringan dan seru.Bu Maria terdiam. Ia memandangku dan Mas Risky bergantian."Kayaknya enak di sini. Sampai lebaran juga boleh. Gimana?" balas Bu Maria."Apa boleh kami menginap di sini sampai lebaran?" tanya Bu Maria. Kini wajah itu menghadap ke wajahku, seakan ia sedang meminta persetujuanku."Boleh dong, Ma. Silahkan saja. Sania malah senang bisa lebaran di kampung ini lagi.""Gimana, Mas?" tanyaku pada Mas Risky. Bagaimana pun aku harus meminta persetujuannya sebelum mengambil keputusan."Kalau Mama minta begitu ya sudah. Kita di sini dulu. Tapi aku minta Bi Siti buat antar Kiaa dulu ke sini. Biar rame.""Biar kujemput, Bang.""Apa Caca boleh ikutan?" sela Caca tak mau ketinggalan."Boleh. Ajak Mbak Mira juga boleh," sambut Mas Dimas malu-malu."Mbak Mira ikutan ya? Biar seru. Nanti bantu aku gendong adik Kia
Akhirnya Ku Menemukanmu "Halo Sayang," ujar Bu Maria ramah.Akan tetapi yang diberi ucapan malah bersembunyi dibalik badan langsing milik Mira. Ia memegang ujung baju Mira dengan eratnya. Seperti sedang merasa terintimidasi.Dadaku mencelos melihat sikap Caca. Begitu takutnya ia melihat wanita yang pernah marah-marah di hadapannya waktu itu. Tapi aku pun tidak bisa menyalahkan. Itu adalah sebuah respon natural dari apa yang pernah ia lihat dan saksikan. Terlebih sebuah kejadian itu tidak pernah ia alami sebelumnya.Aku berinisiatif untuk mendekati tubuh putriku. Bukan tidak mau, hanya saja butuh waktu dan pengertian. Aku memaklumi itu."Sayang, Nenek sudah minta maaf sama Mama. Nenek sudah baik sama Mama dan Papa. Caca jangan takut lagi ya? Nenek sayang kok sama Caca," ujarku sambil menoleh ke arah Bu Maria.Caca masih saja bersembunyi di balik badan Mira. Ia masih dengan posisi yang sama. Menggenggam erat baju Mira dengan kedua tangannya.Badan tambun yang wajahnya sudah terlihat se
Akhirnya Ku Menemukanmu "Maafkan aku, aku telah membuatmu menderita. Aku telah berbuat dosa padamu," lirih Bu Maria sambil terisak.Wanita yang kini mulai membuka hati untukku itu merengkuhku dalam dekapannya. Erat sekali. Dada yang naik turun tak beraturan itu membuatku turut merasakan sesak yang teramat sangat. Betapa dalam dirinya juga sebenarnya merasakan hal yang serupa denganku. Hanya saja terbalut gengsi dan malu untuk mengakui segala kesalahan yang telah diperbuat."Tidak, Ibu tidak berbuat dosa." Aku mengusap punggung lebar itu dengan lembut dan seirama. Sebisa mungkin aku tidak terlalu menyudutkan posisinya.Semakin tua seseorang, hati dan perasaannya makin sensitif. Sedikit saja ucapan atau perilaku yang tidak sesuai dengan keinginannya, pasti akan membuatnya mudah emosi atau marah-marah. Hal ini juga terjadi dengan Bu Maria, mertuaku. Sikap Bu Maria itu sudah fitrahnya sebagai orang tua yang sudah lanjut. Bahkan hal ini sudah dibahas dalam Al Qur'an. Ini yang membuatku b
"Ibu apanya Kiaa?" tanya Mbak Sari, yang sejak tadi diam menyaksikanku memeluk dan sesekali mencium gemas pipi Kiaa yang berada dalam dekapanku.Aku terdiam, lalu mendudukkan Kiaa di pangkuanku setelah memberinya sebuah mainan agar ia tak lagi merengek."Saya ibu sambungnya Kiaa." Aku menjawab sekenanya. Hendak menceritakan semua pun rasanya tak etis."Ibu sambung?" kagetnya. Kedua matanya melebar sambil menatapku tak percaya.Aku tersenyum melihat reaksinya. Wajar dia kaget melihat kedekatanku yang tidak biasanya. Terlebih saat ia bertemu denganku tadi, Bu Maria dalam keadaan marah-marah.Saat aku hendak mengalihkan pembicaraan, kulihat Bi Siti lewat di depan kamar Kiaa sambil membawa nampan berisi makanan."Mbak, nitip sebentar ya," ucapku sambil berdiri. Tanpa menunggu jawaban Mbak Sari, aku mengejar tubuh Bi Siti yang sedang berjalan menuju kamar Bu Maria. Ini adalah saat yang tepat untuk kembali merayu wanita paruh baya itu."Bi, makanannya buat Mama?" tanyaku setelah Bi Siti be
Akhirnya Ku MenemukanmuAku berjingkat mendengarkan suara yang tiba-tiba memekakkan telinga. Tangan yang semula sudah terulur untuk menggendong bayi mungil di hadapanku kembali kutarik. Wajahku yang semula sudah bahagia karena bisa melepas rindu dengan Kiaa, sekarang terdiam, bahkan cenderung tegang.Mas Risky berjalan beberapa langkah mendekati badanku berdiri di dekat pengasuh Kiaa. Aku menyambutnya dengan meraih pergelangan tangannya untuk kugenggam erat karena rasa takut yang kembali mendera."Jangan lagi sentuh cucuku," hardik Bu Maria keras. Dua bola mata itu membulat sempurna. Bahkan wajah yang pucat tak membuat dia menurunkan nada bicaranya.Jari telunjuk yang dihiasi dengan cincin emas itu mengarah sempurna searah dengan dua mataku. Aku tertegun, sebegitu besar bencinya terhadapku. Sungguh, perbuatan Mas Risky kemarin menyisakan dendam dalam sinar mata Bu Maria yang penuh luka."Kami datang untuk menjenguk Mama." Mas Risky mulai bersuara. "Mbak Sari, bawa Kiaa masuk kamar.
Melihat wajah Mas Risky yang cemberut, aku malah tertawa. Lucu saja melihat wajah tampannya dibuat jelek dengan bibir yang maju beberapa senti. Namun saat aku tergelak, tanpa aba-aba Mas Risky berdiri dan mengangkat tubuhku hingga aku memekik kaget."Mas," pekikku. Dengan cepat tanganku mengalung ke lehernya. Mataku membulat sempurna menatap wajahnya yang tepat berada di depanku. Tapi tak urung, aku menyandarkan kepalaku ke bahunya."Salah sendiri. Dibilang Mas lagi rindu malah cekikikan," kesalnya. Tapi tak urung wajah itu akhirnya tersenyum juga.Mas Risky meletakkan bobot tubuhku ke atas ranjang sederhana yang menjadi tempat bersatunya kami setelah akad beberapa waktu lalu. Ranjang yang menjadi saksi bahwa lelaki yang kerap kusebut dalam doaku benar-benar menyentuhku dengan segenap cinta dan kasih yang dia miliki."Habis Mas lucu sih." Aku masih saja tak bisa menahan bibirku untuk tidak tertawa."Kok lucu?" sela Mas Risky. Ia mengunci tubuhku di bawah tubuh gagahnya. Kedua tangann
Akhirnya Ku Menemukanmu 57"Mama sakit, Sayang." Mas Risky berujar setelah meletakkan ponselnya. Ia menatapku dalam tak berkedip."Kita ke sana?" tawarku pelan."Tidak."Aku terkejut. Mataku membulat menatap wajah suamiku yang duduk di sebelahku. Begitu tegasnya ia menolak."Mas, Ibumu sedang sakit, bagaimana mungkin Mas tidak mau datang ke sana?" tanyaku tak percaya."Tidak akan datang sebelum Mama mau menerimamu sebagai menantunya." Mas Risky berujar tanpa menatapku.Aku tertegun mendengar ucapan Mas Risky. Sebegitu kerasnya ia berusaha untuk memaksa Bu Maria untuk menerima kehadiranku."Mas sudah lelah menuruti apa kemauan Mama. Sudahlah, biarkan ini jadi pelajaran buat dia. Biar Mama juga sadar kalau anaknya juga punya kemauan, ngga harus selalu menuruti kemauan Mama saja."Mas Risky kembali meraih sendok yang sebelum menerima telepon ia letakkan. Ia mulai melahap masakanku yang menurutku setelah mendengar kabar ini semua makanan di depanku ini jadi hambar. Padahal sebelumnya aku
"Kamu ngga apa-apa, Dek?" tanya Mas Risky setelah ia terbangun. Gurat kekhawatiran terlihat jelas dari pandangan matanya yang tak lepas menatapku. Telapak tangannya berulang kali memegang dahiku.Hatiku berbunga mendapati perhatian dari lelaki yang telah lama berpisah denganku."Aku ngga apa-apa, Mas. Jangan khawatir." Aku menenangkan. Kuubah posisi tidurku menjadi duduk bersandar di sandaran ranjang."Jangan puasa ya?" pintanya sedikit memaksa."Enggak, Mas. Aku puasa aja. Sayang lebaran kurang beberapa hari lagi. Aku juga sudah bolong banyak." Aku mengelak. "Kamu lagi sakit, Dek.""Enggak. Langsung sembuh pas ketemu Mas di sini," elakku. "Nih lihat sudah sembuh," sambungku sambil kupegang dahiku sendiri.Mas Risky terdiam menatapku sambil mengerjap. Perlahan seulas senyuman terkembang dari bibirnya yang kemerahan. Dimataku ketampanannya meningkat drastis karena lama tak berjumpa. Lebay ya? Biar saja. Aku cinta.Tangan Mas Risky yang kokoh itu meraih jemariku dengan lembut, lalu ia