Bab 49Kembali terpuruk"Saya hanya ingin bertanya. Ehm, di mana ruangan Bapak Rahadi, pemilik perusahaan ini,” ucapku dengan sangat hati-hati. Lelaki itu bergeming, dari sorot matanya aku menangkap suatu kecurigaan.Lelaki itu tetap bungkam, tetapi dia menatapku tajam, ngeri. Tiba-tiba pikiran buruk melintas di kepalaku, bagaimana kalau orang ini jahat dan melakukan hal yang buruk terhadapku? Di sini sepi, sedari tadi hanya dia sendiri yang terlihat, meski penerangan di lantai ini lebih hangat dari dua lantai sebelumnya yang kusinggahi.Dengan cepat aku memutar badan dan memilih berlalu daripada terjadi hal yang tak diinginkan, soal pertanyaanku tadi, biarlah kucari sendiri jawabannya. Namun, baru saja langkah ini masuk hitungan keempat, terdengar lelaki itu mengucapkan sesuatu yang sangat jelas terdengar.“Lantai tiga, koridor dua sebelah kiri.”“Lantai tiga, koridor dua sebelah kiri.” Kuulang kalimatnya, membalikkan badan, mengangguk seraya berucap terima kasih. Dia menatapku, lalu
Bab 51Tentang Azmina[Aisyah, kamu baik-baik saja, kan? Aku menunggu kabarmu beberapa hari ini?] Begitulah pesan yang dikirimkan oleh Yudha pagi ini. Setelah kejadian pertemuan dengan Azmina yang tidak berjalan dengan baik, perasaanku sangat terluka. Aku berdiam diri di rumah selama beberapa hari ini. Yudha yang khawatir selalu mengirimkan pesan, menanyakan keadaanku walau aku tidak pernah membalas pesannya. [Mau pergi jalan-jalan sebentar biar pikiranmu jadi lebih tenang? Kamu tidak apa-apa, kan? Aku khawatir, Aisyah.] Yudha mengirimkan pesan lagi. Namun, aku harus bagaimana? Bermimpi pertemuan kami akan jadi momen yang membahagiakan, ternyata tidak. Entah kenapa Azmina bersikap sangat dingin dan terang-terangan tidak menginginkan pertemuan itu, bahkan menganggapku tidak ada, mengabaikan semua pertanyaan yang diajukan. Salahku apa padanya? Bukankah kami cuma korban yang ingin mengetahui kejelasan dari peristiwa buruk waktu itu.” Aku menatap layar ponsel yang menampilkan pesan
Bab 52: Curahan hati Ibu “Bu … Ibu bisa lihat foto ini.” Aku menyodorkan ponselku pada Ibu. Surgaku itu menatapnya ragu, bahkan enggan mengulurkan tangannya untuk menerima ponsel yang aku sodorkan. Keningnya mengerut, air matanya Kembali bercucuran. “Aisyah … Ibu tidak—” “Lihat dulu saja, Bu. Aku tahu Ibu pasti berat menerima kenyataan setelah bersusah payah untuk menerima kepergian Azmina yang banyak kejanggalan selama ini, aku juga tahu luka Ibu masih belum sembuh walau sudah bertahun-tahun semenjak kejadian itu ….” Kami saling bertatapan, aku memberikan ponselku kembali agar Ibu bisa melihat jelas bahwa yang kukatakan mengenai Azmina bukanlah sebuah kebohongan “... tapi, ini adalah kebenaran yang harus Ibu terima.” Kali ini dengan tangan gemetar Ibu menerimanya, netranya menatap nanar ke arah layar ponsel, kemudian … tubuhnya lemas, gegas aku merengkuhnya, menangis tersedu seraya pandangannya tak lepas menatap lekat foto dan video Azmina. “Aisyah, foto dan video ini
Bab 53Rencana Bertemu Azmina “Aisyah, sebenarnya dari kemarin Ibu penasaran sesuatu …,” ucap Ibu saat kami berdua duduk di teras rumah. Untuk beberapa hari ini, kuputuskan untuk selalu menemani Ibu agar pikirannya tidak terlalu runyam karena masalah di panti asuhan kemarin. Lagipula, kami butuh waktu istirahat sejenak dari semua hal yang membuat kepala sakit, dari semua masalah yang menjerumuskan aku, dan keluargaku ke dalam lubang penyesalan. “Penasaran apa, Bu?” tanyaku balik. Ibu menghela napas berat. Matanya memandang lurus ke depan, sepertinya berat untuk melanjutkan pertanyaannya. “Tidak apa-apa, Bu. Kalau ada yang mau ditanyakan, Ibu tanyakan saja pada Aisyah.” “Begini, Aisyah. Waktu itu, kamu bertemu dengan Azmina bagaimana caranya?” Aku terdiam sejenak, kemudian menjawab dengan nada pasti, “Aku tidak sengaja bertemu dengan Azmina, Bu. Awalnya aku juga sangat kaget, tapi setelah itu, aku yakin bahwa dia memang Azmina setelah melihat wajah dan perawakannya yang sam
Bab 54Meluluhkan Hati Azmina ( PoV Raja ) Aku mendatangi sebuah kawasan perumahan untuk mengetahui bagaimana kabarnya, apakah dia baik-baik saja selama beberapa hari ini kami tidak bertemu? Semua pesan, panggilan telepon, bahkan uang yang aku kirim ditolak olehnya. Tubuhku berdiri tegak di depan rumah itu, memencet bel untuk yang kesekian kali, tetapi dari dalam tidak ada jawaban sama sekali. Lampu rumah menyala, aku tahu dia ada di dalam sana, tidak berniat untuk bertemu denganku. “Sayang, bisa bicara sebentar? Ayolah, Azmina, aku merasa hampa kalau nggak ada kamu. Tolong kasih aku kesempatan.” Masih tidak ada jawaban. Apa kamu sebegitu marahnya padaku, Sayang? “Aku minta maaf untuk kejadian yang kemarin, aku tidak bermaksud untuk membela Aisyah, tidak ada maksud juga untuk membuat kamu terpuruk atau apa karena masalah keluargamu yang rumit.” Aku mengembuskan napas kecewa. Semua kata-kata yang dia lontarkan waktu itu sangat membekas dalam hati dan pikiranku. “Sayang, ak
Bab 55:Luka Hati Azmina Hatiku saat cemas menjelang pertemuan. Aku sangat takut jika semuanya tidak berjalan dengan lancar. Mengenai sikap Azmina, aku juga takut dia akan bersikap sama kepada Ayah dan Ibu saat bertemu nanti. Namun, semua perasaan takut dan cemas itu harus kutepis jauh-jauh! Melihat Ayah dan Ibu sangat antusias sekali … aku tidak boleh mengecewakan mereka! “Ayo kita berangkat sekarang, mobilnya sudah siap. Ayah tidak sabar bertemu Azmina. Dia pasti tumbuh cantik sepertimu putri Ayah yang satu ini,” ucap Ayah seraya mengusap pucuk kepalaku yang tertutup hijab. “Ibu juga tidak sabar bertemu dengan Azmina, Aisyah! Ibu penasaran wajahnya seperti apa. Karena waktu kita berpisah dengannya, kalian berdua masih sangat kecil sekali,” sambung Ibu sama antusiasnya dengan Ayah. “Ya sudah, ayo kita berangkat. Sebentar lagi kita akan menjadi keluarga bahagia seutuhnya. Anak-anak Ayah, alasan Ayah dan Ibu berjuang keras waktu itu, akhirnya bersatu kembali. Ayah sangat bersyuku
Bab 56PoV Rahadi “Dia mengaku-ngaku sebagai Azmina?! Dasar perempuan bedebah! Tidak! Tidak mungkin Azmina masih hidup! Dia cuma seseorang yang mirip dengan Aisyah lalu mengaku sebagai Azmina! Wanita keji sialan yang pura-pura menjadi Aisyah!” Aku meremas rambutku dengan kuat, rasanya sangat frustrasi dengan semua kejadian ini. Kepalaku yang berdenyut sakit bertambah sakit mendengar ada banyak sekali suara-suara yang saling berteriak di dalam kepala, saling bertengkar dan menyalahi satu sama lain. “Dia bukan Azmina! Dia bukan anakku! Mana mungkin aku punya anak jahat yang mencelakai anakku yang lain! Dia pasti cuma pura-pura menjadi Azmina untuk mendapatkan uang dariku! Dia pasti akan meminta apa yang dia sebut sebagai haknya nanti!” Aku duduk di dalam kafe yang bersebelahan dengan kafe tempat pertemuan, jaraknya tidak terlalu dekat, cukup sebagai tempat menenangkan diri di samping aku harus menunggu Aisyah dan istriku untuk pulang bersama. “Istriku dan putriku terlalu terpaku
Bab 57: Kebenaran Dua hari kemudian, Yudha mengajak aku bertemu di tempat yang sama dengan pembicaraan kami kemarin. Kafe yang berada tidak jauh dengan tempat pertemuan dengan wanita yang mengaku-ngaku sebagai Azmina. Teringat itu lagi, sungguh menyebalkan. Yudha bilang ada sesuatu yang ingin dia sampaikan padaku. Pasti dia mau membujuk terkait masalah wanita itu. Aku tidak mau pergi karena pekerjaan sedang sangat menumpuk. Melihat ke arah dokumen yang sudah menggunung di atas meja kerja pribadiku, harus segera diselesaikan karena tenggat waktunya sebentar lagi. Ah sial! Seandainya saja saat itu aku tidak usah buang-buang waktu untuk menemui mereka, mungkin semua pekerjaan ini sudah selesai, dan aku bisa menghabiskan waktu bersama putriku satu-satunya! Mengingat perkataannya waktu itu … aku jadi kepikiran. Benar bahwa aku membenci wanita itu karena sudah berpura-pura menjadi Azmina dan membuka luka lama kami, tetapi, sebagai seorang ayah yang juga memiliki putri yang sepertinya
Bab 80 TAMAT “Masa, sih, itu bukan dia? Mirip banget, Ah.” ~@Dyannie_Alexander.. “Katanya udah ada konfirmasi kalau itu bukan dia, masalahnya udah beres.” ~@Adelia Bellez. “Jaman sekarang emang ngeri banget! Semua bisa dimanipulasi jadi semirip mungkin. Semangat, Kak!” ~@Rina Novita. “Kayaknya emang bukan dia deh. Itu mah cuman orang yang gak suka sama dia. Dia kan penulis sukses, makanya pada iri terus sengaja ngejebak dia pake foto palsu.” ~@Noeroel Arifin. “Ini bukan pengalihan isu, kan? Atau klarifikasinya bohong biar dia dapet simpati, terus bukunya laris lagi?” ~@HambaAllahpalingtaat. “Gue tim Kakak ini, sih, dari dulu, gak pernah ikut ngehujat.” ~@Rafika_Duri.Merasa bosan dan kesepian, pagi hariku setelah sarapan diawali dengan membuka komentar-komentar di media sosial. Ujaran kebencian yang waktu itu sempat memenuhi setiap postingan mengenai diriku, kini mulai reda. Padahal, dulu mereka orang-orang yang sama sekali tidak mengenal aku secara nyata sampai memburu ke ak
BAB 79_Adnan Minta RujukBeberapa minggu kemudian, di sebuah ballroom hotel ternama …. Beberapa orang sibuk berlalu lalang, memasang pernak-pernik, menghias ruangan itu dengan beberapa yang memberikan kesan mewah dan indah. Sebagiannya lagi sibuk mendekorasi, mengatur kursi-kursi untuk tamu undangan, tata letak bunga-bungaan untuk menambah kesan mewah, dan panggung utama yang menjadi puncak perhatian dari kedua mempelai. Aku ikut andil dalam proses mempersiapkan semua ini agar hasilnya sesuai dengan yang diinginkan. Sementara Azmina …. “Aisyah!” Gadis itu memanggilku dari arah belakang. Dia datang dengan wajah berseri bersama calon suaminya, Raja yang juga memberikan kesan hangat padaku. “Mina, kok, malah ke sini? Harusnya kamu istirahat. Nanti malam, kan, acaranya jangan sampe kecapean kamu kecapean, lho,” ucapku merasa khawatir. Azmina tiba-tiba memelukku dengan erat sambil berucap, “Jangan khawatir, habis ini aku langsung pulang, kok. Aku ke sini mau bilang makasih ban
Bab 78Dilamar Malam hari setelah pulang dari acara jalan-jalan bersama keluarga, aku langsung membersihkan diri dan berganti pakaian, kemudian bersiap-siap untuk Salat Magrib berjamaah di ruang keluarga dengan Ayah sebagai imamnya. Azmina yang masih dalam proses belajar mengenal agama lebih dalam, ikut bergabung bersama kami. Aku sangat bersyukur sekali kepada karunia dan kebahagiaan yang Allah berikan padaku. Semoga kebahagiaan dan kehangatan ini bertahan selamanya. Ayah yang sejak lama tidak mengimami salatku dan Ibu dengan dalih sibuk oleh pekerjaannya, kini mulai berubah. Begitu pula dengan Ibu yang hanya sesekali masak dan lebih sering membeli lauk di luar, kini mulai membiasakan dirinya lagi untuk memasak demi keluarganya yang sudah lengkap. Kedatangan Azmina mengembalikan angin lama yang telah hilang di keluarga kami. Usai salat berjamaah, aku dan Azmina langsung masuk kamar. Kami bercengkerama sebentar sambil menunggu azan Isya tiba. “Aisyah, kamu dan Yudha bagaiman
Bab 77_Kehangatan itu kembali kurasakan “Azmina?” Pria paruh baya itu menatapku dengan tatapan bingung. Dia mengaga selama beberapa menit di depan pintu masuk rumah. Sementara aku menunduk dengan canggung. “Sebenarnya bukan pilihan untuk datang ke sini, tapi Raja enggak bisa dihubungi, mungkin dia lagi enggak di apartemen atau lagi sibuk kerja—” “Ya Allah, Alhamdulillah.” Pria itu memeluk tubuhku dengan erat tanpa mengizinkan aku menyelesaikan alasanku datang kemari. Aku? Entah kenapa tak ingin menolak apalagi berontak. Dia mengusap-ngusap punggungku dengan lembut sambil berkata, “Tidak apa-apa, Sayang. Kamu tidak usah memberikan alasan apa pun untuk pulang ke rumahmu sendiri. Maafkan Ayah dan Ibu, ya.” Mendengar ucapannya, hatiku terenyuh. Tanpa sadar, air mataku jatuh tanpa diminta. Bercucuran sampai membasahi baju yang ia gunakan di bagian dada. Aku menangis seperti anak kecil. Dari dalam rumah, terdengar suara seseorang yang sangat aku kenali. “Siapa, Yah? Kok, lama? Ayo,
Bab 76_Pov Azmina Pria itu datang sambil membawa sebuah keranjang kecil berisi bunga yang ia taburkan di atas pusara Ibu, kemudian menengadahkan tangannya untuk berdoa dengan wajah serius, tetapi tenang. Aku mendorong tubuh Raja untuk menjauh, lalu mendekat pada pria itu sembari menodongnya dengan pertanyaan yang penuh dengan perasaan dendam. “Apa yang Anda lakukan di sini? Berani-beraninya Anda datang ke pemakaman Ibu saya!” Dia menyelesaikan doanya, masih berdiam diri di depan pusara Ibu, menjawab pertanyaanku tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali. “Ayah datang untuk mendoakan Ibu angkat kamu, Nak. Ayah juga ingin menyampaikan rasa terima kasih karena dia sudah membesarkan dan memberikan kamu kasih sayang selama Ayah dan Ibu tidak ada di sisimu.” Aku tertawa kecil mengejek ucapan tidak masuk akalnya. Kenapa laki-laki biadab ini berperilaku seolah-olah dia adalah orang tuaku yang berbudi setelah meninggalkan aku selama ini? Setelah aku harus bertahan hidup sebagai pela*ur
Bab 75_Bu, Kenapa meninggalkanku? 77 panggilan tidak terjawab, 105 pesan belum terbaca selama tiga hari. Semuanya berasal dari orang yang sama. Aku ingin sekali mengabaikan semua pesan-pesan itu, tetapi selain dia tidak ada satupun orang di dunia ini yang berpihak padaku, yang menjadi tumpuan dan sandaranku … tidak ada. Apalagi saat ini pikiranku sangat berantakan gara-gara kondisi Ibu. Persetan dengan Rahadi! Dia harus menerima semua konsekuensinya! “Pak, berhenti di depan sana saja, ya, depan toserba.” Sopir taksi meng-iyakan permintaanku. Aku segera turun dan berlari menuju bangunan besar dan megah, lingkungan apartemen yang hanya bisa dimiliki oleh orang tertentu terlepas dari harta kekayaan mereka. Kutekan kata sandi apartemen itu melalui monitor layar sentuh di pintu apartemen. Setelah berhasil terbuka, aku langsung berlari dan memeluknya dengan erat, menangis tersedu-sedu menumpahkan semua kekesalan dan rasa sakit yang membuat isi kepalaku berantakan. Pria itu tertegu
Bab 74_Inikah yang Terbaik? Kepalaku berdenyut sakit saat mata ini perlahan menangkap cahaya terang dan nuansa putih sebuah ruangan. Kemudian, aroma pekat dan pahit … seperti bau obat-obatan, mulai menusuk indra penciumanku. “Silau dan bau obat.” Adalah kesan pertamaku saat berhasil tersadar sepenuhnya. Aku menoleh ke sekeliling, memperhatikan setiap detail kecil ruangan itu. Lalu terfokus pada tubuhku, tangan yang dipasangi jarum infus, dengan monitor detak jantung di samping kanan. Lalu … seorang pria yang sangat aku kenali sosoknya, tengah tertidur dalam keadaan duduk, dengan kepalanya yang menelungkup di samping ranjang. “Yud ….” ucapku dengan suara lemah dan serak. Namun, entah mengapa dia langsung terbangun setelah kupikir tidurnya nyenyak karena terdengar suara dengkuran halus. “Aisyah? Kamu sudah sadar?” Dia menatapku seolah tidak percaya. “Ya Allah, terima kasih! Akhirnya doa-doaku dijawab! Alhamdulillah, Ya Allah!” “Yud ….” Aku ingin bertanya lebih banyak mengen
Bab: 73_PoV Tiara, “Pak Yudha ke mana, ya? Kok, saya nggak lihat dia dari tadi,” tanyaku pada salah satu karyawan yang sedang melintas. “Pak Yudha? Kalau tidak salah lihat, dia keluar dengan tergesa pagi tadi. Memangnya dia tidak bilang apa-apa sama Bu Tiara?” tanyanya balik. Mungkin dia merasa kebingungan, kenapa seorang sekretaris pribadi tidak mengetahui di mana keberadaan Yudha karena seharusnya aku yang mengatur semua jadwal kerjanya, ke mana dia harus pergi dan apa yang harus ia kerjakan hari ini, seharusnya begitu. “Begitu, ya? Ya sudah, terima kasih,” ucapku setelah termenung beberapa saat. Wanita itu mengangguk dan berjalan kembali menuju ruang kerjanya. Aku sendiri memilih untuk memeriksa ke ruangan Yudha. Selain Yudha, hanya aku yang bisa keluar masuk kapan pun ke ruangan itu. Aku melangkah menuju meja kerja Yudha. Sayangnya tak kutemukan apa pun di sana. Padahal, aku berharap dia meninggalkan pesan atau apa pun itu untuk memberitahukan ke mana dia pergi. “Dia sam
Bab 72_ Jangan panggil aku “Nak”! Aku melangkah lunglai menuju ruang inap Ibu. Hatiku sakit saat melihat keadaannya yang tidak kunjung membaik. Pakaiannya kotor, sorot matanya kosong, dan yang keluar dari mulutnya hanya … perihal tragedi malam itu. “Tipu … aku ditipu … mati … masuk penjara … semuanya hancur,” ujar Ibu. Aku mendekatinya, kemudian duduk di samping ranjang Ibu. “Ibu, sudah berapa lama tidak potong rambut?” Benar, rambut putihnya yang sudah menjamur dimana-mana, telah memanjang tidak rapi. “Azmina bantu potong, ya. Ibu tunggu sebentar di sini.” Aku meminjam gunting pada salah satu perawat di rumah sakit. Namun, saat mencoba untuk memotong rambut Ibu, dia malah memberontak. Memukul keras tanganku hingga gunting yang aku pegang jatuh ke lantai. “Pergi! Pergi kamu! Pergi kamu penipu! Semuanya gara-gara kamu! Dasar manusia biadab tidak tahu diuntung! Sudah baik suami saya ke kamu! Kamu malah menipu kami!” teriak nya keras. Tidak berhenti sampai sana, kini Ibu de