Terima kasih sudah membaca ~ Jangan lupa tinggalkan jejak~
Sandra meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya, meminta Naren untuk tidak mengeluarkan suaranya. Sandra berbisik pelan, “Gue mau main sama Rara.” Naren menatap Sandra, kemudian ia menarik tangan gadis itu agar bisa leluasa berbicara. “Lo tahu darimana alamat Rara?” tanya Naren menatap gadis di hadapannya curiga. Sandra terkekeh kecil, “Santai dong. Gue suruh orang buat cari tahu,” kata Sandra. “Oh terus ketemu alamat ini ya,” ujar Naren. Ia kemudian menyandarkan tubuhnya di dinding. Sandra menoleh pada Naren, “Lo kok pakai baju begitu?” tanya Sandra penasaran. Sandra menatap Naren dari atas ke bawah, laki – laki itu hanya memekai kemeja formal dan celana formal. “Kaya orang abis pulang kerja,” komentar Sandra jujur. Naren menatap dirinya sendiri, ia menggaruk tengkuknya. “Terserah gue,” balas Naren singkat. “Lo ada masalah sama Rara?” celetuk Sandra. Naren menggeleng. Matanya sesekali melirik belakang Sandra, khawatir Rara selesai di taman belakang. “Terus ngapain nginti
Naren turun dari mobil sedan, ia memberikan kunci mobilnya ke penjaga yang berjaga di pintu depan. “Tolong ya,” kata Naren. Ia melangkahkan kakinya ke lift yang berada di perusahaan Kidan. Salah satu pegawai masuk ke lift dengannya. “Mau ke lantai berapa?” tanya wanita itu tersenyum ramah. “Lantai paling atas,” jawab Naren. Wanita itu tampak terkejut. Ia menekan nomor 17, kemudian menekan nomor 5. Wanita itu melirik Naren terus – terussan hingga lelaki itu jengah akan kelakuannya. “Anda mau mengatakan sesuatu?” tanya Naren. Wanita itu tersenyum manis, “Kalau boleh tahu Kakaknya kerja di bagian apa? Saya baru melihat pertama kali,” katanya dengan nada penasaran. Naren menatap wanita itu datar, “Saya pengawal. Saya memang jarang kesini,” sahut Naren dingin. Sebelum wanita itu mengatakan sesuatu, Naren menyela, “Sebentar lagi lantai lima,” infonya. Ting Suara lift terbuka. Wanita cantik itu keluar, ia tersenyum sopan pada Naren sembari melambaikan tangannya. “Kaya anak magang,”
Rara melambaikan tangannya pada Sonia. Ia berpisah dengan sahabatnya karena berbeda arah. Sonia sudah menawari Rara untuk diantar. Sayangnya, gadis itu menolak. Rara melangkahkan kakinya ke halte bus. Rara menyalakan ponselnya yang sejak tadi ia matikan. Ia mengerutkan keningnya ketika layar ponselnya tidak menyala. “Jangan bilang habis,” gumam Rara sembari menekan tombol hidup di ponselnya. Rara meneguk ludahnya kasar karena ponselnya tak kunjung menyala. Ia memperhatikan sekelilingnya jalanan terlihat sepi. Ia menatap jam tangannya, sudah jam 9 malam. Rara duduk di kursi yang ada di halte bus. Ia menghela napas, perasaannya tak tenang. “Gue harus kemana?” tanya Rara bingung. “Gue gak tahu rumah Sonia.” Ia tidak membawa uang sedikitpun. Rara tadi membayar ojol dengan isi dana yang masih tersisa. “Apa gue ke rumah lama aja?” monolog Rara. Akhirnya, Rara memilih untuk ke rumah kecilnya. Tidak sampai 15 menit, Rara sudah sampai di rumah lamanya. Beruntung, kediaman lamanya dekat.
“Mereka ngapain?” tanya Rara menatap dari teras rumah para pria yang kemarin sempat membuatnya takut. Bibi Nia dengan takut menjawab, “Bibi bingung jelasinnya.” Rara menoleh pada Bibi Nia, “Aku harus nanya ke Naren?” tanya Rara. Ia mencari sosok Naren yang tidak dapat ia temukan. “Naren sedang berlari selama lima puluh keliling,” sahut Bibi Ica yang sejak pagi memperhatikan kegiatan kelima pengawal itu dan Naren. “Lima puluh? Terus mereka berapa?” tanya Rara menoleh pada Bibi Ica yang berdiri di sebelah kanannya. “Bibi tidak tahu, Non. Naren selalu lebih banyak dibanding bawahannya, itu sebagai bentuk hukuman untuknya sendiri,” jawab Bibi Ica. “Tapi, dia bisa pingsan,” gumam Rara khawatir. “Apa Nona akan tetap melihat kegiatan mereka?” tanya Bibi Nia. Rara memandang mereka semua dari jauh. Ia menatap pohon rindang yang kira – kira bisa membuatnya berteduh. “Aku bisa lihat dari situ gak?” tanya Rara sembari menunjuk pohon rindang itu. “Aku akan ambil kursi dulu.” “Nona yakin?”
Rara tertawa meremehkan, “Sok tahu lo,” tanggap Rara. “Saya perlu menjelaskan semuanya tentang mereka sekarang ya,” kata Naren menatap kedua pelayan yang berdiri di belakang Rara. Lelaki itu mengkode kedua pelayan itu untuk memberi jarak untuk keduanya. “Kita permisi dulu ya, Non,” izin Bibi Ica. Bibi Ica dan Bibi Nia berlalu dari samping Rara. Rara menatap kelima pria itu. “Kalian boleh istirahat dulu,” kata Rara menyinggungkan senyumnya. Terdengar helaan napas lega dari kelima pengawal itu. Naren menatap datar kelima pengawalnya, “Tidak. Berdiri di depan pohon rindang itu,” perintah Naren. “Naren!” sentak Rara kesal. Naren menoleh pada Rara sebentar, kemudian matanya kembali fokus menatap bawahannya. “Kalian ngapain disini?” tanya Naren dingin. Kelima pengawal itu berlari kecil ke bawah pohon rindang. Kemudian berdiri di depannya, menatap pohon rindang itu. “Jadi, kita mulai darimana?” tanya Naren. Ia menatap ekspresi Rara yang kesal. Rara menghela napas panjang, “Lo gak kas
Jevan menyamankan posisi duduk di mobilnya. Ia membuka kotak itu perlahan. ‘Ini barang masa kecil gue ya.’ Batin Jevan menatap mainan mobil – mobillan yang dibelikan sang Ibu saat ia menginjak usia lima tahun. Jevan mengeluarkan berbagai mainan masa kecilnya. Dimulai dari mobil mainan, action figure favoritnya, dan robot yang bisa berubah menjadi mobil. Jevan tersenyum sendu melihat mainan masa kecilnya. Jevan mengambil surat yang terletak di paling dasar kotak itu. Jevan menarik napas panjang kemudian mengeluarkannya perlahan. ia berusaha mengatur detak jantungnya. Sret Halo Jevan, anak kebanggaan Ibu Kalau surat ini ada di kamu dan dibuka olehmu, artinya kamu sudah berhasil menemukan tempat terpencil ini. Jalanannya rusak ya. Kamu pasti kesulitan menghadapi rintangan. Mobilmu tidak apa, kan? Jevan menutup surat dari Ibunya. Ia terkekeh kecil membacanya. “Mobil aku gak apa, Bu,” tanggap Jevan sembari kembali membuka surat dari Ibunya. Sayang… Ibu minta maaf ya sudah meni
Naren membungkuk sopan pada pria di depannya. “Maaf, saya datang terlambat,” kata Naren sopan. “Apa saja yang kamu lakukan dari kemarin?” tanya pria itu dingin. Naren mengangkat kepalanya. “Saya sibuk akan tugas –“ Prang Naren menahan napasnya melihat atasannya melemparkan vas bunga ke lantai hingga pecah. “Kamu! Akhir – akhir ini kerjamu berantakan!” sentak pria itu kesal. Naren menundukkan kepalanya mendengar emosi yang meledak dari atasannya. “Saya memang salah. Tapi, saya sudah mendapatkan rekomendasi tempat untuk makan malam,” kata Naren pelan. “Ambil itu, Na,” perintah Tuan Zarhan pada sekertarisnya yang bernama Naziah. “Baik, Bos,” sahut sekertaris itu sembari mendekati Naren. Naziah memberikan map pada Tuan Zarhan. Sekertaris itu mengambil posisi berdiri di samping atasannya. Tuan Zarhan membaca dengan tenang isi map itu. Pria setengah abad itu tak mau melewati detail yang ada dari masing – masing tempat. “Saya akan kesini dengan keluarga inti,” terang Tuan Zarhan me
Rara meneguk jus tomatnya pelan. Ia dan Jevan sudah selesai makan. Rara melirik Jevan yang mengeluarkan ponselnya. Jevan menunjukkan layar ponselnya pada Rara. “Gue kemarin kesini. Ini tuh tempat loker yang ada maknanya,” cerita Jevan memulai pembicaraan. Rara manggut – manggut mengerti. Ia menatap Jevan yang kembali menarik ponselnya. “Di kertas yang lo kasih ada alamat yang harus gue datengin. Pas gue kesana, gue dikasih tahu sama pemiliknya kalau Nyokap kesana…” Jevan menjeda ucapannya. Rara dengan hati berdebar menunggu kelanjutan cerita Jevan. “Nyokap gue kasih gue kotak. Isinya kaya surat perpisahan…” lanjut Jevan setelah menghela napas. “Nyokap gue juga bilang kalau lo emang gak bisa kasih tahu tentang penyakitnya.” Rara menatap Jevan yang tampak berkaca – kaca. Rara mengeluarkan tisu dari tasnya dan memberikan pada lelaki di depannya. “Gue minta maaf, Ra. Udah emosi dan nyalahin lo atas segalanya,” sesal Jevan menunduk. “Lo gak usah minta maaf, Jev. Gue pun sadar kalau
Satu tahun kemudian.“Nona, sudah siap?” tanya Naren.Rara mengangguk. Ia meletakkan sendok dan garpunya di atas piring dan membalikkannya, tanda sudah selesai.“Bi, aku sudah selesai. Tolong bawa ini,” ucap Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu mengambil piring kotor Rara lalu meninggalkan ruang makan.“Lo duduk dulu. Kita ngobrol,” ujar Rara menatap Naren yang berdiri tak jauh.Naren mendekat pada Rara dan duduk di depan gadis itu.“Besok jam delapan ya?” tanya Rara.“Iya. Jangan sampai terlambat,” jawab Naren.“Lo yang ngantar gue kan?” tanya Rara.“Nona, sudah lebih dari tiga kali anda bertanya,” tanggap Naren terkekeh kecil.Rara mengulas senyum. Ia menghela napas panjang.“Gue cuman gak nyangka aja akan begini jadinya,” balas Rara.“Nona sendiri yang ingin pergi,” kata Naren lembut.“Yah..gue cuman…” Rara menjeda ucapannya. Ia memilih tidak melanjutkan ucapannya.Keheningan melanda keduanya. Rara dan Naren sama – sama bungkam. Naren melirik Rara yang sibuk memainkan jemari tanga
Hari yang dilalui Rara tampak biasa saja. Hubungannya dengan kedua orang tuanya berjalan normal. Rara pun sudah berusaha menerima keadaan, walaupun saat ia berdiam diri di kamar, ia memikirkan orang tuanya yang tidak bersama lagi.“Nona, ada panggilan masuk,” kata Bibi Ica seraya mengetuk pintu kamarnya.Rara bangkit dari duduknya. Ia membuka pintu untuk Bibi Ica.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Tuan besar menelopon lewat telepon rumah. Beliau kebingungan karena nona tidak menjawab panggilannya,” tutur Bibi Ica.“Baterai HP aku habis,” ucap Rara. “Bilang aja ke ayah, aku akan membalasnya setelah HP aku penuh.”Bibi Ica mengangguk kecil. Wanita itu tampaknya ingin mengatakan sesuatu.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Nona, dibawah ada pengawal nona. Dia tetap datang hari ini,” ucap Bibi Ica.“Ngapain Naren kesini? Bukannya aku udah bilang kalau hari ini libur untuknya?” tanya Rara bingung.“Saya tidak tahu. Dia katanya hanya ingin melanjutkan kegiatan menjaga keselamatan nona saja,” sahut Bibi Ica.
“Apa mamah dan ayah masih bersama?” tanya Rara.Sempat terjadi keheningan saat Rara bertanya. Rara memperhatikan ekspresi kedua orang tuanya satu persatu. Gadis itu menundukan kepala.“Maaf, aku terkesan lancang ya,” ucap Rara.“Tidak Nak,” balas Ayah Zarhan.“Rara sayang, bukannya kamu sudah tahu tanpa harus bertanya?” tanya Mamah Windia lembut.Rara mengangkat kepalanya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, tidak tahu harus menanggapi seperti apa.“Ayah dan mamah sudah bercerai setelah mamahmu keluar dari RSJ. Mamahmu kecewa karena kamu dipindahkan ke panti asuhan dan ayah juga merasa hubungan kami memang tidak satu tujuan lagi. Hubungan komunikasi kami memburuk dan saling menjaga jarak masing – masing,” kata Ayah Zarhan menjelaskan.“Sekarang kami akan berusaha untuk tetap berkomunikasi agar kamu juga nyaman, walaupun kami masih agak canggung,” tambah Mamah Windia.“Ah begitu…” Rara menyinggungkan senyum. “Jadi ayah dan mamah sudah cerai ya?”“Iya Nak,” jawab Ayah Zarhan.“Rara, ini
Keheningan melanda ruang tamu di kediaman Rara. Rara melirik Bibi Ica yang berdiri di sebelah kanan. Wanita paruh baya itu hanya diam mengawasi sosok yang duduk di depan majikannya.“Bi, aku kenal dia,” ucap Rara.“Iya Nona. Nona mau mengobrol berdua dengannya?” tanya Bibi Ica.“Iya Bi, tolong ya,” balas Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu segera meninggalkan ruang tamu.“Lo sendiri gak akan pergi?” tanya Rara menatap Naren.Naren terdiam sejenak. Lelaki itu masih was – was kalau harus membiarkan Rara berdua dengan orang yang tidak bisa ia cari tahu.“Gue gak akan melakukan hal jahat ke Rara,” kata sosok itu sadar Naren menatapnya datar.“Saya gak bisa percaya, mengingat Nona Rara meminta saya untuk tidak mencaritahu tentang anda lebih jauh,” balas Naren.“Ren, lo kan udah tahu kalau Leo itu yang kasih tahu gue,” timpal Rara.“Saya tahu itu Nona, tapi saya ingin mendengar ucapannya langsung,” balas Naren.“Gue yang kasih nomor sopir truk ke Bu Unike. Itu salah gue,” terang Leo.“Sa
Sandra seketika merasa bersalah. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal.“Maaf gue gak bermaksud untuk bertingkah kaya gitu,” ujar Sandra.“Kenapa lo ngikutin gue dan Rara waktu itu?” tanya Naren.“Gue penasaran. Gue nyangkanya lo adalah pembantu Rara, gue gak mau kalau lo merasa rendah diri,” terang Sandra.“San, gue gak merasa rendah diri,” tanggap Naren.“Terus apa yang lo rasain?”Pertanyaan Sandra membuat Naren terdiam. Naren menarik napasnya perlahan lalu menghembuskannya perlahan.“Gue cuman merasa perlu ada batas antara gue dan Rara. Dia adalah atasan gue dan gue bawahan dia,” sahut Naren tersenyum.“Lo merasa kaya gitu gak sama Jevan?” tanya Sandra.Naren menggeleng kecil, “Gue anggap dia teman yang baik. Walaupun Jevan juga tahu tentang gue.”“Jevan juga tahu?” tanya Sandra terkejut.“Iya dia tahu. Makanya gue kadang juga kaku sama dia,” jawab Naren.“Kalau gue gimana? Lo ngerasa kaku?” tanya Sandra seraya menunjuk dirinya sendiri.“Kalau sama lo, gue biasa aja. Lo itu orang
Hari minggu.Rara menatap nasi goreng di depannya. Gadis cantik itu tidak berniat menyentuh makanan favoritnya. Ia masih tenggelam dalam lamunannya tentang“Nona Rara,” panggil Bibi Ica seraya menepuk bahu Rara.Rara tersadar dari lamunannya. Ia menatap Bibi Ica dengan tanya.“Iya Bi?”“Nasi goreng Nona nanti dingin,” kata Bibi Ica lembut.Rara terdiam beberapa detik. “Bi, kalau Naren kesini -”Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, suara langkah kaki mengalihkan fokus. Rara menatap Naren yang baru saja datang.“Nona ingin berbicara berdua dengan Naren?” tanya Bibi Nia.Rara mengangguk. Ia melihat Bibi Nia dan Bibi Ica yang menjauh dari ruang makan.“Ren, duduk dulu,” ucap Rara.Naren mengangguk.“Gue belum bisa ambil keputusan tentang rekaman suara itu,” terang Rara menghela napas. “Gue gak setega itu ngebuat Bu Unike sampai dipenjara.”“Nona, saya akan mengikuti keputusan Nona. Untuk saat ini, jangan bertemu dulu dengan Bu Unike ya,” pinta Naren.“Kenapa?”“Menurut laporan, Bu Uni
Rara meletakan sendok di sebelah piringnya. Gadis itu sudah selesai makan. Ia menatap Bu Unike yang bersiap untuk kue kering yang biasa wanita itu buat.“Bu, ada yang mau aku bahas sekarang,” kata Rara.“Ada apa Nak?” tanya Bu Unike kembali duduk di kursinya.“Bu, apa ibu menyembunyikan sesuatu dari aku?” tanya Rara hati – hati.“Apa maksudmu Nak?” tanya Bu Unike bingung.“Bu, aku tahu tentang dalang kecelakaan aku,” terang Rara.Wajah Bu Unike berubah panik dan tak nyaman. Wanita paruh baya itu menggigit bibir bawahnya, menahan diri untuk bertanya lebih jauh.“Ibu gak mau tahu?” tanya Rara seraya menatap Bu Unike yang hanya diam.“Rara, sebaiknya kamu pulang sekarang saja ya,” ucap Bu Unike menatap Rara dengan tatapan merasa bersalah.“Bu, jangan menghindar. Jelasin ke aku penjelasan yang dikatakan Leo,” pinta Rara memelas.“Bukan Ibu yang melakukannya, Nak,” sanggah Bu Unike cepat.“Bu, hari ini aku baru aja ketemu Leo. Dia jelasin dari sisi dia, kalau ibu yang menyewa sopir truk it
Rara menatap bangunan yang menjadi saksi tumbuh besar dirinya. Gadis itu menarik napas kemudian menghembuskan perlahan. Rara menenangkan dirinya terlebih dahulu, ia tidak mau pertemuannya dengan Bu Unike menjadi kacau akibat omongan Leo.Setelah cukup tenang, Rara mengetuk pintu panti asuhan.“Aku pulang!” seru Rara cukup keras.Rara mencoba memegang kenop pintu panti asuhan. Gadis itu mengerutkan kening karena pintu panti tidak dikunci. Ia melangkah masuk ke dalam panti asuhan.“Halo? Rara pulang,” ucap Rara.Rara melangkah ke halaman belakang panti asuhan, “Bu Unike, aku pulang.”Rara menghentikan langkahnya saat melihat punggung yang ia rindukan. Wanita itu terdiam, tampak tenggelam dalam lamunannya. Di depan Bu Unike ada secangkir teh dan beberapa kue kering.“Bu Unike?” tanya Rara ragu.Wanita cantik itu mengangkat kepalanya. Matanya melotot melihat sosok di depannya.“Rara? Ini kamu Nak?” tanya Bu Unike langsung berdiri.Rara tersenyum hangat, gadis itu mengangguk kecil.“Kamu p
Rara masuk ke dalam kelasnya. Ia duduk di bangkunya.“Lo kemana tadi?”Rara menatap Jevan dengan rasa bersalah. “Maaf, gue tadi ke toilet. Terus gue jalan – jalan,” balas Rara berbohong.“Gue khawatir banget sama lo sampai nelepon lo berkali – kali,” kata Jevan.“Gue juga gak bawa HP,” balas Rara.“Yang penting lo udah balik, gue gak masalah,” ucap Jevan.Jevan hendak duduk di sebelah Rara untuk kembali mengobrol, tetapi guru selanjutnya sudah datang ke kelas. Jevan bergegas kembali ke bangku.“Oke anak – anak, siapkan kertas selembar,” kata Pak Dono.Seketika kelas langsung ribut. Mereka langsung memprotes dan panik karena belum belajar sama sekali.“Tidak ada yang protes. Saya sudah menyiapkan soalnya, segera tulis,” ucap Pak Dono tegas.Rara mulai fokus mendengar perkataan dari Pak Dono. Ia yakin dirinya akan mendapatkan nilai bagus karena gadis itu selalu membaca ulang materi minggu kemarin sebelum kelas dimulai.“Tidak boleh ada yang menyontek atau bertanya. Kalau ada yang begitu