"Dari sekian pertanyaan, hanya ada satu jawaban. Bahwa kamu memang dibedakan."
—Ridwan.
***
Ridwan mengembuskan napas panjang kala melihat Aira tengah berdiri di depan mading. Gadis itu terlihat fokus membaca informasi yang membuat Ridwan enggan menghampirinya, apalagi setelah kejadian kemarin.
Hendak melangkah, namun suara bu Adila memenuhi pendengarannya. "Ridwan tunggu!" Ridwan membalikkan badan lantas tersenyum.
"Baik Bu!" Ridwan sejenak menoleh ke arah Aira lantas kembali fokus ke arah bu Adila.
"Dua minggu lagi kita akan melaksanakan olimpiade.
“Meminta untuk hadir adalah hal paling sulit untuk aku.”***Ridwan memakai helmnya lantas mulai menstater motornya yang sedikit sulit untuk hidup. Di sela itu ia melihat Aira yang telah melenggang keluar gerbang sembari membawa sepeda dengan kecepatan sedang.Ridwan tafakur, mengingat hal tadi di ruang lab bersama bu Adila. Betapa enggannya beliau membahas perihal Aira, bahkan Ridwan yang bertanya tentang sifat Aira pun tak bu Adila jawab. Sungguh miris. "Mungkin ini juga salah satu alasan kenapa kamu gak memberikan kesempatan untuk aku masuk ke kehidupan kamu!" Ridwan terkekeh miris lantas mulai menggas motornya dengan kecepatan sedang.Menikmati udara sore di antara hiruk dan pikuk asap kendaraan kota Cianjur. Gemuruh suara mobil dan motor lantas teriakan para tukang parkir alfa menyatu padu di kala ia membawa motor dengan pelan."Ini'kah yang selalu kak May rasakan setiap hari? Indah katanya," batin Ridwan seraya t
“Waktu makin bergulir, namun kau masih tak peduli padaku yang makin terluka.”—Aira***Aira memandang nanar rumahnya yang nampak sepi. Mengingat setiap kenang bersama keluarganya beberapa tahun silam. Kenangan indah penuh canda dan tawa tak ada yang namanya lara bahkan luka.Aira memejamkan matanya untuk berusaha tegar menerima semua cobaan ini. Dirinya harus tetap kokoh dan berusaha bangkit. Tetap tersenyum walau kedua orang tuanya tak peduli.Kaki jenjangnya perlahan melangkah pelan masuk ke rumah. Berharap tak ada caci dan maki yang ia dapatkan sebab kembali pulang terlambat.Aira membuka pintu dan mendapati suasana sepi tanpa siapa pun. Pandangannya menengadah ke segala arah, alih-alih terus berjalan Aira justru menatap sendu ke arah taman belakang.Di sana ada canda dan tawa yang dilepaskan oleh ayah dan ibu serta kak Ayu. Suasana yang sangat Aira rindukan bahkan ingin sekali ia da
"Ingin rasanya aku memelukmu setelah sekian lama dibatasi jarak."—Aira***Seraya terus membasuh piring yang tengah ia cuci, mata Aira rak beralih memandang kak Ayu dan ibu yang senantiasa bercanda gurau di meja makan seraya memakan biskuit dan meminum teh hangat.Aira menarik napas panjang lantas memandang aliran air keran yang terus membersihkan sabun yang ada di tangannya. Setelah itu Aira bereskan piring pada rak dan masih setia menyimak perbincangan kakaknya dan ibunya. Sangat menyenangkan bila Aira termasuk di dalamnya.Aira sadar dan semakin sadar. Jika ia tak bisa seperti kak Ayu maka selamanya akan seperti ini. Tak'kan pernah ada kebahagian untuknya dan takkan ada pelukkan hangat untuknya lagi.Aira menarik napas gusar kala tawa renyah pecah dari kak Ayu dan ibu. Ia bahkan menoleh ke arah mereka dan memandang sendu suasana itu. "Kapan Aira akan seperti itu?" lirihnya bertanya pada diri sendiri.
“Lara adalah hal biasa bagi Aira.”—Aira's***Aira terus mengembuskan napas panjang kala soal yang ia liat begitu rumit untuk di kerjakan. Miris, tatapannya amat membingungkan akibat soal yang terus berhubungan dengan rumus yang tak ia mengerti sama sekali."Andai ibu mau ngajarin aku sama halnya ngajarin kak Ridwan, mungkin gak akan serumit ini!" Aira bergumam seraya menggaruk kepala pusing.Aira mendengus kala mengingat sosok Ridwan yang terus ia hindari. Sosok yang mengaku cinta dan ingin menjaga nyatanya hanya sebuah mala petaka. Mengapa? Karena ibu tidaklah suka dengan sosok dirinya yang bodoh dan amat membanggakan sosok Ridwan yang pintar.Ibu pernah bilang, "Manusia bodoh hanyalah mala petaka!" Aira mengakui itu semua. Ia bodoh bahkan sangatlah bodoh. Maka dari itu tak heran dirinya dituntut bahkan dikucilkan keluarganya.Kembali Aira mendengus dan memijat pelipis. "Kenapa bisa k
“Mulai ikhlas.”—Aira's***Aira berjalan di koridor sekolah sendirian. Membawa satu buku kecil yang ia peluk amat erat. Pagi buta ia sudah datang ke sekolah. Menaiki sepeda kesayangan yang selalu menghadirkan semangat yang membara.Kepalanya tak berhenti meliuk-liuk bak ular. Melihat sekeliling sekolah yang masih nampak sepi. Tidak ada satu orang pun di saja kecuali para petugas pembersih sekolah.Aira berhenti sejenak lantas melihat ke tengah lapangan yang dipenuhi genangan air bekas hujan semalam. "Jernih!" gumamnya seraya tersenyum simpul.Dengan perlahan ia berjalan ke arah sana tanpa luput tersenyum. Fokus pada satu titik yang amat indah menurutnya. "Sunrise pagi memantul pada sebuah genangan jernih amatlah indah." Aira suka matahari, entah pagi atau pun sore hari.Cahayanya amatlah pekat nan indah. Sesampainya di dekat genangan air itu, Aira makin melebarkan senyuman. Lantas berka
"Inilah kenapa aku menolak kehadiranmu."—Aira's***Aira menoleh kaget begitu juga Ridwan. Tatapan mereka sangatlah gusar kala melihat sosok yang baru saja Aira ucapkan. Sosok yang membuat Aira takut dekat dengan Ridwan.Aira memilih untuk menunduk, menghindari tatapan mematikan ibu dari arah ruang guru. Sedangkan, Ridwan malah melirik ke arah Aira dengan tatapan kelewat khawatir.Bahkan, mulut Ridwan sedikit terbuka saking kagetnya serta tak mampu berkutik selama beberapa detik. "Bu A—dila," lirih Ridwan sembari mengalihkan pandangannya ke arah bu Adila.Terlihat ibu mendengus kesal kala Aira dan Ridwan tak kunjung menghampirinya. "Kalian tuli?" teriak Ibu yang membuat keduanya langsung berjalan walau pelan.Seakan sesak makin menghimpit dadanya, Aira membiarkan Ridwan berjalan lebih dulu lantas dirinya segera mengatur detak jantung serta napas. Melewati segerombolan siswa yang menatap merek
“Ada pula yang masih peduli.”—Aira's***"Minum dulu!" Seseorang menyodorkan satu botol aqua ke arah Aira lantas Aira menoleh kaget pada seseorang tersebut."Kak Mimi!" ujar Aira terkesima pula.Mimi tersenyum simpul seraya kembali menyodorkan botol aqua tersebut. "Ambil!" perintahnya yang Aira balas gelengan cepat.Mimi mendengus kesal lantas meluruskan tangannya karena pegal. "Kenapa gak diambil, sih?" tanya Mimi sedikit kesal membuat Aira sedikit tak enak hati.Aira gelagapan. "Aku, kan, lagi dihukum Kak sama ibu. Nanti kalo ketauan bisa ditambah lagi hukumannya!" kata Aira pelan yang membuat kedua alis Mimi terangkat jauh."Astaga Aira!" ujar Mimi seraya mengusap wajahnya beberapa kali. "Bu Adila baru aja masuk ke kelas kamu buat ngajar. Jadi, gak bakal ketauan tenang aja!" ujar Mimi sedikit kesal lantas mengambil tangan kiri Aira dan ia letakkan satu aqua botol itu ke
"Jati diri?"—Aira's***"Aira. Ini hidup. Jangan takut disalahkan kalo kamu gak salah. Jangan takut menyalahkan kalo orang lain salah terhadap kamu. Melangkah Aira! Ini hidup kamu, semua yang ada dalam diri kamu. Kamu sendiri yang merasakan bukan orang lain. Mana jati diri kamu Aira?" teriak Mimi di depan wajah Aira yang naas membuat sang empu mati kutu."Kak?" Aira cengo mendengar penuturan Mimi yang menurutnya sangat bertolak belakang dengan penampilan."Kenapa?" tanya Mimi tegas seakan tau maksud Aira."Kok?" Aira masih tak mampu berkata-kata."Iya. Ini aku yang sebenarnya. Penampilan bahkan fisik aku boleh gak semodis mereka. Tapi bukan berarti takut untuk melangkah dan membela kebenaran Aira. Semua orang berhak beropini. Mengajukan mendapat masing-masing bahkan sama orang tua sendiri," kata Mimi tegas.Mimi menggeleng lirih sembari membuang napas gusar dan kembali menarik Ai
Pandangan seketika terasa menghitam ketika menyadari kenyataan yang benar-benar pahit. -Andika Suar Harsa-***Kak Andi terus berteriak memanggil adiknya yang terkapar tak berdaya. Di sepanjang koridor juga Ridwan terus memikirkan mengapa semua terjadi di luar bayangan dan pikirannya. Mulai dari kak Andi yang ternyata kakak dari Aira lantas kenapa Aira pula harus mengalami apa yang kakaknya alami."Maysita Rachel Angelin!" Ridwan memeluk piala milik Aira dan menatap kak Andi yang memucat. "Jadi Kak Andi ... Kakaknya Aira?" Kak Andi menoleh hingga akhirnya sadar bahwa Ridwan ikut dengannya.Kak Andi belum menjawab ia hanya memandang piala tinggi yang Ridwan peluk erat. "Ini piala Aira?" Ridwan mengangguk dengan derai yang luruh.Kak Andi terduduk lemas dan menunduk sembari terisak. "Kenapa ketakutan itu harus terjadi?!" teriak kak Andi yang seketika menatap nyalang Ridwan.Napas Ridwan memburu ketika kak Andi berdiri d
Sekarang adalah waktu yang terlambat.***Aira pandang semua orang yang ada di depannya. Salama serta bu Ina duduk di barisan paling depan dan tersenyum ke arahnya. Sudah waktunya Aira menunjukkan bakat yang selama ini ia pendam, tidak ada orang yang ia sayangi di sana. Bahkan kak Andi yang berjanji akan datang malah tidak ada padahal waktunya sudah tiba.Lantas ibu, beliau ada di ruangan lain bersama Ridwan. Ibu benar-benar enggan menyaksikan anak bungsunya tampil di depan semua orang. Namun, siapa sangka perasaan ibu benar-benar tidak enak sejak duduk untuk menyaksikan olimpiade Ridwan seolah ada yang memperhatikannya.Lalu kak Andi yang kini tengah menggigit jari khawatir sebab ia telah berjanji pada Aira namun tiba-tiba ada acara yang mengharuskannya tetap di sini. "Mel. Gue harus pergi bisa kan?" Kak Andi memohon pada ketua timnya yang justru menggeleng tak habis pikir."Kalo lo mau pergi pergi aja! Tapi lo gak bakal lu
“Kenyataan yang menyakitkan serta fakta yang mengejutkan.”***Ibu menghentikan taxi saat merasa ada seseorang yang membuntutinya sejak keluar gedung sekolah. Kebetulan hari ibu tidak membawa mobil sebab alasan yang tak pasti. Tujuan ibu adalah rumah sakit tempat ayah dirawat. Waktu sudah menunjukkan sore yang larut, suasana yang sepi lantas semilir angin yang membuat buku punduk merinding.Ibu masih merasa was-was walaupun sudah di dalam taxi sebab ada satu mobil hitam yang seperti mengikutinya. "Pak bisa lebih cepat?" Supir taxi mengangguk dan membuat ibu bernapas lega saat mobil hitam tersebut tidak lagi mengikutinya.Perasaan ibu beberapa hari ini tidak enak, seakan ada yang mengganjal di hatinya, ditambah kesembuhan ayah yang sama sekali belum terlihat. Rasa lelah karena harus ada kelas tambahan untuk Ridwan serta memikirkan Aira yang nampak berbeda … menurut ibu.Bahkan, ibu terus memandang Aira yang begit
Kenyataannya, yang kau sia-siakan justru adalah hal paling berarti yang tak pernah meminta lebih selain kasih sayang.***Aira mematung ketika melihat apa yang terjadi di hadapannya. Lama sekali Aira lupa pada dunia yang terus memutar waktunya. Hingga ia sadar apa yang tengah ia lihat adalah orang yang sangat berarti dalam hidupnya."AYAH!" Aira berlari menghampiri ayah yang sudah kesulitan bernapas di lantai dengan tumpahan air.Aira menangis dan mengangkat kepala ayah sembari meminta tolong. "Ayah bangun, Aira mohon Ayah!" Aira berteriak dan terus menepuk pipi ayahnya.Nyaris dengan pelan Aira kembali menaruh kepala ayah ke lantai dan berlari ke luar rumah. "Tolong ayahku!" teriak Aira terus menerus hingga segerombolan warga datang dan menolongnya. Baru pertama kali Aira melihat ayahnya tak berdaya, membuat dirinya tidak berhenti menangis. Bahkan hingga pertolongan untuk ayah ada Aira masih terisak pilu sembari menggenggam
“Dalam hidup ada dua waktu. Siang dan malam. Siang di mana kita diperintahkan untuk mencari penyambung hidup lantas malam waktunya kita istirahat. Tapi kapan aku akan istirahat di malam itu dengan tenang?”*Buatlah waktu tanpa disia-siakan, buatlah tawa tanpa ada luka sebelumnya. Penyesalan itu akan selalu datang kapan dan bagaimana pun caranya. Tapi, banyak orang yang menyia-nyiakan waktu dan tawa itu.Lalu, hanya luka dan duka yang selalu diberikan pada orang yang mereka bilang mempunyai kesalahan. Kesalahan yang hanya tercipta dari garis kehidupan yang telah diaturkan Tuhan. Kodrat yang telah ditentukan justru selalu dibuat bahkan dibicarakan sebagai kesalahan begitu mengancam."Kamu baik-baik saja, kan, Aira?" Pertanyaan lumrah yang selalu Aira dengar dari orang-orang baru di sekitarnya. Orang-orang yang tanpa diceritakan telah mengerti akan kehidupan yang tengah terjad
“Bertemu denganmu seakan nyata tak semu. Pertanda apa?”—Aira's***Aira nampak sendu memandangi rumah pohon miliknya sekarang ini. Dengan pelan ia menaiki dan berdiri di terasnya seraya memandang asrinya hutan. Benar-benar rindu sebab lama tak kunjung akan sunyi nan sepi tempat ini. Tempat di mana ia memulai semuanya dengan senyum lagi, dan percaya bahwa hidup tak selamanya seperti ini.Hanya beberapa saat ia semangat lantas sekarang semangat itu perlahan hilang diterpa lelah yang timbul pada hati kecilnya lantas sakit akan luka rohani nan jasmaninya.Aira yang kali ini mengeluh pada orang lain lantas memaksa bahagia di kala badai ada di depan matanya. "Kak Rachel! Kira-kira aku bakalan bahagia gak?" Naas Aira bertanya pada dirinya sendiri lantas pada siapa? Tidak ada siapa pun di sana hanya ada burung hutan yang bersuara nyaring di atas pohon.Tapi, siapa yang tak akan menoleh kala dipanggil?
“Waktunya semakin menipis.”—Aira's***Panasnya begitu terik siang ini. Bel pulang telah usai dinyalakan, siswa nan siswi bergembolan berlari kencang pun ada yang santai untuk segera pulang. Bagi mereka rumah adalah istana paling indah. Tapi, Aira apa kabar? Rumah bagi Aira adalah nereka. Mereka bilang rumah adalah tempat istirahat paling enak dan nyaman, tapi kata Aira rumah itu ….“Enak, tapi banyak durinya." Aira menoleh ketika satu kalimat itu terdengar di telinganya, dan ya. Salah satu dari anak sekolah itu tengah memegang satu buah sirsak mentah yang masih memiliki duri tajam.Entah dari mana buah itu berasal? Aira sendiri malah mengangkat bahu acuh dan kembali berjalan dengan tatapan kosong. Deru mesin mobil yang baru saja melewati dirinya sangatlah familiar. Mobil milik Ibu begitu santai melewatinya tanpa sudi berhenti dan menyapa.Sakit rasanya, ketika diacuhkan bak setan yang
“Waktu? Adalah hal paling berharga yang banyak orang sia-siakan.”—Aira's***"Kebahagiaan Aira itu singkat asal terpatri Kak. Kalo Kakak yang lebih dulu pergi … siapa yang akan jaga Aira di sini? Siapa yang akan peluk Aira ketika menangis di sini? Tapi, jika Aira yang pergi lebih dulu maka semua orang akan bahagia dengan itu semua." Aira meluruhkan air matanya."Stop! Gak akan ada orang yang bahagia ketika setengah dari jiwanya pergi Aira." Kak Andi akan terus kekeh dengan apa yang ada di hatinya."Aira capek Kak!" Bagi kak Andi keluhan ini rasanya baru ia dengar pertama kali. Aira yang selalu bilang bahwa ia kuat kini ia bilang lelah? Mengapa? Mana Aira yang selalu ingin terlihat kuat."Aira harus apa sekarang Kak?" Pertanyaan singkat yang nyaris membuat kak Andi membisu. Mengapa adiknya seperti ini?"Kamu baik-baik aja, kan, Dek?" Mulut kak Andi malah berkata demikian yang memb
“Selama matahari terang perjuanganku lantas sesingkat matahari terbit kebahagiaanku.”—Aira's***Fatin dan Kak Andi terus mengeryit ke pinggir jalan untuk mencari adik mereka Aira. Sungguh, hati kak Andi benar-benar gundah ketika waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam namun tanda-tanda Aira belum kunjung terlihat di pandangannya.Bahkan Fatin sudah beberapa kali mengelus bahu kak Andi untuk menguatkan kekasihnya agar tetap semangat mencari Aira. "Andi. Aira paling keluar rumah buat jajan bukan kemana-mana," katanya lembut yang membuat kak Andi menoleh sekilas sebab masih fokus mengendarai."Tapi, gue takut dia pergi kayak kemarin. Menghilang beberapa hari sebab tadi sore ayah sama ibu mukulin dia karena hal sepele yang belum gue ketahui karena apa?" Tatapan kak Andi amatlah sendu yang nyaris membuat Fatin mengembuskan napas sumarah.Fatin tak lagi berkata kala mendengar pernyataan kak Andi. Perasaann