“Sayang, Jelita putrinya mama. Hati-hati dengan nenek, ya? Kalau Jelita kangen mama atau papa kabari via telepon.” Satu kecupan mendarat di kening Jelita. Air mata tidak kuasa tumpah di pipi manis Zahra. Sehingga Jelita menghapusnya dengan telapak tangannya.
“Jangan menangis. Mama. Hanya sebentar.” Ah, meleleh hati Zahra. Jelita adalah anak paling pengertian. Dia juga lebih berpikir dewasa dari pada anak seusianya.
***Meyyis***
“Jangan menangis. Mama. Hanya sebentar.” Ah, meleleh hati Zahra. Jelita adalah anak paling pengertian. Dia juga lebih berpikir dewasa dari pada anak seusianya.
“Mama nggak menangis, kok. Hanya terharu karena bangga memiliki putri sebaik Jelita.” Akhirnya mereka benar-benar berpisah. Marc menggendeng Jelita. Sedangkan barangnya sudah ada yang mengatur. Mereka berpisah jalur sudah. Marc segera menuju ke temp
“Takut, ya? Sekarang sudah aman.” Zahra menunduk dan entah mengapa air mata yang tadi hanya menggenang luruh sudah. “Hai, sudahlah. Aku di sini.” Marc memeluk tubuh Zahra. Setelah istrinya tenang, dia melepaskannya. “Sudah lebih baik? Sekarang tidur saja biar nggak kerasa mual.” Satu kecupan mendarat di kening sang istri. Zahra menutup mata untuk merasakan kehangatan bibir Marc. Dia merebahkan diri di sandaran kursi dan mencoba untuk terpejam. Marc sendiri juga demikian. Akhirnya mereka menuju alam mimpi.***MEYYIS***Zahra tertidur agak lama. Setelah sadar sudah landing di Singapura. Menurut informasi hanya landing sebentar. Memang benar, setelah itu pesawat berangkat lagi. Zahra memjamkan mata saat pesawat bergoncang. Dia masih saja takut. Akhirnya mereka merasa lega ketika pesawat sudah tenang mengudara. Perjalanan dari Singapura ke Prancis membutuhkan lebih dari dua belas jam. Namun Zahra memilih duduk d
“Silakan, Cucu Mantu. Kau istrinya Marc, maka ini milikmu.” Kakeknya Marc mempersilakan untuk dirinya mengatur pola makan di meja makan. Zahra langsung mengangkat piring untuk sang suami dilanjutkan punya sang kakek untuk diisi dengan makanan.***Meyyis***Setelah selesai makan, kekek mengajak Zahra dan Marc jalan-jalan keliling mension. Sebenarnya yang diajak Zahra. Namun Marc ikut juga. Ini pertama kali Zahra ke Prancin dan diperkenalkan dengan keluarganya. Tentu saja dia tidak tega jika Zahra harus sendiirian jalan-jalan dengan sang kakek.“Dengar cuicu mantu, kakek akan mengenalkanmu pada beberapa bunggawa di rumah ini. Kalian yang akan mewarisi seluruh kekayaan kakek nanti ketika kakek sudah tidak ada di dunia ini.” Seluruh pelayan dan juiga punggawa yang kebetukan papasan menghormat pada mereka. Zahra hanya tersenyum ke arah meeka saja. Mereka menunduk dnegan tangan kiri mereka berada di dad
“Sebelahnya lagi, pengurus kebun belakang yang tadi kita kunjungi.” Deretan pria berseragam dengan rompi dan topi koboi. Zahra menarik napasnya tipis agar tidak terlihat. Kemudian terus dan terus satu persatu larikan itu. Hingga yang larikan terakhir pekerja membersihkan rumah. Ya Tuhan, siapa sebenarnya suaminya? Mengapa dia bisa sampai memiliki pekerja sebanyak ini hanya untuk mengurus rumah mereka. Zahra masih belum jelas menjawab pertanyaan pikirannya. Ini terlalu mendadak baginya.***MEYYIS***“Saya Zahra istri dari Tuan Muda Marc Elroy Allard, mohon bimbingannya. Saya dari Indonesia.” Hanya itu kata-kata yang keluar dari mulut Zahra. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakan. Sesi perkenalan selesai Tuan Caesar menyuruh Zahra dan Marc untuk menempati kamarnya. Mereka berdua masuk ke dalam kamar. Zahra makin terbelalak melihat ruangan kamarnya. Sangat luas dengan sentuhan warna hit
“Dasar bos kurang kerjaan. Apa coba cepat!” Jason tidak sabar untuk mendengar mandat dari sang atasan. Sehingga Marc tersenyum bangga. Memang selalu gertakan yang mempan untuk membujuk sahabatnya tersebut. Kalau sudah masalah pekerjaan, dia lagsung siap. Walau bosanya itu kadang menyuruh yang aneh-aneh.`***Meyyis***“Saya Zahra istri dari Tuan Muda Marc Elroy Allard, mohon bimbingannya. Saya dari Indonesia.” Hanya itu kata-kata yang keluar dari mulut Zahra. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakan. Sesi perkenalan selesai Tuan Caesar menyuruh Zahra dan Marc untuk menempati kamarnya. Mereka berdua masuk ke dalam kamar. Zahra makin terbelalak melihat ruangan kamarnya. Sangat luas dengan sentuhan warna hitam putih mendominasi. Ruangan itu malah mirip dengan rumah. Rumahnya saja, tidak seluas itu.“Hubby, ini kamar kita?” tanya Zahra masih tidak percaya.“I
“Dasar bos kurang kerjaan. Apa coba cepat!” Jason tidak sabar untuk mendengar mandat dari sang atasan. Sehingga Marc tersenyum bangga. Memang selalu gertakan yang mempan untuk membujuk sahabatnya tersebut. Kalau sudah masalah pekerjaan, dia lagsung siap. Walau bosanya itu kadang menyuruh yang aneh-aneh.`***MEYYIS***Jason terdiam mendengar penuturan Marc. Dia berpikir mungkin sekian detik untuk menerima tawaran itu. Jika dia menolak, maka sama aja bunuh diri. Kalau ada masalah, paling juga dirinya yang kena getahnya. Lebih baik dia terima yang sudah tahu medannya, sehingga kalau ada maslah lebih mudah membereskannya.“Apa rencanamu?” Jason sedang berada di rumah Ziya sekarang. Baru saja dia berbincang-bincang dengan ayahnya Ziya. Dia kemudian ke depan. Ada perasaan suka ketika ayahnya Ziya membicarakan tentang Islam. Hanya saja ada perasaan takut yang menjalar.“Lo lihat bursa saham.
“Gila! Kenapa gue jadi salah tingkah begini, sih? Berapa kali gue ngadepin cewek? Tidak semanis ini? Ternyata Marc benar jika menyukai wanita baik-baik akan rasanya berbeda dari permpuan-perempuan lain. Ah, mengapa harus terjebak kecanggungan seperti ini?” Batin Jason bergejolak. Ada rasa yang tidak bisa di sajikan dalam larikan puisi atau diwakilkan dengan kata-kata mutiara. Ini terasa sangat indah namun penuh misteri.Jason dan Ziya mesih saling melirik hingga selesai makan malam. Setelah itu mereka bercengkarama di ruang tengah. Jason memilih untuk keluar melihat suasana luar. Hatinya tidak menentu setelah memandang senyum Ziya. Ruben benar. Wanita ini sangat mempesona. Demikian batin Jason. Namun dia tidak berharap terlalu banyak sebab Ziya tentu memiliki standar sendiri yang tentu saja tidak ada pada dirinya. Sebab jason hanya orang yang tidak memiliki iman seperti yang dikatakan oleh Marc tempo hari.“Mas,
“Mas, kenapa di sini?” tanya Ziya. Jason menoleh. Dia tersenyum untuk menetralkan perasaannya yang semakin bergejolak.***Meyyis***Jason melirik ke arah layar. Ternyata itu dari Marc. Ayahnya Ziya menatap ke arah Jason, melihat lelaki itu kelihatannya bingung. Apakah harus mengangkat atau membiarkan saja. “Diangkat saja, Jas. Nanti kalau penting malah kasihan.” Tentus aja penting, Marc yang menelpon. Memang bener-bener punya bos satu itu. Nggak tahu apa kalau sedang usaha. Demikian batin Jason mengegrutu. Tapi wajah Jason tersenyum dan mendial tombol hijau ke atas.“Halo, ada apa, Marc?” tanya Jason dengan sedikit enggan.“Ada apa? Kamu belum memberiku laporan, berani-beraninya tanya ada apa?” Marc diseberang sana meradang.“Iya, sebentar aku kirim linknya. Jadi bos jangan galak-galak nanti sudah jodohnya, eh, udah dapet, ya? Hehehe.&rdquo
“Mas Jason belum tidur? Apa kakak dapat nomor Waku dari Kak Zahra? Maaf, ya baru balas. Aku jarang aktifkan data.” Bagai mendapat durian runtuh. Dia sangat bahagia Wanya di balas oleh Ziya.“Iya tidak apa-apa. Aku segera tidur.” Masa bodoh, yang penting dia selangkah lebih maju.***MEYYIS***`Marc menutup teleponnya. Dia hanya bisa mendengus saja. Pokoknya selesai hukuman, dia harus balas dendam saat buka puasa. Marc akan meminta haknya sampai tujuh kali. Biarkan saja istrinya itu tidak bisa jalan. ‘Kan tinggal digendong saja. Marc yang jahil sudah menyiapkan hal itu.“Sayang, sudah dong ngambeknya? Kamu tahu nggak semalem dede kecilnya menangis nggak kamu timang.” Zahra ingin tertawa tapi dia tahan. Pokoknya kali ini suaminya harus diberi pelajaran. Usilnya kelewatan banget sudah.“Aku sudah tidak marah, tapi tetep hukuman berl
“Aku berbuat baik dengan siapa pun, Brina. Kau yang kelewat baper. Bukan hanya kamu yang aku baikin, dengan Bu Rusda juga aku baikin. Lalu bagaimana bisa kau menuduhku memberi harapan palsu?” Fatih meninggalkannya masih sesenggukan. Dia setengah berlari menaiki tangga. Sedangkan Sabrina sangat kacau sekarang. Diva sendiri juga kacau saat melihat Fatih dan Sabrina ... ah, apa tadi? Berpelukan dan Fatih menerima saja. Terang saja, karena Sabrina begitu cantik. Demikian pikir Diva.***MEYYIS***Diva tengkurap di atas tempat tidur saat Fatih mulai masuk ke dalam kamar. Fatih tersenyum karena mengira Diva telah tidur seharian. Dia mendekat dan memeluk Diva. Tapi dia mengerutkan kening setelah tidak sengaja memegang pipinya basah.“Hai, istriku menangis? Kenapa? Aku tahu, kamu melihat Sabrina memelukku? Jangan cemburu ... dia ....” Fatih menghentikan kaliamtnya.“Lepaskan aku! M
Sementara itu meninggalkan kekepoan seorang Diva yang begitu tinggi maka di bawahFatih sedang berbicara dengan seorang wanita keturunan Mesir. Dia seorang wanita yang cerdas juga cantik. Sudah lama mengagumi Fatih. Tapi rasa sukanya dianggap Fatih hanya rasa biasa sesama teman saja. “Sabrina? Kamu menyusul kemari? Ada apa?”BAB CXVWANITA LAIN?Sementara itu meninggalkan kekepoan seorang Diva yang begitu tinggi maka di bawahFatih sedang berbicara dengan seorang wanita keturunan Mesir. Dia seorang wanita yang cerdas juga cantik. Sudah lama mengagumi Fatih. Tapi rasa sukanya dianggap Fatih hanya rasa biasa sesama teman saja. “Sabrina? Kamu menyusul kemari? Ada apa?”Gadis berkerudung lebar itu tersenyum. “Aku sengaja menu
“Tidak perlu minta maaf, kau selalu cantik apa pun kondisinya. Aku tetap mencintaimu, Bidadariku.” Ah, jantung Diva terasa lompat-lompat cari perhatian untuk di sentuh dadanya. Wajah Diva sudah serupa kepiting rebus yang baru diangkat dari dandang. Merah merona.“Ih, peres.” Diva menutup wajahnya yang sduah kepalang malu.“Bener, kamu sangat cantik.” Fatih mencolek dagu Diva. Wanita berkerudung navy itu semakin panas dingin dibuatnya.***MEYYIS***Hari ini sudah hampir satu bulan Diva dan Fatih di negeri piramida itu. Malam ini Fatih sudah bilang akan pulang terlambat. Sebenarnya Diva diajak, tapi dia tidak mau karena merasa lelah. Sepertinya sering bercinta bukan hanya memberikan efek bahagia saja, lebih dari itu maka efek lelah membuatnya hari ini tidak semangat untuk ikut. “Ya sudah, nanti akan aku kirim makanan saja ke rumah. I Love you, Sayang.”&nb
“Tidak perlu minta maaf, kau selalu cantik apa pun kondisinya. Aku tetap mencintaimu, Bidadariku.” Ah, jantung Diva terasa lompat-lompat cari perhatian untuk di sentuh dadanya. Wajah Diva sudah serupa kepiting rebus yang baru diangkat dari dandang. Merah merona.“Ih, peres.” Diva menutup wajahnya yang sduah kepalang malu.“Bener, kamu sangat cantik.” Fatih mencolek dagu Diva. Wanita berkerudung navy itu semakin panas dingin dibuatnya.***Meyyis***Diva berjalan di atas pembatas jalan sambil sesekali melompat. Wanita itu memang pantas dijuluki bola bekel. Selalu saja tingkahnya begitu.“Sayang, hati-hati.” Diva melompati bangku panjang dan berputar kemudian mendarat di depan dua muda mudi yang sedang memadu kasih. Sang lelaki memberinya bunga dan berlutut. Diva mengambil bunga yang ada di tangan pria itu kemudian menyelipkan ke
“Kenapa? Laper, ya? Kita makan di luar saja.” Fatih menyuruh Diva mengenakan matel karena udara malam di sini dingin. Diva mengikuti arahan suaminya. Karena belum punya, dia memakai punya Fatih sehingga terlihat kedodoran.***MEYYIS***Diva berjalan di atas pembatas jalan sambil sesekali melompat. Wanita itu memang pantas dijuluki bola bekel. Selalu saja tingkahnya begitu.“Sayang, hati-hati.” Diva melompati bangku panjang dan berputar kemudian mendarat di depan dua muda mudi yang sedang memadu kasih. Sang lelaki memberinya bunga dan berlutut. Diva mengambil bunga yang ada di tangan pria itu kemudian menyelipkan ke telinga kiri wanitanya, sehingga mereka melongo kemudian tertawa.“Success for you, don’t take too long to apply.” Diva memutar dan meninggalkan pemuda itu yang mematung. Fatih menepuk jidadnya. Dia setengah berlari mengejar sang istri. Wanita itu mende
Fatih membuka pintu rumahnya. Diva tersenyum malu. Suaminya bahkan lebih rapi dari pada dirinya. Dia menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal. Fatih ebrterima kasih pada seseorang kemudian memberikan lembaran uang.***Meyyis***Fatih membuka pintu rumahnya. Diva tersenyum malu. Suaminya bahkan lebih rapi dari pada dirinya. Dia menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal. Fatih ebrterima kasih pada seseorang kemudian memberikan lembaran uang.“Masih pusing?” Fatih membuka lemari es yang sempat dia bersihkan. Hanya ada mi instan di sana. Untuk mengganjal perut, mungkin mi isntan cukup menolong. Diva berbaring di sofa. Sedang Fatih langsung ke dapur. Bodo amat, pikir Diva. Dia merasakan pusing yang berkepanjangan. Wanita tomboy itu sudah pergi ek alam mimpi ketika Fatih menuang segelas susu untuknya. Fatih meletakkan susu tersebut kemudian menutup agar serangga kecil tidak mengotori.
Kenapa menatapku begitu? Baru nyadar kalau suamimu ganteng?”“Hem, narsis.”“Bukan narsis tapi percaya diri.”“Beda tipis.”“Kenapa? Emang aku nggak ganteng? Lebih ganteng mana aku dengan Marc marquez.”“Hem, gantengan kamu sedikit, banyakan dia.”“Oh, jadi gitu.” Fatih menggelitiki sang istri.***MEYYIS***Sore ini sudah siap sedia Diva dan Fatih akan bernagkat ke Mesir. Entah mengapa ada rasa yang tak biasa ketika akan meninggalkan Abi dan Umi. Diva berkali-kali membalikkan badan merasa berat meninggalkan mereka. Rasaanya sesak dan nyeri. “Kita akan kembali, Sayang. Paling lama dalam satu bulan.” Fatih berbisik kepada sang istri agar Diva lebih merelakan kepergiannya kali ini. Diva hanya mengangguk dan mengikuti Fatih. Mereka akhirnya mengud
Diva sudah tertidur. Puas Fatih memperhatikan sang istri. Dengkuran halus membuat dia mengangkat kepala sang istri kemudian tubuhnya untuk di baringkan ke atas ranjang dengan bantal sebagai pengganjal kepalanya. Lelaki itu kemudian tidur di sampingnya. “Selamat tidur, Bidadariku. Terima kasih kau sudah membuat aku menjadi suami seutuhnya. Semoga***Meyyis***Pagi ini Diva merasakan nyeri di bagian bawah pusarnya. Padahal nanti sore harus terbang bersama suaminya menuju ke Mesir untuk mengikutinya. Dia masih tidur di ranjangnya ketika suaminya sudah selesai mandi untuk salat Subuh. “Sayang, bangun dulu, yuk salat Subuh. Nanti kesiangan.” Fatih membuat Diva mengulat.“Boleh nggak, sih aku libur salat? Capek banget dan sakit.” Bekas jejak-jejak cinta yang Fatih buat membuat kulitnya memerah dan masih terasa sakit. Tapi yang lebih sakit bagian alat vitalnya.
“Mas,” ucap Diva.“Hem,”“Apa kamu kecewa, karena aku belum siap melakukan itu? Aku masih takut. Beri waktu aku sampai malam ini untuk meyakinkan diri.” Fatih membelai wajah Diva agar wanita itu lebih tennag bahwa lelakinya ini bisa menunggunya.***MEYYIS***Malam ini Diva sudah tampil cantik. Tentu saja Umi Fitri yang mendandaninya. Dia tersenyum malu-malu pada Fatih yang kali ini berada di ranjang mereka sedang membaca entah kitab apa? Fatih menghentikan aktivitasnya setelah melihat istrinya datang. Fatih menepuk tempat di sebelahnya. “Kamu selalu cantik, terima kasih sudah berusaha.” Satu kecupan mesra mendarat di kening Diva.“Aku akan mencoba, Mas. Aku sudah menjadi istrimu.” Fatih menangkup wajah istrinya. setelah menunggu beberapa hari, kini di malam yang syahdu Diva menyerahkan diri. Sesungguhnya, Fatih juga sangat takut. Baga