Share

Masih Ngambek

Penulis: Rina Novita
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Aku ternganga mendengar penuturan Ivan barusan.

Apa karena trauma itu sikap Devan hari ini sangat berlebihan padaku? Apa begitu kecewanya dia saat aku berpelukan dengan Mas Dewa? Ya Tuhan. Sungguh aku menyesali sikapku tadi padanya.

"Zahra, aku mohon padamu, tolong jangan kecewakan kakakku. Aku tahu cintanya sangat tulus padamu. Aku sangat mengenal Devan." Tatapan Ivan kali ini lebih serius.

Aku kembali terhenyak dengan permohonan Ivan. Sejujurmya sampai saat ini aku belum mengerti bagaimana perasaanku pada Devan.

"Aku usahakan," balasku singkat. Karena tidak tau harus menjawab apa.

"Terima kasih. Kamu memang sahabatku yang paling cantik." Ivan mengedipkan sebelah matanya padaku.

"Apaan sih!"

Kami tertawa lepas.

"Kalau gitu aku kembali ke cabang dulu." Aku pamit dan beranjak dari kursi..

"Baiklah, hati-hati!" Ivan mendekat kemudian mengacak-acak rambutku gemas.

"Ivaaaaan," jeritku protes seraya melotot padanya.

Pria bertubuh tinggi tegap itu tertawa senang melihatku kerepot
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Juli Ana
kemana mereka
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Dibawa kemana tuh Zahra oleh Devan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Air Mata Maduku   Calon Bunda Clarissa

    Mataku terbuka hingga melebar saat terjaga. Sebuah pemandangan yang indah bernuansa pegunungan saat ini berada di depanku. Hawa dingin terasa begitu lembut menyapu kulitku. "Devan ..., kita dimana?" Aku masih menoleh ke kanan dan ke kiri. Menerka-nerka di mana aku berada. "Keluar, yuk!" Devan turun, kemudian membukakan pintu untukku. Aku tercengang melihat pemandangan yang begitu menyejukkan mata. Dari kejauhan nampak lukisan alam sebuah gunung menjulang dengan hamparan sawah berwarna hijau yang memukau. "Dev ... ini indah banget, sumpah." Tanpa sadar aku melangkah maju memeluk tubuhku sendiri. Udara dingin serta hembusan angin terasa menyentuh hingga ke tulang. "Dev .., kita ke sana, yuk!" Setelah melepas high heels, aku berlari kecil menghampiri sebuah sungai kecil. Suara genericik air itu begitu menenangkan seakan memanggilku untuk mendatanginya. "Dingin?"Devan bertanya setelah melihatku semakin mengeratkan kedua tangan yang menyilang pada tubuhku. "Iyaaaa, tapi seruuuu,"

  • Air Mata Maduku   Tak Ingin Kehilangan Lagi

    "Makan yang banyak, biar kuat!" celetuk Devan di sela-sela suapannya. "Biar kuat apa? Ngaco aja kamu!" timpalku sewot karena merasa ada maksud aneh dari perkataannya. "Biar kuat menghadapi kenyataan hidup!' lanjutnya lagi membuat wajahku memerah malu, karena sempat berpikir yang tidak-tidak tadi. Devan terkekeh melihat wajahku merona. Setelah makan, Devan membawaku ke halaman belakang yang ternyata sangat luas. Kami duduk di sebuah saung yang berada di atas kolam ikan. Lagi-lagi sebuah pemandangan yang menentramkan hati dan memanjakan mata hadir di depanku. Halaman belakang yang luas ini di buat seperti taman burung. Kandang sangat besar untuk bebagai jenis burung dirancang sedemikian rupa, hingga burung-burung itu bisa bersatu dan terbang bebas kesana kemari. Suara kicauan dari binatang sejenis unggas yang berwarna warni itu menciptakan keindahan tersendiri. Hari mulai gelap. Sepertinya akan turun hujan. "Aku minta maaf dengan sikapku kemarin." Devan yang saat ini duduk bersan

  • Air Mata Maduku   Bagai Seonggok Sampah

    Pov Dewa Aku telah resmi bercerai dengan Zahra. Aku bukan lagi suaminya kini. Penyesalan selalu menghantui perasaanku. Andai saja waktu bisa diputar. Aku tak akan menyia-nyiakan wanita itu. Mungkin saat ini kita masih hidup bersama. Mungkin saat ini Zahra yang sedang hamil anakku. Kenapa perasaan cinta itu justru hadir di saat aku telah menyakitinya? Kenapa baru sekarang aku menyadari bahwa begitu takut kehilangannya. Namun, hanya cara ini yang bisa membuatnya kembali padaku. Tidak apa aku bercerai dulu dari Zahra, tapi nanti dia akan kembali menjadi milikku untuk selamanya. Aku harus bisa kembali merebut hatinya. "Selamat siang, Pak Dewa. Maaf menunggu lama." Sapaan seseorang membuyarkan lamunanku. Ternyata Pak Robi, salah satu rekan perusahaan dari PT Dinarta, telah berada di hadapanku. Sebelumnya kami sering mengikuti beberapa tender di luar kota. "Silakan duduk, Pak Robi. Maaf, ada apa sebenarnya bapak ingin bertemu saya?" Pak Robi memang mengajakku bertemu siang ini di cafe

  • Air Mata Maduku   Dia Harus Jadi Milikku

    POV DewaKulajukan mobilku dengan kecepatan sedang. Tak lupa aku mampir ke sebuah toko kue Abanda di sebuah mall. Zahra sangat menyukai brownies kukus dari toko kue itu. Dia pasti senang aku bawakan makanan kesukaannya. Hatinya pasti akan tersentuh. Ah, rasanya sudah tidak sabar ingin kembali memiliki wanita cantik itu. Betapa bodohnya aku telah mengabaikan sebuah permata demi seonggok sampah. Akhir-akhir ini aku jarang sekali melihat Zahra dekat dengan Devan. Semoga saja mereka sudah tak berhubungan lagi. Sepertinya sejak Devan melihatku memeluk Zahra pagi itu, Devan tak lagi mendekati Zahra. Aku tersenyum sendiri jika mengingat hal itu. Mobilku telah terparkir sempurna di depan kantor cabang. Rasa rindu yang berlipat-lipat membuatku ingin segera melangkah masuk ke dalam gedung ini. "Selamat sore Pak Dewa!" sapa seorang security saat aku sudah memasuki lobby gedung ini. "Sore! Bu Zahra ada?" "Ada, Pak," sahut resepsionis di sampingnya. "Mari saya antar ke ruangannya, Pak!" Secur

  • Air Mata Maduku   Jagain Kamu

    Masalahku dengan Mas Dewa sudah selesai. Aku sudah resmi bercerai darinya. Namun hubungan kami sebagai rekan kerja masih sangat baik. Sikap Mas Dewa justru lebih baik dari pada dulu. Pria itu semakin mampu mengontrol emosinya. Sampai hari ini aku belum sanggup untuk bertemu Ibu. Rasanya belum kuat melihat Ibu menangis dihadapanku. Beberapa kali kami melakukan panggilan video, selalu diakhiri dengan isak tangis. Rasa sesak selalu menghampiri jika mengingat bahwa aku bukanlah menantunya lagi. Hari ini Aku dan Mas Dewa mendatangi lokasi pembangunan proyek perumahan minimalis type ekonomis yang berada di wilayah Bogor. Rasanya sangat Aneh, selama menjadi istrinya, Mas Dewa tidak pernah mengajakku bepergian berdua seperti ini. Namun setelah kami berpisah, dia selalu bersemangat jika ada pekerjaan yang melibatkan kami berdua. "Mau mampir makan atau beli cemilan dulu nggak?" tanya Mas Dewa saat kami baru saja mencapai jalan raya. "Aku sih udah makan, Mas. Kamunya gimana?" "Nanti sore aj

  • Air Mata Maduku   Aku Rindu

    Tak terasa kami sudah tiba di lokasi. Mas Dewa memarkir mobilnya di sebuah tanah kosong yang masih luas. Memang baru sebagian lahan yang dibangun. Aku keluar dari mobil dan melangkah menuju kantor pemasaran yang baru saja selesai dibangun. Di sana ada beberapa karyawanku yang bertugas. "Jika unit sudah terjual sebanyak tiga puluh persen, aku mengusulkan pada perusahaan agar membeli juga tanah yang di sebelah sana!" ungkapku seraya menunjuk lahan yang masih berbentuk kebon kosong, berbatasan dengan lokasi perumahan." Mas Dewa mengganguk dan setuju dengan pendapatku. "Kamu memang cerdas, Zahra," puji Mas Dewa dengan senyumnya. Aku spontan membalik badan saat tiba-tiba mendengar suara mobil berhenti tak jauh dari mobil Mas Dewa. Mataku membola saat melihat sebuah pajero sport putih yang sangat aku kenal telah terparkir di sana. Tanpa kusadari bibirku melengkung membentuk sebuah senyuman manis saat melihat seseorang keluar dari mobil itu. Pria tampan yang bayangannya selalu mengisi

  • Air Mata Maduku   Kelakuan Liana

    Dengan melewati drama yang cukup panjang, akhirnya Devan mengizinkan aku pulang lebih dulu. Walau kekecewaan tersirat dari wajahnya. Namun aku berjanji akan memenuhi permintaan Clarissa di lain hari. Aku akan menghubungi gadis kecil itu dan meminta maaf. Saat ini aku kembali berada di mobil Mas Dewa, menuju ke rumah Ibu. Kecemasan terlihat dari wajah Mas Dewa sejak tadi. "Kenapa Ibu bisa sampai pingsan, Mas?"tanyaku yang tak kalah khawatir. "Entahlah. Aku tidak tau. Suster Siska bilang ibu sudah sadar. Tapi kepalanya masih sangat pusing. "Kenapa kamu nggak tanya Liana aja?" "Liana nggak ada di rumah," jawab Mas Dewa dengan nada kesal "Dia pergi sejak jam sepuluh pagi tadi," lanjutnya lagi. Mantan suamiku itu lantas membuang napas kasar seperti menahan emosi. "Liana hampir tiap hari keluar rumah. Kadang sampai malam," keluh Mas Dewa. Wajahnya berubah sedih. "Aku sudah menyerah pada sikapnya yang seenaknya. Dibilangin malah galakan dia." Mas Dewa terus mengeluh tentang Liana.

  • Air Mata Maduku   Pacar Baru Liana

    "Ada apa ini, Mbak?" Salah seorang penghuni menegurku. "oh, ini Pak, Kakak saya lagi nyari istrinya " jawabku seraya menunjuk pada Mas Dewa. "Istrinya? Siapa namanya?" tanya seorang ibu-ibu yang sedang menggendong anaknya yang masih balita. "Liana, Bu!" "Loh, Liana itu bukannya istrinya Mas Leo? Yang ngontrak di rumah nomor dua belas itu," sahut salah satu dari penghuni yang satu per satu mulai berdatangan. Aku tersentak mendengar keterangan mereka. Sementara aku lihat Mas Dewa masih marah-marah pada laki-laki yang bernama Leo itu. Laki-laki itu menahan Mas Dewa agar tidak masuk. Aku menghampiri Mas Dewa. "Mas, kalau kamu marah-marah begini, sampai kapanpun orang nggak akan izinkan kamu masuk ke rumahnya," geramku pada Mas Dewa yang tidak pernah bisa mengendalikan emosinya. "Maaf Pak Leo. Apa bisa kita bicara di dalam?" Aku berusaha untuk berbicara tenang. "Siapa? Pak Leo? Kok kamu tau namanya? Kamu kenal sama dia?" Kali ini Mas Dewa memandangku penuh curiga. "Asem kamu, Ma

Bab terbaru

  • Air Mata Maduku   Akhir yang Bahagia ( Tamat)

    Siang ini aku dan Clarissa menyusul Devan ke kantor. Karena sore nanti kita akan ke dokter kandungan seperti yang direncanakan kemarin. Sejak menikah dengan Devan, baru kali ini aku datang ke kantor, karena kesibukanku menemani dan mengurus Clarissa. Devan pun tak pernah memintaku untuk datang ke kantor. Katanya, karena di kantor ada Mas Dewa. Sifat pencemburunya masih melekat erat pada suami tampanku itu. Namun kali ini Clarissa tidak sabaran dan minta menyusul Daddynya ke kantor "Bundaaa, Daddy lamaa! kita susul aja yuk!' "Ini masih siang, Sayang!" "Tapi aku maunya sekarang. Daddy itu kalau ditungguin suka lamaa, Bundaaa. Kita susul aja, ya? Boleh, ya?" Akhirnya aku mengangguk dan menyetujui permintaan Clarissa. Tanpa sepengetahuan Devan, Aku dan Clarissa sudah tiba di lobby kantor. Menurut sekretaris Devan, suamiku itu hari ini ada di kantor seharian, tidak ada pertemuan di luar. Clarissa menggandengku dengan manja. Langkah gadis kecilku ini sangat ceria. Sesekali dia melom

  • Air Mata Maduku   Ternyata Clarissa

    "Bundaaa, Aku mau boboknya sama Bunda ..!" lagi-lagi Clarissa merajuk. Belakangan ini Clarissa menjadi lebih manja dan selalu mencari perhatian. "Loh, Clarissa kan sudah besar dan sudah sekolah. Harus berani tidur sendiri. Bunda temenin aja di kamar sampai Clarissa nyenyak, ya!" bujukku. "Clarissa mau bobok sendiri kalau sudah jadi kakak. Kapan dong Bunda kasih aku adik bayi?" Astaga! Adik Bayi? Tiba-tiba saja aku ingat sesuatu. Sudah dua bulan ini aku tidak datang bulan. Mungkinkah ...? Sejak menikah lagi, baru kali ini aku telat datang bulan. Sebaiknya besok pagi aku periksakan diri. "Ya sudah, malam ini Bunda temenin bobok di sini." "Asiiik. I love you, Bunda." Clarissa menciumi wajahku. Mungkin karena sudah sangat mengantuk, beberapa menit kemudian Clarissa sudah pulas. Mataku beralih pada pintu kamar yang terbuka perlahan. Seorang pria tampan dengan jambang lebatnya berdiri dan tersenyum diambang pintu. Aku meletakkan jari telunjuk pada bibirku untuk memberi tanda ag

  • Air Mata Maduku   Tugas dari Clarissa

    Karpet merah nan panjang telah terbentang di sepanjang jalan memasuki pintu utama ballroom hotel. Aku dan Devan bagaikan raja dan ratu turun dari mobil, langsung melangkahkan kaki disepanjang karpet merah hingga mencapai pelaminan. Alunan musik yang indah mengiringi setiap langkah kami. Aku dan Devan saling bergandengan, saling melempar senyum dan berbicara seperlunya. Para tamu berdiri di sepanjang tepi karpet merah menyambut kedatangan kami. Aku dan Devan telah tiba di atas pelaminan yang sangat megah ini. Hiasan bunga-bunga indah serta batu swarovsky membuat indahnya pelaminan ini bagaikan singgasana para raja-raja. Setelah MC membuka acara resepsi ini, para tamu mulai menghampiri kami untuk memberikan ucapan selamat. Tamu Devan dan Papa sebagian besar dari golongan atas. Para karyawan papa yang sebagian besar adalah teman sekantorku dulu menjerit histeris saat mengetahui pengantin wanitanya adalah diriku. "Zahra ... kita nggak nyangka lo bakal jadi menantunya konglomerat. "

  • Air Mata Maduku   SAH

    "Zahra, kamu jangan bolak balik begitu! Nanti pakaianmu kusut! Pengantin kok kaya setrikaan mondar mandir?" Mama Andine, istri Pak Lucas, mamanya Devan, alias calon mertuaku, menegurku untuk yang kesekian kalinya. "Mamaaaa, aku deg-degan. Gimana doong?" pekikku tertahan, menahan mulas, sesekali rasanya ingin buang air kecil, jantung berdetak tak beraturan. Sepertinya saat ini aku merasakan kecemasan tingkat tinggi. "Ya udah sini duduk dekat Mama." Mama meraih lenganku dan membawaku duduk disampingnya. Saat ini kami berdua berada di salah satu kamar di rumah mama. Kamar yang tadinya dijadikan sebagai kamar tamu, tapi khusus di hari spesial ini dijadikan sebagai kamar untuk meriasku. Pagi ini aku akan menjalani akad nikah. Walaupun ini adalah yang kedua kalinya untukku, namun rasanya sangat berbeda. Aku begitu khawatir dan cemas. Belum lega rasanya jika ucapan ijab kabul dari Devan belum terdengar. Mama mengusap lembut punggungku. Wanita itu memilih menemaniku dalam kamar dari pad

  • Air Mata Maduku   Panggil Aku Mama

    Aku menangis bahagia. Karena hingga detik ini masih bisa memeluk Clarissa seperti ini. Namun pasti Clarissa lebih hancur, karena Kim-ibu kandung Clarissa telah pergi untuk selamanya. Clarissa merenggangkan pelukan. Jari mungil itu menghapus air mata yang mengalir deras di mataku. "Bunda jangan nangis ...!" lirihnya pelan. Aku yang tadi membungkuk, kini berjongkok mensejajarkan tubuhku dengan Clarissa. Aku kembali memeluk erat tubuh gadis itu. "Maafin, Bunda ... Bunda nggak bisa selamatin Mommy Kim. Maafin Bunda, Sayang ...!" Aku semakin tergugu dan merasa bersalah. Clarissa kembali melepaskan pelukanku. Gadis itu kembali mengulurkan tangannya untuk menghapus air mataku. "Bunda nggak salah. Mommy Kim jahat. Mommy Kim udah sakitin Aku!" "Tidak, tidak! Jangan bicara seperti itu Sayang. Mommy sangat sayang sama Clarissa. Mommy tidak mau kehilangan Clarissa. Sekarang Mommy sudah tenang di sana. Kita doakan Mommy ya, Sayang!" Aku membingkai wajah mungil bermata coklat itu dengan ke

  • Air Mata Maduku   Cuma Karyawan Biasa

    Aku masih tergugu di hadapan pria yang telah mengorbankan jiwanya untukku. Pria yang tak peduli jika nyawanya akan hilang, demi menolongku. Pria yang tak pernah berpikir panjang jika menyangkut hal tentang diriku. Pria yang selama ini aku anggap lebay, bucin dan pencemburu, kini aku tau alasannya kenapa pria tampan ini seperti itu. Alasan yang justru membuatku tak sanggup untuk meninggalkannya saat ini. Kenapa dada ini begitu nyeri ketika melihatmya tak berdaya? Kenapa rasanya begitu sakit melihatnya terbaring dengan selang infusan di tangannya. Kenapa bukan aku saja yang berada di atas brankar itu? Kenapa harus Dia? Oh Astaga! Kenapa aku jadi berpikir seperti ini? Kenapa aku seperti tak rela jika dia terluka? Apakah aku sudah jatuh cinta pada pria ini? "Sudah dong, jangan nangis terus, Aku nggak apa-apa." Suara bariton itu membuyarkan lamunanku. Devan meraih jemariku yang sejak tadi tak henti-hentinya mengusap lembut kepala pria tampan itu. Entah mengapa Aku sangat merasa bersala

  • Air Mata Maduku   Demi Cinta

    POV IvanMobilku melambat saat melihat keramaian di depan sana. Jalanan penuh oleh orang-orang yang ingin melihat sesuatu di sungai itu Aku menepikan mobilku dan membuka kaca. "Maaf, Bu. Ada apa rame-rame di sana?" "Ada mobil jatuh ke sungai, Pak! Katanya sih yang bawa perempuan!" Ya Tuhan. Jantungku langsung berdetak cepat setelah mendengar berita dari ibu-ibu itu. Jangan-jangan ... Astaga! Bukankah itu mobil Devan? Aku segera turun dan berlari menghampiri Devan. "Dev ... Devan!" Devan tak mempedulikan panggilanku. Aku tersentak saat melihatnya hendak bersiap-siap turun ke sungai. "Stop, Dev! Mau apa kamu?" "Zahra di bawah sana. Mana mungkin aku hanya diam!" geram Devan melotot padaku. Mataku membelalak melihat mobil Kim yang saat ini sudah terjun hingga berada disungai. "Jangan nekad, Pak. Sangat berbahaya! Kita tunggu bantuan!" Beberapa warga mencoba mencegah Devan. Namun kakakku itu tidak menghiraukan. Devan melepaskan jasnya, kemudian tanpa ragu kakakku itu melompat

  • Air Mata Maduku   Diculik

    Pov Ivan Cahaya yang menyilaukan mata menembus jendela kaca besar yang berada di kamarku ini. Aku menghempas napas kasar memandang tirai jendela yang terbuka lebar sejak semalam. Ternyata sudah siang. Aku melirik arloji yang menempel ditanganku. Sepertinya masih ada waktu untuk bersiap-siap ke kantor. Rasa nyeri di sekujur tubuhku sudah mulai berkurang. Perlahan aku bangkit menuju kamar mandi. Setelah membersihkan diri dan berpakaian, Aku melangkah keluar dari kamar. Sepiring nasi goreng dan segelas jus buah tersaji di atas meja makan. Siapa yang memasak? Mungkin pelayan Devan yang mengantarnya ke sini. Kebetulan, Aku memang sangat lapar. Sambil menikmati nasi goreng sosis ini, kubuka ponselku. Memeriksa pesan dan email yang masuk. Sebuah senyum terbit dibibirku saat membaca pesan dari Zahra. [ Makan yang banyak, semoga nasi goreng buatanku mampu menyembuhkan lukamu] Ternyata Zahra yang masak. Pantas rasanya sangat enak. Kunikmati setiap suapan yang masuk ke mulutku. Hatiku berd

  • Air Mata Maduku   Ancaman Kim

    "Astaga, Kim! Untuk apa dia menemuiku? "Zahra, Aku hanya ingin bicara sebentar!" Aku mendengar teriakan Kim dari balik pintu ini. "Kamu mau bicara apa ?" Karena penasaran, aku memutuskan untuk keluar dan menghampiri mantan istri Devan itu. "Jika kamu takut aku macan-macam, bagaimana jika kita bicara di cafe bawah saja?" ajak Kim. Aku berpikir sejenak. Kalau aku tidak mengikuti kemauan Kim. Wanita itu pasti akan terus berusaha. Aku khawatir dia akan nekad nantinya. Mungkim sebaiknya aku ikuti saja dulu kemauannya.. "Oke. Sebentar aku ambil tas dulu!" sahutku membuat para penjaga melotot "Bu Zahra! Tuan Devan melarang ibu untuk keluar." Salah seorang penjaga mengingatkanku "Saya hanya ke cafe bawah, Pak. aku khawatir Kim akan nekad jika aku tak mengikuti kemauannya." Penjaga itu tak lagi membantahku. Setelah meraih tas dan ponselku di meja tamu, aku segera kembali keluar dan menghampiri wanita cantik itu. "Ayo!" ajakku pada Kim yang kemudian melangkah bersisian denganku. Tubu

DMCA.com Protection Status