“Ternyata itu sebabnya.”
—Aira's
***
Suara gemuruh musik DJ amatlah nyaring terdengar di telinga. Berdengung-dengan memekak seakan melodi merdu yang mereka rasa. Banyak lampu kerlap nan kerlip di setiap juru ruangan luas yang nyaris terasa himpit akibat terlalu banyak menampung manusia.
Banyak wanita cantik dengan pakaian mini serta laki-laki tua nan muda yang tengah memegang sekuntung asap sembari meminum arak. Mirisnya tangan mereka layaknya seekor ular yang menelusuri setiap ruang himpit di dunia. Tepatnya tangan para lelaki itu senantiasa masuk ke dalam baju para perempuan bayarannya.
Jas mahal serta dompet tebal nan jabatan tinggi perusahaan bukanlah suatu jaminan bahwa laki-laki tersebut berwawasan dan tak suka dunia malam. Justru karena itu semua mereka seperti diberikan kebebasan melakukan segalanya karena banyak uang.
Mirisnya lagi, kebanyakan perempuan ialah yang masih berpropesi sebagai an
“Ternyata hidup aslinya seperti ini!”—Mimi***"Lo pada yang udah nertawain gue juga harus ngerasain satu-satu," kata Mimi mengancam yang nyaris kala kakinya melangkah mereka sudah berlari terbirit-birit.Lantas Mimi kembali fokus ke arah Tania yang kini tengah mengejar seseorang ke luar club. Sebelum mengikuti Mimi memakai masker dan kacamata hitam berjaga-jaga agar tidak ketahuan.Mimi bersembunyi di balik tembok kala Tania berhasil mencekal tangan seseorang yang Tania kejar. "Putra!" Mimi menganga kala orang yang dipanggil Putra itu menoleh."Putra? Siapa dia?" gumam Mimi tanpa mengalihkan fokus.Dari penglihatan Mimi, Putra tersenyum bak iblis ke arah Tania yang menatapnya sedu. "Lo kok ada di sini?" tanya Tania dengan nada terkejut.Putra terkekeh hambar. "Iya. Emangnya kenapa? Gue emang gak suka tempat haram kayak gini walau pun gue badboy kelas atas do sekolah," kata
“Tak selamanya luka itu ada.”—Aira's***Ibu tengah membuka lembar demi lembar buku paket pelajaran kimia di kelas Aira tanpa sosok Aira. Tatapannya amat fokus memilah dan memilih beberapa rumus yang akan ia ajarkan hari ini. Melupakan sosok Aira yang ia jemur di bawah teruk matahari.Kepalanya sempat menoleh ke arah luar untuk melihat kondisi cuaca pagi ini yang amat cerah. Ibu menarik napas panjang lantas kembali fokus pada bukunya lantas mengambil pulpen yang ada di saku bajunya."Ibu absen dulu, ya!" katanya yang dibalas seisi kelas, "Iya Bu!" Membuat ibu tersenyum simpul ke arah mereka.Saat membuka lembar absensi tatapannya lantas datar kala melihat nama yang tertera jelas paling atas. "Andina Alam," katanya yang melewati nama Aira membuat seisi kelas saling melirik dan melempar tatapan tanya.Salah satu dari mereka bahkan mengangk
“Bukan begitu maksudnya?”—Aira's***"Bukannya Ibu pernah bilang saat rapat guru tempo lalu bahwa setiap makna yang akurat pasti ada pembahasan yang ditetapkan. Maka dari itu saya memulai semuanya dari nol. Mengapa ada makna yang harus saya sampaikan berserta alasan mengapa saya memerlukan kehadiran ibu di ruangan ini!" jawab kapsek tak kalah kesal yang nyaris membuat bu Adila menarik napas penuh karena jantungnya tiba-tiba berpacu amat kencang.Ditambah tatapan pak kapsek yang benar-benar datar pada bu Adila membuat nyali bu Adila seketika ciut dan akhirnya memilih mengangguk sebelum akhirnya bungkam."Jadi beberapa laporan yang saya dengar akhir-akhir ini adalah … di mana Ibu sangatlah sering menghukum Aira di mana dan kapan pun bahkan di saat jam pelajaran pun Ibu tidak segan menghukum Aira," ungkap pak kapsek dalam satu teriakan napas.Nyaris, ibu sempat tertegun mendengar ungkapan
“Terlalu ambisius bisa saja menyakiti diri sendiri bahkan orang lain.”—Aira's***Baginya tidak ada perjuangan yang sia-sia jika kita serius menjalaninya. Semakin besar ia semakin pintar, namun selalu dicap manusia ambisius sang pengejar mimpi. "Adila Fardilla sebagai juara olimpiade tahun ini." Hingga gelar juara olimpiade sains mampu ia pegang dengan erat saat kelas dua SMA.Tak pernah puas dengan pencapaiannya ia terus berjuang hingga, "Kamu mendapatkan beasiswa kuliah di universitas Negeri." Dan semuanya berawal dari sana.Bu Adila bukan lagi anak yang bodoh. Sebab perjuangan serta rasa optimisnya ia pasti mampu membuat orang-orang yang pernah membully dan menghinanya membuka mata lebar dan mulut tak percaya.Selama ini ia boleh saja diam kala ada omongan yang membuat dirinya sakit nan sesak, sebab rasa dendam yang ia tanam ada pada semua pembuktian yang selama ini ia jalankan penuh kobaran sema
“Berharap bukan berarti menyakiti.”—Aira's***Sebuah bayangan putih nan pucat namun cantik tersenyum simpul ke arah bu Adila. Lantas melayangkan telunjuknya ke arah bu Adila seakan memerintahkan tidak boleh menampar Aira. Sosok itu sama sekali tidak dilihat oleh Aira dan Mimi membuat keduanya merasa heran sebab ibu seperti orang kesetanan.Ibu bahkan bergetar hebat. "Kamu," kata ibu lagi bergetar membuat Aira membalikkan badan dan melihat ke belakang yang tidak didapati siapapun di sana. Aira heran, ini kali kedua di mana ibunya akan menampar maka reaksi yang didapat malah justru ibu yang ketakutan."Sakit." Ibu mendengar samar sosok itu berkata lantas meniup ke arah kepala Aira membuat Aira merinding dan menoleh ke arah sumber hembusan angin.Saat itu pula matanya terbuka lebar. "Kamu!" Aira mematung bersama air mata yang tiba-tiba luruh. Detak jantung Aira berpacu kencang lantas napasnya tiba-tib
“Dimaafkannya sudah lebih dari cukup bagiku.”—Aira's***"Kamu aneh!" kata Mimi tak habis pikir yang membuat Aira membuka mata."Aku cuma jatuh, kok, gak lebih," alibi Aira yang membuat Mimi mengangkat alisnya tinggi."Terus kamu gak ngejar bu Adila lagi?" tanya Mimi yang membuat Aira mengangkat alisnya tinggi."Astaga!" ujar Aira cepat dan baru sadar bahwa ia tengah mengejar maaf dari ibu akibat telah melanggar hukuman ibunya. Bisa habis jika Aira tak segera minta maaf, atau bahkan kata maaf akan diterima jika ada syarat yang harus Aira jalankan."Ibu." Aira nyaris berlari cepat namun tergopoh-gopoh untuk melanjutkan niat awalnya yang sempat terurungkan sebab kehadiran sosok Rachel yang masih membuatnya bingung tak karuan.Mimi nyaris spontan berdiri dan menggeleng lirih melihat Aira yang begitu besar niatnya untuk meminta maaf pada bu Adila. Mengapa hati sebaik malaikat s
“Sekeras itukah hatimu Ibu?”—Aira's***"Sebelumnya saya minta maaf sudah lancang pada Ibu. Tapi di sini saya cuma mau mengingatkan tanpa ada rasa niat mengajarkan." Itulah yang masih terngiang-ngiang di telinga ibu Adila sampai jam pulang sekolah.Sembari berjalan ia menatap kosong jalan dan mengingat setiap ucap yang Ridwan katakan tadi. Mengapa hatinya malah kelu seakan ada sembilu yang menyayat hatinya perlahan. Bahkan, setelah sampai di depan mobil merahnya ibu masih melakukan hal yang sama.Lantas saat akan membuka pintu mobil tiba-tiba ada suara yang menggema hingga memekak telinganya. "IBU!" Dari jarak yang cukup jauh Aira berteriak lantang membuat bi Adila seketika membalikkan badan dan memasang wajah nyalangnya.Aira nyaris menelan ludah susah kala melihat ibu yang menatapnya tajam. Perlahan kaki jenjangnya melangkah ke arah ibu yang kini tengah mengepalkan tangan kuat seakan amarah
“Aku tidak tau harus apa sekarang?”—Aira's***Aira memilih berjalan sembari mendorong sepedanya. Persetan dengan perintah Ibu yang menyuruhnya pulang cepat, Aira hanya ingin tenang sejenak sembari memikirkan cara bagaimana ia bisa menjadi sosok kedua kakaknya yang mampu membuat kedua orang tuanya bangga."Aira tetap gak bisa!" lirihnya sendu bahkan bersama air mata yang senantiasa luruh membuat beberapa orang yang melihat merasa heran ada gadis SMA menangis sambil berjalan."Aira harus apa?" Pertanyaan yang selalu terlontarkan tanpa rasa bosan itu nyaris sudah langganan. Sama halnya dengan perkataan ibu dan ayah yang sama setiap hari. Tak henti bahkan sudah dapat Aira pahami bahwa mereka membedakannya karena bodoh. Camkan bodoh!Aira sepertinya sudah lelah dengan semua ini. Terlihat dari respon dan isi hati yang selalu mengeluh bahkan berkata seolah menyerah dengan keadaan. Siapa yang tidak l
Pandangan seketika terasa menghitam ketika menyadari kenyataan yang benar-benar pahit. -Andika Suar Harsa-***Kak Andi terus berteriak memanggil adiknya yang terkapar tak berdaya. Di sepanjang koridor juga Ridwan terus memikirkan mengapa semua terjadi di luar bayangan dan pikirannya. Mulai dari kak Andi yang ternyata kakak dari Aira lantas kenapa Aira pula harus mengalami apa yang kakaknya alami."Maysita Rachel Angelin!" Ridwan memeluk piala milik Aira dan menatap kak Andi yang memucat. "Jadi Kak Andi ... Kakaknya Aira?" Kak Andi menoleh hingga akhirnya sadar bahwa Ridwan ikut dengannya.Kak Andi belum menjawab ia hanya memandang piala tinggi yang Ridwan peluk erat. "Ini piala Aira?" Ridwan mengangguk dengan derai yang luruh.Kak Andi terduduk lemas dan menunduk sembari terisak. "Kenapa ketakutan itu harus terjadi?!" teriak kak Andi yang seketika menatap nyalang Ridwan.Napas Ridwan memburu ketika kak Andi berdiri d
Sekarang adalah waktu yang terlambat.***Aira pandang semua orang yang ada di depannya. Salama serta bu Ina duduk di barisan paling depan dan tersenyum ke arahnya. Sudah waktunya Aira menunjukkan bakat yang selama ini ia pendam, tidak ada orang yang ia sayangi di sana. Bahkan kak Andi yang berjanji akan datang malah tidak ada padahal waktunya sudah tiba.Lantas ibu, beliau ada di ruangan lain bersama Ridwan. Ibu benar-benar enggan menyaksikan anak bungsunya tampil di depan semua orang. Namun, siapa sangka perasaan ibu benar-benar tidak enak sejak duduk untuk menyaksikan olimpiade Ridwan seolah ada yang memperhatikannya.Lalu kak Andi yang kini tengah menggigit jari khawatir sebab ia telah berjanji pada Aira namun tiba-tiba ada acara yang mengharuskannya tetap di sini. "Mel. Gue harus pergi bisa kan?" Kak Andi memohon pada ketua timnya yang justru menggeleng tak habis pikir."Kalo lo mau pergi pergi aja! Tapi lo gak bakal lu
“Kenyataan yang menyakitkan serta fakta yang mengejutkan.”***Ibu menghentikan taxi saat merasa ada seseorang yang membuntutinya sejak keluar gedung sekolah. Kebetulan hari ibu tidak membawa mobil sebab alasan yang tak pasti. Tujuan ibu adalah rumah sakit tempat ayah dirawat. Waktu sudah menunjukkan sore yang larut, suasana yang sepi lantas semilir angin yang membuat buku punduk merinding.Ibu masih merasa was-was walaupun sudah di dalam taxi sebab ada satu mobil hitam yang seperti mengikutinya. "Pak bisa lebih cepat?" Supir taxi mengangguk dan membuat ibu bernapas lega saat mobil hitam tersebut tidak lagi mengikutinya.Perasaan ibu beberapa hari ini tidak enak, seakan ada yang mengganjal di hatinya, ditambah kesembuhan ayah yang sama sekali belum terlihat. Rasa lelah karena harus ada kelas tambahan untuk Ridwan serta memikirkan Aira yang nampak berbeda … menurut ibu.Bahkan, ibu terus memandang Aira yang begit
Kenyataannya, yang kau sia-siakan justru adalah hal paling berarti yang tak pernah meminta lebih selain kasih sayang.***Aira mematung ketika melihat apa yang terjadi di hadapannya. Lama sekali Aira lupa pada dunia yang terus memutar waktunya. Hingga ia sadar apa yang tengah ia lihat adalah orang yang sangat berarti dalam hidupnya."AYAH!" Aira berlari menghampiri ayah yang sudah kesulitan bernapas di lantai dengan tumpahan air.Aira menangis dan mengangkat kepala ayah sembari meminta tolong. "Ayah bangun, Aira mohon Ayah!" Aira berteriak dan terus menepuk pipi ayahnya.Nyaris dengan pelan Aira kembali menaruh kepala ayah ke lantai dan berlari ke luar rumah. "Tolong ayahku!" teriak Aira terus menerus hingga segerombolan warga datang dan menolongnya. Baru pertama kali Aira melihat ayahnya tak berdaya, membuat dirinya tidak berhenti menangis. Bahkan hingga pertolongan untuk ayah ada Aira masih terisak pilu sembari menggenggam
“Dalam hidup ada dua waktu. Siang dan malam. Siang di mana kita diperintahkan untuk mencari penyambung hidup lantas malam waktunya kita istirahat. Tapi kapan aku akan istirahat di malam itu dengan tenang?”*Buatlah waktu tanpa disia-siakan, buatlah tawa tanpa ada luka sebelumnya. Penyesalan itu akan selalu datang kapan dan bagaimana pun caranya. Tapi, banyak orang yang menyia-nyiakan waktu dan tawa itu.Lalu, hanya luka dan duka yang selalu diberikan pada orang yang mereka bilang mempunyai kesalahan. Kesalahan yang hanya tercipta dari garis kehidupan yang telah diaturkan Tuhan. Kodrat yang telah ditentukan justru selalu dibuat bahkan dibicarakan sebagai kesalahan begitu mengancam."Kamu baik-baik saja, kan, Aira?" Pertanyaan lumrah yang selalu Aira dengar dari orang-orang baru di sekitarnya. Orang-orang yang tanpa diceritakan telah mengerti akan kehidupan yang tengah terjad
“Bertemu denganmu seakan nyata tak semu. Pertanda apa?”—Aira's***Aira nampak sendu memandangi rumah pohon miliknya sekarang ini. Dengan pelan ia menaiki dan berdiri di terasnya seraya memandang asrinya hutan. Benar-benar rindu sebab lama tak kunjung akan sunyi nan sepi tempat ini. Tempat di mana ia memulai semuanya dengan senyum lagi, dan percaya bahwa hidup tak selamanya seperti ini.Hanya beberapa saat ia semangat lantas sekarang semangat itu perlahan hilang diterpa lelah yang timbul pada hati kecilnya lantas sakit akan luka rohani nan jasmaninya.Aira yang kali ini mengeluh pada orang lain lantas memaksa bahagia di kala badai ada di depan matanya. "Kak Rachel! Kira-kira aku bakalan bahagia gak?" Naas Aira bertanya pada dirinya sendiri lantas pada siapa? Tidak ada siapa pun di sana hanya ada burung hutan yang bersuara nyaring di atas pohon.Tapi, siapa yang tak akan menoleh kala dipanggil?
“Waktunya semakin menipis.”—Aira's***Panasnya begitu terik siang ini. Bel pulang telah usai dinyalakan, siswa nan siswi bergembolan berlari kencang pun ada yang santai untuk segera pulang. Bagi mereka rumah adalah istana paling indah. Tapi, Aira apa kabar? Rumah bagi Aira adalah nereka. Mereka bilang rumah adalah tempat istirahat paling enak dan nyaman, tapi kata Aira rumah itu ….“Enak, tapi banyak durinya." Aira menoleh ketika satu kalimat itu terdengar di telinganya, dan ya. Salah satu dari anak sekolah itu tengah memegang satu buah sirsak mentah yang masih memiliki duri tajam.Entah dari mana buah itu berasal? Aira sendiri malah mengangkat bahu acuh dan kembali berjalan dengan tatapan kosong. Deru mesin mobil yang baru saja melewati dirinya sangatlah familiar. Mobil milik Ibu begitu santai melewatinya tanpa sudi berhenti dan menyapa.Sakit rasanya, ketika diacuhkan bak setan yang
“Waktu? Adalah hal paling berharga yang banyak orang sia-siakan.”—Aira's***"Kebahagiaan Aira itu singkat asal terpatri Kak. Kalo Kakak yang lebih dulu pergi … siapa yang akan jaga Aira di sini? Siapa yang akan peluk Aira ketika menangis di sini? Tapi, jika Aira yang pergi lebih dulu maka semua orang akan bahagia dengan itu semua." Aira meluruhkan air matanya."Stop! Gak akan ada orang yang bahagia ketika setengah dari jiwanya pergi Aira." Kak Andi akan terus kekeh dengan apa yang ada di hatinya."Aira capek Kak!" Bagi kak Andi keluhan ini rasanya baru ia dengar pertama kali. Aira yang selalu bilang bahwa ia kuat kini ia bilang lelah? Mengapa? Mana Aira yang selalu ingin terlihat kuat."Aira harus apa sekarang Kak?" Pertanyaan singkat yang nyaris membuat kak Andi membisu. Mengapa adiknya seperti ini?"Kamu baik-baik aja, kan, Dek?" Mulut kak Andi malah berkata demikian yang memb
“Selama matahari terang perjuanganku lantas sesingkat matahari terbit kebahagiaanku.”—Aira's***Fatin dan Kak Andi terus mengeryit ke pinggir jalan untuk mencari adik mereka Aira. Sungguh, hati kak Andi benar-benar gundah ketika waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam namun tanda-tanda Aira belum kunjung terlihat di pandangannya.Bahkan Fatin sudah beberapa kali mengelus bahu kak Andi untuk menguatkan kekasihnya agar tetap semangat mencari Aira. "Andi. Aira paling keluar rumah buat jajan bukan kemana-mana," katanya lembut yang membuat kak Andi menoleh sekilas sebab masih fokus mengendarai."Tapi, gue takut dia pergi kayak kemarin. Menghilang beberapa hari sebab tadi sore ayah sama ibu mukulin dia karena hal sepele yang belum gue ketahui karena apa?" Tatapan kak Andi amatlah sendu yang nyaris membuat Fatin mengembuskan napas sumarah.Fatin tak lagi berkata kala mendengar pernyataan kak Andi. Perasaann