Beranda / Pernikahan / Air Mata Maduku / Dia Harus Jadi Milikku

Share

Dia Harus Jadi Milikku

Penulis: Rina Novita
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56
POV Dewa

Kulajukan mobilku dengan kecepatan sedang. Tak lupa aku mampir ke sebuah toko kue Abanda di sebuah mall. Zahra sangat menyukai brownies kukus dari toko kue itu. Dia pasti senang aku bawakan makanan kesukaannya. Hatinya pasti akan tersentuh. Ah, rasanya sudah tidak sabar ingin kembali memiliki wanita cantik itu. Betapa bodohnya aku telah mengabaikan sebuah permata demi seonggok sampah.

Akhir-akhir ini aku jarang sekali melihat Zahra dekat dengan Devan. Semoga saja mereka sudah tak berhubungan lagi. Sepertinya sejak Devan melihatku memeluk Zahra pagi itu, Devan tak lagi mendekati Zahra. Aku tersenyum sendiri jika mengingat hal itu.

Mobilku telah terparkir sempurna di depan kantor cabang. Rasa rindu yang berlipat-lipat membuatku ingin segera melangkah masuk ke dalam gedung ini.

"Selamat sore Pak Dewa!" sapa seorang security saat aku sudah memasuki lobby gedung ini.

"Sore! Bu Zahra ada?"

"Ada, Pak," sahut resepsionis di sampingnya.

"Mari saya antar ke ruangannya, Pak!" Secur
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yung
mimpi aja terus dewa!, siapa pula yg sudi kau celap celup sembarangan,zahra itu bukan sampah kayak liana
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Air Mata Maduku   Jagain Kamu

    Masalahku dengan Mas Dewa sudah selesai. Aku sudah resmi bercerai darinya. Namun hubungan kami sebagai rekan kerja masih sangat baik. Sikap Mas Dewa justru lebih baik dari pada dulu. Pria itu semakin mampu mengontrol emosinya. Sampai hari ini aku belum sanggup untuk bertemu Ibu. Rasanya belum kuat melihat Ibu menangis dihadapanku. Beberapa kali kami melakukan panggilan video, selalu diakhiri dengan isak tangis. Rasa sesak selalu menghampiri jika mengingat bahwa aku bukanlah menantunya lagi. Hari ini Aku dan Mas Dewa mendatangi lokasi pembangunan proyek perumahan minimalis type ekonomis yang berada di wilayah Bogor. Rasanya sangat Aneh, selama menjadi istrinya, Mas Dewa tidak pernah mengajakku bepergian berdua seperti ini. Namun setelah kami berpisah, dia selalu bersemangat jika ada pekerjaan yang melibatkan kami berdua. "Mau mampir makan atau beli cemilan dulu nggak?" tanya Mas Dewa saat kami baru saja mencapai jalan raya. "Aku sih udah makan, Mas. Kamunya gimana?" "Nanti sore aj

  • Air Mata Maduku   Aku Rindu

    Tak terasa kami sudah tiba di lokasi. Mas Dewa memarkir mobilnya di sebuah tanah kosong yang masih luas. Memang baru sebagian lahan yang dibangun. Aku keluar dari mobil dan melangkah menuju kantor pemasaran yang baru saja selesai dibangun. Di sana ada beberapa karyawanku yang bertugas. "Jika unit sudah terjual sebanyak tiga puluh persen, aku mengusulkan pada perusahaan agar membeli juga tanah yang di sebelah sana!" ungkapku seraya menunjuk lahan yang masih berbentuk kebon kosong, berbatasan dengan lokasi perumahan." Mas Dewa mengganguk dan setuju dengan pendapatku. "Kamu memang cerdas, Zahra," puji Mas Dewa dengan senyumnya. Aku spontan membalik badan saat tiba-tiba mendengar suara mobil berhenti tak jauh dari mobil Mas Dewa. Mataku membola saat melihat sebuah pajero sport putih yang sangat aku kenal telah terparkir di sana. Tanpa kusadari bibirku melengkung membentuk sebuah senyuman manis saat melihat seseorang keluar dari mobil itu. Pria tampan yang bayangannya selalu mengisi

  • Air Mata Maduku   Kelakuan Liana

    Dengan melewati drama yang cukup panjang, akhirnya Devan mengizinkan aku pulang lebih dulu. Walau kekecewaan tersirat dari wajahnya. Namun aku berjanji akan memenuhi permintaan Clarissa di lain hari. Aku akan menghubungi gadis kecil itu dan meminta maaf. Saat ini aku kembali berada di mobil Mas Dewa, menuju ke rumah Ibu. Kecemasan terlihat dari wajah Mas Dewa sejak tadi. "Kenapa Ibu bisa sampai pingsan, Mas?"tanyaku yang tak kalah khawatir. "Entahlah. Aku tidak tau. Suster Siska bilang ibu sudah sadar. Tapi kepalanya masih sangat pusing. "Kenapa kamu nggak tanya Liana aja?" "Liana nggak ada di rumah," jawab Mas Dewa dengan nada kesal "Dia pergi sejak jam sepuluh pagi tadi," lanjutnya lagi. Mantan suamiku itu lantas membuang napas kasar seperti menahan emosi. "Liana hampir tiap hari keluar rumah. Kadang sampai malam," keluh Mas Dewa. Wajahnya berubah sedih. "Aku sudah menyerah pada sikapnya yang seenaknya. Dibilangin malah galakan dia." Mas Dewa terus mengeluh tentang Liana.

  • Air Mata Maduku   Pacar Baru Liana

    "Ada apa ini, Mbak?" Salah seorang penghuni menegurku. "oh, ini Pak, Kakak saya lagi nyari istrinya " jawabku seraya menunjuk pada Mas Dewa. "Istrinya? Siapa namanya?" tanya seorang ibu-ibu yang sedang menggendong anaknya yang masih balita. "Liana, Bu!" "Loh, Liana itu bukannya istrinya Mas Leo? Yang ngontrak di rumah nomor dua belas itu," sahut salah satu dari penghuni yang satu per satu mulai berdatangan. Aku tersentak mendengar keterangan mereka. Sementara aku lihat Mas Dewa masih marah-marah pada laki-laki yang bernama Leo itu. Laki-laki itu menahan Mas Dewa agar tidak masuk. Aku menghampiri Mas Dewa. "Mas, kalau kamu marah-marah begini, sampai kapanpun orang nggak akan izinkan kamu masuk ke rumahnya," geramku pada Mas Dewa yang tidak pernah bisa mengendalikan emosinya. "Maaf Pak Leo. Apa bisa kita bicara di dalam?" Aku berusaha untuk berbicara tenang. "Siapa? Pak Leo? Kok kamu tau namanya? Kamu kenal sama dia?" Kali ini Mas Dewa memandangku penuh curiga. "Asem kamu, Ma

  • Air Mata Maduku   Jeritan Clarissa

    "Hai Bunda .... !" Clarisaa melambai-lambaikan tangannya menyapaku. Wajahnya tampak sangat bahagia. "Hai Clarissa, kamu dimana?" Kami saling melempar senyum. Betapa aku merindukan gadis kecil itu. "Bunda ... kenapa belum kesini? Aku nungguin dari tadi, loh." Wajah menggemaskan itu merajuk. "Maaf ,Sayang. Tante Zahra sedang ada urusan mendadak," sahutku merasa bersalah. Kasian sekali Clarissa, dia pasti sangat mengharapkan kedatanganku. "Loh kok tante, sih? Aku maunya panggil bunda aja." Clarissa cemberut dan menggembungkan pipinya yang chuby. Ya Tuhan, makin gemas aku dibuatnya. "Sini ponselnya, Clarissa! Mommy mau bicara dengan perempuan itu!" Tiba-tiba terdengar suara Kim membentak Clarissa. Sepertinya ponsel itu telah direbut oleh wanita itu. "Mommy jahat ...! Mommy jahat ...!" terdengar jeritan-jeritan Clarissa. "Diam!" Astaga! lagi-lagi Kim membentak Clarissa dengan kasar. "Hei perempuan murahan! Di mana Devan? Aku mau bicara dengannya!" Kali ini wajah cantik Kim terpa

  • Air Mata Maduku   Sebucin Itukah?

    Dari balik pagar besi nampak dua buah mobil terparkir di halaman kantor. Pajero sport millik Devan dan mobilku yang tadi dibawa oleh Figo. Bergegas aku turun dari taksi online dan melangkah masuk ke gerbang kantor "Selamat malam, Bu Zahra." Pak Security yang berjaga malam menyapaku. "Malam, Pak. Figo dan Pak Devan masih di dalam?" "Masih, Bu." "Baik, terimakasih, Pak. Saya masuk dulu.". Gegas aku masuk ke kantor yang sudah sangat sepi. "Bu Zahra, sini!" Figo ternyata sudah menungguku di dekat tangga. "Pak Devan ada di ruang kerja Ibu." lanjutnya seraya menunjuk ke lantai atas. "Oke saya ke sana." Dengan langkah cepat aku menaiki tangga menuju ruanganku yang berada di lantai satu. Perlahan kubuka pintu ruanganku yang tertutup rapat. Aku ternganga saat melihat Devan tertidur di atas sofa dengan penampilan yang sangat acak-acakan. Jasnya berada dilantai, dasinya sudah tak terpasang dengan benar. Rambutnya yang tebal seperti habis di remas-remas. Sebagian kemejanya sudah keluar

  • Air Mata Maduku   Tentang Kim

    Aku dan Devan bergegas pergi ke villa. Aku minta Figo mengikuti kami. Aku sempat kesal karena ponsel Devan kehabisan baterai. Tak mungkin aku kembali menghubungi Clarissa dengan ponselku. Khawatir Kim kembali marah-marah pada gadis kecil itu. Devan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Wajahnya sangat panik.Ingin rasanya bertanya tentang Kim. Kenapa dia tega menyakiti Clarissa. Memang aku tidak melihat langsung apa yang dilakukan Kim pada Clarissa. Namun teriakan dan bentakan Kim serta jeritan dan tangisan Clarissa membuatku cemas dan panik. "Dev, apa Kim pernah menyakiti Clarissa?" Devan menghempas napas kasar. "Kim selalu melampiaskan kekesalannya padaku dengan menyakiti Clarissa. Sepertinya dia sengaja memancingku untuk datang padanya." "Astaga! Jadi Kim menjadikan Clarissa sebagai pelampiasan amarahnya?" Air mataku luruh tak berhenti. Dadaku terasa sesak. Rasanya tak terima seorang gadis kecil diperlakukan seperti itu. "Ketika Clarissa bayi, Kim pernah mengalami gonca

  • Air Mata Maduku   Jadi Bunda Clarissa

    "Ayo, Sayang!" Devan menggendong Clarissa. Aku mengikutinya hingga masuk ke dalam mobil. Saat ini Clarissa terbaring di pangkuanku, di kursi belakang. Devan mengemudikan mobilnya. Sementara Figo masih mengikuti kami. "Bunda ... jangan pergi lagi. Aku takut ...! Mommy jahat ... mommy jahat ...hu ... hu ... hu ..." Tangisan Clarissa sungguh menyayat hati. Aku tak tega mendengarnya. "Clarissa, Apa yang mommy lakukan padamu?" "Dev ...!" Aku menggelengkan kepala pada Devan, memberi isyarat untuk tidak membuat Clarissa bertambah sedih. Wajah Devan terlihat emosi. "Sebaiknya kita periksakan dulu Clarissa," saranku pada Devan. Aku tidak melihat tanda-tanda kekerasan pada tubuh Clarissa. Semoga saja tidak ada yang serius. Sepanjang jalan gadis kecil bermata bulat dengan rambut kecoklatan ini terus memelukku. Isak tangisnya sudah mereda. Panasnya pun sudah mulai turun. Mungkin tadi Bi Lilis sempat memberinya obat penurun panas. Mobil Devan berhenti di depan sebuah rumah sakit. Tepatnya

Bab terbaru

  • Air Mata Maduku   Akhir yang Bahagia ( Tamat)

    Siang ini aku dan Clarissa menyusul Devan ke kantor. Karena sore nanti kita akan ke dokter kandungan seperti yang direncanakan kemarin. Sejak menikah dengan Devan, baru kali ini aku datang ke kantor, karena kesibukanku menemani dan mengurus Clarissa. Devan pun tak pernah memintaku untuk datang ke kantor. Katanya, karena di kantor ada Mas Dewa. Sifat pencemburunya masih melekat erat pada suami tampanku itu. Namun kali ini Clarissa tidak sabaran dan minta menyusul Daddynya ke kantor "Bundaaa, Daddy lamaa! kita susul aja yuk!' "Ini masih siang, Sayang!" "Tapi aku maunya sekarang. Daddy itu kalau ditungguin suka lamaa, Bundaaa. Kita susul aja, ya? Boleh, ya?" Akhirnya aku mengangguk dan menyetujui permintaan Clarissa. Tanpa sepengetahuan Devan, Aku dan Clarissa sudah tiba di lobby kantor. Menurut sekretaris Devan, suamiku itu hari ini ada di kantor seharian, tidak ada pertemuan di luar. Clarissa menggandengku dengan manja. Langkah gadis kecilku ini sangat ceria. Sesekali dia melom

  • Air Mata Maduku   Ternyata Clarissa

    "Bundaaa, Aku mau boboknya sama Bunda ..!" lagi-lagi Clarissa merajuk. Belakangan ini Clarissa menjadi lebih manja dan selalu mencari perhatian. "Loh, Clarissa kan sudah besar dan sudah sekolah. Harus berani tidur sendiri. Bunda temenin aja di kamar sampai Clarissa nyenyak, ya!" bujukku. "Clarissa mau bobok sendiri kalau sudah jadi kakak. Kapan dong Bunda kasih aku adik bayi?" Astaga! Adik Bayi? Tiba-tiba saja aku ingat sesuatu. Sudah dua bulan ini aku tidak datang bulan. Mungkinkah ...? Sejak menikah lagi, baru kali ini aku telat datang bulan. Sebaiknya besok pagi aku periksakan diri. "Ya sudah, malam ini Bunda temenin bobok di sini." "Asiiik. I love you, Bunda." Clarissa menciumi wajahku. Mungkin karena sudah sangat mengantuk, beberapa menit kemudian Clarissa sudah pulas. Mataku beralih pada pintu kamar yang terbuka perlahan. Seorang pria tampan dengan jambang lebatnya berdiri dan tersenyum diambang pintu. Aku meletakkan jari telunjuk pada bibirku untuk memberi tanda ag

  • Air Mata Maduku   Tugas dari Clarissa

    Karpet merah nan panjang telah terbentang di sepanjang jalan memasuki pintu utama ballroom hotel. Aku dan Devan bagaikan raja dan ratu turun dari mobil, langsung melangkahkan kaki disepanjang karpet merah hingga mencapai pelaminan. Alunan musik yang indah mengiringi setiap langkah kami. Aku dan Devan saling bergandengan, saling melempar senyum dan berbicara seperlunya. Para tamu berdiri di sepanjang tepi karpet merah menyambut kedatangan kami. Aku dan Devan telah tiba di atas pelaminan yang sangat megah ini. Hiasan bunga-bunga indah serta batu swarovsky membuat indahnya pelaminan ini bagaikan singgasana para raja-raja. Setelah MC membuka acara resepsi ini, para tamu mulai menghampiri kami untuk memberikan ucapan selamat. Tamu Devan dan Papa sebagian besar dari golongan atas. Para karyawan papa yang sebagian besar adalah teman sekantorku dulu menjerit histeris saat mengetahui pengantin wanitanya adalah diriku. "Zahra ... kita nggak nyangka lo bakal jadi menantunya konglomerat. "

  • Air Mata Maduku   SAH

    "Zahra, kamu jangan bolak balik begitu! Nanti pakaianmu kusut! Pengantin kok kaya setrikaan mondar mandir?" Mama Andine, istri Pak Lucas, mamanya Devan, alias calon mertuaku, menegurku untuk yang kesekian kalinya. "Mamaaaa, aku deg-degan. Gimana doong?" pekikku tertahan, menahan mulas, sesekali rasanya ingin buang air kecil, jantung berdetak tak beraturan. Sepertinya saat ini aku merasakan kecemasan tingkat tinggi. "Ya udah sini duduk dekat Mama." Mama meraih lenganku dan membawaku duduk disampingnya. Saat ini kami berdua berada di salah satu kamar di rumah mama. Kamar yang tadinya dijadikan sebagai kamar tamu, tapi khusus di hari spesial ini dijadikan sebagai kamar untuk meriasku. Pagi ini aku akan menjalani akad nikah. Walaupun ini adalah yang kedua kalinya untukku, namun rasanya sangat berbeda. Aku begitu khawatir dan cemas. Belum lega rasanya jika ucapan ijab kabul dari Devan belum terdengar. Mama mengusap lembut punggungku. Wanita itu memilih menemaniku dalam kamar dari pad

  • Air Mata Maduku   Panggil Aku Mama

    Aku menangis bahagia. Karena hingga detik ini masih bisa memeluk Clarissa seperti ini. Namun pasti Clarissa lebih hancur, karena Kim-ibu kandung Clarissa telah pergi untuk selamanya. Clarissa merenggangkan pelukan. Jari mungil itu menghapus air mata yang mengalir deras di mataku. "Bunda jangan nangis ...!" lirihnya pelan. Aku yang tadi membungkuk, kini berjongkok mensejajarkan tubuhku dengan Clarissa. Aku kembali memeluk erat tubuh gadis itu. "Maafin, Bunda ... Bunda nggak bisa selamatin Mommy Kim. Maafin Bunda, Sayang ...!" Aku semakin tergugu dan merasa bersalah. Clarissa kembali melepaskan pelukanku. Gadis itu kembali mengulurkan tangannya untuk menghapus air mataku. "Bunda nggak salah. Mommy Kim jahat. Mommy Kim udah sakitin Aku!" "Tidak, tidak! Jangan bicara seperti itu Sayang. Mommy sangat sayang sama Clarissa. Mommy tidak mau kehilangan Clarissa. Sekarang Mommy sudah tenang di sana. Kita doakan Mommy ya, Sayang!" Aku membingkai wajah mungil bermata coklat itu dengan ke

  • Air Mata Maduku   Cuma Karyawan Biasa

    Aku masih tergugu di hadapan pria yang telah mengorbankan jiwanya untukku. Pria yang tak peduli jika nyawanya akan hilang, demi menolongku. Pria yang tak pernah berpikir panjang jika menyangkut hal tentang diriku. Pria yang selama ini aku anggap lebay, bucin dan pencemburu, kini aku tau alasannya kenapa pria tampan ini seperti itu. Alasan yang justru membuatku tak sanggup untuk meninggalkannya saat ini. Kenapa dada ini begitu nyeri ketika melihatmya tak berdaya? Kenapa rasanya begitu sakit melihatnya terbaring dengan selang infusan di tangannya. Kenapa bukan aku saja yang berada di atas brankar itu? Kenapa harus Dia? Oh Astaga! Kenapa aku jadi berpikir seperti ini? Kenapa aku seperti tak rela jika dia terluka? Apakah aku sudah jatuh cinta pada pria ini? "Sudah dong, jangan nangis terus, Aku nggak apa-apa." Suara bariton itu membuyarkan lamunanku. Devan meraih jemariku yang sejak tadi tak henti-hentinya mengusap lembut kepala pria tampan itu. Entah mengapa Aku sangat merasa bersala

  • Air Mata Maduku   Demi Cinta

    POV IvanMobilku melambat saat melihat keramaian di depan sana. Jalanan penuh oleh orang-orang yang ingin melihat sesuatu di sungai itu Aku menepikan mobilku dan membuka kaca. "Maaf, Bu. Ada apa rame-rame di sana?" "Ada mobil jatuh ke sungai, Pak! Katanya sih yang bawa perempuan!" Ya Tuhan. Jantungku langsung berdetak cepat setelah mendengar berita dari ibu-ibu itu. Jangan-jangan ... Astaga! Bukankah itu mobil Devan? Aku segera turun dan berlari menghampiri Devan. "Dev ... Devan!" Devan tak mempedulikan panggilanku. Aku tersentak saat melihatnya hendak bersiap-siap turun ke sungai. "Stop, Dev! Mau apa kamu?" "Zahra di bawah sana. Mana mungkin aku hanya diam!" geram Devan melotot padaku. Mataku membelalak melihat mobil Kim yang saat ini sudah terjun hingga berada disungai. "Jangan nekad, Pak. Sangat berbahaya! Kita tunggu bantuan!" Beberapa warga mencoba mencegah Devan. Namun kakakku itu tidak menghiraukan. Devan melepaskan jasnya, kemudian tanpa ragu kakakku itu melompat

  • Air Mata Maduku   Diculik

    Pov Ivan Cahaya yang menyilaukan mata menembus jendela kaca besar yang berada di kamarku ini. Aku menghempas napas kasar memandang tirai jendela yang terbuka lebar sejak semalam. Ternyata sudah siang. Aku melirik arloji yang menempel ditanganku. Sepertinya masih ada waktu untuk bersiap-siap ke kantor. Rasa nyeri di sekujur tubuhku sudah mulai berkurang. Perlahan aku bangkit menuju kamar mandi. Setelah membersihkan diri dan berpakaian, Aku melangkah keluar dari kamar. Sepiring nasi goreng dan segelas jus buah tersaji di atas meja makan. Siapa yang memasak? Mungkin pelayan Devan yang mengantarnya ke sini. Kebetulan, Aku memang sangat lapar. Sambil menikmati nasi goreng sosis ini, kubuka ponselku. Memeriksa pesan dan email yang masuk. Sebuah senyum terbit dibibirku saat membaca pesan dari Zahra. [ Makan yang banyak, semoga nasi goreng buatanku mampu menyembuhkan lukamu] Ternyata Zahra yang masak. Pantas rasanya sangat enak. Kunikmati setiap suapan yang masuk ke mulutku. Hatiku berd

  • Air Mata Maduku   Ancaman Kim

    "Astaga, Kim! Untuk apa dia menemuiku? "Zahra, Aku hanya ingin bicara sebentar!" Aku mendengar teriakan Kim dari balik pintu ini. "Kamu mau bicara apa ?" Karena penasaran, aku memutuskan untuk keluar dan menghampiri mantan istri Devan itu. "Jika kamu takut aku macan-macam, bagaimana jika kita bicara di cafe bawah saja?" ajak Kim. Aku berpikir sejenak. Kalau aku tidak mengikuti kemauan Kim. Wanita itu pasti akan terus berusaha. Aku khawatir dia akan nekad nantinya. Mungkim sebaiknya aku ikuti saja dulu kemauannya.. "Oke. Sebentar aku ambil tas dulu!" sahutku membuat para penjaga melotot "Bu Zahra! Tuan Devan melarang ibu untuk keluar." Salah seorang penjaga mengingatkanku "Saya hanya ke cafe bawah, Pak. aku khawatir Kim akan nekad jika aku tak mengikuti kemauannya." Penjaga itu tak lagi membantahku. Setelah meraih tas dan ponselku di meja tamu, aku segera kembali keluar dan menghampiri wanita cantik itu. "Ayo!" ajakku pada Kim yang kemudian melangkah bersisian denganku. Tubu

DMCA.com Protection Status