POV DewaPintu rumahnya terbuka. Menandakan bahwa Zahra ada di rumah. Aku memarkir mobilku di depan pagarnya. Halaman rumah ini walau tidak luas, namun nampak sangat asri dan bersih. Membuat nyaman setiap orang yang melihatnya. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Ada debaran kurasakan saat mendengar suara yang selalu kurindukan itu. Bodohnya aku yang telah mengabaikannya selama ini. "Mas Dewa?" Mata bulat itu melebar saat melihatku berdiri di depan pintu. Aku terpana melihat tampilan yang berbeda dari istriku itu. Zahra memakai celana pendek jeans dengan dipadu kaos berlengan pendek yang tidak ketat namun sangat pas ditubuhnya. Rambutnya yang digerai lepas membuatnya semakin tampak memukau. Sungguh sangat berbeda dengan kesehariannya selama berada di rumahku. Kali ini Zahra nampak jauh lebih muda dan energik. "Aku masuk, ya." Tanpa menunggu jawaban darinya aku memaksa masuk dan duduk di sofa berwarna putih gading yang berada di sudut ruang tamu ini. Aku tersenyum melihatnya y
"Assalamualaikum. Astaga, Zahra ... !" Sontak aku mendorong tubuh Mas Dewa saat mendengar suara seseorang yang tidak asing ditelingaku. "Devan ..." gumamku. Gegas Aku berdiri dan melangkah ke pintu. Namun tak ada Devan di sana. Padahal aku sangat yakin bahwa itu suara Devan. Mataku menyisir ke seluruh halaman. Namun tak ada siapapun. Terdengar suara deru mesin mobil dinyalakan. Aku melangkah cepat menuju pagar. Sebuah pajero sport melaju cepat meninggalkan rumahku. Sepertinya tadi Devan memarkir mobilnya di belakang mobil Mas Dewa. Kini pria itu pergi begitu saja tanpa pamit. Apakah dia cemburu? Aku tak menyangka Devan bersikap seperti ini. Sisi lain dari pria itu mulai terlihat. "Devan sepertinya langsung pergi setelah melihat aku memelukmu tadi," jelas Mas Dewa seraya menghampiriku. "Apa kamu nggak mau mengejarnya, Zahra?" tanyanya lagi. Aku menggeleng. "Kamu tidak ingin menjelaskan yang sebenarnya terjadi padanya?" Mas Dewa menatapku heran. "Biar saja, Mas." Aku menghela
Sepanjang jalan Aku memeriksa beberapa pekerjaan dan email yang masuk. Membahas beberapa hal dengan Figo, mengenai bahan meeting hari ini. Data yang diberikan Figo membuatku tersenyum saat melihatnya. Sebuah angka yang fantastis hasil kerja teamku yang bekerja belum genap sebulan. Semoga dua CEO kakak beradik itu senang dengan pencapaian kami ini. Karena masih pagi kami pun tiba di kantor pusat hanya dalam waktu tiga puluh menit. Figo nenurunkan aku di lobby utama. Aku melangkah masuk melalui pintu kaca. Ini adalah pertama kalinya aku ke Giant House setelah sebulan ditempatkan di kantor cabang. "Selamat pagi Bu Zahra ..." "Pagi Bu Zahra ..." Aku membalas sapaan para karyawan yang mendadak sangat ramah padaku. Hampir semua yang aku temui di kantor ini menyapaku hangat. "Pagi Bu Zahra ... , b-boleh saya bicara sebentar?" Langkahku terhenti saat tiba-tiba seseorang menghampiriku, ketika hendak masuk ke pintu lift. "Ada Apa Mbak Dewi?" sahutku ramah seraya tersenyum pada wanita ya
Meeting pagi ini bersama seluruh manager berjalan lancar. Ivan puas dengan hasil kerjaku untuk bulan pertama ini. Semoga saja menjadi suatu awal yang baik. Sepanjang meeting berlangsung, entah sengaja atau tidak, Mas Dewa duduk di sebelahku. Hal itu membuat tatapan Devan semakin tajam pada kami. Walaupun kami masih berusaha bersikap profesional selama jam kerja, aku tahu Devan sangat tidak nyaman selama berada di ruang meeting tadi. "Meeting hari ini saya akhiri. Terima kasih atas kerja keras kalian semua. Tetap semangat untuk mencapai target bulan depan. Acara hari ini ditutup dengan makan siang bersama. Selamat menikmati. Terimakasih." Ivan mengakhiri pembicaraannya. Meeting pun selesai. Tak lama kemudian beberapa office boy masuk membawa menu makan siang untuk kami, lalu menghidangkannya di atas meja panjang yang berada di tengah ruangan ini. "Sini Mas bukain!" Mas Dewa meraih botol air mineral ditanganku ketika aku kesulitan membuka tutupnya. "Makasih, Mas!" "Sama-sama. Za
Aku ternganga mendengar penuturan Ivan barusan. Apa karena trauma itu sikap Devan hari ini sangat berlebihan padaku? Apa begitu kecewanya dia saat aku berpelukan dengan Mas Dewa? Ya Tuhan. Sungguh aku menyesali sikapku tadi padanya. "Zahra, aku mohon padamu, tolong jangan kecewakan kakakku. Aku tahu cintanya sangat tulus padamu. Aku sangat mengenal Devan." Tatapan Ivan kali ini lebih serius. Aku kembali terhenyak dengan permohonan Ivan. Sejujurmya sampai saat ini aku belum mengerti bagaimana perasaanku pada Devan. "Aku usahakan," balasku singkat. Karena tidak tau harus menjawab apa. "Terima kasih. Kamu memang sahabatku yang paling cantik." Ivan mengedipkan sebelah matanya padaku. "Apaan sih!" Kami tertawa lepas. "Kalau gitu aku kembali ke cabang dulu." Aku pamit dan beranjak dari kursi.. "Baiklah, hati-hati!" Ivan mendekat kemudian mengacak-acak rambutku gemas. "Ivaaaaan," jeritku protes seraya melotot padanya. Pria bertubuh tinggi tegap itu tertawa senang melihatku kerepot
Mataku terbuka hingga melebar saat terjaga. Sebuah pemandangan yang indah bernuansa pegunungan saat ini berada di depanku. Hawa dingin terasa begitu lembut menyapu kulitku. "Devan ..., kita dimana?" Aku masih menoleh ke kanan dan ke kiri. Menerka-nerka di mana aku berada. "Keluar, yuk!" Devan turun, kemudian membukakan pintu untukku. Aku tercengang melihat pemandangan yang begitu menyejukkan mata. Dari kejauhan nampak lukisan alam sebuah gunung menjulang dengan hamparan sawah berwarna hijau yang memukau. "Dev ... ini indah banget, sumpah." Tanpa sadar aku melangkah maju memeluk tubuhku sendiri. Udara dingin serta hembusan angin terasa menyentuh hingga ke tulang. "Dev .., kita ke sana, yuk!" Setelah melepas high heels, aku berlari kecil menghampiri sebuah sungai kecil. Suara genericik air itu begitu menenangkan seakan memanggilku untuk mendatanginya. "Dingin?"Devan bertanya setelah melihatku semakin mengeratkan kedua tangan yang menyilang pada tubuhku. "Iyaaaa, tapi seruuuu,"
"Makan yang banyak, biar kuat!" celetuk Devan di sela-sela suapannya. "Biar kuat apa? Ngaco aja kamu!" timpalku sewot karena merasa ada maksud aneh dari perkataannya. "Biar kuat menghadapi kenyataan hidup!' lanjutnya lagi membuat wajahku memerah malu, karena sempat berpikir yang tidak-tidak tadi. Devan terkekeh melihat wajahku merona. Setelah makan, Devan membawaku ke halaman belakang yang ternyata sangat luas. Kami duduk di sebuah saung yang berada di atas kolam ikan. Lagi-lagi sebuah pemandangan yang menentramkan hati dan memanjakan mata hadir di depanku. Halaman belakang yang luas ini di buat seperti taman burung. Kandang sangat besar untuk bebagai jenis burung dirancang sedemikian rupa, hingga burung-burung itu bisa bersatu dan terbang bebas kesana kemari. Suara kicauan dari binatang sejenis unggas yang berwarna warni itu menciptakan keindahan tersendiri. Hari mulai gelap. Sepertinya akan turun hujan. "Aku minta maaf dengan sikapku kemarin." Devan yang saat ini duduk bersan
Pov Dewa Aku telah resmi bercerai dengan Zahra. Aku bukan lagi suaminya kini. Penyesalan selalu menghantui perasaanku. Andai saja waktu bisa diputar. Aku tak akan menyia-nyiakan wanita itu. Mungkin saat ini kita masih hidup bersama. Mungkin saat ini Zahra yang sedang hamil anakku. Kenapa perasaan cinta itu justru hadir di saat aku telah menyakitinya? Kenapa baru sekarang aku menyadari bahwa begitu takut kehilangannya. Namun, hanya cara ini yang bisa membuatnya kembali padaku. Tidak apa aku bercerai dulu dari Zahra, tapi nanti dia akan kembali menjadi milikku untuk selamanya. Aku harus bisa kembali merebut hatinya. "Selamat siang, Pak Dewa. Maaf menunggu lama." Sapaan seseorang membuyarkan lamunanku. Ternyata Pak Robi, salah satu rekan perusahaan dari PT Dinarta, telah berada di hadapanku. Sebelumnya kami sering mengikuti beberapa tender di luar kota. "Silakan duduk, Pak Robi. Maaf, ada apa sebenarnya bapak ingin bertemu saya?" Pak Robi memang mengajakku bertemu siang ini di cafe
Siang ini aku dan Clarissa menyusul Devan ke kantor. Karena sore nanti kita akan ke dokter kandungan seperti yang direncanakan kemarin. Sejak menikah dengan Devan, baru kali ini aku datang ke kantor, karena kesibukanku menemani dan mengurus Clarissa. Devan pun tak pernah memintaku untuk datang ke kantor. Katanya, karena di kantor ada Mas Dewa. Sifat pencemburunya masih melekat erat pada suami tampanku itu. Namun kali ini Clarissa tidak sabaran dan minta menyusul Daddynya ke kantor "Bundaaa, Daddy lamaa! kita susul aja yuk!' "Ini masih siang, Sayang!" "Tapi aku maunya sekarang. Daddy itu kalau ditungguin suka lamaa, Bundaaa. Kita susul aja, ya? Boleh, ya?" Akhirnya aku mengangguk dan menyetujui permintaan Clarissa. Tanpa sepengetahuan Devan, Aku dan Clarissa sudah tiba di lobby kantor. Menurut sekretaris Devan, suamiku itu hari ini ada di kantor seharian, tidak ada pertemuan di luar. Clarissa menggandengku dengan manja. Langkah gadis kecilku ini sangat ceria. Sesekali dia melom
"Bundaaa, Aku mau boboknya sama Bunda ..!" lagi-lagi Clarissa merajuk. Belakangan ini Clarissa menjadi lebih manja dan selalu mencari perhatian. "Loh, Clarissa kan sudah besar dan sudah sekolah. Harus berani tidur sendiri. Bunda temenin aja di kamar sampai Clarissa nyenyak, ya!" bujukku. "Clarissa mau bobok sendiri kalau sudah jadi kakak. Kapan dong Bunda kasih aku adik bayi?" Astaga! Adik Bayi? Tiba-tiba saja aku ingat sesuatu. Sudah dua bulan ini aku tidak datang bulan. Mungkinkah ...? Sejak menikah lagi, baru kali ini aku telat datang bulan. Sebaiknya besok pagi aku periksakan diri. "Ya sudah, malam ini Bunda temenin bobok di sini." "Asiiik. I love you, Bunda." Clarissa menciumi wajahku. Mungkin karena sudah sangat mengantuk, beberapa menit kemudian Clarissa sudah pulas. Mataku beralih pada pintu kamar yang terbuka perlahan. Seorang pria tampan dengan jambang lebatnya berdiri dan tersenyum diambang pintu. Aku meletakkan jari telunjuk pada bibirku untuk memberi tanda ag
Karpet merah nan panjang telah terbentang di sepanjang jalan memasuki pintu utama ballroom hotel. Aku dan Devan bagaikan raja dan ratu turun dari mobil, langsung melangkahkan kaki disepanjang karpet merah hingga mencapai pelaminan. Alunan musik yang indah mengiringi setiap langkah kami. Aku dan Devan saling bergandengan, saling melempar senyum dan berbicara seperlunya. Para tamu berdiri di sepanjang tepi karpet merah menyambut kedatangan kami. Aku dan Devan telah tiba di atas pelaminan yang sangat megah ini. Hiasan bunga-bunga indah serta batu swarovsky membuat indahnya pelaminan ini bagaikan singgasana para raja-raja. Setelah MC membuka acara resepsi ini, para tamu mulai menghampiri kami untuk memberikan ucapan selamat. Tamu Devan dan Papa sebagian besar dari golongan atas. Para karyawan papa yang sebagian besar adalah teman sekantorku dulu menjerit histeris saat mengetahui pengantin wanitanya adalah diriku. "Zahra ... kita nggak nyangka lo bakal jadi menantunya konglomerat. "
"Zahra, kamu jangan bolak balik begitu! Nanti pakaianmu kusut! Pengantin kok kaya setrikaan mondar mandir?" Mama Andine, istri Pak Lucas, mamanya Devan, alias calon mertuaku, menegurku untuk yang kesekian kalinya. "Mamaaaa, aku deg-degan. Gimana doong?" pekikku tertahan, menahan mulas, sesekali rasanya ingin buang air kecil, jantung berdetak tak beraturan. Sepertinya saat ini aku merasakan kecemasan tingkat tinggi. "Ya udah sini duduk dekat Mama." Mama meraih lenganku dan membawaku duduk disampingnya. Saat ini kami berdua berada di salah satu kamar di rumah mama. Kamar yang tadinya dijadikan sebagai kamar tamu, tapi khusus di hari spesial ini dijadikan sebagai kamar untuk meriasku. Pagi ini aku akan menjalani akad nikah. Walaupun ini adalah yang kedua kalinya untukku, namun rasanya sangat berbeda. Aku begitu khawatir dan cemas. Belum lega rasanya jika ucapan ijab kabul dari Devan belum terdengar. Mama mengusap lembut punggungku. Wanita itu memilih menemaniku dalam kamar dari pad
Aku menangis bahagia. Karena hingga detik ini masih bisa memeluk Clarissa seperti ini. Namun pasti Clarissa lebih hancur, karena Kim-ibu kandung Clarissa telah pergi untuk selamanya. Clarissa merenggangkan pelukan. Jari mungil itu menghapus air mata yang mengalir deras di mataku. "Bunda jangan nangis ...!" lirihnya pelan. Aku yang tadi membungkuk, kini berjongkok mensejajarkan tubuhku dengan Clarissa. Aku kembali memeluk erat tubuh gadis itu. "Maafin, Bunda ... Bunda nggak bisa selamatin Mommy Kim. Maafin Bunda, Sayang ...!" Aku semakin tergugu dan merasa bersalah. Clarissa kembali melepaskan pelukanku. Gadis itu kembali mengulurkan tangannya untuk menghapus air mataku. "Bunda nggak salah. Mommy Kim jahat. Mommy Kim udah sakitin Aku!" "Tidak, tidak! Jangan bicara seperti itu Sayang. Mommy sangat sayang sama Clarissa. Mommy tidak mau kehilangan Clarissa. Sekarang Mommy sudah tenang di sana. Kita doakan Mommy ya, Sayang!" Aku membingkai wajah mungil bermata coklat itu dengan ke
Aku masih tergugu di hadapan pria yang telah mengorbankan jiwanya untukku. Pria yang tak peduli jika nyawanya akan hilang, demi menolongku. Pria yang tak pernah berpikir panjang jika menyangkut hal tentang diriku. Pria yang selama ini aku anggap lebay, bucin dan pencemburu, kini aku tau alasannya kenapa pria tampan ini seperti itu. Alasan yang justru membuatku tak sanggup untuk meninggalkannya saat ini. Kenapa dada ini begitu nyeri ketika melihatmya tak berdaya? Kenapa rasanya begitu sakit melihatnya terbaring dengan selang infusan di tangannya. Kenapa bukan aku saja yang berada di atas brankar itu? Kenapa harus Dia? Oh Astaga! Kenapa aku jadi berpikir seperti ini? Kenapa aku seperti tak rela jika dia terluka? Apakah aku sudah jatuh cinta pada pria ini? "Sudah dong, jangan nangis terus, Aku nggak apa-apa." Suara bariton itu membuyarkan lamunanku. Devan meraih jemariku yang sejak tadi tak henti-hentinya mengusap lembut kepala pria tampan itu. Entah mengapa Aku sangat merasa bersala
POV IvanMobilku melambat saat melihat keramaian di depan sana. Jalanan penuh oleh orang-orang yang ingin melihat sesuatu di sungai itu Aku menepikan mobilku dan membuka kaca. "Maaf, Bu. Ada apa rame-rame di sana?" "Ada mobil jatuh ke sungai, Pak! Katanya sih yang bawa perempuan!" Ya Tuhan. Jantungku langsung berdetak cepat setelah mendengar berita dari ibu-ibu itu. Jangan-jangan ... Astaga! Bukankah itu mobil Devan? Aku segera turun dan berlari menghampiri Devan. "Dev ... Devan!" Devan tak mempedulikan panggilanku. Aku tersentak saat melihatnya hendak bersiap-siap turun ke sungai. "Stop, Dev! Mau apa kamu?" "Zahra di bawah sana. Mana mungkin aku hanya diam!" geram Devan melotot padaku. Mataku membelalak melihat mobil Kim yang saat ini sudah terjun hingga berada disungai. "Jangan nekad, Pak. Sangat berbahaya! Kita tunggu bantuan!" Beberapa warga mencoba mencegah Devan. Namun kakakku itu tidak menghiraukan. Devan melepaskan jasnya, kemudian tanpa ragu kakakku itu melompat
Pov Ivan Cahaya yang menyilaukan mata menembus jendela kaca besar yang berada di kamarku ini. Aku menghempas napas kasar memandang tirai jendela yang terbuka lebar sejak semalam. Ternyata sudah siang. Aku melirik arloji yang menempel ditanganku. Sepertinya masih ada waktu untuk bersiap-siap ke kantor. Rasa nyeri di sekujur tubuhku sudah mulai berkurang. Perlahan aku bangkit menuju kamar mandi. Setelah membersihkan diri dan berpakaian, Aku melangkah keluar dari kamar. Sepiring nasi goreng dan segelas jus buah tersaji di atas meja makan. Siapa yang memasak? Mungkin pelayan Devan yang mengantarnya ke sini. Kebetulan, Aku memang sangat lapar. Sambil menikmati nasi goreng sosis ini, kubuka ponselku. Memeriksa pesan dan email yang masuk. Sebuah senyum terbit dibibirku saat membaca pesan dari Zahra. [ Makan yang banyak, semoga nasi goreng buatanku mampu menyembuhkan lukamu] Ternyata Zahra yang masak. Pantas rasanya sangat enak. Kunikmati setiap suapan yang masuk ke mulutku. Hatiku berd
"Astaga, Kim! Untuk apa dia menemuiku? "Zahra, Aku hanya ingin bicara sebentar!" Aku mendengar teriakan Kim dari balik pintu ini. "Kamu mau bicara apa ?" Karena penasaran, aku memutuskan untuk keluar dan menghampiri mantan istri Devan itu. "Jika kamu takut aku macan-macam, bagaimana jika kita bicara di cafe bawah saja?" ajak Kim. Aku berpikir sejenak. Kalau aku tidak mengikuti kemauan Kim. Wanita itu pasti akan terus berusaha. Aku khawatir dia akan nekad nantinya. Mungkim sebaiknya aku ikuti saja dulu kemauannya.. "Oke. Sebentar aku ambil tas dulu!" sahutku membuat para penjaga melotot "Bu Zahra! Tuan Devan melarang ibu untuk keluar." Salah seorang penjaga mengingatkanku "Saya hanya ke cafe bawah, Pak. aku khawatir Kim akan nekad jika aku tak mengikuti kemauannya." Penjaga itu tak lagi membantahku. Setelah meraih tas dan ponselku di meja tamu, aku segera kembali keluar dan menghampiri wanita cantik itu. "Ayo!" ajakku pada Kim yang kemudian melangkah bersisian denganku. Tubu