"Siang ini Mas Dewa harus ikut aku bicara pada papi dan mami!" "Jangan sekaranglah, Lee. Aku belum siap." Tiba-tiba wanita manja itu menangis tergugu di depanku. Apa kata karyawan lain nanti, jika Liana menangis seperti ini di depanku. Bisa buruk reputasiku di depan semua orang. "Liana, tolong jangan menangis seperti ini! Apa kata orang nanti." "Kalau begitu sekarang juga Mas Harus menghadap orang tuaku!" Sial! Apes aku! "Ya sudah, Ayo!" Sontak aku bangkit dan melangkah ke pintu. "Kamu tunggu di mobil. Aku izin Pak Devan dulu!" Semoga saja Pak Devan sedang tidak ada tamu. Bos besarku itu, walau masih muda, memiliki banyak perusahaan. Hingga harinya selalu sibuk. Walau demikian tak pernah sekalipun aku melihatnya dekat dengan wanita. Apa dia normal? Sudahlah, bukan urusanku. "Selamat siang Pak Devan, saya izin keluar kantor ada urusan keluarga!" "Urusan keluarga? Apa tidak bisa ditunda? Ini masih jam kantor," tegasnya. Tau apa laki-laki ini tentang keluarga. Menikah saja be
"Selamat pagi, Mbak. Saya ingin bertemu dengan Bapak Ivan Nick. "Selamat pagi. Dengan Mbak siapa?" tanya wanita yang bertugas sebagai reseptionis itu dengan ramah. "Saya Zahra Fatma." "Oh, Ibu Zahra sudah ditunggu Bapak Ivan. Mari saya antar!" Aku mengikuti langkah kaki wanita ituhingga berhenti didepan pintu bertuliskan CEO. Terdengar sahutan dari dalam setelah beberapa kali ketukan pintu. "Silakan Bu Zahra." Wanita itu mengantarku masuk ke dalam. Dua orang pria sedang berbincang saling berhadapan. Sesekali mereka tertawa. Aku berdecak kagum melihat ruangan yang besar dan nyaman serta terisi oleh barang-barang mewah dan canggih. Ivan berdiri menyambutku. Sementara laki-laki yang tadi berbicara dengannya masih duduk di hadapannya dengan posisi membelakangiku. "Zahra ... Zahra ..., masih seperti dulu. Selalu tampil memukau dan mempesona." Aku tersipu malu mendengar pujian dari sahabatku itu. Ivan banyak berubah. Kini tampak semakin berwibawa dan semakin tampan. Aura kepem
"A-apa?Aku?" Aku ternganga, seakan tak percaya dengan apa yang aku dengar barusan. Ivan mengangguk. "Kamu yakin?" lagi-lagi aku ragu. "Tentu. Sangat yakin." "Tapi aku belum berpengalaman mengelola perusahaan, Van." "Aku tau kemampuan yang kamu miliki, Zahra." Ivan mencoba meyakinkanku. "Tenang, Non. Untuk sementara kamu boleh belajar di kantorku selama satu bulan." Devan menawarkan diri. "Betul, sebaiknya selama sebulan ini kamu training dengan Devan. Karena aku sering keluar kota." sanggah Ivan. "Baiklah. Aku coba," sahutku mulai yakin. Setelahnya kami banyak membahas tentang perusahaan dan produk yang kami pasarkan. Ivan banyak meminta ide-ide dariku untuk menaikkan omzet penjualan perusahaan. Pengalamanku sebagai manager pemasaran di perusahaanku dulu membuatku mampu menciptakan metode-metode jitu dalam memasarkan produk. "Luar biasa kamu Zahra! Aku yakin kantor cabang kita nanti akan berkembang pesat ditanganmu." Kali ini Devan mencoba memujiku. Sungguh ini menjadi sat
Aku menolak dengan halus ketika Devan hendak mengantarku pulang. Aku tak ingin menjadi pusat perhatian oleh tetangga sekitar rumahku. Apalagi jika Liana nanti melihatku diantar oleh mobil pajero sport milik Devan. Bisa kejang-kejang maduku itu. Aku kembali memesan taksi online untuk pulang. Sebelum pulang, Aku sempatkan untuk mampir ke atm. Aku tersenyum puas melihat saldo tabunganku. Sejak menikah dengan Mas Dewa, sedikitpun aku tak pemah menggunakan uang tabungan yang aku kumpulkan selama aku bekerja dulu. Mas Dewa selalu memberikan uang bulanan yang cukup. Ya, hanya cukup untuk keperluan sehari-hari aku dan Ibu. Aku pindahkan sebagian uangku ke dompet digital yang aku punya. Aku harus membeli beberapa pakaian kerja dengan model-model terbaru juga ponsel keluaran terbaru. Sepanjang jalan aku terus membuka-buka gambar-gambar pakaian kerja dengan model kekinian di beberapa online shop dengan brand ternama, pada ponselku. Rasanya sudah lama sekali aku tidak berbelanja. Karena jika u
Aku keluar menuju kamarku. Ketika melewati meja makan, aku tercengang melihat tidak ada satu makanan pun di sana. Apa perempuan itu tidak masak? Lalu makan apa dia? Bagaimana jika Mas Dewa pulang nanti ? Aku mengintip perempuan itu dari pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Tampak Liana sedang berbaring di ranjangnya seraya membuka ponselnya. Sesekali dia terkikik. Apa seperti ini kerjaannya di rumah? Aku menyelesaikan ritual mandiku dan memakai dress lengan pendek dengan panjang selutut. Kemudian mengecek pesan-pesan yang masuk pada ponselku. Ternyata pesananku sedang dalam perjalanan. Aku juga memesan makanan via online untukku nanti malam. Ya, hanya untukku dan Ibu. Aku kembali ke kamar ibu. Liana masih bermalas-malasan di depan televisi. Padahal rumah terlihat berantakan. Gemas aku. Ternyata Ibu tertidur lagi. Aku pun kembali ke kamarku sendiri. Menghubungi salah satu temanku yang bekerja di rumah sakit. Ada yang aku konsultasikan pada temanku itu tentang keanehan yang terja
Deru mesin mobil memasuki halaman. Aku bangkit menghampiri suamiku. Bukan, bukan untuk menyambutnya seperti biasa. Bukan untuk meraih jemarinya agar kucium. Namun, Aku ingin mengingatkan sesuatu pada suamiku itu. Dari dalam mobil avanzanya yang dia beli setahun yang lalu, Mas Dewa menatap heran padaku yang saat ini sedang menunggunya di teras seraya melipat tangan di dada. Sesekali dahinya mengernyit, matanya menyipit. Mungkin dalam hatinya bertanya-tanya tentang sikapku yang tidak seperti biasanya. Laki-laki tampan yang pernah mengaduk-aduk hatiku itu perlahan turun dari mobil. Pandangannya tak lepas terus menatapku. Aku tersentak saat Mas Dewa mengulurkan tangan memintaku untuk mencium punggung tangannya. Dia memang masih suamiku. Perlahan aku meraih tangan kokoh itu dan menciumnya sesaat. Mas Dewa tersenyum lalu mengusap lembut kepalaku. Hatiku menghangat, sudah lama sekali salah satu kebiasaanya ini lenyap. Entah sejak kapan. Lalu kenapa dia melakukannya lagi di saat hatinya
"Maaasss, jadi kan kita beli barang-barang brandednya? Masa zahra aja yang kamu beliin?" Liana keluar dari kamarnya menghampiri Mas Dewa. "Barang-barang branded apa?" tanya Mas Dewa tak mengerti. "Jangan pura-pura, Mas. Aku sendiri yang terima barang-barang branded milik Zahra," ujar Liana seraya menatap tajam pada Mas Dewa. Spontan suamiku itu mengalihkan pandangannya padaku seakan minta penjelasan. Pintar sekali istri baru Mas Dewa ini mengalihkan pembicaraanku dengan Mas Dewa. "Bisa kamu jelaskan padaku, Zahra?' Mas Dewa mangangkat alisnya padaku. "Jangan mengalihkan pembicaraan, Mas. Kita sedang tidak membahas itu!" tegasku seraya melangkah menuju kamar ibu, membawa dua mangkuk bubur ayam. "Ibu ..., ayo makan dulu!" ujarku saat baru saja membuka pintu kamar ibu. "Ada apa ribut-ribut di luar?" tanya ibu seraya mengikuti langkahku dengan gerakan matanya. "Biasalah, Bu. Drama istri tua dan istri muda," sahutku seraya terkekeh. Berusaha untuk terlihat selalu kuat di depan ib
"Mas Dewa, Kamu di dalam?" Gedoran pintu yang cukup keras dari Liana menyadarkanku. Sontak aku mendorong dada Mas Dewa yang nyaris menempel denganku, hingga tubuhnya terhempas ke atas tempat tidur. "Zahra ...! Apa-apaan, sih?" umpat Mas Dewa seraya berusaha bangkit dari tempat tidur sambil memegang pinggangnya. Gegas aku membuka pintu hendak keluar sebelum pria di hadapanku ini kembali mendekatiku. "Hei, kamu juga di dalam? Ngapain berduaan sama suamiku?" Aku terlonjak saat membuka pintu, melihat Liana berkacak pinggang berdiri di hadapanku. "Dasar perempuan aneh. Ngakunya pintar, tapi otak sedikit!" gerutuku. "Ngomong apa kamu?" ketusnya lagi dengan bola mata yang hampir saja keluar dari tempatnya. "Pikir dong pakai otak, Mas Dewa itu sampai sekarang masih suami Aku. Kami sah melakukan apa aja. Pastinya tanpa digerebek oleh warga!" tegasku dengan emosi yang meluap-luap. Liana semakin emosi oleh sindiranku. Kilatan amarah jelas terlihat di matanya. "Maaass, kamu jangan diem
Siang ini aku dan Clarissa menyusul Devan ke kantor. Karena sore nanti kita akan ke dokter kandungan seperti yang direncanakan kemarin. Sejak menikah dengan Devan, baru kali ini aku datang ke kantor, karena kesibukanku menemani dan mengurus Clarissa. Devan pun tak pernah memintaku untuk datang ke kantor. Katanya, karena di kantor ada Mas Dewa. Sifat pencemburunya masih melekat erat pada suami tampanku itu. Namun kali ini Clarissa tidak sabaran dan minta menyusul Daddynya ke kantor "Bundaaa, Daddy lamaa! kita susul aja yuk!' "Ini masih siang, Sayang!" "Tapi aku maunya sekarang. Daddy itu kalau ditungguin suka lamaa, Bundaaa. Kita susul aja, ya? Boleh, ya?" Akhirnya aku mengangguk dan menyetujui permintaan Clarissa. Tanpa sepengetahuan Devan, Aku dan Clarissa sudah tiba di lobby kantor. Menurut sekretaris Devan, suamiku itu hari ini ada di kantor seharian, tidak ada pertemuan di luar. Clarissa menggandengku dengan manja. Langkah gadis kecilku ini sangat ceria. Sesekali dia melom
"Bundaaa, Aku mau boboknya sama Bunda ..!" lagi-lagi Clarissa merajuk. Belakangan ini Clarissa menjadi lebih manja dan selalu mencari perhatian. "Loh, Clarissa kan sudah besar dan sudah sekolah. Harus berani tidur sendiri. Bunda temenin aja di kamar sampai Clarissa nyenyak, ya!" bujukku. "Clarissa mau bobok sendiri kalau sudah jadi kakak. Kapan dong Bunda kasih aku adik bayi?" Astaga! Adik Bayi? Tiba-tiba saja aku ingat sesuatu. Sudah dua bulan ini aku tidak datang bulan. Mungkinkah ...? Sejak menikah lagi, baru kali ini aku telat datang bulan. Sebaiknya besok pagi aku periksakan diri. "Ya sudah, malam ini Bunda temenin bobok di sini." "Asiiik. I love you, Bunda." Clarissa menciumi wajahku. Mungkin karena sudah sangat mengantuk, beberapa menit kemudian Clarissa sudah pulas. Mataku beralih pada pintu kamar yang terbuka perlahan. Seorang pria tampan dengan jambang lebatnya berdiri dan tersenyum diambang pintu. Aku meletakkan jari telunjuk pada bibirku untuk memberi tanda ag
Karpet merah nan panjang telah terbentang di sepanjang jalan memasuki pintu utama ballroom hotel. Aku dan Devan bagaikan raja dan ratu turun dari mobil, langsung melangkahkan kaki disepanjang karpet merah hingga mencapai pelaminan. Alunan musik yang indah mengiringi setiap langkah kami. Aku dan Devan saling bergandengan, saling melempar senyum dan berbicara seperlunya. Para tamu berdiri di sepanjang tepi karpet merah menyambut kedatangan kami. Aku dan Devan telah tiba di atas pelaminan yang sangat megah ini. Hiasan bunga-bunga indah serta batu swarovsky membuat indahnya pelaminan ini bagaikan singgasana para raja-raja. Setelah MC membuka acara resepsi ini, para tamu mulai menghampiri kami untuk memberikan ucapan selamat. Tamu Devan dan Papa sebagian besar dari golongan atas. Para karyawan papa yang sebagian besar adalah teman sekantorku dulu menjerit histeris saat mengetahui pengantin wanitanya adalah diriku. "Zahra ... kita nggak nyangka lo bakal jadi menantunya konglomerat. "
"Zahra, kamu jangan bolak balik begitu! Nanti pakaianmu kusut! Pengantin kok kaya setrikaan mondar mandir?" Mama Andine, istri Pak Lucas, mamanya Devan, alias calon mertuaku, menegurku untuk yang kesekian kalinya. "Mamaaaa, aku deg-degan. Gimana doong?" pekikku tertahan, menahan mulas, sesekali rasanya ingin buang air kecil, jantung berdetak tak beraturan. Sepertinya saat ini aku merasakan kecemasan tingkat tinggi. "Ya udah sini duduk dekat Mama." Mama meraih lenganku dan membawaku duduk disampingnya. Saat ini kami berdua berada di salah satu kamar di rumah mama. Kamar yang tadinya dijadikan sebagai kamar tamu, tapi khusus di hari spesial ini dijadikan sebagai kamar untuk meriasku. Pagi ini aku akan menjalani akad nikah. Walaupun ini adalah yang kedua kalinya untukku, namun rasanya sangat berbeda. Aku begitu khawatir dan cemas. Belum lega rasanya jika ucapan ijab kabul dari Devan belum terdengar. Mama mengusap lembut punggungku. Wanita itu memilih menemaniku dalam kamar dari pad
Aku menangis bahagia. Karena hingga detik ini masih bisa memeluk Clarissa seperti ini. Namun pasti Clarissa lebih hancur, karena Kim-ibu kandung Clarissa telah pergi untuk selamanya. Clarissa merenggangkan pelukan. Jari mungil itu menghapus air mata yang mengalir deras di mataku. "Bunda jangan nangis ...!" lirihnya pelan. Aku yang tadi membungkuk, kini berjongkok mensejajarkan tubuhku dengan Clarissa. Aku kembali memeluk erat tubuh gadis itu. "Maafin, Bunda ... Bunda nggak bisa selamatin Mommy Kim. Maafin Bunda, Sayang ...!" Aku semakin tergugu dan merasa bersalah. Clarissa kembali melepaskan pelukanku. Gadis itu kembali mengulurkan tangannya untuk menghapus air mataku. "Bunda nggak salah. Mommy Kim jahat. Mommy Kim udah sakitin Aku!" "Tidak, tidak! Jangan bicara seperti itu Sayang. Mommy sangat sayang sama Clarissa. Mommy tidak mau kehilangan Clarissa. Sekarang Mommy sudah tenang di sana. Kita doakan Mommy ya, Sayang!" Aku membingkai wajah mungil bermata coklat itu dengan ke
Aku masih tergugu di hadapan pria yang telah mengorbankan jiwanya untukku. Pria yang tak peduli jika nyawanya akan hilang, demi menolongku. Pria yang tak pernah berpikir panjang jika menyangkut hal tentang diriku. Pria yang selama ini aku anggap lebay, bucin dan pencemburu, kini aku tau alasannya kenapa pria tampan ini seperti itu. Alasan yang justru membuatku tak sanggup untuk meninggalkannya saat ini. Kenapa dada ini begitu nyeri ketika melihatmya tak berdaya? Kenapa rasanya begitu sakit melihatnya terbaring dengan selang infusan di tangannya. Kenapa bukan aku saja yang berada di atas brankar itu? Kenapa harus Dia? Oh Astaga! Kenapa aku jadi berpikir seperti ini? Kenapa aku seperti tak rela jika dia terluka? Apakah aku sudah jatuh cinta pada pria ini? "Sudah dong, jangan nangis terus, Aku nggak apa-apa." Suara bariton itu membuyarkan lamunanku. Devan meraih jemariku yang sejak tadi tak henti-hentinya mengusap lembut kepala pria tampan itu. Entah mengapa Aku sangat merasa bersala
POV IvanMobilku melambat saat melihat keramaian di depan sana. Jalanan penuh oleh orang-orang yang ingin melihat sesuatu di sungai itu Aku menepikan mobilku dan membuka kaca. "Maaf, Bu. Ada apa rame-rame di sana?" "Ada mobil jatuh ke sungai, Pak! Katanya sih yang bawa perempuan!" Ya Tuhan. Jantungku langsung berdetak cepat setelah mendengar berita dari ibu-ibu itu. Jangan-jangan ... Astaga! Bukankah itu mobil Devan? Aku segera turun dan berlari menghampiri Devan. "Dev ... Devan!" Devan tak mempedulikan panggilanku. Aku tersentak saat melihatnya hendak bersiap-siap turun ke sungai. "Stop, Dev! Mau apa kamu?" "Zahra di bawah sana. Mana mungkin aku hanya diam!" geram Devan melotot padaku. Mataku membelalak melihat mobil Kim yang saat ini sudah terjun hingga berada disungai. "Jangan nekad, Pak. Sangat berbahaya! Kita tunggu bantuan!" Beberapa warga mencoba mencegah Devan. Namun kakakku itu tidak menghiraukan. Devan melepaskan jasnya, kemudian tanpa ragu kakakku itu melompat
Pov Ivan Cahaya yang menyilaukan mata menembus jendela kaca besar yang berada di kamarku ini. Aku menghempas napas kasar memandang tirai jendela yang terbuka lebar sejak semalam. Ternyata sudah siang. Aku melirik arloji yang menempel ditanganku. Sepertinya masih ada waktu untuk bersiap-siap ke kantor. Rasa nyeri di sekujur tubuhku sudah mulai berkurang. Perlahan aku bangkit menuju kamar mandi. Setelah membersihkan diri dan berpakaian, Aku melangkah keluar dari kamar. Sepiring nasi goreng dan segelas jus buah tersaji di atas meja makan. Siapa yang memasak? Mungkin pelayan Devan yang mengantarnya ke sini. Kebetulan, Aku memang sangat lapar. Sambil menikmati nasi goreng sosis ini, kubuka ponselku. Memeriksa pesan dan email yang masuk. Sebuah senyum terbit dibibirku saat membaca pesan dari Zahra. [ Makan yang banyak, semoga nasi goreng buatanku mampu menyembuhkan lukamu] Ternyata Zahra yang masak. Pantas rasanya sangat enak. Kunikmati setiap suapan yang masuk ke mulutku. Hatiku berd
"Astaga, Kim! Untuk apa dia menemuiku? "Zahra, Aku hanya ingin bicara sebentar!" Aku mendengar teriakan Kim dari balik pintu ini. "Kamu mau bicara apa ?" Karena penasaran, aku memutuskan untuk keluar dan menghampiri mantan istri Devan itu. "Jika kamu takut aku macan-macam, bagaimana jika kita bicara di cafe bawah saja?" ajak Kim. Aku berpikir sejenak. Kalau aku tidak mengikuti kemauan Kim. Wanita itu pasti akan terus berusaha. Aku khawatir dia akan nekad nantinya. Mungkim sebaiknya aku ikuti saja dulu kemauannya.. "Oke. Sebentar aku ambil tas dulu!" sahutku membuat para penjaga melotot "Bu Zahra! Tuan Devan melarang ibu untuk keluar." Salah seorang penjaga mengingatkanku "Saya hanya ke cafe bawah, Pak. aku khawatir Kim akan nekad jika aku tak mengikuti kemauannya." Penjaga itu tak lagi membantahku. Setelah meraih tas dan ponselku di meja tamu, aku segera kembali keluar dan menghampiri wanita cantik itu. "Ayo!" ajakku pada Kim yang kemudian melangkah bersisian denganku. Tubu