“Sayang, aku sangat khawatir. Kau tidak bangun-bangun.” Zahra membiarkan saja Marc mengegenggam jari-jarinya. Lelaki itu menempelkan tangan tersebut ke pipinya.
“Kau sudah sahur, Marc.” Lelaki bule itu mengangguk disambut senyum Zahra.
***Meyyis***
“Marc tawaranmu tempo hari, apakah masih berlaku?” tanya Zahra. Seakan mendapat durian runntuh, Marc membelalakkan matanya.
“Yang mana, Za?” Marc memastikan saja,karena saking tidak percaya yang dikatakan Zahra.
“Mau menghalalkanku.” Marc mengeratkan genggaman tangannya.
“Tentu saja masih. Apa kamu sudah menerimaku?” Zahra menelan air ludahnya sangat payah. Seakan tenggorokannya terdapat duri-duri yang etronggok di sana.
“Ada banyak hal yang belum kamu ketahui, Marc. Seperti traumaku.” Zahra berusaha duduk, sehingga Marc memb
“A-ada, Bu. Te-tapi ....” Zahra tahu ada sesuatu di dalam sana. Zahra hanya tersenyum kemudian melenggang ke ruangan suaminya. Dada Lina terasa mau lepas. Zahra menurunkan knop pintu. Wanita itu membelalakkan matanya melihat kejadian did epan matanya. Jantungnya terasa berdetak demikian hebat. Kepalanya datang serangan pening. Air matanya tidak lagi dapat dihentikan.***Meyyis***“Apa yang kalian lakukan?” Zahra menutup matanya melihat suaminya dan Zoya sahabatnya saling melakukan perbuatan yang tidak senonoh. Baju mereka sudah awut-awutan tidak karuan. Dengan posisi sekarang Zoya dipangku oleh Raehan. Zoya terlihat cuek saja dengan kedatangan Zahra. Berbeda dengan Raehan yang coba bangkit dan menghempaskan Zoya.“Ma, kami hanya ... mama salah paham. Duduk dulu.” Raehan mempersilakan Zahra untuk duduk.“Duduk? Untuk melihat kemesraan kalian? Mas, aku bukan wani
Zahra hampir saja menabrak mobil di depannya jika dia tidak segera sadar. Untung saja, kesadarannya kembali. Dia langsung mengerem sebelum sampai mencium bemper belakang mobil di depannya. “Ya Allah, selamatkan aku setidaknya sampai di rumah.” Zahra melaju kembali dengan lebih hati-hati. Dia sudah tidak menangis lagi. Emosinya sudah lebih stabil.***Meyyis***Zahra sudah sampai di depan rumah. Terlihat Jelita berlari menyusulnya. Anak itu seperti mengerti bila ibunya menangis. Dia menarik baju ibunya dan mengusap sisa air matanya.“Mama jangan menangis.” Demikian tangan mungilnya mengatakannya, walau Zahra masih terbata mengeja yang dikatakan putrinya tersebut.“Terima kasih, Sayang.” Zahra menggendong bocah itu masuk ke rumah. Hari ini Zahra menjadi pemalas. Dia hanya duduk diam saja, semua dikerjakan oleh pembantu. Wanita yang menjadi asisten rumah tangga itu menawari Zahra ma
“Kenapa nggak, Mas? Bukankah menolong orang itu hukumnya wajib? Kita mampu, kenapa tidak?” Raehan tersenyum kecut dengan kata-kata sang istri tersebut. Ah, lagi-lagi itu luput dari pantauan Zahra. Raehan merasa sedikit gelisah dengan kedatangan wanita itu.***MEYYIS***Malam itu, wanita itu merintih karena perutnya terasa sakit. Zahra membawanya ke rumah sakit. Saat dini hari tiba, Zahra dan seluruh anggota keluarga termasuk pembantunya juga ikut. Kecuali Jelita dan pengasuhnya.“Dok, apa yang terjadi?” tanya Zahra pada dokter.“Wanita ini mengalami keguguran, Nyonya. Bayinya tidak bisa diselamatkan lagi.” Zahra menganga menutup mulutnya karena kaget ternyata wanita itu dalam keadaan hamil. Maka dilakukan prosedur untuk membersihkan janinnya. Semua beres malam itu. Pagi harinya, wanita itu sudah boleh di bawa pulang. Zahra dengan seluruh kebaikan hatinya merawa
Raehan selalu tidak bisa menolak jika sudah seperti ini. Dia memejamkan mata menikmati haru tubuh wanita itu. Lelaki itu terbuai lagi dan lagi. Maka terjadi interaksi pertemuan antara bibir dan bibir yang tidak terelakkan lagi.“Mbak Zoya ....” Zahra datang saat itu. Dia sangat kaget.***Meyyis***Zoya dan Raehan refleks saling melepaskan tautannya mendengar suara Zahra. “Mas Raehan? Kamu ke sini lagi?” Zahra kaget karena suaminya kembali lagi.“Ah, itu anu. Aku mencarimu. Tadi Jelita menanyakanmu.” Zahra memang terlalu polos. Dia percaya dengan alasan dari Raehan.“Zoh, benarkah? Anak kita sangat baik. Dia pasti mengerti. Baiklah, mungkin Bibi saja suruh ke sini, ya?” Zahra memberikan alternatif.“Tidak usah, Mbak Zahra. Saya sudah lumayan sehat. Biarkan saya sendiri.Mbak Zahra kalau mau pulang juga tidak apa-apa
“Seandainya aku bisa keluar dari masalah pelik ini?” Raehan masih terus menganiaya dirinya dengan menjambak rambutnya untuk meredakan rasa pusing yang mendera. Setidaknya itu menurut perasaannya.***MEYYIS***Hari-hari berjalan normal. Kini Zoya sudah sembuh. Atas ijin Zahra, Zoya kerja dikantor. Di sinilah belang mereka terungkap. Bahwa semua perselingkuhan itu terungkap dengan ijin Allah. Zahra menemukan semua nota dan juga bekas tanda cinta berwarna merah di leher suaminya. Awalnya, Zahra mengira hanya perasaannya saja. Nota-nota itu juga hanya nota restoran. Dia mengira hanya suaminya ingin makan direstoran saja. Sampai semakin lama, tingkah laku Raehan berubah.“Pa, kamu membeli parfum baru?” tanya Zahra saat bercengkarama dengan Raehan.“Ha, oh ... iya-iya aku membeli parfum baru, kenapa?” Raehan terlihat gugup.
“Bukan begitu, ya sudah jangan ngambek lagi. Kau memang yang paling enak.” Raehan memeluk tubuh itu dari belakang. Ah, mereka sangat menjijikkan. Raehan, Raehan, kau akan sadar ketika Zahra sudah tidak ada disampingmu. Saat itu tiba, mau menangis darah juga kau tak akan bisa membuat diri Zahra kembali. Entah karena kematian, atau perceraian. Tak selamanya diri bisa menutup kebobrokan. ***Meyyis***Hari demi hari berjalan hambar. Pernikahan Zahra dan Raehan sudah jauh dari kata ‘SAMAWA’ sebuah kata yang bersanding dari hakikat pernikahan. Raehan mulai bisa protes dengan yang dilakukan Zahra. Seakan semua serba salah. Seperti pagi ini saat Zahra baru pulang.“Papa kemana semalaman? Tidak memberi kabar?” tanya Zahra. Dia meminta tas yang dijinjing oleh sang suami. Raehan menunjukkan ketidaksukaannya. Dia menyorot tajam ke arah Zahra, hingga wanita itu hanya menunduk.
Bagai lolos hati Zahra. Dia melakukan semua itu karena Raehan yang meminta. Dia melarang Zahra berdandan karena kecantikannya akan memikat seluruh klien laki-lakinya. Dia cemburu pada setiap laki-laki yang memandang istrinya saat mereka bersama. Mengapa sekarang berubah? Zahra semakin tergugu dengan Rehan yang sudah mengoyak seluruh baju yang dia kenakan.***MEYYIS***Zahra merasa sakit diseluruh tubuhnya. Tidak hanya bagian inti tubuhnya yang merasakan sakit tak terkira akibat pemaksaan itu. Namun lebih dari pada itu. Jiwanya juga merasa terkoyak karena pemaksaan itu. Dia telentang memandang langit-langit dengan tatapan kosong. Malam ini sungguh tidak ada keikhlasan dalam jiwanya. Tubuhnya sangat rapuh dan merasa gemetar dalam diam. Sedangkan Raehan sudah terlelap. Setelah beberapa saat, Zahra bangkit dan memunguti baju-bajunya yang sudah sobek di mana-mana. Dia beranjak mandi. Si bawah pancuran air wanita itu bercampur dengan air shower ya
Sebenarnya memang Zahra putri dari pengusaha terkenal. Saat ayahnya meninggal, Zahra masih berusia dua puluh tahun saat itu, kuliah semester lima. Dia harus menikah dengan Raehan satu tahun kemudian selepas dia lulus kuliah. Walau sempat mencicipi kerja hanya sekitar dua bulan.*Flash Back Off****Meyyis***“Cukup, Sayang! Tidak usah diteruskan. Pelan-pelan saja. Bukan aku tidak mau mendengarmu. Tubuh kamu sudah tidak bisa mentoleransi kesedihan itu. Cukup untuk hari ini. Aku mencintaimu dengan seluruh yang ada pada dirimu. Jika memang setelah menikah kau belum bisa melakukan kewajibanmu, aku akan bantu kamu untuk sembuh dari trauma.” Marc memeluk tubuh itu. Ya, tubuh tremor Zahra yang sudah tidak bisa mentoleransi semua kejadian yang dia terima. Penganiayaan dan penistaan yang dilakukan oleh Raehan membuatnya sangat takut.“Tapi ....” Zahra memotong kalimantnya karena telunjuk Marc berada
“Aku berbuat baik dengan siapa pun, Brina. Kau yang kelewat baper. Bukan hanya kamu yang aku baikin, dengan Bu Rusda juga aku baikin. Lalu bagaimana bisa kau menuduhku memberi harapan palsu?” Fatih meninggalkannya masih sesenggukan. Dia setengah berlari menaiki tangga. Sedangkan Sabrina sangat kacau sekarang. Diva sendiri juga kacau saat melihat Fatih dan Sabrina ... ah, apa tadi? Berpelukan dan Fatih menerima saja. Terang saja, karena Sabrina begitu cantik. Demikian pikir Diva.***MEYYIS***Diva tengkurap di atas tempat tidur saat Fatih mulai masuk ke dalam kamar. Fatih tersenyum karena mengira Diva telah tidur seharian. Dia mendekat dan memeluk Diva. Tapi dia mengerutkan kening setelah tidak sengaja memegang pipinya basah.“Hai, istriku menangis? Kenapa? Aku tahu, kamu melihat Sabrina memelukku? Jangan cemburu ... dia ....” Fatih menghentikan kaliamtnya.“Lepaskan aku! M
Sementara itu meninggalkan kekepoan seorang Diva yang begitu tinggi maka di bawahFatih sedang berbicara dengan seorang wanita keturunan Mesir. Dia seorang wanita yang cerdas juga cantik. Sudah lama mengagumi Fatih. Tapi rasa sukanya dianggap Fatih hanya rasa biasa sesama teman saja. “Sabrina? Kamu menyusul kemari? Ada apa?”BAB CXVWANITA LAIN?Sementara itu meninggalkan kekepoan seorang Diva yang begitu tinggi maka di bawahFatih sedang berbicara dengan seorang wanita keturunan Mesir. Dia seorang wanita yang cerdas juga cantik. Sudah lama mengagumi Fatih. Tapi rasa sukanya dianggap Fatih hanya rasa biasa sesama teman saja. “Sabrina? Kamu menyusul kemari? Ada apa?”Gadis berkerudung lebar itu tersenyum. “Aku sengaja menu
“Tidak perlu minta maaf, kau selalu cantik apa pun kondisinya. Aku tetap mencintaimu, Bidadariku.” Ah, jantung Diva terasa lompat-lompat cari perhatian untuk di sentuh dadanya. Wajah Diva sudah serupa kepiting rebus yang baru diangkat dari dandang. Merah merona.“Ih, peres.” Diva menutup wajahnya yang sduah kepalang malu.“Bener, kamu sangat cantik.” Fatih mencolek dagu Diva. Wanita berkerudung navy itu semakin panas dingin dibuatnya.***MEYYIS***Hari ini sudah hampir satu bulan Diva dan Fatih di negeri piramida itu. Malam ini Fatih sudah bilang akan pulang terlambat. Sebenarnya Diva diajak, tapi dia tidak mau karena merasa lelah. Sepertinya sering bercinta bukan hanya memberikan efek bahagia saja, lebih dari itu maka efek lelah membuatnya hari ini tidak semangat untuk ikut. “Ya sudah, nanti akan aku kirim makanan saja ke rumah. I Love you, Sayang.”&nb
“Tidak perlu minta maaf, kau selalu cantik apa pun kondisinya. Aku tetap mencintaimu, Bidadariku.” Ah, jantung Diva terasa lompat-lompat cari perhatian untuk di sentuh dadanya. Wajah Diva sudah serupa kepiting rebus yang baru diangkat dari dandang. Merah merona.“Ih, peres.” Diva menutup wajahnya yang sduah kepalang malu.“Bener, kamu sangat cantik.” Fatih mencolek dagu Diva. Wanita berkerudung navy itu semakin panas dingin dibuatnya.***Meyyis***Diva berjalan di atas pembatas jalan sambil sesekali melompat. Wanita itu memang pantas dijuluki bola bekel. Selalu saja tingkahnya begitu.“Sayang, hati-hati.” Diva melompati bangku panjang dan berputar kemudian mendarat di depan dua muda mudi yang sedang memadu kasih. Sang lelaki memberinya bunga dan berlutut. Diva mengambil bunga yang ada di tangan pria itu kemudian menyelipkan ke
“Kenapa? Laper, ya? Kita makan di luar saja.” Fatih menyuruh Diva mengenakan matel karena udara malam di sini dingin. Diva mengikuti arahan suaminya. Karena belum punya, dia memakai punya Fatih sehingga terlihat kedodoran.***MEYYIS***Diva berjalan di atas pembatas jalan sambil sesekali melompat. Wanita itu memang pantas dijuluki bola bekel. Selalu saja tingkahnya begitu.“Sayang, hati-hati.” Diva melompati bangku panjang dan berputar kemudian mendarat di depan dua muda mudi yang sedang memadu kasih. Sang lelaki memberinya bunga dan berlutut. Diva mengambil bunga yang ada di tangan pria itu kemudian menyelipkan ke telinga kiri wanitanya, sehingga mereka melongo kemudian tertawa.“Success for you, don’t take too long to apply.” Diva memutar dan meninggalkan pemuda itu yang mematung. Fatih menepuk jidadnya. Dia setengah berlari mengejar sang istri. Wanita itu mende
Fatih membuka pintu rumahnya. Diva tersenyum malu. Suaminya bahkan lebih rapi dari pada dirinya. Dia menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal. Fatih ebrterima kasih pada seseorang kemudian memberikan lembaran uang.***Meyyis***Fatih membuka pintu rumahnya. Diva tersenyum malu. Suaminya bahkan lebih rapi dari pada dirinya. Dia menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal. Fatih ebrterima kasih pada seseorang kemudian memberikan lembaran uang.“Masih pusing?” Fatih membuka lemari es yang sempat dia bersihkan. Hanya ada mi instan di sana. Untuk mengganjal perut, mungkin mi isntan cukup menolong. Diva berbaring di sofa. Sedang Fatih langsung ke dapur. Bodo amat, pikir Diva. Dia merasakan pusing yang berkepanjangan. Wanita tomboy itu sudah pergi ek alam mimpi ketika Fatih menuang segelas susu untuknya. Fatih meletakkan susu tersebut kemudian menutup agar serangga kecil tidak mengotori.
Kenapa menatapku begitu? Baru nyadar kalau suamimu ganteng?”“Hem, narsis.”“Bukan narsis tapi percaya diri.”“Beda tipis.”“Kenapa? Emang aku nggak ganteng? Lebih ganteng mana aku dengan Marc marquez.”“Hem, gantengan kamu sedikit, banyakan dia.”“Oh, jadi gitu.” Fatih menggelitiki sang istri.***MEYYIS***Sore ini sudah siap sedia Diva dan Fatih akan bernagkat ke Mesir. Entah mengapa ada rasa yang tak biasa ketika akan meninggalkan Abi dan Umi. Diva berkali-kali membalikkan badan merasa berat meninggalkan mereka. Rasaanya sesak dan nyeri. “Kita akan kembali, Sayang. Paling lama dalam satu bulan.” Fatih berbisik kepada sang istri agar Diva lebih merelakan kepergiannya kali ini. Diva hanya mengangguk dan mengikuti Fatih. Mereka akhirnya mengud
Diva sudah tertidur. Puas Fatih memperhatikan sang istri. Dengkuran halus membuat dia mengangkat kepala sang istri kemudian tubuhnya untuk di baringkan ke atas ranjang dengan bantal sebagai pengganjal kepalanya. Lelaki itu kemudian tidur di sampingnya. “Selamat tidur, Bidadariku. Terima kasih kau sudah membuat aku menjadi suami seutuhnya. Semoga***Meyyis***Pagi ini Diva merasakan nyeri di bagian bawah pusarnya. Padahal nanti sore harus terbang bersama suaminya menuju ke Mesir untuk mengikutinya. Dia masih tidur di ranjangnya ketika suaminya sudah selesai mandi untuk salat Subuh. “Sayang, bangun dulu, yuk salat Subuh. Nanti kesiangan.” Fatih membuat Diva mengulat.“Boleh nggak, sih aku libur salat? Capek banget dan sakit.” Bekas jejak-jejak cinta yang Fatih buat membuat kulitnya memerah dan masih terasa sakit. Tapi yang lebih sakit bagian alat vitalnya.
“Mas,” ucap Diva.“Hem,”“Apa kamu kecewa, karena aku belum siap melakukan itu? Aku masih takut. Beri waktu aku sampai malam ini untuk meyakinkan diri.” Fatih membelai wajah Diva agar wanita itu lebih tennag bahwa lelakinya ini bisa menunggunya.***MEYYIS***Malam ini Diva sudah tampil cantik. Tentu saja Umi Fitri yang mendandaninya. Dia tersenyum malu-malu pada Fatih yang kali ini berada di ranjang mereka sedang membaca entah kitab apa? Fatih menghentikan aktivitasnya setelah melihat istrinya datang. Fatih menepuk tempat di sebelahnya. “Kamu selalu cantik, terima kasih sudah berusaha.” Satu kecupan mesra mendarat di kening Diva.“Aku akan mencoba, Mas. Aku sudah menjadi istrimu.” Fatih menangkup wajah istrinya. setelah menunggu beberapa hari, kini di malam yang syahdu Diva menyerahkan diri. Sesungguhnya, Fatih juga sangat takut. Baga