Bab 44Dia, penyelamat hidupku? “Kita tinggalin ajalah! Ribet banget tiap malam harus bawa dia pulang, sialan, untung duitnya banyak!” ucap seorang pemuda yang menelantarkan tubuh temannya di lantai club. Pemuda yang ditelantarkan itu bangun, dia mabuk parah, terlihat dari gerak-geriknya. “Jangan, bawa … pulang!” ujarnya dengan artikulasi yang tidak jelas. Aku masih fokus melihat mereka karena keributan itu membuatku tertarik, Bondan, seorang bos tambang kaya raya, klien baruku sampai mengomel karena merasa diabaikan. “Seleramu yang masih muda, ya? Palingan mereka itu cuma jual tampang, aslinya kere,” ejek Bondan. Selama setahun bekerja liar, aku menjadi simpanan banyak pria tua kaya raya. Hampir semua club di kota ini sudah kudatangi untuk menemui pria tua yang berminat menjadikan aku sebagai gundik. “Jangan lihat mereka terus, Sayang! Kamu, kan, lagi sama aku!” Dia mendekat padaku, berbisik dengan mulutnya yang mengeluarkan bau alkohol yang sangat pekat, “Atau kamu mau a
Bab 45Malaikat urakan “Aku mau putus.” “Apa?!” Wajah Bondan melongo hebat, matanya membesar, kurasa dia terkejut dengan pernyataanku. Bondan tertawa sinis. Tatapannya berubah menjadi tatapan penuh hinaan. Dia memandang sekujur tubuhku, dari atas sampai ujung kakiku kemudian menjawab dengan santai dan arogan, “Putus? Cih! Sudah dapat laki-laki baru, ya? Badan tidak seberapa bagus juga banyak gaya lu!” “Aku mau putus karena mau berhenti.” “Berhenti? Kenapa? Sudah dapat laki-laki baik?” Bondan mencondongkan tubuhnya, napasnya terasa berembus di telingaku saat aku memalingkan wajah. “Azmina, memangnya ada yang mau dengan perempuan yang sudah rusak seperti kamu?! Jodoh itu cerminan diri, kalau kamu sudah rusak, pasti bertemu dengan laki-laki yang rusak juga, jangan naif begitu lah. Lagi pula, kalau sudah terjun sekali dalam dunia malam, mana bisa keluar semudah itu.” “Itu tidak ada urusannya denganmu, pokoknya aku mau putus.” “Kurang berapa?” Bondan bertanya sambil tak h
Bab 46Usaha Azmina “Mau ke mana, Sayang?” “Aku ada urusan sebentar,” jawabku singkat. “Urusan ....?”“Ehm, Sayang ... oke, sekarang kita hidup bersama, aku milikmu, sepenuhnya. Tapi, bukan berarti aku tidak berhak mempunyai urusan pribadi, kan?”“Tentu saja, sayangku. Aku bertanya karena aku peduli, dan ... jujur saja aku—“ “Kenapa? Kamu takut aku berhubungan dengan laki-laki lain?” Raja mengangguk. Wajahnya tegang. Aku tertawa, “Sudah tiga bulan loh. Kamu masih belum percaya juga denganku? Aku cuma mau bertemu dengan teman kuliah, kamu tau belakangan ini aku jarang sekali ke kampus, kan?” “Mau kutemani?” tawarnya lembut seraya menghampiri, lalu memeluk pinggangku dari belakang. Embusan napasnya di tengkuk membuatku hampir terbuai. Aku membalikkan badan, posisi kami kini saling berhadapan. Napas kami bertemu. Pria itu memelukku dengan sangat erat, kemudian memberikan kecupan singkat di pipi. Dia berbisik di samping telingaku, “Aku bisa gila kalau kamu mengkhianati aku, Azmina
Bab 47Rencana Azmina“ … ya, benar. Perusahaan kami menawarkan produk yang berkualitas tinggi. Apa kita bisa langsung membuat janji temu? Jika Anda mau, saya akan aturkan jadwal pertemuan kita secepatnya ….” Di dalam ruangan kerjanya, aku mendengar Raja sedang berbicara melalui sambungan telepon dengan seseorang. Dia tersenyum dan merentangkan sebelah tangannya ketika melihatku di ambang pintu. Aku pun mendekat dan disambut rangkulan hangat Raja. “Siapa?” tanyaku setelah sambungan telepon terputus. “Calon klien baru. Beliau mau menjalin hubungan kerja dengan perusahaan, Bapak Rahadi Suryadinata. Kudengar selentingan dari beberapa perusahaan yang sudah pernah bekerja sama dengan beliau, orangnya asyik dan sangat profesional. Pandangannya luas dan bijaksana, begitu yang kudengar dari mereka.” Tubuhku tiba-tiba membeku. Pendengaranku tuli untuk beberapa saat, napas terasa sesak, mata membulat sempurna. Siapa? Rahadi Suryadinata? Bukankah nama itu … adalah nama Ayah kandungku?!
Bab 48 Penyamaran Azmina “ … tapi kalau nama perusahaannya—” Aku menunggu dengan harap-harap cemas ucapan Raja selanjutnya. Jika aku berhasil mengetahui nama perusahaan itu, aku bisa mencari tahu dengan mudah, dan mimpiku untuk memiliki keluarga baru yang hangat akan segera tercapai! “PT. Rahadi Sejahtera.” Kuhela napas lega setelah mendengar nama perusahaan itu. “Baiklah, Sayang! Aku akan segera menyelidiki perusahaan itu secepatnya. Siapa tahu benar dia punya potensi yang bagus untuk diajak kerja sama, kan?” jawabku bersemangat. Saat ini isi pikiranku dipenuhi dengan angan-angan kebahagiaan mengenai keluarga baru yang penuh kasih sayang. Nanti, aku tidak perlu lagi bekerja keras dan merasa kesepian, aku juga tidak perlu lagi merasa malu di hadapan teman-temanku karena ibuku yang gila, atau ayahku yang masuk penjara akibat kasus penipuan karena mereka cuma orang tua angkat. Lalu, orang tua Raja pasti akan merestui hubungan kami karena aku berasal dari keluarga baik-baik dan
Bab 49Kembali terpuruk"Saya hanya ingin bertanya. Ehm, di mana ruangan Bapak Rahadi, pemilik perusahaan ini,” ucapku dengan sangat hati-hati. Lelaki itu bergeming, dari sorot matanya aku menangkap suatu kecurigaan.Lelaki itu tetap bungkam, tetapi dia menatapku tajam, ngeri. Tiba-tiba pikiran buruk melintas di kepalaku, bagaimana kalau orang ini jahat dan melakukan hal yang buruk terhadapku? Di sini sepi, sedari tadi hanya dia sendiri yang terlihat, meski penerangan di lantai ini lebih hangat dari dua lantai sebelumnya yang kusinggahi.Dengan cepat aku memutar badan dan memilih berlalu daripada terjadi hal yang tak diinginkan, soal pertanyaanku tadi, biarlah kucari sendiri jawabannya. Namun, baru saja langkah ini masuk hitungan keempat, terdengar lelaki itu mengucapkan sesuatu yang sangat jelas terdengar.“Lantai tiga, koridor dua sebelah kiri.”“Lantai tiga, koridor dua sebelah kiri.” Kuulang kalimatnya, membalikkan badan, mengangguk seraya berucap terima kasih. Dia menatapku, lalu
Bab 49Kembali terpuruk"Saya hanya ingin bertanya. Ehm, di mana ruangan Bapak Rahadi, pemilik perusahaan ini,” ucapku dengan sangat hati-hati. Lelaki itu bergeming, dari sorot matanya aku menangkap suatu kecurigaan.Lelaki itu tetap bungkam, tetapi dia menatapku tajam, ngeri. Tiba-tiba pikiran buruk melintas di kepalaku, bagaimana kalau orang ini jahat dan melakukan hal yang buruk terhadapku? Di sini sepi, sedari tadi hanya dia sendiri yang terlihat, meski penerangan di lantai ini lebih hangat dari dua lantai sebelumnya yang kusinggahi.Dengan cepat aku memutar badan dan memilih berlalu daripada terjadi hal yang tak diinginkan, soal pertanyaanku tadi, biarlah kucari sendiri jawabannya. Namun, baru saja langkah ini masuk hitungan keempat, terdengar lelaki itu mengucapkan sesuatu yang sangat jelas terdengar.“Lantai tiga, koridor dua sebelah kiri.”“Lantai tiga, koridor dua sebelah kiri.” Kuulang kalimatnya, membalikkan badan, mengangguk seraya berucap terima kasih. Dia menatapku, lalu
Bab 51Tentang Azmina[Aisyah, kamu baik-baik saja, kan? Aku menunggu kabarmu beberapa hari ini?] Begitulah pesan yang dikirimkan oleh Yudha pagi ini. Setelah kejadian pertemuan dengan Azmina yang tidak berjalan dengan baik, perasaanku sangat terluka. Aku berdiam diri di rumah selama beberapa hari ini. Yudha yang khawatir selalu mengirimkan pesan, menanyakan keadaanku walau aku tidak pernah membalas pesannya. [Mau pergi jalan-jalan sebentar biar pikiranmu jadi lebih tenang? Kamu tidak apa-apa, kan? Aku khawatir, Aisyah.] Yudha mengirimkan pesan lagi. Namun, aku harus bagaimana? Bermimpi pertemuan kami akan jadi momen yang membahagiakan, ternyata tidak. Entah kenapa Azmina bersikap sangat dingin dan terang-terangan tidak menginginkan pertemuan itu, bahkan menganggapku tidak ada, mengabaikan semua pertanyaan yang diajukan. Salahku apa padanya? Bukankah kami cuma korban yang ingin mengetahui kejelasan dari peristiwa buruk waktu itu.” Aku menatap layar ponsel yang menampilkan pesan
Bab 80 TAMAT “Masa, sih, itu bukan dia? Mirip banget, Ah.” ~@Dyannie_Alexander.. “Katanya udah ada konfirmasi kalau itu bukan dia, masalahnya udah beres.” ~@Adelia Bellez. “Jaman sekarang emang ngeri banget! Semua bisa dimanipulasi jadi semirip mungkin. Semangat, Kak!” ~@Rina Novita. “Kayaknya emang bukan dia deh. Itu mah cuman orang yang gak suka sama dia. Dia kan penulis sukses, makanya pada iri terus sengaja ngejebak dia pake foto palsu.” ~@Noeroel Arifin. “Ini bukan pengalihan isu, kan? Atau klarifikasinya bohong biar dia dapet simpati, terus bukunya laris lagi?” ~@HambaAllahpalingtaat. “Gue tim Kakak ini, sih, dari dulu, gak pernah ikut ngehujat.” ~@Rafika_Duri.Merasa bosan dan kesepian, pagi hariku setelah sarapan diawali dengan membuka komentar-komentar di media sosial. Ujaran kebencian yang waktu itu sempat memenuhi setiap postingan mengenai diriku, kini mulai reda. Padahal, dulu mereka orang-orang yang sama sekali tidak mengenal aku secara nyata sampai memburu ke ak
BAB 79_Adnan Minta RujukBeberapa minggu kemudian, di sebuah ballroom hotel ternama …. Beberapa orang sibuk berlalu lalang, memasang pernak-pernik, menghias ruangan itu dengan beberapa yang memberikan kesan mewah dan indah. Sebagiannya lagi sibuk mendekorasi, mengatur kursi-kursi untuk tamu undangan, tata letak bunga-bungaan untuk menambah kesan mewah, dan panggung utama yang menjadi puncak perhatian dari kedua mempelai. Aku ikut andil dalam proses mempersiapkan semua ini agar hasilnya sesuai dengan yang diinginkan. Sementara Azmina …. “Aisyah!” Gadis itu memanggilku dari arah belakang. Dia datang dengan wajah berseri bersama calon suaminya, Raja yang juga memberikan kesan hangat padaku. “Mina, kok, malah ke sini? Harusnya kamu istirahat. Nanti malam, kan, acaranya jangan sampe kecapean kamu kecapean, lho,” ucapku merasa khawatir. Azmina tiba-tiba memelukku dengan erat sambil berucap, “Jangan khawatir, habis ini aku langsung pulang, kok. Aku ke sini mau bilang makasih ban
Bab 78Dilamar Malam hari setelah pulang dari acara jalan-jalan bersama keluarga, aku langsung membersihkan diri dan berganti pakaian, kemudian bersiap-siap untuk Salat Magrib berjamaah di ruang keluarga dengan Ayah sebagai imamnya. Azmina yang masih dalam proses belajar mengenal agama lebih dalam, ikut bergabung bersama kami. Aku sangat bersyukur sekali kepada karunia dan kebahagiaan yang Allah berikan padaku. Semoga kebahagiaan dan kehangatan ini bertahan selamanya. Ayah yang sejak lama tidak mengimami salatku dan Ibu dengan dalih sibuk oleh pekerjaannya, kini mulai berubah. Begitu pula dengan Ibu yang hanya sesekali masak dan lebih sering membeli lauk di luar, kini mulai membiasakan dirinya lagi untuk memasak demi keluarganya yang sudah lengkap. Kedatangan Azmina mengembalikan angin lama yang telah hilang di keluarga kami. Usai salat berjamaah, aku dan Azmina langsung masuk kamar. Kami bercengkerama sebentar sambil menunggu azan Isya tiba. “Aisyah, kamu dan Yudha bagaiman
Bab 77_Kehangatan itu kembali kurasakan “Azmina?” Pria paruh baya itu menatapku dengan tatapan bingung. Dia mengaga selama beberapa menit di depan pintu masuk rumah. Sementara aku menunduk dengan canggung. “Sebenarnya bukan pilihan untuk datang ke sini, tapi Raja enggak bisa dihubungi, mungkin dia lagi enggak di apartemen atau lagi sibuk kerja—” “Ya Allah, Alhamdulillah.” Pria itu memeluk tubuhku dengan erat tanpa mengizinkan aku menyelesaikan alasanku datang kemari. Aku? Entah kenapa tak ingin menolak apalagi berontak. Dia mengusap-ngusap punggungku dengan lembut sambil berkata, “Tidak apa-apa, Sayang. Kamu tidak usah memberikan alasan apa pun untuk pulang ke rumahmu sendiri. Maafkan Ayah dan Ibu, ya.” Mendengar ucapannya, hatiku terenyuh. Tanpa sadar, air mataku jatuh tanpa diminta. Bercucuran sampai membasahi baju yang ia gunakan di bagian dada. Aku menangis seperti anak kecil. Dari dalam rumah, terdengar suara seseorang yang sangat aku kenali. “Siapa, Yah? Kok, lama? Ayo,
Bab 76_Pov Azmina Pria itu datang sambil membawa sebuah keranjang kecil berisi bunga yang ia taburkan di atas pusara Ibu, kemudian menengadahkan tangannya untuk berdoa dengan wajah serius, tetapi tenang. Aku mendorong tubuh Raja untuk menjauh, lalu mendekat pada pria itu sembari menodongnya dengan pertanyaan yang penuh dengan perasaan dendam. “Apa yang Anda lakukan di sini? Berani-beraninya Anda datang ke pemakaman Ibu saya!” Dia menyelesaikan doanya, masih berdiam diri di depan pusara Ibu, menjawab pertanyaanku tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali. “Ayah datang untuk mendoakan Ibu angkat kamu, Nak. Ayah juga ingin menyampaikan rasa terima kasih karena dia sudah membesarkan dan memberikan kamu kasih sayang selama Ayah dan Ibu tidak ada di sisimu.” Aku tertawa kecil mengejek ucapan tidak masuk akalnya. Kenapa laki-laki biadab ini berperilaku seolah-olah dia adalah orang tuaku yang berbudi setelah meninggalkan aku selama ini? Setelah aku harus bertahan hidup sebagai pela*ur
Bab 75_Bu, Kenapa meninggalkanku? 77 panggilan tidak terjawab, 105 pesan belum terbaca selama tiga hari. Semuanya berasal dari orang yang sama. Aku ingin sekali mengabaikan semua pesan-pesan itu, tetapi selain dia tidak ada satupun orang di dunia ini yang berpihak padaku, yang menjadi tumpuan dan sandaranku … tidak ada. Apalagi saat ini pikiranku sangat berantakan gara-gara kondisi Ibu. Persetan dengan Rahadi! Dia harus menerima semua konsekuensinya! “Pak, berhenti di depan sana saja, ya, depan toserba.” Sopir taksi meng-iyakan permintaanku. Aku segera turun dan berlari menuju bangunan besar dan megah, lingkungan apartemen yang hanya bisa dimiliki oleh orang tertentu terlepas dari harta kekayaan mereka. Kutekan kata sandi apartemen itu melalui monitor layar sentuh di pintu apartemen. Setelah berhasil terbuka, aku langsung berlari dan memeluknya dengan erat, menangis tersedu-sedu menumpahkan semua kekesalan dan rasa sakit yang membuat isi kepalaku berantakan. Pria itu tertegu
Bab 74_Inikah yang Terbaik? Kepalaku berdenyut sakit saat mata ini perlahan menangkap cahaya terang dan nuansa putih sebuah ruangan. Kemudian, aroma pekat dan pahit … seperti bau obat-obatan, mulai menusuk indra penciumanku. “Silau dan bau obat.” Adalah kesan pertamaku saat berhasil tersadar sepenuhnya. Aku menoleh ke sekeliling, memperhatikan setiap detail kecil ruangan itu. Lalu terfokus pada tubuhku, tangan yang dipasangi jarum infus, dengan monitor detak jantung di samping kanan. Lalu … seorang pria yang sangat aku kenali sosoknya, tengah tertidur dalam keadaan duduk, dengan kepalanya yang menelungkup di samping ranjang. “Yud ….” ucapku dengan suara lemah dan serak. Namun, entah mengapa dia langsung terbangun setelah kupikir tidurnya nyenyak karena terdengar suara dengkuran halus. “Aisyah? Kamu sudah sadar?” Dia menatapku seolah tidak percaya. “Ya Allah, terima kasih! Akhirnya doa-doaku dijawab! Alhamdulillah, Ya Allah!” “Yud ….” Aku ingin bertanya lebih banyak mengen
Bab: 73_PoV Tiara, “Pak Yudha ke mana, ya? Kok, saya nggak lihat dia dari tadi,” tanyaku pada salah satu karyawan yang sedang melintas. “Pak Yudha? Kalau tidak salah lihat, dia keluar dengan tergesa pagi tadi. Memangnya dia tidak bilang apa-apa sama Bu Tiara?” tanyanya balik. Mungkin dia merasa kebingungan, kenapa seorang sekretaris pribadi tidak mengetahui di mana keberadaan Yudha karena seharusnya aku yang mengatur semua jadwal kerjanya, ke mana dia harus pergi dan apa yang harus ia kerjakan hari ini, seharusnya begitu. “Begitu, ya? Ya sudah, terima kasih,” ucapku setelah termenung beberapa saat. Wanita itu mengangguk dan berjalan kembali menuju ruang kerjanya. Aku sendiri memilih untuk memeriksa ke ruangan Yudha. Selain Yudha, hanya aku yang bisa keluar masuk kapan pun ke ruangan itu. Aku melangkah menuju meja kerja Yudha. Sayangnya tak kutemukan apa pun di sana. Padahal, aku berharap dia meninggalkan pesan atau apa pun itu untuk memberitahukan ke mana dia pergi. “Dia sam
Bab 72_ Jangan panggil aku “Nak”! Aku melangkah lunglai menuju ruang inap Ibu. Hatiku sakit saat melihat keadaannya yang tidak kunjung membaik. Pakaiannya kotor, sorot matanya kosong, dan yang keluar dari mulutnya hanya … perihal tragedi malam itu. “Tipu … aku ditipu … mati … masuk penjara … semuanya hancur,” ujar Ibu. Aku mendekatinya, kemudian duduk di samping ranjang Ibu. “Ibu, sudah berapa lama tidak potong rambut?” Benar, rambut putihnya yang sudah menjamur dimana-mana, telah memanjang tidak rapi. “Azmina bantu potong, ya. Ibu tunggu sebentar di sini.” Aku meminjam gunting pada salah satu perawat di rumah sakit. Namun, saat mencoba untuk memotong rambut Ibu, dia malah memberontak. Memukul keras tanganku hingga gunting yang aku pegang jatuh ke lantai. “Pergi! Pergi kamu! Pergi kamu penipu! Semuanya gara-gara kamu! Dasar manusia biadab tidak tahu diuntung! Sudah baik suami saya ke kamu! Kamu malah menipu kami!” teriak nya keras. Tidak berhenti sampai sana, kini Ibu de