“Mulai ikhlas.”
—Aira's
***
Aira berjalan di koridor sekolah sendirian. Membawa satu buku kecil yang ia peluk amat erat. Pagi buta ia sudah datang ke sekolah. Menaiki sepeda kesayangan yang selalu menghadirkan semangat yang membara.
Kepalanya tak berhenti meliuk-liuk bak ular. Melihat sekeliling sekolah yang masih nampak sepi. Tidak ada satu orang pun di saja kecuali para petugas pembersih sekolah.
Aira berhenti sejenak lantas melihat ke tengah lapangan yang dipenuhi genangan air bekas hujan semalam. "Jernih!" gumamnya seraya tersenyum simpul.
Dengan perlahan ia berjalan ke arah sana tanpa luput tersenyum. Fokus pada satu titik yang amat indah menurutnya. "Sunrise pagi memantul pada sebuah genangan jernih amatlah indah." Aira suka matahari, entah pagi atau pun sore hari.
Cahayanya amatlah pekat nan indah. Sesampainya di dekat genangan air itu, Aira makin melebarkan senyuman. Lantas berka
"Inilah kenapa aku menolak kehadiranmu."—Aira's***Aira menoleh kaget begitu juga Ridwan. Tatapan mereka sangatlah gusar kala melihat sosok yang baru saja Aira ucapkan. Sosok yang membuat Aira takut dekat dengan Ridwan.Aira memilih untuk menunduk, menghindari tatapan mematikan ibu dari arah ruang guru. Sedangkan, Ridwan malah melirik ke arah Aira dengan tatapan kelewat khawatir.Bahkan, mulut Ridwan sedikit terbuka saking kagetnya serta tak mampu berkutik selama beberapa detik. "Bu A—dila," lirih Ridwan sembari mengalihkan pandangannya ke arah bu Adila.Terlihat ibu mendengus kesal kala Aira dan Ridwan tak kunjung menghampirinya. "Kalian tuli?" teriak Ibu yang membuat keduanya langsung berjalan walau pelan.Seakan sesak makin menghimpit dadanya, Aira membiarkan Ridwan berjalan lebih dulu lantas dirinya segera mengatur detak jantung serta napas. Melewati segerombolan siswa yang menatap merek
“Ada pula yang masih peduli.”—Aira's***"Minum dulu!" Seseorang menyodorkan satu botol aqua ke arah Aira lantas Aira menoleh kaget pada seseorang tersebut."Kak Mimi!" ujar Aira terkesima pula.Mimi tersenyum simpul seraya kembali menyodorkan botol aqua tersebut. "Ambil!" perintahnya yang Aira balas gelengan cepat.Mimi mendengus kesal lantas meluruskan tangannya karena pegal. "Kenapa gak diambil, sih?" tanya Mimi sedikit kesal membuat Aira sedikit tak enak hati.Aira gelagapan. "Aku, kan, lagi dihukum Kak sama ibu. Nanti kalo ketauan bisa ditambah lagi hukumannya!" kata Aira pelan yang membuat kedua alis Mimi terangkat jauh."Astaga Aira!" ujar Mimi seraya mengusap wajahnya beberapa kali. "Bu Adila baru aja masuk ke kelas kamu buat ngajar. Jadi, gak bakal ketauan tenang aja!" ujar Mimi sedikit kesal lantas mengambil tangan kiri Aira dan ia letakkan satu aqua botol itu ke
"Jati diri?"—Aira's***"Aira. Ini hidup. Jangan takut disalahkan kalo kamu gak salah. Jangan takut menyalahkan kalo orang lain salah terhadap kamu. Melangkah Aira! Ini hidup kamu, semua yang ada dalam diri kamu. Kamu sendiri yang merasakan bukan orang lain. Mana jati diri kamu Aira?" teriak Mimi di depan wajah Aira yang naas membuat sang empu mati kutu."Kak?" Aira cengo mendengar penuturan Mimi yang menurutnya sangat bertolak belakang dengan penampilan."Kenapa?" tanya Mimi tegas seakan tau maksud Aira."Kok?" Aira masih tak mampu berkata-kata."Iya. Ini aku yang sebenarnya. Penampilan bahkan fisik aku boleh gak semodis mereka. Tapi bukan berarti takut untuk melangkah dan membela kebenaran Aira. Semua orang berhak beropini. Mengajukan mendapat masing-masing bahkan sama orang tua sendiri," kata Mimi tegas.Mimi menggeleng lirih sembari membuang napas gusar dan kembali menarik Ai
“Dia lagi!”—Aira's***"Ka—k Rachel." Aira terkesima kala melihat sosok itu yang kini malah menatapnya sembari memanyunkan wajah lantas duduk melayang di atas meja."Siapa, Ra?" Mimi nyaris heran kala Aira terus menatap dengan mata terbuka ke arah belakang. Seakan ada hal aneh yang tengah Aira lihat secara jelas, pikir Mimi.Aira menghiraukan pertanyaan Mimi dan terus fokus ke arah Rachel yang malah berkata namun samar terdengar oleh Aira. "Kamu, kok, gitu?" Ada nada kecewa yang Aira dengar dari ucapan Rachel.Bahkan Aira beberapa kali mengucek mata, berniat bahwa semua hanyalah sebuah halusinasi yang Aira alami. Tali nyata terjadi. Nyaris Aira terus menggeleng membuat Mimi makin heran dibuatnya."Kamu kenapa?" Mimi beralih menjadi duduk di samping Aira yang masih terus menghiraukannya. Mimi mengikuti kemana tatapan Aira tertuju yang nyaris tak didapati siapapun di sana. Han
“Ternyata itu sebabnya.”—Aira's***Suara gemuruh musik DJ amatlah nyaring terdengar di telinga. Berdengung-dengan memekak seakan melodi merdu yang mereka rasa. Banyak lampu kerlap nan kerlip di setiap juru ruangan luas yang nyaris terasa himpit akibat terlalu banyak menampung manusia.Banyak wanita cantik dengan pakaian mini serta laki-laki tua nan muda yang tengah memegang sekuntung asap sembari meminum arak. Mirisnya tangan mereka layaknya seekor ular yang menelusuri setiap ruang himpit di dunia. Tepatnya tangan para lelaki itu senantiasa masuk ke dalam baju para perempuan bayarannya.Jas mahal serta dompet tebal nan jabatan tinggi perusahaan bukanlah suatu jaminan bahwa laki-laki tersebut berwawasan dan tak suka dunia malam. Justru karena itu semua mereka seperti diberikan kebebasan melakukan segalanya karena banyak uang.Mirisnya lagi, kebanyakan perempuan ialah yang masih berpropesi sebagai an
“Ternyata hidup aslinya seperti ini!”—Mimi***"Lo pada yang udah nertawain gue juga harus ngerasain satu-satu," kata Mimi mengancam yang nyaris kala kakinya melangkah mereka sudah berlari terbirit-birit.Lantas Mimi kembali fokus ke arah Tania yang kini tengah mengejar seseorang ke luar club. Sebelum mengikuti Mimi memakai masker dan kacamata hitam berjaga-jaga agar tidak ketahuan.Mimi bersembunyi di balik tembok kala Tania berhasil mencekal tangan seseorang yang Tania kejar. "Putra!" Mimi menganga kala orang yang dipanggil Putra itu menoleh."Putra? Siapa dia?" gumam Mimi tanpa mengalihkan fokus.Dari penglihatan Mimi, Putra tersenyum bak iblis ke arah Tania yang menatapnya sedu. "Lo kok ada di sini?" tanya Tania dengan nada terkejut.Putra terkekeh hambar. "Iya. Emangnya kenapa? Gue emang gak suka tempat haram kayak gini walau pun gue badboy kelas atas do sekolah," kata
“Tak selamanya luka itu ada.”—Aira's***Ibu tengah membuka lembar demi lembar buku paket pelajaran kimia di kelas Aira tanpa sosok Aira. Tatapannya amat fokus memilah dan memilih beberapa rumus yang akan ia ajarkan hari ini. Melupakan sosok Aira yang ia jemur di bawah teruk matahari.Kepalanya sempat menoleh ke arah luar untuk melihat kondisi cuaca pagi ini yang amat cerah. Ibu menarik napas panjang lantas kembali fokus pada bukunya lantas mengambil pulpen yang ada di saku bajunya."Ibu absen dulu, ya!" katanya yang dibalas seisi kelas, "Iya Bu!" Membuat ibu tersenyum simpul ke arah mereka.Saat membuka lembar absensi tatapannya lantas datar kala melihat nama yang tertera jelas paling atas. "Andina Alam," katanya yang melewati nama Aira membuat seisi kelas saling melirik dan melempar tatapan tanya.Salah satu dari mereka bahkan mengangk
“Bukan begitu maksudnya?”—Aira's***"Bukannya Ibu pernah bilang saat rapat guru tempo lalu bahwa setiap makna yang akurat pasti ada pembahasan yang ditetapkan. Maka dari itu saya memulai semuanya dari nol. Mengapa ada makna yang harus saya sampaikan berserta alasan mengapa saya memerlukan kehadiran ibu di ruangan ini!" jawab kapsek tak kalah kesal yang nyaris membuat bu Adila menarik napas penuh karena jantungnya tiba-tiba berpacu amat kencang.Ditambah tatapan pak kapsek yang benar-benar datar pada bu Adila membuat nyali bu Adila seketika ciut dan akhirnya memilih mengangguk sebelum akhirnya bungkam."Jadi beberapa laporan yang saya dengar akhir-akhir ini adalah … di mana Ibu sangatlah sering menghukum Aira di mana dan kapan pun bahkan di saat jam pelajaran pun Ibu tidak segan menghukum Aira," ungkap pak kapsek dalam satu teriakan napas.Nyaris, ibu sempat tertegun mendengar ungkapan
Pandangan seketika terasa menghitam ketika menyadari kenyataan yang benar-benar pahit. -Andika Suar Harsa-***Kak Andi terus berteriak memanggil adiknya yang terkapar tak berdaya. Di sepanjang koridor juga Ridwan terus memikirkan mengapa semua terjadi di luar bayangan dan pikirannya. Mulai dari kak Andi yang ternyata kakak dari Aira lantas kenapa Aira pula harus mengalami apa yang kakaknya alami."Maysita Rachel Angelin!" Ridwan memeluk piala milik Aira dan menatap kak Andi yang memucat. "Jadi Kak Andi ... Kakaknya Aira?" Kak Andi menoleh hingga akhirnya sadar bahwa Ridwan ikut dengannya.Kak Andi belum menjawab ia hanya memandang piala tinggi yang Ridwan peluk erat. "Ini piala Aira?" Ridwan mengangguk dengan derai yang luruh.Kak Andi terduduk lemas dan menunduk sembari terisak. "Kenapa ketakutan itu harus terjadi?!" teriak kak Andi yang seketika menatap nyalang Ridwan.Napas Ridwan memburu ketika kak Andi berdiri d
Sekarang adalah waktu yang terlambat.***Aira pandang semua orang yang ada di depannya. Salama serta bu Ina duduk di barisan paling depan dan tersenyum ke arahnya. Sudah waktunya Aira menunjukkan bakat yang selama ini ia pendam, tidak ada orang yang ia sayangi di sana. Bahkan kak Andi yang berjanji akan datang malah tidak ada padahal waktunya sudah tiba.Lantas ibu, beliau ada di ruangan lain bersama Ridwan. Ibu benar-benar enggan menyaksikan anak bungsunya tampil di depan semua orang. Namun, siapa sangka perasaan ibu benar-benar tidak enak sejak duduk untuk menyaksikan olimpiade Ridwan seolah ada yang memperhatikannya.Lalu kak Andi yang kini tengah menggigit jari khawatir sebab ia telah berjanji pada Aira namun tiba-tiba ada acara yang mengharuskannya tetap di sini. "Mel. Gue harus pergi bisa kan?" Kak Andi memohon pada ketua timnya yang justru menggeleng tak habis pikir."Kalo lo mau pergi pergi aja! Tapi lo gak bakal lu
“Kenyataan yang menyakitkan serta fakta yang mengejutkan.”***Ibu menghentikan taxi saat merasa ada seseorang yang membuntutinya sejak keluar gedung sekolah. Kebetulan hari ibu tidak membawa mobil sebab alasan yang tak pasti. Tujuan ibu adalah rumah sakit tempat ayah dirawat. Waktu sudah menunjukkan sore yang larut, suasana yang sepi lantas semilir angin yang membuat buku punduk merinding.Ibu masih merasa was-was walaupun sudah di dalam taxi sebab ada satu mobil hitam yang seperti mengikutinya. "Pak bisa lebih cepat?" Supir taxi mengangguk dan membuat ibu bernapas lega saat mobil hitam tersebut tidak lagi mengikutinya.Perasaan ibu beberapa hari ini tidak enak, seakan ada yang mengganjal di hatinya, ditambah kesembuhan ayah yang sama sekali belum terlihat. Rasa lelah karena harus ada kelas tambahan untuk Ridwan serta memikirkan Aira yang nampak berbeda … menurut ibu.Bahkan, ibu terus memandang Aira yang begit
Kenyataannya, yang kau sia-siakan justru adalah hal paling berarti yang tak pernah meminta lebih selain kasih sayang.***Aira mematung ketika melihat apa yang terjadi di hadapannya. Lama sekali Aira lupa pada dunia yang terus memutar waktunya. Hingga ia sadar apa yang tengah ia lihat adalah orang yang sangat berarti dalam hidupnya."AYAH!" Aira berlari menghampiri ayah yang sudah kesulitan bernapas di lantai dengan tumpahan air.Aira menangis dan mengangkat kepala ayah sembari meminta tolong. "Ayah bangun, Aira mohon Ayah!" Aira berteriak dan terus menepuk pipi ayahnya.Nyaris dengan pelan Aira kembali menaruh kepala ayah ke lantai dan berlari ke luar rumah. "Tolong ayahku!" teriak Aira terus menerus hingga segerombolan warga datang dan menolongnya. Baru pertama kali Aira melihat ayahnya tak berdaya, membuat dirinya tidak berhenti menangis. Bahkan hingga pertolongan untuk ayah ada Aira masih terisak pilu sembari menggenggam
“Dalam hidup ada dua waktu. Siang dan malam. Siang di mana kita diperintahkan untuk mencari penyambung hidup lantas malam waktunya kita istirahat. Tapi kapan aku akan istirahat di malam itu dengan tenang?”*Buatlah waktu tanpa disia-siakan, buatlah tawa tanpa ada luka sebelumnya. Penyesalan itu akan selalu datang kapan dan bagaimana pun caranya. Tapi, banyak orang yang menyia-nyiakan waktu dan tawa itu.Lalu, hanya luka dan duka yang selalu diberikan pada orang yang mereka bilang mempunyai kesalahan. Kesalahan yang hanya tercipta dari garis kehidupan yang telah diaturkan Tuhan. Kodrat yang telah ditentukan justru selalu dibuat bahkan dibicarakan sebagai kesalahan begitu mengancam."Kamu baik-baik saja, kan, Aira?" Pertanyaan lumrah yang selalu Aira dengar dari orang-orang baru di sekitarnya. Orang-orang yang tanpa diceritakan telah mengerti akan kehidupan yang tengah terjad
“Bertemu denganmu seakan nyata tak semu. Pertanda apa?”—Aira's***Aira nampak sendu memandangi rumah pohon miliknya sekarang ini. Dengan pelan ia menaiki dan berdiri di terasnya seraya memandang asrinya hutan. Benar-benar rindu sebab lama tak kunjung akan sunyi nan sepi tempat ini. Tempat di mana ia memulai semuanya dengan senyum lagi, dan percaya bahwa hidup tak selamanya seperti ini.Hanya beberapa saat ia semangat lantas sekarang semangat itu perlahan hilang diterpa lelah yang timbul pada hati kecilnya lantas sakit akan luka rohani nan jasmaninya.Aira yang kali ini mengeluh pada orang lain lantas memaksa bahagia di kala badai ada di depan matanya. "Kak Rachel! Kira-kira aku bakalan bahagia gak?" Naas Aira bertanya pada dirinya sendiri lantas pada siapa? Tidak ada siapa pun di sana hanya ada burung hutan yang bersuara nyaring di atas pohon.Tapi, siapa yang tak akan menoleh kala dipanggil?
“Waktunya semakin menipis.”—Aira's***Panasnya begitu terik siang ini. Bel pulang telah usai dinyalakan, siswa nan siswi bergembolan berlari kencang pun ada yang santai untuk segera pulang. Bagi mereka rumah adalah istana paling indah. Tapi, Aira apa kabar? Rumah bagi Aira adalah nereka. Mereka bilang rumah adalah tempat istirahat paling enak dan nyaman, tapi kata Aira rumah itu ….“Enak, tapi banyak durinya." Aira menoleh ketika satu kalimat itu terdengar di telinganya, dan ya. Salah satu dari anak sekolah itu tengah memegang satu buah sirsak mentah yang masih memiliki duri tajam.Entah dari mana buah itu berasal? Aira sendiri malah mengangkat bahu acuh dan kembali berjalan dengan tatapan kosong. Deru mesin mobil yang baru saja melewati dirinya sangatlah familiar. Mobil milik Ibu begitu santai melewatinya tanpa sudi berhenti dan menyapa.Sakit rasanya, ketika diacuhkan bak setan yang
“Waktu? Adalah hal paling berharga yang banyak orang sia-siakan.”—Aira's***"Kebahagiaan Aira itu singkat asal terpatri Kak. Kalo Kakak yang lebih dulu pergi … siapa yang akan jaga Aira di sini? Siapa yang akan peluk Aira ketika menangis di sini? Tapi, jika Aira yang pergi lebih dulu maka semua orang akan bahagia dengan itu semua." Aira meluruhkan air matanya."Stop! Gak akan ada orang yang bahagia ketika setengah dari jiwanya pergi Aira." Kak Andi akan terus kekeh dengan apa yang ada di hatinya."Aira capek Kak!" Bagi kak Andi keluhan ini rasanya baru ia dengar pertama kali. Aira yang selalu bilang bahwa ia kuat kini ia bilang lelah? Mengapa? Mana Aira yang selalu ingin terlihat kuat."Aira harus apa sekarang Kak?" Pertanyaan singkat yang nyaris membuat kak Andi membisu. Mengapa adiknya seperti ini?"Kamu baik-baik aja, kan, Dek?" Mulut kak Andi malah berkata demikian yang memb
“Selama matahari terang perjuanganku lantas sesingkat matahari terbit kebahagiaanku.”—Aira's***Fatin dan Kak Andi terus mengeryit ke pinggir jalan untuk mencari adik mereka Aira. Sungguh, hati kak Andi benar-benar gundah ketika waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam namun tanda-tanda Aira belum kunjung terlihat di pandangannya.Bahkan Fatin sudah beberapa kali mengelus bahu kak Andi untuk menguatkan kekasihnya agar tetap semangat mencari Aira. "Andi. Aira paling keluar rumah buat jajan bukan kemana-mana," katanya lembut yang membuat kak Andi menoleh sekilas sebab masih fokus mengendarai."Tapi, gue takut dia pergi kayak kemarin. Menghilang beberapa hari sebab tadi sore ayah sama ibu mukulin dia karena hal sepele yang belum gue ketahui karena apa?" Tatapan kak Andi amatlah sendu yang nyaris membuat Fatin mengembuskan napas sumarah.Fatin tak lagi berkata kala mendengar pernyataan kak Andi. Perasaann