“Ada apa Bu Yuni?” tanya Ayah Haris menatap sekretarisnya.Bu Yuni menatap Ayah Haris dan Jevan bergantian. Ia buru – buru menunduk sopan karena tingkahnya yang memalukan.“Maaf, Pak Haris dan Nak Jevan, tapi ada wartawan yang menerobos masuk,” info Bu Yuni.“Mau apa mereka?” tanya Ayah Haris mengerutkan dahinya.“Begini…” Bu Yuni melirik Jevan sekilas. “Gosip mengenai Nak Jevan.”“Kalau gitu, sebaiknya aku langsung pulang aja,” putus Jevan bersiap untuk berdiri.“Justru kamu seharusnya diam disini, Nak,” saran Ayah Haris.“Emangnya separah itu wartawannya?” tanya Jevan menatap wanita yang lebih tua darinya.“Mereka menunggu di pintu utama, kemudian saya khawatir ada yang sudah menerobos masuk,” terang Bu Yuni.“Aku mau pulang, ingin istrirahat,” keluh Jevan.“Kamu bisa tidur di ruangan Ayah,” ucap Ayah Haris.“Tapi, aku mau pulang, Yah,” balas Jevan.“Ya sudah kamu pakai pintu belakang saja,” saran Ayah Haris tak tega melihat wajah memelas putra kesayangannya.“Segera antar Jevan, Bu
Naren menarik tangan orang yang ada di depan pintu ruangannya. Ia hendak mengangkat tangannya sebelum langkahnya terhenti saat orang itu adalah pengawalnya.“Fajar?” tanya Naren.“Iya, Kak. Saya Fajar,” jawab lelaki itu takut.“Kamu ngapain disini?” tanya Naren bingung. Lelaki tampan itu menerima uluran tangan Fajar agar dibantu untuk kembali ke ranjang.“Uh, saya diperintahkan untuk menemani Kak Naren,” sahut Fajar.“Oh iya. Kamu tidak apa harus menemani aku?” tanya Naren khawatir.Naren tahu kalau Fajar tinggal bersama ibunya. Fajar biasanya selalu pulang ke rumah untuk menjaga ibunya yang sakit.“Gak apa,” timpal Fajar.“Ibu kamu ditemani siapa?” tanya Naren.“Teman saya menawari untuk menemani Ibu,” terang Fajar tersenyum tipis.Naren mengangkat alisnya melihat telinga Fajar yang memerah. Senyum jail terukir di wajah tampannya.“Teman apa teman?” tanya Naren jail.“Dia benar – benar teman saya kok. Lagipula, saya tak berani mengaku,” ujar Fajar lirih.“Oh kamu rencananya akan meng
"Mamah?" tanya Rara memastikan.Wanita yang memakai masker itu melepaskan maskernya. Ia mengulas senyum dan menatap Rara."Kamu sudah pulang dari sekolah?" tanya Iby Windia.Rara memaksakan senyumnya. Ia menatap sopir dan pengawalnya. "Kalian bisa pergi. Aku sama mamah aku," kata Rara."Tapi, Non -""Gak apa, Pak," sela Rara tersenyum.Pengawal dan sopir berkontak mata sebentar, kemudian berlalu dari hadapan Rara dan Ibu Windia."Ibu mau masuk dulu?" tanya Rara.Ibu Windia menatap Rara dari atas ke bawah. "Bu?" panggil Rara ragu."Iya, sayang?" tanya Mamah Windia."Ayo masuk dulu," jawab Rara. Sepasang ibu dan anak itu masuk ke kediaman Rara. Rara melirik Bibi Ica dan Bibi Nia yang menatapnya khawatir."Ibu ingin berbicara berdua denganmu. Apa boleh?" tanya Ibu Windia menatap sekitarnya."Boleh kok, Bu," tanggap Rara."Tanpa pengawal dan pelayan di sekitarmu," sambung Ibu Windia."Kalau itu ...""Ibu tahu kalau ibu memang memperlakukan kamu dengan buruk. Tapi, Ibu harap kamu bisa
Suara ketukan mengalihkan keduanya. Naren melangkah ke pintu, ia membulatkan matanya melihat sosok di depannya "Loh Nona ngapain disini?" tanya Naren bingung. "Hai Naren," sapa Rara ceria. Rara segera masuk ke dalam ruang inap Naren. Ia tersenyum tipis melihat Fajar yang tampak terkejut dengan kehadirannya. "Halo Fajar," sapa Rara. "Halo Nona Rara," balas Fajar sopan. "Kamu disini yang jagain Naren?" tanya Rara seraya melangkah ke sofa untuk duduk. "Iya Nona," jawab Farjar. Naren duduk di sofa single. Ia menatap Rara yang datang tanpa memberitahu dirinya. "Kenapa gak bilang ke saya kalau Nona akan datang? Saya bisa meminta bawahan saya untuk menjemput Nona," tanya Naren. "Gue pingin cerita sama lo," balas Rara tak mengindahkan pertanyaan Naren. "Saya akan membeli minum terlebih dahulu," kata Fajar yang sadar diri kalau Naren butuh waktu untuk mengobrol dengan Rara. Setelah Fajar pergi, Naren menatap Rara dengan tanya. "Cerita apa, Non?" tanya Naren. "Nyokap gue ngaja
Rara duduk di bangkunya seorang diri. Ia hari ini akan dijemput oleh suruhan sang ibu dan ia akan mengambil beberapa buku dan perlengkapannya terakhir mereka datang ke rumah sang ibu. Sandra dan Jevan sudah pulang terlebih dahulu karena mereka akan mengikuti rapat ayah masing - masing."Orang suruhan Ibu ternyata lama ya," gumam Rara menguap lebar. Rara membaringkan kepalanya di atas meja. Ia memang diminta untuk menunggu di kelas, padahal ia bisa saja menunggu di pos satpam. Sayangnya, sang ibu memintanya untuk menuruti perintah wanita itu."Gue bisa ketiduran nih entar," monolog Rara."Nona Rara?" tanya seorang pria yang menggunakan jas hitam."Iya saya Rara. Apa anda adalah orang yang dikirim Bu Windia?" tanya Rara buru - buru bangkit dari duduknya kemudian mendekati pria itu."Maaf karena saya terlambat," sesal pria itu."Tidak apa, Pak," sahut Rara tak enak."Mohon jangan beritahu Nyonya Besar ya, Non. Tadi ban mobil bocor sehingga saya harus ke bengkel terlebih dahulu," jelas p
"Loh Ibu Sri," ucap Ayah Haris terkejut melihat wanita setengah abad itu. "Pak, saya minta maaf karena Ibu ini langsung menerobos. Padahal saya sudah meminta beliau untuk membuat janji terlebih dahulu," sesal Yuni membungkuk sopan. "Tidak apa, Yuni. Kamu bisa kembali ke mejamu," perintah Ayah Haris. Jevan menatap Bu Sri yang terlihat angkuh dan sombong. Lelaki tampan itu paling membenci sifat seperti itu. "Bu Sri, silakan duduk dulu," ucap Ayah Haris ramah. "Dari tadi seharusnya, saya sudah lelah berdiri," tanggap Bu Sri judes. Jevan melirik Bu Sri sekilas, "Yah, aku mau pulang dulu ya," pamit Jevan ingin segera keluar dari ruangan sang ayah yang terasa sesak. "Kenapa, Nak?" tanya Ayah Haris yang tak peka. "Kamu mau menghindari saya Jevan?" tanya Bu Sri. "Saya gak menghindari Tante," balas Jevan. "Kalau begitu duduk. Saya mau membahas sesuatu, rasanya percuma kalau orang yang akan dibahas pergi seenaknya begitu. Seolah tak punya sopan santun," papar Bu Sri. Jevan menatap
"Kamu sudah punya pacar?" tanya Bu Windia. "Maksud Ibu apa?" tanya Rara seraya mengerutkan keningnya. "Bukankah yang meneloponmu tadi adalah pacarmu?" tanya Bu Windia balik. "Ah itu, Ibu salah sangka. Tadi itu cuman teman satu kelas aku," jawab Rara. "Siapa? Apa Ibu tahu orangnya?" tanya Bu Windia, penasaran. Rara terdiam beberapa saat, ia tampak berpikir lebih jauh untuk ke depannya. Meskipun, ia yakin sang Ibu akan mencari tahu sendiri, jikalau ia tak memberi tahu. "Jevan, Bu," terang Rara. "Ah anak itu, anaknya Pak Haris ya," tanggap Bu Windia. "Baguslah, kamu tak bergaul dengan pengawalmu itu lagi." Rara menghentikkan suapannya, ia menatap Bu Windia bingung. "Maksud Ibu pengawal aku yang mana?" tanya Rara. "Itu yang selalu bersamamu. Kamu kan sering bersamanya," jawab Bu Windia. "Namanya Naren, Bu. Ibu kan tahu kalau dia lagi dalam masa pemulihan," ucap Rara. "Iya Ibu tahu," balas Bu Windia. "Lagian kalau dia sudah sembuh, aku akan bersama dia lagi. Dia itu adala
"Makasih Bu, sudah mengantar aku ke sekolah," kata Rara menatap wanita di sebelahnya.Bu Windia menatap Rara, kemudian ia mengulas senyum. Wanita itu mengelus surai hitam Rara."Sama - sama, Rara," balas Bu Windia.Rara menyalami sang Ibu, ia kemudian turun dari mobil sedan itu."Rara, hari ini Ibu tak bisa menjemput kamu. Pulanglah dengan Jevan ya," ucap Bu Windia.Rara menjawab, "Aku akan bilang nanti ya, Bu.""Baiklah, kamu belajar yang benar ya," pesan Bu Windia.Rara mengangguk, ia kemudian membungkuk sopan seraya melambaikan tangannya. Rara menatap kepergian mobil sedan itu. "Wih, lo diantar siapa tuh?" tanya Sandra yang baru turun dari mobilnya."Itu Nyokap gue," jawab Rara.Sandra membulatkan matanya, terlihat jelas di wajah cantiknya kalau gadis itu terkejut akan ucapan Rara. "Nyokap? Lo uda baikan sama beliau?" tanya Sandra."Iya, sekarang lagi proses," tanggap Rara.Sandra tersenyum tipis melihat wajah Rara, ia mengalungkan tangannya di tangan Rara. "Lo kelihatan bahagia
Satu tahun kemudian.“Nona, sudah siap?” tanya Naren.Rara mengangguk. Ia meletakkan sendok dan garpunya di atas piring dan membalikkannya, tanda sudah selesai.“Bi, aku sudah selesai. Tolong bawa ini,” ucap Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu mengambil piring kotor Rara lalu meninggalkan ruang makan.“Lo duduk dulu. Kita ngobrol,” ujar Rara menatap Naren yang berdiri tak jauh.Naren mendekat pada Rara dan duduk di depan gadis itu.“Besok jam delapan ya?” tanya Rara.“Iya. Jangan sampai terlambat,” jawab Naren.“Lo yang ngantar gue kan?” tanya Rara.“Nona, sudah lebih dari tiga kali anda bertanya,” tanggap Naren terkekeh kecil.Rara mengulas senyum. Ia menghela napas panjang.“Gue cuman gak nyangka aja akan begini jadinya,” balas Rara.“Nona sendiri yang ingin pergi,” kata Naren lembut.“Yah..gue cuman…” Rara menjeda ucapannya. Ia memilih tidak melanjutkan ucapannya.Keheningan melanda keduanya. Rara dan Naren sama – sama bungkam. Naren melirik Rara yang sibuk memainkan jemari tanga
Hari yang dilalui Rara tampak biasa saja. Hubungannya dengan kedua orang tuanya berjalan normal. Rara pun sudah berusaha menerima keadaan, walaupun saat ia berdiam diri di kamar, ia memikirkan orang tuanya yang tidak bersama lagi.“Nona, ada panggilan masuk,” kata Bibi Ica seraya mengetuk pintu kamarnya.Rara bangkit dari duduknya. Ia membuka pintu untuk Bibi Ica.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Tuan besar menelopon lewat telepon rumah. Beliau kebingungan karena nona tidak menjawab panggilannya,” tutur Bibi Ica.“Baterai HP aku habis,” ucap Rara. “Bilang aja ke ayah, aku akan membalasnya setelah HP aku penuh.”Bibi Ica mengangguk kecil. Wanita itu tampaknya ingin mengatakan sesuatu.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Nona, dibawah ada pengawal nona. Dia tetap datang hari ini,” ucap Bibi Ica.“Ngapain Naren kesini? Bukannya aku udah bilang kalau hari ini libur untuknya?” tanya Rara bingung.“Saya tidak tahu. Dia katanya hanya ingin melanjutkan kegiatan menjaga keselamatan nona saja,” sahut Bibi Ica.
“Apa mamah dan ayah masih bersama?” tanya Rara.Sempat terjadi keheningan saat Rara bertanya. Rara memperhatikan ekspresi kedua orang tuanya satu persatu. Gadis itu menundukan kepala.“Maaf, aku terkesan lancang ya,” ucap Rara.“Tidak Nak,” balas Ayah Zarhan.“Rara sayang, bukannya kamu sudah tahu tanpa harus bertanya?” tanya Mamah Windia lembut.Rara mengangkat kepalanya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, tidak tahu harus menanggapi seperti apa.“Ayah dan mamah sudah bercerai setelah mamahmu keluar dari RSJ. Mamahmu kecewa karena kamu dipindahkan ke panti asuhan dan ayah juga merasa hubungan kami memang tidak satu tujuan lagi. Hubungan komunikasi kami memburuk dan saling menjaga jarak masing – masing,” kata Ayah Zarhan menjelaskan.“Sekarang kami akan berusaha untuk tetap berkomunikasi agar kamu juga nyaman, walaupun kami masih agak canggung,” tambah Mamah Windia.“Ah begitu…” Rara menyinggungkan senyum. “Jadi ayah dan mamah sudah cerai ya?”“Iya Nak,” jawab Ayah Zarhan.“Rara, ini
Keheningan melanda ruang tamu di kediaman Rara. Rara melirik Bibi Ica yang berdiri di sebelah kanan. Wanita paruh baya itu hanya diam mengawasi sosok yang duduk di depan majikannya.“Bi, aku kenal dia,” ucap Rara.“Iya Nona. Nona mau mengobrol berdua dengannya?” tanya Bibi Ica.“Iya Bi, tolong ya,” balas Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu segera meninggalkan ruang tamu.“Lo sendiri gak akan pergi?” tanya Rara menatap Naren.Naren terdiam sejenak. Lelaki itu masih was – was kalau harus membiarkan Rara berdua dengan orang yang tidak bisa ia cari tahu.“Gue gak akan melakukan hal jahat ke Rara,” kata sosok itu sadar Naren menatapnya datar.“Saya gak bisa percaya, mengingat Nona Rara meminta saya untuk tidak mencaritahu tentang anda lebih jauh,” balas Naren.“Ren, lo kan udah tahu kalau Leo itu yang kasih tahu gue,” timpal Rara.“Saya tahu itu Nona, tapi saya ingin mendengar ucapannya langsung,” balas Naren.“Gue yang kasih nomor sopir truk ke Bu Unike. Itu salah gue,” terang Leo.“Sa
Sandra seketika merasa bersalah. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal.“Maaf gue gak bermaksud untuk bertingkah kaya gitu,” ujar Sandra.“Kenapa lo ngikutin gue dan Rara waktu itu?” tanya Naren.“Gue penasaran. Gue nyangkanya lo adalah pembantu Rara, gue gak mau kalau lo merasa rendah diri,” terang Sandra.“San, gue gak merasa rendah diri,” tanggap Naren.“Terus apa yang lo rasain?”Pertanyaan Sandra membuat Naren terdiam. Naren menarik napasnya perlahan lalu menghembuskannya perlahan.“Gue cuman merasa perlu ada batas antara gue dan Rara. Dia adalah atasan gue dan gue bawahan dia,” sahut Naren tersenyum.“Lo merasa kaya gitu gak sama Jevan?” tanya Sandra.Naren menggeleng kecil, “Gue anggap dia teman yang baik. Walaupun Jevan juga tahu tentang gue.”“Jevan juga tahu?” tanya Sandra terkejut.“Iya dia tahu. Makanya gue kadang juga kaku sama dia,” jawab Naren.“Kalau gue gimana? Lo ngerasa kaku?” tanya Sandra seraya menunjuk dirinya sendiri.“Kalau sama lo, gue biasa aja. Lo itu orang
Hari minggu.Rara menatap nasi goreng di depannya. Gadis cantik itu tidak berniat menyentuh makanan favoritnya. Ia masih tenggelam dalam lamunannya tentang“Nona Rara,” panggil Bibi Ica seraya menepuk bahu Rara.Rara tersadar dari lamunannya. Ia menatap Bibi Ica dengan tanya.“Iya Bi?”“Nasi goreng Nona nanti dingin,” kata Bibi Ica lembut.Rara terdiam beberapa detik. “Bi, kalau Naren kesini -”Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, suara langkah kaki mengalihkan fokus. Rara menatap Naren yang baru saja datang.“Nona ingin berbicara berdua dengan Naren?” tanya Bibi Nia.Rara mengangguk. Ia melihat Bibi Nia dan Bibi Ica yang menjauh dari ruang makan.“Ren, duduk dulu,” ucap Rara.Naren mengangguk.“Gue belum bisa ambil keputusan tentang rekaman suara itu,” terang Rara menghela napas. “Gue gak setega itu ngebuat Bu Unike sampai dipenjara.”“Nona, saya akan mengikuti keputusan Nona. Untuk saat ini, jangan bertemu dulu dengan Bu Unike ya,” pinta Naren.“Kenapa?”“Menurut laporan, Bu Uni
Rara meletakan sendok di sebelah piringnya. Gadis itu sudah selesai makan. Ia menatap Bu Unike yang bersiap untuk kue kering yang biasa wanita itu buat.“Bu, ada yang mau aku bahas sekarang,” kata Rara.“Ada apa Nak?” tanya Bu Unike kembali duduk di kursinya.“Bu, apa ibu menyembunyikan sesuatu dari aku?” tanya Rara hati – hati.“Apa maksudmu Nak?” tanya Bu Unike bingung.“Bu, aku tahu tentang dalang kecelakaan aku,” terang Rara.Wajah Bu Unike berubah panik dan tak nyaman. Wanita paruh baya itu menggigit bibir bawahnya, menahan diri untuk bertanya lebih jauh.“Ibu gak mau tahu?” tanya Rara seraya menatap Bu Unike yang hanya diam.“Rara, sebaiknya kamu pulang sekarang saja ya,” ucap Bu Unike menatap Rara dengan tatapan merasa bersalah.“Bu, jangan menghindar. Jelasin ke aku penjelasan yang dikatakan Leo,” pinta Rara memelas.“Bukan Ibu yang melakukannya, Nak,” sanggah Bu Unike cepat.“Bu, hari ini aku baru aja ketemu Leo. Dia jelasin dari sisi dia, kalau ibu yang menyewa sopir truk it
Rara menatap bangunan yang menjadi saksi tumbuh besar dirinya. Gadis itu menarik napas kemudian menghembuskan perlahan. Rara menenangkan dirinya terlebih dahulu, ia tidak mau pertemuannya dengan Bu Unike menjadi kacau akibat omongan Leo.Setelah cukup tenang, Rara mengetuk pintu panti asuhan.“Aku pulang!” seru Rara cukup keras.Rara mencoba memegang kenop pintu panti asuhan. Gadis itu mengerutkan kening karena pintu panti tidak dikunci. Ia melangkah masuk ke dalam panti asuhan.“Halo? Rara pulang,” ucap Rara.Rara melangkah ke halaman belakang panti asuhan, “Bu Unike, aku pulang.”Rara menghentikan langkahnya saat melihat punggung yang ia rindukan. Wanita itu terdiam, tampak tenggelam dalam lamunannya. Di depan Bu Unike ada secangkir teh dan beberapa kue kering.“Bu Unike?” tanya Rara ragu.Wanita cantik itu mengangkat kepalanya. Matanya melotot melihat sosok di depannya.“Rara? Ini kamu Nak?” tanya Bu Unike langsung berdiri.Rara tersenyum hangat, gadis itu mengangguk kecil.“Kamu p
Rara masuk ke dalam kelasnya. Ia duduk di bangkunya.“Lo kemana tadi?”Rara menatap Jevan dengan rasa bersalah. “Maaf, gue tadi ke toilet. Terus gue jalan – jalan,” balas Rara berbohong.“Gue khawatir banget sama lo sampai nelepon lo berkali – kali,” kata Jevan.“Gue juga gak bawa HP,” balas Rara.“Yang penting lo udah balik, gue gak masalah,” ucap Jevan.Jevan hendak duduk di sebelah Rara untuk kembali mengobrol, tetapi guru selanjutnya sudah datang ke kelas. Jevan bergegas kembali ke bangku.“Oke anak – anak, siapkan kertas selembar,” kata Pak Dono.Seketika kelas langsung ribut. Mereka langsung memprotes dan panik karena belum belajar sama sekali.“Tidak ada yang protes. Saya sudah menyiapkan soalnya, segera tulis,” ucap Pak Dono tegas.Rara mulai fokus mendengar perkataan dari Pak Dono. Ia yakin dirinya akan mendapatkan nilai bagus karena gadis itu selalu membaca ulang materi minggu kemarin sebelum kelas dimulai.“Tidak boleh ada yang menyontek atau bertanya. Kalau ada yang begitu