Terima kasih sudah membaca~ Jangan lupa tinggalkan jejak~
Jevan membeku mendengar ucapan sang ayah. Ia mengerutkan keningnya. “Ayah tahu kalau Ibu punya penyakit?” tanya Jevan selidik. Ayah Haris tersenyum hangat menatap putranya. Tak lama kemudian, ia mengangguk. “Kenapa…kenapa Ayah gak bilang ke aku?” tanya Jevan lemah. Ayah Haris menghela napas panjang. Ia menatap bingkai foto yang terletak di atas meja kerjanya. “Awalnya, ayah pun gak tahu, Nak. Ibumu tiba – tiba meminta berpisah rumah…” sahut Ayah Haris menggantungkan ucapannya. “Terus gimana lagi?” tanya Jevan tak sabar. “Ayah menyelidiki ke rumah Ibumu, meski semua pelayan membungkam mulut,” terang Ayah Haris. “Lalu, Ayah bertemu dengan dokter yang menangani Ibumu. Akhirnya, mereka ngaku setelah Ayah paksa.” “Terus Ayah gak berusaha bujuk Ibu?” tanya Jevan berharap. “Ayah berusaha, Jev. Tapi, Ibumu tak mendengar dan selalu menolak,” ungkap Ayah Haris. “Ibu gak benci aku kan?” tanya Jevan. “Tidak, Nak. Dia sangat menyayangi kamu, Ibumu takut kalau kamu tahu tentang penyakitny
Naren masuk dengan perlahan. Di belakangnya, Rara mengikuti dengan menggenggam erat parfum yang berisi bubuk cabai. Rara menutup mulutnya melihat kondisi ruang tamu Panti Asuhan Bahagia. Buku berserakan, vas bunga yang pecah, dan bingkai foto yang retak. “Apa yang terjadi disini?” tanya Rara kaget. Rara memunguti bingkai foto yang retak, ia menatap sendu wajah orang yang ada di foto. “Nona, saya rasa di dalam ada suara yang menangis,” kata Naren menatap langit – langit ruang tamu. Lelaki itu mencari CCTV. “Lo ikut masuk ke dalam?” tanya Rara. Naren mengangguk. Lelaki itu berjalan terlebih dahulu, Rara di belakangnya berlindung. “Saya rasa aman, Non,” kata Naren memperhatikan sekelilingnya. Rara berlari ke taman belakang. Ia mendapati Bu Unike dan Jessica yang menyapu pecahan piring. Resti menenangkan Darel yang menangis keras. “Ibu!” Rara berlari kecil mendekati Bu Unike. Bu Unike menoleh pada Rara, wanita cantik itu tampak terkejut. “Rara..” gumam Bu Unike. “Apa yang terjadi
Rara mendekati Naren yang sibuk dengan ponselnya. Gadis cantik itu menepuk bahu Naren pelan. “Mereka akan datang sebentar lagi,” info Naren melirik Rara. Rara berdiri di sebelah Naren. Ia menatap laki – laki itu dari atas ke bawah, seolah menilainya. ‘Ternyata dia lebih tinggi dibanding Jevan,’ batin Rara. “Ada apa, Non?” tanya Naren tanpa menoleh pada Rara. Rara mengedipkan matanya beberapa kali. Ia mengalihkan pandangannya ke depan. “Nanti mereka akan nanya apa?” tanya Rara mengalihkan pembicaraan. “Itu tergantung mereka. Saya meminta untuk membersihkan keadaan panti,” terang Naren. Beberapa saat kemudian, lima mobil datang. Naren dan Rara menatap mobil itu, mereka otomatis mundur karena mobil itu berhenti di depan keduanya. Seorang wanita dan seorang pria turun dari mobil paling depan. Keduanya mendekati Rara dan Naren. ‘Ngapain sekertaris Tuan Besar disini?’ batin Naren bingung. “Perkenalkan, saya Naziah, sekertaris Tuan Besar,” ucap wanita cantik itu mengulurkan tangann
Naren berjalan dengan cepat tanpa memedulikan Rara yang berusaha menyamakan langkah kakinya. Naren segera mendekati Satria. “Ada apa, Pak?” tanya Naren dengan napas terengah – engah. Satria melirik Rara yang menyusul langkah Naren. Langkah gadis cantik itu terhenti karena Naziah memberikan sebotol air mineral padanya. “Kamu tidak menunggu Nona Rara?” tanya Satria. Naziah dan Rara mendekati Satria dan Naren. Naren melirik Rara, kemudian menatap pria di depannya. “Anda menyuruh saya untuk datang kesini dengan cepat. Jadi, ada apa?” tanya Naren mengabaikan pertanyaan Satria sebelumnya. “Tadi hanya untuk mengetes kegesitan kamu, Naren,” sahut Naziah. “Siapa sangka, kamu malah mengabaikan keselamatan Nona Rara,” timpal Satria. Rara yang tak tahu apapun, memilih berusaha berpikir keras akan ucapan kedua orang dewasa itu. Ia rasa pengawalnya dalam posisi yang tidak menguntungkan. “Tapi, logikanya kalau disuruh cepat datang, orang gak bisa berpikir jernih. Biasanya akan langsung panik
Jarvis mengangakat wajahnya begitu mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Laki – laki itu menemukan Sandra yang berdiri tepat di depannya. “Jev,” panggil Sandra lirih. “Naren bareng Rara pas kecelakaan?” Jarvis menatap Sandra sekilas, ia menepuk kursi di sebelahnya, mengkode Rara untuk duduk di sebelahnya. “Mereka mau ke suatu tempat,” duga Jevan. Gadis yang ceria itu mengacak rambutnya asal. “Kemana? Lo tahu?” tanya Sandra. “Gue udah suruh orang baut check. Gue rasa ada yang berniat nyelakai mereka,” ungkap Jevan. Sandra mengerutkan keningnya, ia menoleh pada temannya. Sandra tertawa kecil sebagai tanggapan. “Jangan bercanda, Jev. Mereka masih SMA, kenapa harus ada yang bikin mereka celaka?” tanya Sandra serius. “Mungkin, ada orang yang gak mau mereka ke tempat itu,” celetuk Jevan mengangkat bahunya “Mereka baru 17 tahun, Jev,” sentak Sandra. “Tapi, lo tahu kejamnya dunia bisnis,” kata Jevan. Sandra menyadar di kursi rumah sakit. Ia menghela napas panjang, gadis cantik
Hari ini, Rara merasa lebih baik. Gadis cantik itu cukup senang karena perkembangannya yang cukup pesat. Sayangnya, perkembangan Naren tidak ada perubahan. Lelaki itu masih tenggelam dalam dunia mimpi. Rara tidak ditemani siapapun di ruangan VVIP –nya karena Sandra dan Jevan bersekolah. Awalnya, Sandra menolak dan ingin menemaninya. Tetapi, Rara meyakinkan sang sahabat untuk mengutamakan sekolah dahulu. “Gabut banget gue,” monolog Rara. Rara menggeser pintu ruangan VVIP –nya. Ia akan mencari udara segar saja. Kakinya melangkah menuju taman di rumah sakit. Rara duduk di kursi taman. Ia menatap sekitarnya, para pasien yang ada di taman ditemani oleh keluarga. Rara memang tak mengabari kedua orang tuanya dan Bu Unike, ia tak mau membuat mereka khawatir. “Rara.” Rara menoleh pada sumber suara. Matanya membola melihat sosok wanita yang ia sayangi. “Bu Unike,” panggil Rara terharu. Wanita paruh baya itu mendekati Rara dan memeluknya erat. “Rara, kenapa kamu tidak mengabari Ibu?” tany
“Sandra,” gumam Rara pelan. “Maksudnya apa?” tanya Sandra menatap Rara dan Jevan. Sandra menatap wanita paruh baya itu, baru pertama kali dirinya bertemu dengan wanita itu. Keheningan menyelimuti ruangan VVIP itu. Baik Rara dan Jevan sama – sama bungkam dan tak berniat berbicara. Hingga, suara Bu Unike mengalihkan lamunan ketiganya. “Ini siapa? Ibu baru pertama kali bertemu denganmu,” ujar Bu Unike mendekati Sandra. “Halo, Bu. Nama saya Sandra, teman sekelas Rara dan Jevan,” sahut Sandra sopan. Bu Unike menuntun Sandra untuk duduk di sofa. Rara berdiri, ia berniat kembali duduk di kursi rodanya. Jevan yang cenderung peka menggeser kursi roda Rara. “Silakan duduk,” ucap Jevan. Rara mengangguk pada Jevan. Ia melihat Sandra tampak kebingungan duduk di samping Bu Unike. “Nak Sandra, cantik sekali,” puji Bu Unike pada Sandra. “Terima kasih, Bu,” balas Sandra. “Jadi, Ibu itu siapa?” Bu Unike menatap Rara, seolah meminta izinnya. Rara tampak kebingungan karena ia tak mau meminta wan
Rara membulatkan matanya mendengar usul Sandra. Terlintas di benaknya, wajah terkejut Pak Haris, Ayah Jevan. “Lo bercanda ya? Usul lo bikin orang yang datang pas makan malam kaget,” tutur Rara. Sandra meringis membayangkannya. Ia tersenyum manis pada Rara, “Tapi, gue pikir itu ide yang bagus. Ayolah, Ra,” bujuk Sandra memelas. “Gak bisa gitu dong, San. Ide lo beneran bisa bikin semuanya kacau,” tolak Rara. Sandra menghela napas, “Coba dulu aja.” Rara menyadari Sandra menatapnya dengan tatapan memohon. Gadis cantik itu tak tega melihatnya, hatinya sedikit terbuka untuk menerima ajakan Sandra. “Gue rasa-“ “Gue baru selesai,” ucap Jevan sembari masuk ke ruangan VVIP. Sandra dan Rara menatap Jevan. Lelaki itu menyadari ada aura yang berbeda saat berkontak mata dengan Rara. “Ada apa nih?” tanya Jevan seraya menggeser kursi agar leluasa mengobrol dengan kedua temannya. “Dia nih. Lo harus denger ide Sandra,” tunjuk Rara. Jevan menoleh pada Sandra dan menatapnya dengan tanya. “Gue
Satu tahun kemudian.“Nona, sudah siap?” tanya Naren.Rara mengangguk. Ia meletakkan sendok dan garpunya di atas piring dan membalikkannya, tanda sudah selesai.“Bi, aku sudah selesai. Tolong bawa ini,” ucap Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu mengambil piring kotor Rara lalu meninggalkan ruang makan.“Lo duduk dulu. Kita ngobrol,” ujar Rara menatap Naren yang berdiri tak jauh.Naren mendekat pada Rara dan duduk di depan gadis itu.“Besok jam delapan ya?” tanya Rara.“Iya. Jangan sampai terlambat,” jawab Naren.“Lo yang ngantar gue kan?” tanya Rara.“Nona, sudah lebih dari tiga kali anda bertanya,” tanggap Naren terkekeh kecil.Rara mengulas senyum. Ia menghela napas panjang.“Gue cuman gak nyangka aja akan begini jadinya,” balas Rara.“Nona sendiri yang ingin pergi,” kata Naren lembut.“Yah..gue cuman…” Rara menjeda ucapannya. Ia memilih tidak melanjutkan ucapannya.Keheningan melanda keduanya. Rara dan Naren sama – sama bungkam. Naren melirik Rara yang sibuk memainkan jemari tanga
Hari yang dilalui Rara tampak biasa saja. Hubungannya dengan kedua orang tuanya berjalan normal. Rara pun sudah berusaha menerima keadaan, walaupun saat ia berdiam diri di kamar, ia memikirkan orang tuanya yang tidak bersama lagi.“Nona, ada panggilan masuk,” kata Bibi Ica seraya mengetuk pintu kamarnya.Rara bangkit dari duduknya. Ia membuka pintu untuk Bibi Ica.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Tuan besar menelopon lewat telepon rumah. Beliau kebingungan karena nona tidak menjawab panggilannya,” tutur Bibi Ica.“Baterai HP aku habis,” ucap Rara. “Bilang aja ke ayah, aku akan membalasnya setelah HP aku penuh.”Bibi Ica mengangguk kecil. Wanita itu tampaknya ingin mengatakan sesuatu.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Nona, dibawah ada pengawal nona. Dia tetap datang hari ini,” ucap Bibi Ica.“Ngapain Naren kesini? Bukannya aku udah bilang kalau hari ini libur untuknya?” tanya Rara bingung.“Saya tidak tahu. Dia katanya hanya ingin melanjutkan kegiatan menjaga keselamatan nona saja,” sahut Bibi Ica.
“Apa mamah dan ayah masih bersama?” tanya Rara.Sempat terjadi keheningan saat Rara bertanya. Rara memperhatikan ekspresi kedua orang tuanya satu persatu. Gadis itu menundukan kepala.“Maaf, aku terkesan lancang ya,” ucap Rara.“Tidak Nak,” balas Ayah Zarhan.“Rara sayang, bukannya kamu sudah tahu tanpa harus bertanya?” tanya Mamah Windia lembut.Rara mengangkat kepalanya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, tidak tahu harus menanggapi seperti apa.“Ayah dan mamah sudah bercerai setelah mamahmu keluar dari RSJ. Mamahmu kecewa karena kamu dipindahkan ke panti asuhan dan ayah juga merasa hubungan kami memang tidak satu tujuan lagi. Hubungan komunikasi kami memburuk dan saling menjaga jarak masing – masing,” kata Ayah Zarhan menjelaskan.“Sekarang kami akan berusaha untuk tetap berkomunikasi agar kamu juga nyaman, walaupun kami masih agak canggung,” tambah Mamah Windia.“Ah begitu…” Rara menyinggungkan senyum. “Jadi ayah dan mamah sudah cerai ya?”“Iya Nak,” jawab Ayah Zarhan.“Rara, ini
Keheningan melanda ruang tamu di kediaman Rara. Rara melirik Bibi Ica yang berdiri di sebelah kanan. Wanita paruh baya itu hanya diam mengawasi sosok yang duduk di depan majikannya.“Bi, aku kenal dia,” ucap Rara.“Iya Nona. Nona mau mengobrol berdua dengannya?” tanya Bibi Ica.“Iya Bi, tolong ya,” balas Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu segera meninggalkan ruang tamu.“Lo sendiri gak akan pergi?” tanya Rara menatap Naren.Naren terdiam sejenak. Lelaki itu masih was – was kalau harus membiarkan Rara berdua dengan orang yang tidak bisa ia cari tahu.“Gue gak akan melakukan hal jahat ke Rara,” kata sosok itu sadar Naren menatapnya datar.“Saya gak bisa percaya, mengingat Nona Rara meminta saya untuk tidak mencaritahu tentang anda lebih jauh,” balas Naren.“Ren, lo kan udah tahu kalau Leo itu yang kasih tahu gue,” timpal Rara.“Saya tahu itu Nona, tapi saya ingin mendengar ucapannya langsung,” balas Naren.“Gue yang kasih nomor sopir truk ke Bu Unike. Itu salah gue,” terang Leo.“Sa
Sandra seketika merasa bersalah. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal.“Maaf gue gak bermaksud untuk bertingkah kaya gitu,” ujar Sandra.“Kenapa lo ngikutin gue dan Rara waktu itu?” tanya Naren.“Gue penasaran. Gue nyangkanya lo adalah pembantu Rara, gue gak mau kalau lo merasa rendah diri,” terang Sandra.“San, gue gak merasa rendah diri,” tanggap Naren.“Terus apa yang lo rasain?”Pertanyaan Sandra membuat Naren terdiam. Naren menarik napasnya perlahan lalu menghembuskannya perlahan.“Gue cuman merasa perlu ada batas antara gue dan Rara. Dia adalah atasan gue dan gue bawahan dia,” sahut Naren tersenyum.“Lo merasa kaya gitu gak sama Jevan?” tanya Sandra.Naren menggeleng kecil, “Gue anggap dia teman yang baik. Walaupun Jevan juga tahu tentang gue.”“Jevan juga tahu?” tanya Sandra terkejut.“Iya dia tahu. Makanya gue kadang juga kaku sama dia,” jawab Naren.“Kalau gue gimana? Lo ngerasa kaku?” tanya Sandra seraya menunjuk dirinya sendiri.“Kalau sama lo, gue biasa aja. Lo itu orang
Hari minggu.Rara menatap nasi goreng di depannya. Gadis cantik itu tidak berniat menyentuh makanan favoritnya. Ia masih tenggelam dalam lamunannya tentang“Nona Rara,” panggil Bibi Ica seraya menepuk bahu Rara.Rara tersadar dari lamunannya. Ia menatap Bibi Ica dengan tanya.“Iya Bi?”“Nasi goreng Nona nanti dingin,” kata Bibi Ica lembut.Rara terdiam beberapa detik. “Bi, kalau Naren kesini -”Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, suara langkah kaki mengalihkan fokus. Rara menatap Naren yang baru saja datang.“Nona ingin berbicara berdua dengan Naren?” tanya Bibi Nia.Rara mengangguk. Ia melihat Bibi Nia dan Bibi Ica yang menjauh dari ruang makan.“Ren, duduk dulu,” ucap Rara.Naren mengangguk.“Gue belum bisa ambil keputusan tentang rekaman suara itu,” terang Rara menghela napas. “Gue gak setega itu ngebuat Bu Unike sampai dipenjara.”“Nona, saya akan mengikuti keputusan Nona. Untuk saat ini, jangan bertemu dulu dengan Bu Unike ya,” pinta Naren.“Kenapa?”“Menurut laporan, Bu Uni
Rara meletakan sendok di sebelah piringnya. Gadis itu sudah selesai makan. Ia menatap Bu Unike yang bersiap untuk kue kering yang biasa wanita itu buat.“Bu, ada yang mau aku bahas sekarang,” kata Rara.“Ada apa Nak?” tanya Bu Unike kembali duduk di kursinya.“Bu, apa ibu menyembunyikan sesuatu dari aku?” tanya Rara hati – hati.“Apa maksudmu Nak?” tanya Bu Unike bingung.“Bu, aku tahu tentang dalang kecelakaan aku,” terang Rara.Wajah Bu Unike berubah panik dan tak nyaman. Wanita paruh baya itu menggigit bibir bawahnya, menahan diri untuk bertanya lebih jauh.“Ibu gak mau tahu?” tanya Rara seraya menatap Bu Unike yang hanya diam.“Rara, sebaiknya kamu pulang sekarang saja ya,” ucap Bu Unike menatap Rara dengan tatapan merasa bersalah.“Bu, jangan menghindar. Jelasin ke aku penjelasan yang dikatakan Leo,” pinta Rara memelas.“Bukan Ibu yang melakukannya, Nak,” sanggah Bu Unike cepat.“Bu, hari ini aku baru aja ketemu Leo. Dia jelasin dari sisi dia, kalau ibu yang menyewa sopir truk it
Rara menatap bangunan yang menjadi saksi tumbuh besar dirinya. Gadis itu menarik napas kemudian menghembuskan perlahan. Rara menenangkan dirinya terlebih dahulu, ia tidak mau pertemuannya dengan Bu Unike menjadi kacau akibat omongan Leo.Setelah cukup tenang, Rara mengetuk pintu panti asuhan.“Aku pulang!” seru Rara cukup keras.Rara mencoba memegang kenop pintu panti asuhan. Gadis itu mengerutkan kening karena pintu panti tidak dikunci. Ia melangkah masuk ke dalam panti asuhan.“Halo? Rara pulang,” ucap Rara.Rara melangkah ke halaman belakang panti asuhan, “Bu Unike, aku pulang.”Rara menghentikan langkahnya saat melihat punggung yang ia rindukan. Wanita itu terdiam, tampak tenggelam dalam lamunannya. Di depan Bu Unike ada secangkir teh dan beberapa kue kering.“Bu Unike?” tanya Rara ragu.Wanita cantik itu mengangkat kepalanya. Matanya melotot melihat sosok di depannya.“Rara? Ini kamu Nak?” tanya Bu Unike langsung berdiri.Rara tersenyum hangat, gadis itu mengangguk kecil.“Kamu p
Rara masuk ke dalam kelasnya. Ia duduk di bangkunya.“Lo kemana tadi?”Rara menatap Jevan dengan rasa bersalah. “Maaf, gue tadi ke toilet. Terus gue jalan – jalan,” balas Rara berbohong.“Gue khawatir banget sama lo sampai nelepon lo berkali – kali,” kata Jevan.“Gue juga gak bawa HP,” balas Rara.“Yang penting lo udah balik, gue gak masalah,” ucap Jevan.Jevan hendak duduk di sebelah Rara untuk kembali mengobrol, tetapi guru selanjutnya sudah datang ke kelas. Jevan bergegas kembali ke bangku.“Oke anak – anak, siapkan kertas selembar,” kata Pak Dono.Seketika kelas langsung ribut. Mereka langsung memprotes dan panik karena belum belajar sama sekali.“Tidak ada yang protes. Saya sudah menyiapkan soalnya, segera tulis,” ucap Pak Dono tegas.Rara mulai fokus mendengar perkataan dari Pak Dono. Ia yakin dirinya akan mendapatkan nilai bagus karena gadis itu selalu membaca ulang materi minggu kemarin sebelum kelas dimulai.“Tidak boleh ada yang menyontek atau bertanya. Kalau ada yang begitu