“Kau baik-baik saja? Oh, maafkan Om Dokter, tadi mengambil bukumu yang ada di pelukan. Suster Anisa, mohon untuk buku tadi kembalikan kepada anak ini.” Dokter tersebut sedikit berteriak karena asistennya bernama Anisa agak jauh dari jangkauannya.
***MEYYIS***
“Baik, Dok. Apakah Al-Qur’an yang dokter maksud?” Hanafi tersenyum sedikit walau kenyataan membelenggunya. Dia langsung meraih Al-Qur’an tersebut. Sang suster tersenyum. Hanafi merasa ingin ke kamar mandi. Perutnya tidak bisa ditahan lagi mulas dan meminta untuk segera dibuang. Hanafi belum menyadari jika salah satu kakinya sudah hilang dari tubuhnya. Dia bangun dan menjerit ketika melihat dan merasakan kakinya sudah terbungkus dengan kain perban berwarna putih.
“Aaa!” Semua orang yang ada menoleh ke arahnya. Sang dokter yang beberapa waktu lalu baru menjauh darinya kembali menghampirinya.
&l
Tangan remaja laki-laki itu menengadah. Satu ayat terucap dari penggalan doa Nabi Adam ketika merasa dosa berkalang. Ada ribuan harapan untuk datang ke masa depan yang lebih baik. Doa terbaik supaya keadaan di depan matanya dapat segera berakhir. Beralih dengan kebangkitan.“Nak, makanlah selagi hangat!” Seorang berseragam tentara memberinya nasi bungkus. Hanafi mengucapkan terima kasih.***Meyyis***Hari-hari berlalu dengan menatap kepiluan banyak jenazah yang tidak bernama di sana. Setelah melakukan pendatan, praktis mereka melakukan penguburan. Air mata tidak lagi dapat terelakkan. Dengan kaki yang masih basah Hanafi juga menyaksikannya. Tongkat penyangga membantunya berdiri. Doa untuk mengiringkan kepargian jenazah-jenazah itu terdengar dari seorang ustad. Demikian juga dengan mulut mungil Hanafi.Suara takbir menggema di setiap sudut pemakaman. Air mata tumpah membasahi bumi serambi.
“Eh, terima kasih, Nak. Aku sudah beberapa jam mencari Alika. Ternyata ada di sini.” Wanita paruh baya itu meraih tubuh Alika dari pelukan Hanafi.“Iya, Bu. Tadi Alika menangis dn memanggil-manggil bundanya. Saya hanya membantu menenangkannya saja.” Wanita paruh baya itu mengangguk dan membopong Alika.“Saya Hanafi, Bu.” Sekali lagi wanita itu mengangguk.“Oh, saya Bu Aida. Saya permisi dulu,Nak. Berat lama-lama gendong Alika.” Hanafi tersenyum dan membiarkan Ibu Aida pergi meninggalkannya. Hanya memandang punggungnya saja yang semakin menjauh dari pandangannya. Hanafi meraih tongkatnya dan berdiri. Dia kembali ke tenda daruratnya.sebelum sampai, terlihat wanita muda duduk di pojok tenda dengan memeluk boneka. Air matanya tidak juga kering dari kemarin.“Kakak, makanlah dulu.” Seorang gadis berusia sebaya dengan Hanafi berusaha membuju
“Ya Allah, mengapa dadaku sangat berdebar?” Hanafi memegang dadanya. Dia melangkah lebih jauh agar tidak lagi melihat Zahra yang sedang mandi. Setelah sampai pada belokan, dia turun ke sungai untuk mandi. Agak sedikit kerepotan memang. Dengan satu kaki, turun ke sungai, medan begitu licin. Namun harus bisa. Tidak mungkin dirinya terus tergantung pada orang lain. Hanafi bukan asli orang Aceh. Dia ke sini hanya memenuhi undangan saja. Hanafi kembali mengingat ibunya yang ada di Jawa. Ibunya pasti sangat mengkhawatirkannya. Air matanya menerobos menganak sungai ke pipi mengingat sang ibu. Hanafi menangis sambil berusaha mengguyur tubuhnya.“Umi, doakan Han. Semoga bisa kembali ke pelukmu.”***Meyyis***Diva masih terdiam mendengarnya. Ada jiwa yang melayang ketika mendengar ceritanya.bahkan air matanya menerobos membasahi bantal yang bersarung warna orange sebab identik dengan Marquez. “D
“Diva, jangan main sampai malam, Diva jangan ini, Diva jangan itu ....” Dia menghentikan aktivitasnya. “Kalau sampai begitu? Gue tendang ke tong sampah.” Diva membasuh wajahnya. Wanita itu kemudian meraih haduk kecil dan mengucurkannya ke air hangat. Dia menempelkan ke wajahnya. Setelahnya melempaer handuk itu di keranjang baju kotor.“Ah, saatnya tidur. Mimpi indah ....” Diva terlentang. Dia mematikan lampunya. Kemudian mencoba tidur.***MEYYIS***Gus Han akan memejamkan mata waktu ponselnya berdering. Dia meraihnya dan mengangkatnya masih dalam posisi terpejam. “Apalagi, Sayang. masih kangen?” Sang penelpon berdehem mendengarnya. Mendengar suara deheman seornag laki-laki, Gus Han mendelik. Di layar ponselnya ternyata bukan Diva tapi Gus Fatih.“Abang? Sory, sory ... Ana kita tadi Diva.” Gus Fatih terkekeh mendengar pengakuan dari adik angkatnya itu. Sed
“Enggaklah, hati-hati Abang di sana. Sampai ketemu besok. Jangan lupa jenggot dicukur rapi, jangan sampai Diva takut Abang, karena dikira Osama bin Laden.” Mereka berdua tertawa.***Meyyis***Malam ini Gus Fatih akan pulang ke Indonesia. Dia sudah mempersiapkan semuanya. Ada satu hadiah juga yang dipersiapkan untuk calon mempelai. Gus Fatih turut bahagia adiknya mentas akhirnya menikah. Dia mengikuti penerbangan sehabis Isha. Gus Fatih memang sangat suka penerbangan malam. Tidak begitu ramai berisik. Jika penerbangan dimulai sekarang, maka tiga belas jam setengah kalau tidak ada kendala sudah sampai di Indonesia. Berarti pukul sepuluh waktu dan sekitar sore hari waktu Indonesia. Karena belahan bumi Indonesia selisih sekitar lima jam lebih cepat dari Mesir.Gus Fatih berdoa setelah seat belt mengencangkan tubuhnya, setelah itu memilih untuk tidur. Hanya sekejap, lelaki berpostur tegap itu sudah lel
Gus Fatih tersenyum miris, cerita lelaki itu sama dengan dirinya yang ditinggal nikah, padahal sudah mencintai seseorang itu sangat lama. Diva meninggalkan tempat itu sehingga Gus Fatih juga mengikutinya. Ketika Diva akan memakai helem, Gus Fatih teriak dan mendekat.“Tunggu!” Diva berbalik menoleh ke arah Gus Fatih.***MEYYIS***“Iya, apakah kita pernah mengenal sebelumnya? Saya sepertinya belum pernah bertemu dengan Anda?” Diva meletakkan kembali helemnya.“Sudah sekitar satu jam yang lalu kamu hampir menabrakku.” Gus Fatih berdalih.“Saya minta maaf. Ada yang luka? Lebih baik Anda hubungi saya, ini kartu nama saya.” Diva memberikan kartu namanya. Tentu saja, bukan asli namanya, melainkan julukannya sebagi SPEED Demon.“Kamu mau aku maafin? Temani saya makan!” Entah makan cemilan beruang atau cemilan
Membuat gaun pengantin selama tiga hari? Untung saja, Hanafi sebenarnya sudah mempersiapkan gaun yang memang ingin dia berikan pada mempelai, jauh-jauh hari. Apakah mempelai itu yang diinginkan adalah Halimah? Tidak! Memang Gus Han menginginkan Halimah, tapi dia tetap percaya pada Allah yang mentakdirkan seseorang untuknya. Makanya, dia bisa menerima Diva ketika akhirnya Diva yang jadi pengantinnya.***Meyyis***Hari pernikahan sudah tiba. Suara hiruk-pikuk di pesantren tidak dapat dihindari. Para santri membantu persiapan banyak makanan dan lain sebagainya. Sedangkan Gus Fatih juga tidak kalah heboh. Dia membungkus perhiasan yang dia bawa memang untuk sang mempelai. “Han, ana beli perhiasan untuk calon adik ipar. Ini bisa kamu melihatnya? Ini hadiah dari Abang untuk kalian.” Gus Han memeluk kakak angkatnya tersebut.“Bang, jika terjadi sesuatu denganku, apa abang mau menggantikan tanggung
Api baru padam ketika ada petugas pemadam kebakaran datang dan menyemprot api tersebut. Fatih tidak kalah lunglainya. Dia mengingat kembali beberapa menit sebelum berangkat, Hanafi menyerahkan tanggung jawab padanya. Apa itu sebagai bentuk firasat? Gus Fatih memandang api yang mulai mengecil. Dia hanya berdoa semoga adiknya masih selamat.***MEYYIS***Suara sirine ambulance terdengar, Hanafi di pindahkan ke mobil ambulance tersebut, tubuhnya sudah terkena luka bakar hampir seluruhnya, demikian juga dengan sang sopir. Sepanjang jalan, Gus Fatih dan Abi berdoa tiada henti. Sedangkan Umi masih pingsan dari tadi. Mereka sudah sampai ke rumah sakit. Gus Fatih menelepon kembali kepada keluarga mempelai perempuan bahwa Hanafi kecelakaan dan sekarang ada di rumah sakit. Maka secara otomatis, nikahannya dibubarkan.“Diva ....” Umi Fitri memeluk Diva yang sangat cantik kali ini dibalut dengan baju pengantin yang Gu
“Aku berbuat baik dengan siapa pun, Brina. Kau yang kelewat baper. Bukan hanya kamu yang aku baikin, dengan Bu Rusda juga aku baikin. Lalu bagaimana bisa kau menuduhku memberi harapan palsu?” Fatih meninggalkannya masih sesenggukan. Dia setengah berlari menaiki tangga. Sedangkan Sabrina sangat kacau sekarang. Diva sendiri juga kacau saat melihat Fatih dan Sabrina ... ah, apa tadi? Berpelukan dan Fatih menerima saja. Terang saja, karena Sabrina begitu cantik. Demikian pikir Diva.***MEYYIS***Diva tengkurap di atas tempat tidur saat Fatih mulai masuk ke dalam kamar. Fatih tersenyum karena mengira Diva telah tidur seharian. Dia mendekat dan memeluk Diva. Tapi dia mengerutkan kening setelah tidak sengaja memegang pipinya basah.“Hai, istriku menangis? Kenapa? Aku tahu, kamu melihat Sabrina memelukku? Jangan cemburu ... dia ....” Fatih menghentikan kaliamtnya.“Lepaskan aku! M
Sementara itu meninggalkan kekepoan seorang Diva yang begitu tinggi maka di bawahFatih sedang berbicara dengan seorang wanita keturunan Mesir. Dia seorang wanita yang cerdas juga cantik. Sudah lama mengagumi Fatih. Tapi rasa sukanya dianggap Fatih hanya rasa biasa sesama teman saja. “Sabrina? Kamu menyusul kemari? Ada apa?”BAB CXVWANITA LAIN?Sementara itu meninggalkan kekepoan seorang Diva yang begitu tinggi maka di bawahFatih sedang berbicara dengan seorang wanita keturunan Mesir. Dia seorang wanita yang cerdas juga cantik. Sudah lama mengagumi Fatih. Tapi rasa sukanya dianggap Fatih hanya rasa biasa sesama teman saja. “Sabrina? Kamu menyusul kemari? Ada apa?”Gadis berkerudung lebar itu tersenyum. “Aku sengaja menu
“Tidak perlu minta maaf, kau selalu cantik apa pun kondisinya. Aku tetap mencintaimu, Bidadariku.” Ah, jantung Diva terasa lompat-lompat cari perhatian untuk di sentuh dadanya. Wajah Diva sudah serupa kepiting rebus yang baru diangkat dari dandang. Merah merona.“Ih, peres.” Diva menutup wajahnya yang sduah kepalang malu.“Bener, kamu sangat cantik.” Fatih mencolek dagu Diva. Wanita berkerudung navy itu semakin panas dingin dibuatnya.***MEYYIS***Hari ini sudah hampir satu bulan Diva dan Fatih di negeri piramida itu. Malam ini Fatih sudah bilang akan pulang terlambat. Sebenarnya Diva diajak, tapi dia tidak mau karena merasa lelah. Sepertinya sering bercinta bukan hanya memberikan efek bahagia saja, lebih dari itu maka efek lelah membuatnya hari ini tidak semangat untuk ikut. “Ya sudah, nanti akan aku kirim makanan saja ke rumah. I Love you, Sayang.”&nb
“Tidak perlu minta maaf, kau selalu cantik apa pun kondisinya. Aku tetap mencintaimu, Bidadariku.” Ah, jantung Diva terasa lompat-lompat cari perhatian untuk di sentuh dadanya. Wajah Diva sudah serupa kepiting rebus yang baru diangkat dari dandang. Merah merona.“Ih, peres.” Diva menutup wajahnya yang sduah kepalang malu.“Bener, kamu sangat cantik.” Fatih mencolek dagu Diva. Wanita berkerudung navy itu semakin panas dingin dibuatnya.***Meyyis***Diva berjalan di atas pembatas jalan sambil sesekali melompat. Wanita itu memang pantas dijuluki bola bekel. Selalu saja tingkahnya begitu.“Sayang, hati-hati.” Diva melompati bangku panjang dan berputar kemudian mendarat di depan dua muda mudi yang sedang memadu kasih. Sang lelaki memberinya bunga dan berlutut. Diva mengambil bunga yang ada di tangan pria itu kemudian menyelipkan ke
“Kenapa? Laper, ya? Kita makan di luar saja.” Fatih menyuruh Diva mengenakan matel karena udara malam di sini dingin. Diva mengikuti arahan suaminya. Karena belum punya, dia memakai punya Fatih sehingga terlihat kedodoran.***MEYYIS***Diva berjalan di atas pembatas jalan sambil sesekali melompat. Wanita itu memang pantas dijuluki bola bekel. Selalu saja tingkahnya begitu.“Sayang, hati-hati.” Diva melompati bangku panjang dan berputar kemudian mendarat di depan dua muda mudi yang sedang memadu kasih. Sang lelaki memberinya bunga dan berlutut. Diva mengambil bunga yang ada di tangan pria itu kemudian menyelipkan ke telinga kiri wanitanya, sehingga mereka melongo kemudian tertawa.“Success for you, don’t take too long to apply.” Diva memutar dan meninggalkan pemuda itu yang mematung. Fatih menepuk jidadnya. Dia setengah berlari mengejar sang istri. Wanita itu mende
Fatih membuka pintu rumahnya. Diva tersenyum malu. Suaminya bahkan lebih rapi dari pada dirinya. Dia menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal. Fatih ebrterima kasih pada seseorang kemudian memberikan lembaran uang.***Meyyis***Fatih membuka pintu rumahnya. Diva tersenyum malu. Suaminya bahkan lebih rapi dari pada dirinya. Dia menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal. Fatih ebrterima kasih pada seseorang kemudian memberikan lembaran uang.“Masih pusing?” Fatih membuka lemari es yang sempat dia bersihkan. Hanya ada mi instan di sana. Untuk mengganjal perut, mungkin mi isntan cukup menolong. Diva berbaring di sofa. Sedang Fatih langsung ke dapur. Bodo amat, pikir Diva. Dia merasakan pusing yang berkepanjangan. Wanita tomboy itu sudah pergi ek alam mimpi ketika Fatih menuang segelas susu untuknya. Fatih meletakkan susu tersebut kemudian menutup agar serangga kecil tidak mengotori.
Kenapa menatapku begitu? Baru nyadar kalau suamimu ganteng?”“Hem, narsis.”“Bukan narsis tapi percaya diri.”“Beda tipis.”“Kenapa? Emang aku nggak ganteng? Lebih ganteng mana aku dengan Marc marquez.”“Hem, gantengan kamu sedikit, banyakan dia.”“Oh, jadi gitu.” Fatih menggelitiki sang istri.***MEYYIS***Sore ini sudah siap sedia Diva dan Fatih akan bernagkat ke Mesir. Entah mengapa ada rasa yang tak biasa ketika akan meninggalkan Abi dan Umi. Diva berkali-kali membalikkan badan merasa berat meninggalkan mereka. Rasaanya sesak dan nyeri. “Kita akan kembali, Sayang. Paling lama dalam satu bulan.” Fatih berbisik kepada sang istri agar Diva lebih merelakan kepergiannya kali ini. Diva hanya mengangguk dan mengikuti Fatih. Mereka akhirnya mengud
Diva sudah tertidur. Puas Fatih memperhatikan sang istri. Dengkuran halus membuat dia mengangkat kepala sang istri kemudian tubuhnya untuk di baringkan ke atas ranjang dengan bantal sebagai pengganjal kepalanya. Lelaki itu kemudian tidur di sampingnya. “Selamat tidur, Bidadariku. Terima kasih kau sudah membuat aku menjadi suami seutuhnya. Semoga***Meyyis***Pagi ini Diva merasakan nyeri di bagian bawah pusarnya. Padahal nanti sore harus terbang bersama suaminya menuju ke Mesir untuk mengikutinya. Dia masih tidur di ranjangnya ketika suaminya sudah selesai mandi untuk salat Subuh. “Sayang, bangun dulu, yuk salat Subuh. Nanti kesiangan.” Fatih membuat Diva mengulat.“Boleh nggak, sih aku libur salat? Capek banget dan sakit.” Bekas jejak-jejak cinta yang Fatih buat membuat kulitnya memerah dan masih terasa sakit. Tapi yang lebih sakit bagian alat vitalnya.
“Mas,” ucap Diva.“Hem,”“Apa kamu kecewa, karena aku belum siap melakukan itu? Aku masih takut. Beri waktu aku sampai malam ini untuk meyakinkan diri.” Fatih membelai wajah Diva agar wanita itu lebih tennag bahwa lelakinya ini bisa menunggunya.***MEYYIS***Malam ini Diva sudah tampil cantik. Tentu saja Umi Fitri yang mendandaninya. Dia tersenyum malu-malu pada Fatih yang kali ini berada di ranjang mereka sedang membaca entah kitab apa? Fatih menghentikan aktivitasnya setelah melihat istrinya datang. Fatih menepuk tempat di sebelahnya. “Kamu selalu cantik, terima kasih sudah berusaha.” Satu kecupan mesra mendarat di kening Diva.“Aku akan mencoba, Mas. Aku sudah menjadi istrimu.” Fatih menangkup wajah istrinya. setelah menunggu beberapa hari, kini di malam yang syahdu Diva menyerahkan diri. Sesungguhnya, Fatih juga sangat takut. Baga