Terima kasih sudah membaca~ Jangan lupa tinggalkan jejak~
“Sandra,” gumam Rara pelan. “Maksudnya apa?” tanya Sandra menatap Rara dan Jevan. Sandra menatap wanita paruh baya itu, baru pertama kali dirinya bertemu dengan wanita itu. Keheningan menyelimuti ruangan VVIP itu. Baik Rara dan Jevan sama – sama bungkam dan tak berniat berbicara. Hingga, suara Bu Unike mengalihkan lamunan ketiganya. “Ini siapa? Ibu baru pertama kali bertemu denganmu,” ujar Bu Unike mendekati Sandra. “Halo, Bu. Nama saya Sandra, teman sekelas Rara dan Jevan,” sahut Sandra sopan. Bu Unike menuntun Sandra untuk duduk di sofa. Rara berdiri, ia berniat kembali duduk di kursi rodanya. Jevan yang cenderung peka menggeser kursi roda Rara. “Silakan duduk,” ucap Jevan. Rara mengangguk pada Jevan. Ia melihat Sandra tampak kebingungan duduk di samping Bu Unike. “Nak Sandra, cantik sekali,” puji Bu Unike pada Sandra. “Terima kasih, Bu,” balas Sandra. “Jadi, Ibu itu siapa?” Bu Unike menatap Rara, seolah meminta izinnya. Rara tampak kebingungan karena ia tak mau meminta wan
Rara membulatkan matanya mendengar usul Sandra. Terlintas di benaknya, wajah terkejut Pak Haris, Ayah Jevan. “Lo bercanda ya? Usul lo bikin orang yang datang pas makan malam kaget,” tutur Rara. Sandra meringis membayangkannya. Ia tersenyum manis pada Rara, “Tapi, gue pikir itu ide yang bagus. Ayolah, Ra,” bujuk Sandra memelas. “Gak bisa gitu dong, San. Ide lo beneran bisa bikin semuanya kacau,” tolak Rara. Sandra menghela napas, “Coba dulu aja.” Rara menyadari Sandra menatapnya dengan tatapan memohon. Gadis cantik itu tak tega melihatnya, hatinya sedikit terbuka untuk menerima ajakan Sandra. “Gue rasa-“ “Gue baru selesai,” ucap Jevan sembari masuk ke ruangan VVIP. Sandra dan Rara menatap Jevan. Lelaki itu menyadari ada aura yang berbeda saat berkontak mata dengan Rara. “Ada apa nih?” tanya Jevan seraya menggeser kursi agar leluasa mengobrol dengan kedua temannya. “Dia nih. Lo harus denger ide Sandra,” tunjuk Rara. Jevan menoleh pada Sandra dan menatapnya dengan tanya. “Gue
Rara menatap langit – langit kamar VVIP tempatnya dirawat. Ia teringat ucapan Dokter Hans yang menjelaskan kemungkinan Naren akan bangun lebih cepat. Sayangnya, Naren mungkin akan butuh waktu untuk menyembuhkan tangannya yang mengalami patah tulang. Rara menghela napas panjang. Terbayang di benaknya, Naren yang memakai perban dan harus menjaganya karena tugasnya sebagai pengawal. “Gue takut lo harus berhenti jadi pengawal,” gumam Rara. “Masuk aja,” perintah Rara menyadari ketukan pintu dari luar ruangan. “Pasien Rara, perkenalkan saya perawat Sica. Saya diminta oleh Pak Jevan untuk menjaga Nona,” ucap Perawat Sica memperkenalkan diri. Rara buru – buru duduk, ia tersenyum ramah sebagai sapaan. “Halo, saya Rara,” sapanya. “Baiklah, Nona Rara. Saya harus memanggil Nona dengan panggilan apa?” tanya Perawat Sica. “Panggil saya, Rara saja. Tidak usah memakai Nona, Sus,” jawab Rara. “Baiklah, Rara. Anda bisa memanggil saya dengan menakan tombol bel di sebelah tempat tidur,” jelas Pera
“Iya, Mas?” tanya Sandra bingung. Gadis itu menatap kedua pria yang diduga mengawasi dirinya dan Jevan. “Apa Kakak tahu dimana toko baju?”tanya pria itu. “Lima gedung dari sini, Kak,” jawab Jevan. “Baik, terima kasih ya,” kata pria itu kemudian berlalu dari hadapan Jevan dan Sandra. “Lo yakin mereka ngawasin kita?” tanya Jevan pelan. “Iya. Mereka itu pura – pura pergi, soalnya gue curiga kan,” sahut Sandra yakin. “Lo ngarang kali,” tanggap Jevan tak percaya. Sandra mendelik mendengar ucapan Jevan. “Lo mau buktiin?” tantang Sandra. “Boleh, ayo buktiin,” ucap Jevan. “Tapi, kita harus bersikap dekat,” cetus Sandra. Gadis itu mulai memasukkan ponselnya ke dalam tas sekolahnya. “Loh kenapa?” tanya Jevan mengererutkan keningnya. “Rencana gue ini. Jadi, kita ke mall sekalian beli baju. Terus, kita harus bersikap dekat karena mereka pasti lapor ke nyokap gue betapa dekatnya kita,” jelas Sandra. “Ah itu mah lo mau sekalian belanja,” sinis Jevan. “Iya emang. Daripada penasaran omong
“Ayah,” panggil Sandra sembari mendekati sang ayah.“Loh Sandra?” pria paruh baya itu terkejut kemudian melirik Jevan yang menyusul langkah Sandra.“Halo, Om Andre,” sapa Jevan sopan.“Kalian sedang apa?” tanya Pak Andre bingung.“Biasa Yah. Ada yang ngikutin,” jawab Sandra santai.Jevan menyenggol lengan Sandra. Gadis di sebelahnya tak mempedulikan Jevan. Jevan menatap Pak Andre, sedikit takut akan tanggapan pria paruh baya itu.“Maksud Sandra itu –““Yah, aku laper. Kita makan sushi yuk,” sela Sandra cepat.Pak Andre tampaknya memahami kode putrinya. Ia tersenyum hangat pada putrinya kemudian mengangguk.“Ayo, ajak Jevan juga,” perintah Pak Andre.Sandra tersenyum senang. Ia menarik tangan Jevan.“Bokap lo gak curiga?” tanya Jevan tak mengerti.“Udah lo ikut dulu aja,” jawab Sandra pelan.Pak Andre masuk ke dalam restoran Jepang. Pria paruh baya itu menyewa satu ruangan VIP agar lebih leluasa. Jevan dan Sandra hanyak mengangguk mengerti karena pria itu terlihat tak ingin dibantah.“
Rara membuka pintu ruangan VVIP nomor sebelas. Ia tersenyum senang melihat sosok Jevan yang tersenyum sembari mengangkat dua kotak pizza dan lima gelas boba.“Wah, lo bawa banyak makanan,” ujar Rara bergeser dari pintu masuk.“Disimpen dimana?” tanya Jevan.“Di meja,” jawab Rara menyusul langkah Jevan. Rara duduk di sofa, kemudian membuka kotak pizza yang di beli Jevan.“Bro, lo sadar juga,” kata Jevan mendekati ranjang Naren.Naren mengangguk sebagai tanggapan.“Kabar lo baik?” tanya Jevan duduk di kursi.Naren lagi – lagi mengangguk.“Ra, si Naren ini jadi gak bisa ngomong?” tanya Jevan menatap Rara.“Hm? Dia jangan terlalu banyak ngomong kata dokter,” sahut Rara mengambil sepotong pizza.“Gue pikir dia gak bisa ngomong,” tanggap Jevan.“Heh, omongan lo jelek,” balas Naren mengeluarkan suaranya.Jevan membuat ekspresi seolah terkejut. Jevan tertawa keras ketika mendapatkan lemparan bantal dari Naren.“Galak banget lo,” komentar Jevan memberikan bantal yang dilempar pada Naren.“Ck,
“Nona, sebelumnya saya minta maaf perihal kecelakaan itu,” sesal Naren menatap Rara.“Kecelakaan itu ya, lo tenang aja. Gue gak luka banyak,” balas Rara.“Tapi, tetap saja itu semua salah saya. Firasat saya sudah tak enak,” kata Naren.“Ya udah gak masalah kok sekarang. Lagian kita selamat,” tanggap Rara mengulas senyum.“Harusnya saya mengawasi jalan. Tetapi, saya malah mengobrol dengan Nona,” ujar Naren menunduk.“Kalau gitu gue juga salah dong, Ren. Gue ngajak lo ngobrol,” timpal Rara.Naren mengangkat wajahnya, ia hendak mengantakan sesuatu sebelum Rara kembali menyelanya.“Makanya bukan salah lo,” ucap Rara.“Saya mengambil –““Ren, kalau kita terus berdebat terus, semuanya gak akan selesai,” sela Rara.“Baiklah, silakan Nona bahas tentang kemarin,” tanggap Naren.“Lo ngizinin gue jadi pacar pura – pura Jevan?” tanya Rara menatap Naren.“Itu semua tergantung Nona,” jawab Naren.“Tapi, menurut lo gimana? Gue butuh saran jangka panjang dari lo,” ujar Rara.“Sebentar, yang tahu kala
“Apa yang lo minta?” tanya Rara penasaran.“Selama kita pacaran pura – pura, lo harus bersikap peduli ya sama gue,” pinta Jevan.“Ah itu, gampang,” balas Rara santai.“Kalau seandainya, gue tiba – tiba megang tangan lo di depan kedua orang tuanya Sandra dan di depan bokap gue…lo harus siap ya,” lanjut Jevan.“Kalau untuk itu…” Rara terdiam beberapa saat, tampak berpikir lama.“Lo kalau keberatan gue –““Gue bisa!” seru Rara cepat.Akibat teriakan Rara, dirinya dan Jevan menjadi pusat perhatian. Mereka menatap Rara penasaran.“Hahaha iya iya,” kekeh Jevan mengacak surai hitam Rara.“Rambut gue, Jev,” ucap Rara sembari merapikan rambutnya.Jevan tersenyum tampan, ia ikut membatu gadis di sampingnya untuk merapikan rambut.“Gue udah janji sama lo. Gue akan berusaha keras,” kata Rara bertekad.“Kalau gak ada lo, gue kayanya kebingungan untuk cari orang,” ujar Jevan.“Padahal, lo kalau nanya kelas lain bisa loh. Mereka penggemar lo, pasti mereka sukarela nawarin diri,” terang Rara.“Guenya
Satu tahun kemudian.“Nona, sudah siap?” tanya Naren.Rara mengangguk. Ia meletakkan sendok dan garpunya di atas piring dan membalikkannya, tanda sudah selesai.“Bi, aku sudah selesai. Tolong bawa ini,” ucap Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu mengambil piring kotor Rara lalu meninggalkan ruang makan.“Lo duduk dulu. Kita ngobrol,” ujar Rara menatap Naren yang berdiri tak jauh.Naren mendekat pada Rara dan duduk di depan gadis itu.“Besok jam delapan ya?” tanya Rara.“Iya. Jangan sampai terlambat,” jawab Naren.“Lo yang ngantar gue kan?” tanya Rara.“Nona, sudah lebih dari tiga kali anda bertanya,” tanggap Naren terkekeh kecil.Rara mengulas senyum. Ia menghela napas panjang.“Gue cuman gak nyangka aja akan begini jadinya,” balas Rara.“Nona sendiri yang ingin pergi,” kata Naren lembut.“Yah..gue cuman…” Rara menjeda ucapannya. Ia memilih tidak melanjutkan ucapannya.Keheningan melanda keduanya. Rara dan Naren sama – sama bungkam. Naren melirik Rara yang sibuk memainkan jemari tanga
Hari yang dilalui Rara tampak biasa saja. Hubungannya dengan kedua orang tuanya berjalan normal. Rara pun sudah berusaha menerima keadaan, walaupun saat ia berdiam diri di kamar, ia memikirkan orang tuanya yang tidak bersama lagi.“Nona, ada panggilan masuk,” kata Bibi Ica seraya mengetuk pintu kamarnya.Rara bangkit dari duduknya. Ia membuka pintu untuk Bibi Ica.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Tuan besar menelopon lewat telepon rumah. Beliau kebingungan karena nona tidak menjawab panggilannya,” tutur Bibi Ica.“Baterai HP aku habis,” ucap Rara. “Bilang aja ke ayah, aku akan membalasnya setelah HP aku penuh.”Bibi Ica mengangguk kecil. Wanita itu tampaknya ingin mengatakan sesuatu.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Nona, dibawah ada pengawal nona. Dia tetap datang hari ini,” ucap Bibi Ica.“Ngapain Naren kesini? Bukannya aku udah bilang kalau hari ini libur untuknya?” tanya Rara bingung.“Saya tidak tahu. Dia katanya hanya ingin melanjutkan kegiatan menjaga keselamatan nona saja,” sahut Bibi Ica.
“Apa mamah dan ayah masih bersama?” tanya Rara.Sempat terjadi keheningan saat Rara bertanya. Rara memperhatikan ekspresi kedua orang tuanya satu persatu. Gadis itu menundukan kepala.“Maaf, aku terkesan lancang ya,” ucap Rara.“Tidak Nak,” balas Ayah Zarhan.“Rara sayang, bukannya kamu sudah tahu tanpa harus bertanya?” tanya Mamah Windia lembut.Rara mengangkat kepalanya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, tidak tahu harus menanggapi seperti apa.“Ayah dan mamah sudah bercerai setelah mamahmu keluar dari RSJ. Mamahmu kecewa karena kamu dipindahkan ke panti asuhan dan ayah juga merasa hubungan kami memang tidak satu tujuan lagi. Hubungan komunikasi kami memburuk dan saling menjaga jarak masing – masing,” kata Ayah Zarhan menjelaskan.“Sekarang kami akan berusaha untuk tetap berkomunikasi agar kamu juga nyaman, walaupun kami masih agak canggung,” tambah Mamah Windia.“Ah begitu…” Rara menyinggungkan senyum. “Jadi ayah dan mamah sudah cerai ya?”“Iya Nak,” jawab Ayah Zarhan.“Rara, ini
Keheningan melanda ruang tamu di kediaman Rara. Rara melirik Bibi Ica yang berdiri di sebelah kanan. Wanita paruh baya itu hanya diam mengawasi sosok yang duduk di depan majikannya.“Bi, aku kenal dia,” ucap Rara.“Iya Nona. Nona mau mengobrol berdua dengannya?” tanya Bibi Ica.“Iya Bi, tolong ya,” balas Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu segera meninggalkan ruang tamu.“Lo sendiri gak akan pergi?” tanya Rara menatap Naren.Naren terdiam sejenak. Lelaki itu masih was – was kalau harus membiarkan Rara berdua dengan orang yang tidak bisa ia cari tahu.“Gue gak akan melakukan hal jahat ke Rara,” kata sosok itu sadar Naren menatapnya datar.“Saya gak bisa percaya, mengingat Nona Rara meminta saya untuk tidak mencaritahu tentang anda lebih jauh,” balas Naren.“Ren, lo kan udah tahu kalau Leo itu yang kasih tahu gue,” timpal Rara.“Saya tahu itu Nona, tapi saya ingin mendengar ucapannya langsung,” balas Naren.“Gue yang kasih nomor sopir truk ke Bu Unike. Itu salah gue,” terang Leo.“Sa
Sandra seketika merasa bersalah. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal.“Maaf gue gak bermaksud untuk bertingkah kaya gitu,” ujar Sandra.“Kenapa lo ngikutin gue dan Rara waktu itu?” tanya Naren.“Gue penasaran. Gue nyangkanya lo adalah pembantu Rara, gue gak mau kalau lo merasa rendah diri,” terang Sandra.“San, gue gak merasa rendah diri,” tanggap Naren.“Terus apa yang lo rasain?”Pertanyaan Sandra membuat Naren terdiam. Naren menarik napasnya perlahan lalu menghembuskannya perlahan.“Gue cuman merasa perlu ada batas antara gue dan Rara. Dia adalah atasan gue dan gue bawahan dia,” sahut Naren tersenyum.“Lo merasa kaya gitu gak sama Jevan?” tanya Sandra.Naren menggeleng kecil, “Gue anggap dia teman yang baik. Walaupun Jevan juga tahu tentang gue.”“Jevan juga tahu?” tanya Sandra terkejut.“Iya dia tahu. Makanya gue kadang juga kaku sama dia,” jawab Naren.“Kalau gue gimana? Lo ngerasa kaku?” tanya Sandra seraya menunjuk dirinya sendiri.“Kalau sama lo, gue biasa aja. Lo itu orang
Hari minggu.Rara menatap nasi goreng di depannya. Gadis cantik itu tidak berniat menyentuh makanan favoritnya. Ia masih tenggelam dalam lamunannya tentang“Nona Rara,” panggil Bibi Ica seraya menepuk bahu Rara.Rara tersadar dari lamunannya. Ia menatap Bibi Ica dengan tanya.“Iya Bi?”“Nasi goreng Nona nanti dingin,” kata Bibi Ica lembut.Rara terdiam beberapa detik. “Bi, kalau Naren kesini -”Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, suara langkah kaki mengalihkan fokus. Rara menatap Naren yang baru saja datang.“Nona ingin berbicara berdua dengan Naren?” tanya Bibi Nia.Rara mengangguk. Ia melihat Bibi Nia dan Bibi Ica yang menjauh dari ruang makan.“Ren, duduk dulu,” ucap Rara.Naren mengangguk.“Gue belum bisa ambil keputusan tentang rekaman suara itu,” terang Rara menghela napas. “Gue gak setega itu ngebuat Bu Unike sampai dipenjara.”“Nona, saya akan mengikuti keputusan Nona. Untuk saat ini, jangan bertemu dulu dengan Bu Unike ya,” pinta Naren.“Kenapa?”“Menurut laporan, Bu Uni
Rara meletakan sendok di sebelah piringnya. Gadis itu sudah selesai makan. Ia menatap Bu Unike yang bersiap untuk kue kering yang biasa wanita itu buat.“Bu, ada yang mau aku bahas sekarang,” kata Rara.“Ada apa Nak?” tanya Bu Unike kembali duduk di kursinya.“Bu, apa ibu menyembunyikan sesuatu dari aku?” tanya Rara hati – hati.“Apa maksudmu Nak?” tanya Bu Unike bingung.“Bu, aku tahu tentang dalang kecelakaan aku,” terang Rara.Wajah Bu Unike berubah panik dan tak nyaman. Wanita paruh baya itu menggigit bibir bawahnya, menahan diri untuk bertanya lebih jauh.“Ibu gak mau tahu?” tanya Rara seraya menatap Bu Unike yang hanya diam.“Rara, sebaiknya kamu pulang sekarang saja ya,” ucap Bu Unike menatap Rara dengan tatapan merasa bersalah.“Bu, jangan menghindar. Jelasin ke aku penjelasan yang dikatakan Leo,” pinta Rara memelas.“Bukan Ibu yang melakukannya, Nak,” sanggah Bu Unike cepat.“Bu, hari ini aku baru aja ketemu Leo. Dia jelasin dari sisi dia, kalau ibu yang menyewa sopir truk it
Rara menatap bangunan yang menjadi saksi tumbuh besar dirinya. Gadis itu menarik napas kemudian menghembuskan perlahan. Rara menenangkan dirinya terlebih dahulu, ia tidak mau pertemuannya dengan Bu Unike menjadi kacau akibat omongan Leo.Setelah cukup tenang, Rara mengetuk pintu panti asuhan.“Aku pulang!” seru Rara cukup keras.Rara mencoba memegang kenop pintu panti asuhan. Gadis itu mengerutkan kening karena pintu panti tidak dikunci. Ia melangkah masuk ke dalam panti asuhan.“Halo? Rara pulang,” ucap Rara.Rara melangkah ke halaman belakang panti asuhan, “Bu Unike, aku pulang.”Rara menghentikan langkahnya saat melihat punggung yang ia rindukan. Wanita itu terdiam, tampak tenggelam dalam lamunannya. Di depan Bu Unike ada secangkir teh dan beberapa kue kering.“Bu Unike?” tanya Rara ragu.Wanita cantik itu mengangkat kepalanya. Matanya melotot melihat sosok di depannya.“Rara? Ini kamu Nak?” tanya Bu Unike langsung berdiri.Rara tersenyum hangat, gadis itu mengangguk kecil.“Kamu p
Rara masuk ke dalam kelasnya. Ia duduk di bangkunya.“Lo kemana tadi?”Rara menatap Jevan dengan rasa bersalah. “Maaf, gue tadi ke toilet. Terus gue jalan – jalan,” balas Rara berbohong.“Gue khawatir banget sama lo sampai nelepon lo berkali – kali,” kata Jevan.“Gue juga gak bawa HP,” balas Rara.“Yang penting lo udah balik, gue gak masalah,” ucap Jevan.Jevan hendak duduk di sebelah Rara untuk kembali mengobrol, tetapi guru selanjutnya sudah datang ke kelas. Jevan bergegas kembali ke bangku.“Oke anak – anak, siapkan kertas selembar,” kata Pak Dono.Seketika kelas langsung ribut. Mereka langsung memprotes dan panik karena belum belajar sama sekali.“Tidak ada yang protes. Saya sudah menyiapkan soalnya, segera tulis,” ucap Pak Dono tegas.Rara mulai fokus mendengar perkataan dari Pak Dono. Ia yakin dirinya akan mendapatkan nilai bagus karena gadis itu selalu membaca ulang materi minggu kemarin sebelum kelas dimulai.“Tidak boleh ada yang menyontek atau bertanya. Kalau ada yang begitu