Bab 38Pertemuan tak berkesan “Raja!” Kami bertiga sontak menengok ke arah sumber suara. “Azmina ….” Mataku membelalak terkejut. Saat melihatnya langsung, aku seperti melihat diriku sendiri tanpa hijab, secara keseluruhan kami memang sangat mirip, bahkan terlalu mirip! Azmina sangat cantik. Kulitnya putih bersih. Dia memakai gaun sederhana sepanjang lutut dan memakai sepatu hak tinggi. Melihatnya, aku langsung bangkit dari tempat duduk agar bisa melihat Azmina dengan lebih jelas. Saat mata kami bertatapan, dia itu berhenti tersenyum. Matanya membulat besar, langkah kakinya terhenti di seperempat jalan. “Kamu …,” ucapnya. Gegas aku berlari menghampiri Azmina yang masih terkejut dengan situasi ini. Aku membuka lebar-lebar tanganku dan hendak meraihnya ke dalam pelukan. Namun, dia menepisku dengan kasar! “Apa-apaan ini?! Kamu bilang mau bertemu dengan klien, apa mereka klien nya?!” tanya Azmina dengan marah tanpa menatapku sama sekali. Dia mengabaikan aku dan menghampir
Bab 39PoV Azmina. Mataku memerah, menatap nyalang pada sosok pria yang selama ini sangat kupercaya. Sosoknya yang kuanggap sebagai rumah tempat berpulang dari semua rasa sakit dan kekejaman takdir, malah menipuku untuk bertemu dengan wanita sialan itu! “Tidak ada sisi dalam kehidupanku yang adil, Raja! Semuanya buruk, semuanya sial! Semuanya membuatku muak! Tapi, kamu masih juga menipuku demi membantu wanita itu? Kenapa? Kenapa Raja? Kenapa semua orang berpihak padanya? Kenapa semua orang menganggapnya spesial sementara aku tidak? Kenapa dia dianggap sebagai pembawa keberuntungan, anak manis dan cantik yang suci dalam semua hal, sementara aku? Aku begini karena takdir, Raja! Wanita mana yang mau hidup hina sepertiku jika bukan karena keadaan?!” Semua emosi terpendam dalam diriku luruh seketika setelah mengatakan semua itu. Aku menangis sesenggukan, menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Azmina, aku tidak bermaksud untuk menipumu atau apa. Justru, aku mau membantu mereka agar s
Bab 40Kisah Kelam Hidup Azmina. “Azmina! Keluar sebentar, aku mau bicara! Aku minta maaf soal yang tadi. Aku benar-benar minta maaf, Sayang! Aku mohon, buka pintunya, kita bicarakan baik-baik.” Ketukannya di pintu rumah tidak juga berhenti. Dia berulang lagi memencet bel agar aku keluar. “Aku tahu kamu ada di dalam, Sayang. Sebentar saja, aku minta maaf.” Karena kasihan, aku turun dari ranjang kamar menuju ruang depan dan membuka pintu rumah perlahan. Begitu pintu terbuka, Raja langsung memelukku sangat erat. Dia mengusap rambutku dan berulang kali mengucapkan kata maaf meski kuabaikan semua itu. “Mau apa kamu kemari, Raja? Tidak ada gunanya kamu minta maaf. Semuanya sudah terlanjur terjadi,” ucapku melemah karena sikapnya. “Kalau begitu, kamu mau aku bagaimana agar kesalahanku bisa dimaafkan? Apa pun! Kamu bisa meminta atau menyuruhku melakukan apa pun, Sayang, asalkan kamu memaafkanku.” Aku menggeleng. Membuka lebar-lebar pintu rumah. “Aku cuma minta satu hal. Selama b
Bab 41Aku menyerah! Tujuh tahun lalu, usiaku baru masuk 21 tahun. Kuliah di universitas ternama dan terkenal karena koneksi dari Ayah. Aku adalah Tuan Putri di rumah ini, kehidupanku sempurna. Uang, barang-barang branded, keluarga yang hangat, siapa pun pasti iri, kan? Benar, sampai kasus penipuan yang menimpa Ayah terjadi, kehidupanku sangat sempurna, membuat semua orang iri …. Aku mendengar seseorang masuk rumah saat malam sudah hampir larut, ternyata Ibu kembali setelah dua hari lamanya menghilang tanpa kabar. “Sayang? Azmina? Kamu di mana, Nak? Maafkan Ibu yang pergi begitu saja beberapa hari ini tanpa memberitahukan apa pun padamu, Ibu minta maaf, Sayang.” Ibu berteriak memanggil dan terdengar derap langkahnya mendekati kamarku. Tak ada keinginanku untuk menyahuti panggilannya. Yang kulakukan hanya diam meringkuk di dalam kamar. Pakaianku yang dilucuti Ayah masih ada di ruang depan, sobek di beberapa bagian … bahkan dalamannya masih ada di sana. Tubuh ini, rasanya ak
Bab 4270 juta satu malam. Sudah tujuh hari berlalu semenjak kejadian mengerikan itu. Aku yang kini tinggal di sebuah kontrakan yang kecil dan pengap dan hanya memakan makanan seadanya, itu pun pemberian dari Bu Hasnah, pemilik kontrakan yang merupakan satu-satunya orang yang peduli padaku. Entahlah, entah memang peduli atau hanya balas budi karena dulu keluarga kami yang menolongnya saat putra sulungnya terjerat pinjaman online hingga puluhan juta rupiah. Selain Bu Hasnah, tidak ada yang peduli, tidak ada yang menanyakan bagaimana keadaanku, bagaimana kabarku, apakah aku baik-baik saja? Semua orang mendadak asing. Teman-teman, sanak keluarga, semuanya bersikap seolah-olah tidak mengenal aku, seolah-olah kami tidak pernah berhubungan baik, seolah-olah semua kebaikan yang kami berikan pada mereka tidak ada artinya sama sekali. Tubuhku lemas karena makan seadanya. Tidak juga kubasuh badan ini karena menganggap bahwa semuanya percuma. Aku hancur luar dalam, tidak ada satu pun orang
Bab 43Terjerumus lembah hitam “Sayang, jadi, kan?” Pesan itu dikirimkan oleh seorang pria paruh baya bernama Rudi. Kami bertemu di niteclub semalam. Dia menjanjikan akan membiayai uang kuliahku dan memberikan uang jajan jika aku bersedia menjadi gundiknya. Aku mengabaikan sejenak pesan itu. Kubersihkan badanku setelah lelah dari dunia perkuliahan, kemudian beristirahat sejenak sebelum menjalankan kehidupan malamku yang … kotor. “Duh, siapa, sih, yang menelepon sore-sore begini!” Aku kesal. Berlari keluar dari kamar mandi dengan handuk dan mengangkat telepon dari nomor tidak dikenal. “Halo? Siapa ya?” tanyaku. Terdengar suara wanita dari seberang sana. [Ini benar Azmina, kan? Anaknya Bu Maya?] “Iya, ada apa dengan ibu saya?” “Maaf mengganggu waktunya. Saya dari rumah sakit jiwa tempat Bu Maya di rawat. Besok sudah tenggat waktu untuk pembayaran biaya perawatan Bu Maya di rumah sakit.” Aku terdiam. Baru satu minggu aku memberanikan diri untuk bermain di niteclub, memaka
Bab 44Dia, penyelamat hidupku? “Kita tinggalin ajalah! Ribet banget tiap malam harus bawa dia pulang, sialan, untung duitnya banyak!” ucap seorang pemuda yang menelantarkan tubuh temannya di lantai club. Pemuda yang ditelantarkan itu bangun, dia mabuk parah, terlihat dari gerak-geriknya. “Jangan, bawa … pulang!” ujarnya dengan artikulasi yang tidak jelas. Aku masih fokus melihat mereka karena keributan itu membuatku tertarik, Bondan, seorang bos tambang kaya raya, klien baruku sampai mengomel karena merasa diabaikan. “Seleramu yang masih muda, ya? Palingan mereka itu cuma jual tampang, aslinya kere,” ejek Bondan. Selama setahun bekerja liar, aku menjadi simpanan banyak pria tua kaya raya. Hampir semua club di kota ini sudah kudatangi untuk menemui pria tua yang berminat menjadikan aku sebagai gundik. “Jangan lihat mereka terus, Sayang! Kamu, kan, lagi sama aku!” Dia mendekat padaku, berbisik dengan mulutnya yang mengeluarkan bau alkohol yang sangat pekat, “Atau kamu mau a
Bab 45Malaikat urakan “Aku mau putus.” “Apa?!” Wajah Bondan melongo hebat, matanya membesar, kurasa dia terkejut dengan pernyataanku. Bondan tertawa sinis. Tatapannya berubah menjadi tatapan penuh hinaan. Dia memandang sekujur tubuhku, dari atas sampai ujung kakiku kemudian menjawab dengan santai dan arogan, “Putus? Cih! Sudah dapat laki-laki baru, ya? Badan tidak seberapa bagus juga banyak gaya lu!” “Aku mau putus karena mau berhenti.” “Berhenti? Kenapa? Sudah dapat laki-laki baik?” Bondan mencondongkan tubuhnya, napasnya terasa berembus di telingaku saat aku memalingkan wajah. “Azmina, memangnya ada yang mau dengan perempuan yang sudah rusak seperti kamu?! Jodoh itu cerminan diri, kalau kamu sudah rusak, pasti bertemu dengan laki-laki yang rusak juga, jangan naif begitu lah. Lagi pula, kalau sudah terjun sekali dalam dunia malam, mana bisa keluar semudah itu.” “Itu tidak ada urusannya denganmu, pokoknya aku mau putus.” “Kurang berapa?” Bondan bertanya sambil tak h
Bab 80 TAMAT “Masa, sih, itu bukan dia? Mirip banget, Ah.” ~@Dyannie_Alexander.. “Katanya udah ada konfirmasi kalau itu bukan dia, masalahnya udah beres.” ~@Adelia Bellez. “Jaman sekarang emang ngeri banget! Semua bisa dimanipulasi jadi semirip mungkin. Semangat, Kak!” ~@Rina Novita. “Kayaknya emang bukan dia deh. Itu mah cuman orang yang gak suka sama dia. Dia kan penulis sukses, makanya pada iri terus sengaja ngejebak dia pake foto palsu.” ~@Noeroel Arifin. “Ini bukan pengalihan isu, kan? Atau klarifikasinya bohong biar dia dapet simpati, terus bukunya laris lagi?” ~@HambaAllahpalingtaat. “Gue tim Kakak ini, sih, dari dulu, gak pernah ikut ngehujat.” ~@Rafika_Duri.Merasa bosan dan kesepian, pagi hariku setelah sarapan diawali dengan membuka komentar-komentar di media sosial. Ujaran kebencian yang waktu itu sempat memenuhi setiap postingan mengenai diriku, kini mulai reda. Padahal, dulu mereka orang-orang yang sama sekali tidak mengenal aku secara nyata sampai memburu ke ak
BAB 79_Adnan Minta RujukBeberapa minggu kemudian, di sebuah ballroom hotel ternama …. Beberapa orang sibuk berlalu lalang, memasang pernak-pernik, menghias ruangan itu dengan beberapa yang memberikan kesan mewah dan indah. Sebagiannya lagi sibuk mendekorasi, mengatur kursi-kursi untuk tamu undangan, tata letak bunga-bungaan untuk menambah kesan mewah, dan panggung utama yang menjadi puncak perhatian dari kedua mempelai. Aku ikut andil dalam proses mempersiapkan semua ini agar hasilnya sesuai dengan yang diinginkan. Sementara Azmina …. “Aisyah!” Gadis itu memanggilku dari arah belakang. Dia datang dengan wajah berseri bersama calon suaminya, Raja yang juga memberikan kesan hangat padaku. “Mina, kok, malah ke sini? Harusnya kamu istirahat. Nanti malam, kan, acaranya jangan sampe kecapean kamu kecapean, lho,” ucapku merasa khawatir. Azmina tiba-tiba memelukku dengan erat sambil berucap, “Jangan khawatir, habis ini aku langsung pulang, kok. Aku ke sini mau bilang makasih ban
Bab 78Dilamar Malam hari setelah pulang dari acara jalan-jalan bersama keluarga, aku langsung membersihkan diri dan berganti pakaian, kemudian bersiap-siap untuk Salat Magrib berjamaah di ruang keluarga dengan Ayah sebagai imamnya. Azmina yang masih dalam proses belajar mengenal agama lebih dalam, ikut bergabung bersama kami. Aku sangat bersyukur sekali kepada karunia dan kebahagiaan yang Allah berikan padaku. Semoga kebahagiaan dan kehangatan ini bertahan selamanya. Ayah yang sejak lama tidak mengimami salatku dan Ibu dengan dalih sibuk oleh pekerjaannya, kini mulai berubah. Begitu pula dengan Ibu yang hanya sesekali masak dan lebih sering membeli lauk di luar, kini mulai membiasakan dirinya lagi untuk memasak demi keluarganya yang sudah lengkap. Kedatangan Azmina mengembalikan angin lama yang telah hilang di keluarga kami. Usai salat berjamaah, aku dan Azmina langsung masuk kamar. Kami bercengkerama sebentar sambil menunggu azan Isya tiba. “Aisyah, kamu dan Yudha bagaiman
Bab 77_Kehangatan itu kembali kurasakan “Azmina?” Pria paruh baya itu menatapku dengan tatapan bingung. Dia mengaga selama beberapa menit di depan pintu masuk rumah. Sementara aku menunduk dengan canggung. “Sebenarnya bukan pilihan untuk datang ke sini, tapi Raja enggak bisa dihubungi, mungkin dia lagi enggak di apartemen atau lagi sibuk kerja—” “Ya Allah, Alhamdulillah.” Pria itu memeluk tubuhku dengan erat tanpa mengizinkan aku menyelesaikan alasanku datang kemari. Aku? Entah kenapa tak ingin menolak apalagi berontak. Dia mengusap-ngusap punggungku dengan lembut sambil berkata, “Tidak apa-apa, Sayang. Kamu tidak usah memberikan alasan apa pun untuk pulang ke rumahmu sendiri. Maafkan Ayah dan Ibu, ya.” Mendengar ucapannya, hatiku terenyuh. Tanpa sadar, air mataku jatuh tanpa diminta. Bercucuran sampai membasahi baju yang ia gunakan di bagian dada. Aku menangis seperti anak kecil. Dari dalam rumah, terdengar suara seseorang yang sangat aku kenali. “Siapa, Yah? Kok, lama? Ayo,
Bab 76_Pov Azmina Pria itu datang sambil membawa sebuah keranjang kecil berisi bunga yang ia taburkan di atas pusara Ibu, kemudian menengadahkan tangannya untuk berdoa dengan wajah serius, tetapi tenang. Aku mendorong tubuh Raja untuk menjauh, lalu mendekat pada pria itu sembari menodongnya dengan pertanyaan yang penuh dengan perasaan dendam. “Apa yang Anda lakukan di sini? Berani-beraninya Anda datang ke pemakaman Ibu saya!” Dia menyelesaikan doanya, masih berdiam diri di depan pusara Ibu, menjawab pertanyaanku tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali. “Ayah datang untuk mendoakan Ibu angkat kamu, Nak. Ayah juga ingin menyampaikan rasa terima kasih karena dia sudah membesarkan dan memberikan kamu kasih sayang selama Ayah dan Ibu tidak ada di sisimu.” Aku tertawa kecil mengejek ucapan tidak masuk akalnya. Kenapa laki-laki biadab ini berperilaku seolah-olah dia adalah orang tuaku yang berbudi setelah meninggalkan aku selama ini? Setelah aku harus bertahan hidup sebagai pela*ur
Bab 75_Bu, Kenapa meninggalkanku? 77 panggilan tidak terjawab, 105 pesan belum terbaca selama tiga hari. Semuanya berasal dari orang yang sama. Aku ingin sekali mengabaikan semua pesan-pesan itu, tetapi selain dia tidak ada satupun orang di dunia ini yang berpihak padaku, yang menjadi tumpuan dan sandaranku … tidak ada. Apalagi saat ini pikiranku sangat berantakan gara-gara kondisi Ibu. Persetan dengan Rahadi! Dia harus menerima semua konsekuensinya! “Pak, berhenti di depan sana saja, ya, depan toserba.” Sopir taksi meng-iyakan permintaanku. Aku segera turun dan berlari menuju bangunan besar dan megah, lingkungan apartemen yang hanya bisa dimiliki oleh orang tertentu terlepas dari harta kekayaan mereka. Kutekan kata sandi apartemen itu melalui monitor layar sentuh di pintu apartemen. Setelah berhasil terbuka, aku langsung berlari dan memeluknya dengan erat, menangis tersedu-sedu menumpahkan semua kekesalan dan rasa sakit yang membuat isi kepalaku berantakan. Pria itu tertegu
Bab 74_Inikah yang Terbaik? Kepalaku berdenyut sakit saat mata ini perlahan menangkap cahaya terang dan nuansa putih sebuah ruangan. Kemudian, aroma pekat dan pahit … seperti bau obat-obatan, mulai menusuk indra penciumanku. “Silau dan bau obat.” Adalah kesan pertamaku saat berhasil tersadar sepenuhnya. Aku menoleh ke sekeliling, memperhatikan setiap detail kecil ruangan itu. Lalu terfokus pada tubuhku, tangan yang dipasangi jarum infus, dengan monitor detak jantung di samping kanan. Lalu … seorang pria yang sangat aku kenali sosoknya, tengah tertidur dalam keadaan duduk, dengan kepalanya yang menelungkup di samping ranjang. “Yud ….” ucapku dengan suara lemah dan serak. Namun, entah mengapa dia langsung terbangun setelah kupikir tidurnya nyenyak karena terdengar suara dengkuran halus. “Aisyah? Kamu sudah sadar?” Dia menatapku seolah tidak percaya. “Ya Allah, terima kasih! Akhirnya doa-doaku dijawab! Alhamdulillah, Ya Allah!” “Yud ….” Aku ingin bertanya lebih banyak mengen
Bab: 73_PoV Tiara, “Pak Yudha ke mana, ya? Kok, saya nggak lihat dia dari tadi,” tanyaku pada salah satu karyawan yang sedang melintas. “Pak Yudha? Kalau tidak salah lihat, dia keluar dengan tergesa pagi tadi. Memangnya dia tidak bilang apa-apa sama Bu Tiara?” tanyanya balik. Mungkin dia merasa kebingungan, kenapa seorang sekretaris pribadi tidak mengetahui di mana keberadaan Yudha karena seharusnya aku yang mengatur semua jadwal kerjanya, ke mana dia harus pergi dan apa yang harus ia kerjakan hari ini, seharusnya begitu. “Begitu, ya? Ya sudah, terima kasih,” ucapku setelah termenung beberapa saat. Wanita itu mengangguk dan berjalan kembali menuju ruang kerjanya. Aku sendiri memilih untuk memeriksa ke ruangan Yudha. Selain Yudha, hanya aku yang bisa keluar masuk kapan pun ke ruangan itu. Aku melangkah menuju meja kerja Yudha. Sayangnya tak kutemukan apa pun di sana. Padahal, aku berharap dia meninggalkan pesan atau apa pun itu untuk memberitahukan ke mana dia pergi. “Dia sam
Bab 72_ Jangan panggil aku “Nak”! Aku melangkah lunglai menuju ruang inap Ibu. Hatiku sakit saat melihat keadaannya yang tidak kunjung membaik. Pakaiannya kotor, sorot matanya kosong, dan yang keluar dari mulutnya hanya … perihal tragedi malam itu. “Tipu … aku ditipu … mati … masuk penjara … semuanya hancur,” ujar Ibu. Aku mendekatinya, kemudian duduk di samping ranjang Ibu. “Ibu, sudah berapa lama tidak potong rambut?” Benar, rambut putihnya yang sudah menjamur dimana-mana, telah memanjang tidak rapi. “Azmina bantu potong, ya. Ibu tunggu sebentar di sini.” Aku meminjam gunting pada salah satu perawat di rumah sakit. Namun, saat mencoba untuk memotong rambut Ibu, dia malah memberontak. Memukul keras tanganku hingga gunting yang aku pegang jatuh ke lantai. “Pergi! Pergi kamu! Pergi kamu penipu! Semuanya gara-gara kamu! Dasar manusia biadab tidak tahu diuntung! Sudah baik suami saya ke kamu! Kamu malah menipu kami!” teriak nya keras. Tidak berhenti sampai sana, kini Ibu de