Seperti saat ini, aku memilih untuk merapikan pakaian Ibu di lemari setelah aku setrika semalam. Walau sebenarnya sudah rapi, namun kembali aku mengubah letaknya agar lebih mudah dijangkau.
Terdengar beberapa langkah kaki mendekat. Ternyata Suamiku dan istri barunya itu telah berdiri di depan pintu.
Mas Dewa sepertinya tidak bekerja hari ini. Suamiku itu mengajak Liana masuk dan bicara pada Ibu.Liana tampak gugup, tidak sepercaya diri kemarin. Mungkin karena kermarin Ibu tidak menerimanya dengan hangat.
Perlahan Mas Dewa dan istri barunya mendekat pada ranjang ibu. Lalu mereka duduk di tepi ranjang.
"Bu ...." Mas Dewa meraih tangan Ibu, lalu menciumnya cukup lama.
"Bu ..., Aku dan Liana sudah ... menikah. Maafkan Aku, Bu!" ucap Mas Dewa dengan posisi masih tertunduk dan menggenggam jemari Ibu.
Ibu tak menyahut. Tatapannya kosong menghadap langit-langit kamar.
"Liana akan tinggal di sini. Dia akan merawat Ibu bersama Zahra nanti," lanjut suamiku.
Sontak Liana menoleh pada Mas Dewa dengan tatapan memprotes. Mas Dewa mengedipkan sebelah matanya pada Liana.
"Benar itu, Liana? Kamu mau merawat Ibu?" tanya ibu tanpa menoleh sedikitpun pada menantu barunya itu.
"Iy-iyaa, B-Bu," sahut wanita berambut kuning itu gugup. Sesekali sudut matanya melirik Mas Dewa dengan penuh tanda tanya. Sepertinya Mas Dewa tidak kompromi dulu dengan istri barunya itu sebelum menemui ibu.
"Zahra ..." Ibu memanggilku.
"Iya, Bu?"
"Ajarkan Liana. Mulai besok, Dia yang merawat Ibu," tegas ibu mertuaku
"Dengan senang hati, Bu!" Aku mengangguk senang. Kemudian memberikan sebuah senyum kemenangan pada sepasang suami istri itu."Loh, Kan Zahra juga ada di rumah. Kenapa hanya Liana yang merawat Ibu?" protes Mas Dewa.
"Mas lupa dengan syarat yang aku pinta kemarin?" tanyaku dengan melipat kedua tangan di depan dada.
"Apa? Kamu mau kerja?" Mas Dewa kembali tertawa merendahkanku.
Aku mengangguk.
"Sana kerja kalau dapat!" tantang Mas Dewa lagi.
"Halah, paling-paling juga jadi pembantu. Istrimu ini pantesnya jadi cleaning serviice, Mas. Cocok dengan kesehariannya. Suka bersih-bersih," bisik Liana, namun terdengar jelas olehku.
Sepasang pengantin baru yang sudah basi itu mentertawaiku.
"Aku mau kerja apa dan dimana, itu urusanku! Yang pasti mulai besok aku sudah mulai kerja," balasku tegas.
Mereka terkekeh seraya saling pandang seakan merendahkanku.
"Jangan meremehkan Zahra!" geram ibu mendengar ocehan mereka. Sontak sepasang manusia itu terdiam.
Kini mereka berdua menatap sinis padaku. Mas Dewa terlihat kesal karena Ibu selalu membelaku.
Teruslah menghinaku, Liana! Aku yakin, kamu tak akan mampu melakukam semua pekerjaan yang biasa aku lakukan di rumah. Kita lihat saja nanti!
"Ayo Liana, aku akan memberitahu apa saja yang harus kamu lakukan." Aku mulai melangkah menyusuri beberapa tempat di kamar ibu.
Dengan malas Liana mengikutiku.
"Semua baju-baju ibu ada di lemari ini. Tolong rapikan setiap selesai menyetrika."
"Apaa? Setrika? Siapa yang akan setrika baju?" Mata Liana melotot.
"Ya, kamulah. Masa ibu yang setrika bajunya sendiri?"sahutku asal sambil terus melangkah.
"Pastikan mengganti diaper Ibu jangan terlalu lama." ujarku sambil memberitahu letak diaper dan perlengkapan ibu lainnya.
"Hah? Apa? Diaper?" Liana terkejut, matanya melebar menatapku.
"Ibu kena stroke, hingga kesulitan untuk bangun dan beraktifitas, jadi ibu harus selalu memakai diaper. Mandikan Ibu setiap subuh dan sore hari. Nanti sore kamu bisa lihat aku bagaimana caranya," jelasku.
Maduku itu ternganga. Entah kenapa aku melihat ada keraguan di matanya.
"Kamu harus banyak belajar sama Zahra, Liana. Zahra itu sangat sabar dan telaten mengurus Ibu. Tidak cuma itu, semua pekerjaan rumah dikerjakan dengan baik olehnya," papar ibu.
"Halah, cuma kerjaan rumah aja mah gampang, Bu.! Nggak perlu dibanggain juga," sanggah Mas Dewa. Lagi-lagi tatapan sinisnya menghujam iris mataku.
"Liana ini juga hebat, Bu. Selama jadi sekretarisku di kantor, dia juga sangat pandai dan cekatan!" lanjut suamiku lagi.
Tampak Liana tersipu malu karena dipuji oleh Mas Dewa.
Kembali aku menahan sesak, ketika dengan sengaja suamiku memuji wanita lain di depan mataku. Sementara aku selalu tak berarti apa-apa di matanya.
Namun aku berusaha keras untuk bersikap biasa saja. Pantang bagiku jika terlihat lemah di hadapan mereka. Aku harus bisa menahan diri untuk tidak menangis. Apalagi ketika perhatian Mas Dewa lebih besar pada Liana. Alasannya, karena Liana saat ini sedang hamil."Wanita hamil itu nggak boleh manja! Jangan kebanyakan tidur. Sering-sering gerak!" ketus Ibu karena sering melihat Liana yang sebentar-sebentar masuk ke kamarnya dan tidur.
Maduku itu hanya cemberut setiap Ibu memperingatinya.
-------
Seharian ini aku meminta Liana memperhatikanku bagaimana merawat Ibu. Namun, perempuan itu seakan malas-malasan melakukannya. Gemas aku. Wanita berpakaian seksi itu sama sekali tidak memperhatikan aku. Entah bagaimana besok, apa dia bisa merawat ibu dengan baik?
Hingga malam tiba, Aku kembali memberi semua arahan pada Liana. Maduku itu terlihat kesal.
"Banyak banget, sih? Memangnya nggak pake pembantu di sini?" umpatnya.
"Loh, kan ada kamu. Apa bedanya?" sahutku seraya mengulum senyum.
"Kurang ajar! Dasar istri kampungan!" hardik wanita yang suka bercelana pendek itu. Matanya seakan hendak lepas dari tempatnya karena melotot padaku.
Aku mengulum senyum melihat wajahnya yang merah padam karema emosi..
"Liat saja, Aku akan minta Mas Dewa agar mencarikan pembantu untuk di sini," gumamnya seraya masuk ke kamar.
Aku hanya tersenyum mendengarnya. Rasanya tidak mungkin Mas Dewa yang perhitungan itu mau membayar pembantu untuk di sini.
****
Sejak subuh tadi aku tidak melihat tanda-tanda kedua pengantin baru itu bangun. Rumah masih sangat sepi. Kamar yang ditempati Liana dan Mas Dewa masih gelap.
Sudah kesepakatan dengan maduku itu. Setiap subuh akulah yang memandikan dan menyuapi Ibu. Setelah semua aku kerjakan, kini saatnya bersiap-siap untuk berangkat kerja.
Gegas aku masuk ke kamar dan membersihkan diri. Pintu kamar sengaja aku kunci, khawatir Mas Dewa nanti tiba-tiba masuk. Walau semua pakaian suamiku itu sudah aku serahkan pada Liana. Bagaimanapun juga kamar ini adalah milik kami berdua. Namun rasanya aku sudah tak sudi satu kamar apalagi satu ranjang dengannya.
Setelah ritual mandiku selesai, aku pun gegas bersiap-siap. Hari ini adalah hari pertamaku kembali bekerja. Aku harus bisa tampil seperti dulu lagi. Ketika masih bekerja di perusahaan Pak Lucas-orang tua Ivan.
Kali ini aku mengenakan kemeja tunik serta kulot berwarna senada. Dengan riasan sedikit tebal namun tetap berkesan natural, membuatku berdecak kagum pada hasil tanganku sendiri, saat berdiri di depan cermin. Dengan rambut panjang yang sehari-harinya selalu kugelung, kini kubiarkan tergerai, menambah sempurnanya penampilanku hari ini.
Sepatu high heels yang sejak lama kusimpan rapi di dalam lemari, sudah waktunya aku kenakan kembali.
Setelah kembali bercermin memantaskan diri, aku bersiap keluar kamar untuk pamit pada Ibu.
Tiba-tiba aku mendengar pintu kamarku diketuk. Perlahan aku membuka pintu.
"Zahra kamu lihat baju aku yang ... Astaga ...!"
Mas Dewa tiba-tiba ternganga menatapku tak berkedip. Saat ini suamiku itu berdiri terpaku di depanku.
"Kamu cari apa, Mas?"Mas Dewa tak menjawab. Suamiku itu masih menatapku tak berkedip dari atas ke bawah. Jakunnya naik turun. Tampak ia susah payah menelan salivanya. Napasnya pun mulai memburu. Matanya berkabut menatapku penuh damba.Ini pertanda tidak baik untukku.Ada apa dengan dirimu, Mas? Kenapa kamu menatapku bagai melihat seorang bidadari? Kenapa baru sekarang kamu memandangku dengan tatapan mendamba seperti itu? Bukankah selama ini kamu tak pernah melirikku?Tanpa berkata apapun, aku melangkah perlahan melewatinya. Sementara tatapan Mas Dewa terus mengikuti langkahku."Bajumu sudah kuserahkan pada Liana," ujarku saat telah melewatinya beberapa langkah."Zahra ..." Aku tersentak saat tiba-tiba Mas Dewa membalikkan tubuhnya, lalu mendekatiku dan mencengkeram kedua lenganku."Lepaskan aku, Mas!" ujarku pelan, namun penuh penekanan. Aku berusaha menarik paksa kedua lenganku.Mas Dewa hanya menggele
Zahra ..., ayo Aku antar!" Tiba-tiba Mas Dewa sudah berdiri tepat disebelahku. "Tidak usah, Mas. Aku sudah pesan taksi online," sahutku seraya mencari keberadaan taksi yang sudah aku pesan. Namun setelah kulihat sekeliling, taksi itu tak kunjung datang. Kembali kubuka aplikasi taksi online di ponselku, ternyata pesananku dicancel. Segera aku memesannya kembali, mengingat hari semakin siang. Mas Dewa masih berdiri di sebelahku. Laki-laki itu masih mencuri-curi pandang padaku. Aneh, kenapa seperti sedang mencuri pandangan dengan wanita lain? Bukankah aku ini istrinya? "Zahra ... kamu ... kamu ..." Nampaknya ada sesuatu yang hendak dia tanyakan. Namun sepertinya suamiku itu ragu. "Kenapa, Mas?" "Kamu beda ..." lirihnya nyaris tak terdengar. "Apa? Kenapa? Aku nggak denger, Mas."Aku pura-pura tidak mendengar. "Kamu ..." Mas Dewa gelagapan ketika tiba-tiba Liana muncul dań dalam rumah. Laki-laki yang sebenarnya masih halal untukku itu segera masuk ke dalam mobilnya, diikuti tatapa
Lalu lintas menuju kantor Ivan macet. Bisa-bisa aku telat tiba di sana. "Pak, Pak. Bisa nyalip, nggak? Saya sudah telat, nih!" "Maaf, Mbak. Kita lewat jalan kampung aja gimana?" usul supir taksi. "Boleh, Pak. Cepetan ya, pak!" Pak supir itu mengangguk, kemudian berbelok ke salah satu jalan kampung. Beruntung pak supir itu sangat memahami jalan. Hingga perjalanan kami kembali lancar. Mulai besok aku harus berangkat lebih pagi. Aku harus lebih disiplin dan profesional. Taksi yang aku tumpangi berhenti di depan sebuah gedung yang menjulang tinggi. Menurut Ivan, kantornya berada di lantai dua belas. Setelah turun dari taksi, gegas aku melangkah masuk dan menuju lift. Ternyata di depan dua lift yang saling berhadapan ini penuh oleh karyawan yang sedang mengantri hendak menuju kantornya masing-masing. Gedung ini memang terdiri dari beberapa perusahaan yang berbeda di setiap lantainya. Sesaat melirik arloji ditanganku, ternyata waktuku tinggal sepuluh menit lagi. Berdecak kesal, k
POV DEWA "Mas, Aku hamil." Bagaikan mendengar petir di siang bolong, Liana sekretarisku itu mengabarkan kehamilannya. "A-apa? Hamil?". Wanita seksi itu mengangguk cepat. Aku terduduk pada kursi kebesaranku di ruangan ini. Beruntung hanya aku berdua berada dalam ruangan khusus manager ini. Tubuhku terasa lemas. Seharusnya aku bahagia mendengar kabar ini. Bukankah aku akan memiliki seorang anak? Setelah selama hampir dua tahun menunggu. Namun saat ini yang mengatakan hamil bukanlah istriku. Tapi sekrerisku, Liana. Wanita yang sering menemaniku tidak hanya di kantor, tapi juga saat aku dinas ke luar kota, bahkan diranjang hotel. Setiap hari Liana selalu berpakaian seksi jika di kantor. Sepertinya wanita ini memang sengaja memancing hasrat kelaki-lakianku. Setengah mati aku mencoba untuk menahan. Namun, siapa yang tahan jika setiap saat disuguhkan pemandangan yang indah dan sangat menggoda itu. Berbeda dengan Zahra, istriku. Dirumahpun dia tak pernah berpakaian yang memancing has
"Siang ini Mas Dewa harus ikut aku bicara pada papi dan mami!" "Jangan sekaranglah, Lee. Aku belum siap." Tiba-tiba wanita manja itu menangis tergugu di depanku. Apa kata karyawan lain nanti, jika Liana menangis seperti ini di depanku. Bisa buruk reputasiku di depan semua orang. "Liana, tolong jangan menangis seperti ini! Apa kata orang nanti." "Kalau begitu sekarang juga Mas Harus menghadap orang tuaku!" Sial! Apes aku! "Ya sudah, Ayo!" Sontak aku bangkit dan melangkah ke pintu. "Kamu tunggu di mobil. Aku izin Pak Devan dulu!" Semoga saja Pak Devan sedang tidak ada tamu. Bos besarku itu, walau masih muda, memiliki banyak perusahaan. Hingga harinya selalu sibuk. Walau demikian tak pernah sekalipun aku melihatnya dekat dengan wanita. Apa dia normal? Sudahlah, bukan urusanku. "Selamat siang Pak Devan, saya izin keluar kantor ada urusan keluarga!" "Urusan keluarga? Apa tidak bisa ditunda? Ini masih jam kantor," tegasnya. Tau apa laki-laki ini tentang keluarga. Menikah saja be
"Selamat pagi, Mbak. Saya ingin bertemu dengan Bapak Ivan Nick. "Selamat pagi. Dengan Mbak siapa?" tanya wanita yang bertugas sebagai reseptionis itu dengan ramah. "Saya Zahra Fatma." "Oh, Ibu Zahra sudah ditunggu Bapak Ivan. Mari saya antar!" Aku mengikuti langkah kaki wanita ituhingga berhenti didepan pintu bertuliskan CEO. Terdengar sahutan dari dalam setelah beberapa kali ketukan pintu. "Silakan Bu Zahra." Wanita itu mengantarku masuk ke dalam. Dua orang pria sedang berbincang saling berhadapan. Sesekali mereka tertawa. Aku berdecak kagum melihat ruangan yang besar dan nyaman serta terisi oleh barang-barang mewah dan canggih. Ivan berdiri menyambutku. Sementara laki-laki yang tadi berbicara dengannya masih duduk di hadapannya dengan posisi membelakangiku. "Zahra ... Zahra ..., masih seperti dulu. Selalu tampil memukau dan mempesona." Aku tersipu malu mendengar pujian dari sahabatku itu. Ivan banyak berubah. Kini tampak semakin berwibawa dan semakin tampan. Aura kepem
"A-apa?Aku?" Aku ternganga, seakan tak percaya dengan apa yang aku dengar barusan. Ivan mengangguk. "Kamu yakin?" lagi-lagi aku ragu. "Tentu. Sangat yakin." "Tapi aku belum berpengalaman mengelola perusahaan, Van." "Aku tau kemampuan yang kamu miliki, Zahra." Ivan mencoba meyakinkanku. "Tenang, Non. Untuk sementara kamu boleh belajar di kantorku selama satu bulan." Devan menawarkan diri. "Betul, sebaiknya selama sebulan ini kamu training dengan Devan. Karena aku sering keluar kota." sanggah Ivan. "Baiklah. Aku coba," sahutku mulai yakin. Setelahnya kami banyak membahas tentang perusahaan dan produk yang kami pasarkan. Ivan banyak meminta ide-ide dariku untuk menaikkan omzet penjualan perusahaan. Pengalamanku sebagai manager pemasaran di perusahaanku dulu membuatku mampu menciptakan metode-metode jitu dalam memasarkan produk. "Luar biasa kamu Zahra! Aku yakin kantor cabang kita nanti akan berkembang pesat ditanganmu." Kali ini Devan mencoba memujiku. Sungguh ini menjadi sat
Aku menolak dengan halus ketika Devan hendak mengantarku pulang. Aku tak ingin menjadi pusat perhatian oleh tetangga sekitar rumahku. Apalagi jika Liana nanti melihatku diantar oleh mobil pajero sport milik Devan. Bisa kejang-kejang maduku itu. Aku kembali memesan taksi online untuk pulang. Sebelum pulang, Aku sempatkan untuk mampir ke atm. Aku tersenyum puas melihat saldo tabunganku. Sejak menikah dengan Mas Dewa, sedikitpun aku tak pemah menggunakan uang tabungan yang aku kumpulkan selama aku bekerja dulu. Mas Dewa selalu memberikan uang bulanan yang cukup. Ya, hanya cukup untuk keperluan sehari-hari aku dan Ibu. Aku pindahkan sebagian uangku ke dompet digital yang aku punya. Aku harus membeli beberapa pakaian kerja dengan model-model terbaru juga ponsel keluaran terbaru. Sepanjang jalan aku terus membuka-buka gambar-gambar pakaian kerja dengan model kekinian di beberapa online shop dengan brand ternama, pada ponselku. Rasanya sudah lama sekali aku tidak berbelanja. Karena jika u
Siang ini aku dan Clarissa menyusul Devan ke kantor. Karena sore nanti kita akan ke dokter kandungan seperti yang direncanakan kemarin. Sejak menikah dengan Devan, baru kali ini aku datang ke kantor, karena kesibukanku menemani dan mengurus Clarissa. Devan pun tak pernah memintaku untuk datang ke kantor. Katanya, karena di kantor ada Mas Dewa. Sifat pencemburunya masih melekat erat pada suami tampanku itu. Namun kali ini Clarissa tidak sabaran dan minta menyusul Daddynya ke kantor "Bundaaa, Daddy lamaa! kita susul aja yuk!' "Ini masih siang, Sayang!" "Tapi aku maunya sekarang. Daddy itu kalau ditungguin suka lamaa, Bundaaa. Kita susul aja, ya? Boleh, ya?" Akhirnya aku mengangguk dan menyetujui permintaan Clarissa. Tanpa sepengetahuan Devan, Aku dan Clarissa sudah tiba di lobby kantor. Menurut sekretaris Devan, suamiku itu hari ini ada di kantor seharian, tidak ada pertemuan di luar. Clarissa menggandengku dengan manja. Langkah gadis kecilku ini sangat ceria. Sesekali dia melom
"Bundaaa, Aku mau boboknya sama Bunda ..!" lagi-lagi Clarissa merajuk. Belakangan ini Clarissa menjadi lebih manja dan selalu mencari perhatian. "Loh, Clarissa kan sudah besar dan sudah sekolah. Harus berani tidur sendiri. Bunda temenin aja di kamar sampai Clarissa nyenyak, ya!" bujukku. "Clarissa mau bobok sendiri kalau sudah jadi kakak. Kapan dong Bunda kasih aku adik bayi?" Astaga! Adik Bayi? Tiba-tiba saja aku ingat sesuatu. Sudah dua bulan ini aku tidak datang bulan. Mungkinkah ...? Sejak menikah lagi, baru kali ini aku telat datang bulan. Sebaiknya besok pagi aku periksakan diri. "Ya sudah, malam ini Bunda temenin bobok di sini." "Asiiik. I love you, Bunda." Clarissa menciumi wajahku. Mungkin karena sudah sangat mengantuk, beberapa menit kemudian Clarissa sudah pulas. Mataku beralih pada pintu kamar yang terbuka perlahan. Seorang pria tampan dengan jambang lebatnya berdiri dan tersenyum diambang pintu. Aku meletakkan jari telunjuk pada bibirku untuk memberi tanda ag
Karpet merah nan panjang telah terbentang di sepanjang jalan memasuki pintu utama ballroom hotel. Aku dan Devan bagaikan raja dan ratu turun dari mobil, langsung melangkahkan kaki disepanjang karpet merah hingga mencapai pelaminan. Alunan musik yang indah mengiringi setiap langkah kami. Aku dan Devan saling bergandengan, saling melempar senyum dan berbicara seperlunya. Para tamu berdiri di sepanjang tepi karpet merah menyambut kedatangan kami. Aku dan Devan telah tiba di atas pelaminan yang sangat megah ini. Hiasan bunga-bunga indah serta batu swarovsky membuat indahnya pelaminan ini bagaikan singgasana para raja-raja. Setelah MC membuka acara resepsi ini, para tamu mulai menghampiri kami untuk memberikan ucapan selamat. Tamu Devan dan Papa sebagian besar dari golongan atas. Para karyawan papa yang sebagian besar adalah teman sekantorku dulu menjerit histeris saat mengetahui pengantin wanitanya adalah diriku. "Zahra ... kita nggak nyangka lo bakal jadi menantunya konglomerat. "
"Zahra, kamu jangan bolak balik begitu! Nanti pakaianmu kusut! Pengantin kok kaya setrikaan mondar mandir?" Mama Andine, istri Pak Lucas, mamanya Devan, alias calon mertuaku, menegurku untuk yang kesekian kalinya. "Mamaaaa, aku deg-degan. Gimana doong?" pekikku tertahan, menahan mulas, sesekali rasanya ingin buang air kecil, jantung berdetak tak beraturan. Sepertinya saat ini aku merasakan kecemasan tingkat tinggi. "Ya udah sini duduk dekat Mama." Mama meraih lenganku dan membawaku duduk disampingnya. Saat ini kami berdua berada di salah satu kamar di rumah mama. Kamar yang tadinya dijadikan sebagai kamar tamu, tapi khusus di hari spesial ini dijadikan sebagai kamar untuk meriasku. Pagi ini aku akan menjalani akad nikah. Walaupun ini adalah yang kedua kalinya untukku, namun rasanya sangat berbeda. Aku begitu khawatir dan cemas. Belum lega rasanya jika ucapan ijab kabul dari Devan belum terdengar. Mama mengusap lembut punggungku. Wanita itu memilih menemaniku dalam kamar dari pad
Aku menangis bahagia. Karena hingga detik ini masih bisa memeluk Clarissa seperti ini. Namun pasti Clarissa lebih hancur, karena Kim-ibu kandung Clarissa telah pergi untuk selamanya. Clarissa merenggangkan pelukan. Jari mungil itu menghapus air mata yang mengalir deras di mataku. "Bunda jangan nangis ...!" lirihnya pelan. Aku yang tadi membungkuk, kini berjongkok mensejajarkan tubuhku dengan Clarissa. Aku kembali memeluk erat tubuh gadis itu. "Maafin, Bunda ... Bunda nggak bisa selamatin Mommy Kim. Maafin Bunda, Sayang ...!" Aku semakin tergugu dan merasa bersalah. Clarissa kembali melepaskan pelukanku. Gadis itu kembali mengulurkan tangannya untuk menghapus air mataku. "Bunda nggak salah. Mommy Kim jahat. Mommy Kim udah sakitin Aku!" "Tidak, tidak! Jangan bicara seperti itu Sayang. Mommy sangat sayang sama Clarissa. Mommy tidak mau kehilangan Clarissa. Sekarang Mommy sudah tenang di sana. Kita doakan Mommy ya, Sayang!" Aku membingkai wajah mungil bermata coklat itu dengan ke
Aku masih tergugu di hadapan pria yang telah mengorbankan jiwanya untukku. Pria yang tak peduli jika nyawanya akan hilang, demi menolongku. Pria yang tak pernah berpikir panjang jika menyangkut hal tentang diriku. Pria yang selama ini aku anggap lebay, bucin dan pencemburu, kini aku tau alasannya kenapa pria tampan ini seperti itu. Alasan yang justru membuatku tak sanggup untuk meninggalkannya saat ini. Kenapa dada ini begitu nyeri ketika melihatmya tak berdaya? Kenapa rasanya begitu sakit melihatnya terbaring dengan selang infusan di tangannya. Kenapa bukan aku saja yang berada di atas brankar itu? Kenapa harus Dia? Oh Astaga! Kenapa aku jadi berpikir seperti ini? Kenapa aku seperti tak rela jika dia terluka? Apakah aku sudah jatuh cinta pada pria ini? "Sudah dong, jangan nangis terus, Aku nggak apa-apa." Suara bariton itu membuyarkan lamunanku. Devan meraih jemariku yang sejak tadi tak henti-hentinya mengusap lembut kepala pria tampan itu. Entah mengapa Aku sangat merasa bersala
POV IvanMobilku melambat saat melihat keramaian di depan sana. Jalanan penuh oleh orang-orang yang ingin melihat sesuatu di sungai itu Aku menepikan mobilku dan membuka kaca. "Maaf, Bu. Ada apa rame-rame di sana?" "Ada mobil jatuh ke sungai, Pak! Katanya sih yang bawa perempuan!" Ya Tuhan. Jantungku langsung berdetak cepat setelah mendengar berita dari ibu-ibu itu. Jangan-jangan ... Astaga! Bukankah itu mobil Devan? Aku segera turun dan berlari menghampiri Devan. "Dev ... Devan!" Devan tak mempedulikan panggilanku. Aku tersentak saat melihatnya hendak bersiap-siap turun ke sungai. "Stop, Dev! Mau apa kamu?" "Zahra di bawah sana. Mana mungkin aku hanya diam!" geram Devan melotot padaku. Mataku membelalak melihat mobil Kim yang saat ini sudah terjun hingga berada disungai. "Jangan nekad, Pak. Sangat berbahaya! Kita tunggu bantuan!" Beberapa warga mencoba mencegah Devan. Namun kakakku itu tidak menghiraukan. Devan melepaskan jasnya, kemudian tanpa ragu kakakku itu melompat
Pov Ivan Cahaya yang menyilaukan mata menembus jendela kaca besar yang berada di kamarku ini. Aku menghempas napas kasar memandang tirai jendela yang terbuka lebar sejak semalam. Ternyata sudah siang. Aku melirik arloji yang menempel ditanganku. Sepertinya masih ada waktu untuk bersiap-siap ke kantor. Rasa nyeri di sekujur tubuhku sudah mulai berkurang. Perlahan aku bangkit menuju kamar mandi. Setelah membersihkan diri dan berpakaian, Aku melangkah keluar dari kamar. Sepiring nasi goreng dan segelas jus buah tersaji di atas meja makan. Siapa yang memasak? Mungkin pelayan Devan yang mengantarnya ke sini. Kebetulan, Aku memang sangat lapar. Sambil menikmati nasi goreng sosis ini, kubuka ponselku. Memeriksa pesan dan email yang masuk. Sebuah senyum terbit dibibirku saat membaca pesan dari Zahra. [ Makan yang banyak, semoga nasi goreng buatanku mampu menyembuhkan lukamu] Ternyata Zahra yang masak. Pantas rasanya sangat enak. Kunikmati setiap suapan yang masuk ke mulutku. Hatiku berd
"Astaga, Kim! Untuk apa dia menemuiku? "Zahra, Aku hanya ingin bicara sebentar!" Aku mendengar teriakan Kim dari balik pintu ini. "Kamu mau bicara apa ?" Karena penasaran, aku memutuskan untuk keluar dan menghampiri mantan istri Devan itu. "Jika kamu takut aku macan-macam, bagaimana jika kita bicara di cafe bawah saja?" ajak Kim. Aku berpikir sejenak. Kalau aku tidak mengikuti kemauan Kim. Wanita itu pasti akan terus berusaha. Aku khawatir dia akan nekad nantinya. Mungkim sebaiknya aku ikuti saja dulu kemauannya.. "Oke. Sebentar aku ambil tas dulu!" sahutku membuat para penjaga melotot "Bu Zahra! Tuan Devan melarang ibu untuk keluar." Salah seorang penjaga mengingatkanku "Saya hanya ke cafe bawah, Pak. aku khawatir Kim akan nekad jika aku tak mengikuti kemauannya." Penjaga itu tak lagi membantahku. Setelah meraih tas dan ponselku di meja tamu, aku segera kembali keluar dan menghampiri wanita cantik itu. "Ayo!" ajakku pada Kim yang kemudian melangkah bersisian denganku. Tubu