"Zahra ..., malam ini Aku dan Clarissa memohon padamu. Bersediakan Kamu menikah denganku dan menjadi Bunda untuk Clarissa?" Ya Tuhan ... Devan melamarku? Aku harus jawab apa?Sesaat aku terdiam, terpana, terpaku dan mematung. Tak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Apa Devan serius dengan pertanyaannya barusan? Rasanya seperti mimpi. Devan memandangku lekat dengan tatapan yang begitu dalam. Sebuah pengharapan yang begitu besar tersirat di sana. Bagaimana ini? Apa aku harus jawab sekarang? "Bundaa ... aku mau peluk!" Tiba-tiba Clarissa bangkit, kemudian duduk dan memelukku erat. Aroma shampo bayi menguar menyegarkan dari rambut gadis cantik ini. Aku mencium Clarissa penuh kasih sayang. Aku memang belum pernah punya anak. Namun kenapa sejak bertemu gadis kecil ini, aku merasa sangat dihargai dan dibutuhkan. Sebuah rasa yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Begitu indah dan hangat. Kami berpelukan cukup lama hingga gurauan dari Devan membuat Clarissa kembali ceria. "C
"Terima kasih, sudah sayang sama anakku." Aku membalas ucapannya dengan senyuman. "Terima kasih sudah sayang sama aku juga," lanjutnya lagi. "Dih! Ge-er!" ketusku seraya membuang pandangan ke jendela dan menyembunyikan senyumku. Devan terkekeh. Tak terasa perjalanan yang cukup jauh terasa sangat singkat. Mobil Devan memasuki area parkir apartemen mewah ini. Setelah turun dari mobil, Devan mengambil alih Clarissa dan menggendongnya sampai ke unit. Clarissa terus terlelap hingga Devan membaringkannya ke tempat tidur. Aku menggunakan kesempatan itu untuk membersihkan diri di kamar Clarissa. "Nona, ditunggu Tuan untuk makan malam." Seorang pelayan memanggilku setelah aku selesai mandi. "Baik. terima kasih. Aku segera ke sana." Aku melangkah menuju ruang makan. Devan yang sedang duduk di salah satu kursi meja makan berbentuk bundar itu, memandangku tak berkedip. Saat ini aku hanya menggunakan home dress stelan celana panjang dengan rambut digelung ke atas. "Kamu selalu tampil mem
Mataku membelalak saat melihat siapa wanita yang ada di foto itu. Aku memperhatikan foto itu satu per satu. Kenapa begitu banyak foto diriku di sini? Kenapa Ivan menyimpan dan memajang fotoku di kamarnya? Mungkinkah ... Tidak! Tidak mungkin! Aku meraih sebuah foto di atas nakas. Itu adalah fotoku berdua dengan Ivan dulu. Aku lupa kapan dan di mana foto itu dibuat. Yang pasti foto itu adalah saat kami masih sekantor di tempat kerjaku yang lama. Mataku membulat saat membaca samar sebuah tulisan di sudut bawah kiri foto itu 'I Love You, Rara.' Rara, satu-satunya orang yang dulu memanggilku Rara memang Ivan. Seketika aku senyum-senyum mengingat kedekatan kami dulu. Ivan sering menghiburku jika Pak Lucas memarahiku karena aku belum mencapai target. Belakangan aku tahu bahwa Pak Lucas adalah Ayah kandung Ivan. Aku terkikik dalam hati. Pandai sekali pria itu menyimpan rahasia itu sekian lama dari semua karyawan. Aku kembali menyisir pandangan ke seluruh ruangan kamar ini. Rasanya ta
Kali ini aku tak sanggup membalas tatapan matanya. Ada rasa aneh tiba-tiba muncul yang kurasakan. Ivan sahabat dekatku, dan kini aku tahu bagaimana perasaannya padaku. Sepertinya aku tidak yakin hubungan pertemananku dengannya akan tetap seperti sebelum-sebelumnya. "Bagaimana perasaanmu setelah mengetahuinya, Ra?" Tuh kan. "Biasa aja, tuh!" Aku berusaha tetap bersikap seperti biasa. Ivan melotot tak percaya mendengar jawabanku. "Serius kamu biasa aja? Memangnya nggak kaget?" "Aku serius, Ivan. Udah ah! Aku mau pulang aja. Kalau aku tidur di sini. Sama aja dong. Satu atap tapi belum menikah." Aku bangkit dari sofa yang super nyaman dan empuk milik Ivan. "Eh ...,eh ....jangan! Biar aku aja yang pergi. Aku cuma sebentar." "Oke! Aku tau kamu pasti bakalan ngalah sama aku. Lagian Aku mana berani pulang malam-malam gini." Aku kembali mendudukkan tubuhku di atas sofa seraya tersenyum pada Ivan. Sejujurnya sejak mengetahui perasaan Ivan padaku tadi, Aku merasa sedikit gugup. Ada ra
BUGGH! BUGGH! "Ivaaan!" Aku menjerit ketika melihat Devan melayangkan pukulan bertubi-tubi ke wajah Ivan. Tanpa ampun Devan menghajar wajah dan tubuh Ivan hingga adiknya itu terjatuh ke lantai dan tak sadarkan diri. "Devaaan! Sudaah!" Hatiku semakin cemas melihat darah yang mengalir dari sudut bibir Ivan. Devan tak menghiraukan teriakanku. Aku terus menjerit sambil menarik tubuh Devan yang seperti orang kesetanan. Namun tenagaku tidak ada apa-apanya. "Devaan, kamu mau adik kamu mati? Bunuh aku aja! Ivan nggak salah! Aku yang memeluknya tadi." Devan sontak menghentikan aksinya dan menoleh padaku. Sorot matanya tajam menatapku dengan raut penuh kekecewaan. Napasnya masih memburu menahan emosi. "Kamu membelanya!" geram Devan dengan tatapan menghunus tepat pada manik mataku. "Aku nggak mau kamu jadi pembunuh," tegasku seraya membalas tatapannya. "Aku kecewa sama kamu, Zahra!" Devan berkata penuh penekanan, kemudian melangkah pergi meninggalkan kami. Aku menatap punggung tegap
"Kamu bukan laki-laki sembarangan, Van. Sejak dulu kamu itu terlalu istimewa buat aku. Kamu sahabat paling spesial untukku." "Lebay kamu! Aku jadi ge-er, nih. Hehehe ... Aaww ...!" Ivan terkekeh kemudian menjerit karena merasakan nyeri diwajahnya. "Jangan banyak bicara dulu, Van.!" Ivan mengusap-usap luka lebamnya. "Lalu kenapa tadi kamu nggak melawan saat di pukuli Devan?" tanyaku lagi. "Aku tau Devan. Kami dari kecil hidup bersama. Jika diantara kami ada yang saling melawan. Pertengkaran ini tidak akan berakhir." Tiba-tiba aku ingat saat Ivan memukuli Devan di kantor waktu itu. Devan sama sekali tidak melawan. Aku tenang sekarang. Mereka hanyalah emosi sesaat. "Ya. Aku paham sekarang." Aku tersenyum pada Ivan. "Kamu nggak usah pulang Tidur di sini aja. Aku mau ke unitnya Devan lihat Clarissa. Nggak apa-apa kan aku tinggal?" "Pergilah! Aku nggak apa-apa!" sahut Ivan yang masih terlihat lemas. "Yuk, Aku antar ke kamar!" Ivan menurut, perlahan aku membantunya untuk bangkit
"Zahra ..., maafkan Aku, maafkan aku ...!" Devan menangkup kedua pipiku, matanya menatapku dalam hingga kami saling mengunci pandangan. "Ya, Aku nggak apa-apa. Tapi tolong, jangan pernah kamu ulangi lagi!" lirihku. Devan mengangguk. "Aku terlalu mencintaimu, Sayang!" Parau suara Devan. Matanya berkaca-kaca. "Dev, jangan pernah mencintai seseorang melebihi apapun. Karena jika nanti kamu kehilangan dia, kamu akan hancur!" tuturku setengah berbisik. Devan meraih tubuhku dan medekapku erat. Ciuman bertubi-tubi mendarat di kepalaku. Tubuh mungilku seakan tenggelam pada raga kokoh milik pria bertubuh tinggi besar ini. Aroma maskulin khas Devan menguar hingga melemahkan seluruh syaraf di tubuhku. "Aku nggak sanggup kehilangan kamu. Secepatnya akan aku urus pernikahan kita," bisiknya hangat di telingaku. . Aku merenggangkan pelukan. "Kamu serius, Dev?" Mataku melebar, mendongakkan kepala menatap dagunya yang banyak ditumbuhi rambut-rambut yang mulai melebat. Devan mengangguk. Bagai
"Astaga, Kim! Untuk apa dia menemuiku? "Zahra, Aku hanya ingin bicara sebentar!" Aku mendengar teriakan Kim dari balik pintu ini. "Kamu mau bicara apa ?" Karena penasaran, aku memutuskan untuk keluar dan menghampiri mantan istri Devan itu. "Jika kamu takut aku macan-macam, bagaimana jika kita bicara di cafe bawah saja?" ajak Kim. Aku berpikir sejenak. Kalau aku tidak mengikuti kemauan Kim. Wanita itu pasti akan terus berusaha. Aku khawatir dia akan nekad nantinya. Mungkim sebaiknya aku ikuti saja dulu kemauannya.. "Oke. Sebentar aku ambil tas dulu!" sahutku membuat para penjaga melotot "Bu Zahra! Tuan Devan melarang ibu untuk keluar." Salah seorang penjaga mengingatkanku "Saya hanya ke cafe bawah, Pak. aku khawatir Kim akan nekad jika aku tak mengikuti kemauannya." Penjaga itu tak lagi membantahku. Setelah meraih tas dan ponselku di meja tamu, aku segera kembali keluar dan menghampiri wanita cantik itu. "Ayo!" ajakku pada Kim yang kemudian melangkah bersisian denganku. Tubu
Siang ini aku dan Clarissa menyusul Devan ke kantor. Karena sore nanti kita akan ke dokter kandungan seperti yang direncanakan kemarin. Sejak menikah dengan Devan, baru kali ini aku datang ke kantor, karena kesibukanku menemani dan mengurus Clarissa. Devan pun tak pernah memintaku untuk datang ke kantor. Katanya, karena di kantor ada Mas Dewa. Sifat pencemburunya masih melekat erat pada suami tampanku itu. Namun kali ini Clarissa tidak sabaran dan minta menyusul Daddynya ke kantor "Bundaaa, Daddy lamaa! kita susul aja yuk!' "Ini masih siang, Sayang!" "Tapi aku maunya sekarang. Daddy itu kalau ditungguin suka lamaa, Bundaaa. Kita susul aja, ya? Boleh, ya?" Akhirnya aku mengangguk dan menyetujui permintaan Clarissa. Tanpa sepengetahuan Devan, Aku dan Clarissa sudah tiba di lobby kantor. Menurut sekretaris Devan, suamiku itu hari ini ada di kantor seharian, tidak ada pertemuan di luar. Clarissa menggandengku dengan manja. Langkah gadis kecilku ini sangat ceria. Sesekali dia melom
"Bundaaa, Aku mau boboknya sama Bunda ..!" lagi-lagi Clarissa merajuk. Belakangan ini Clarissa menjadi lebih manja dan selalu mencari perhatian. "Loh, Clarissa kan sudah besar dan sudah sekolah. Harus berani tidur sendiri. Bunda temenin aja di kamar sampai Clarissa nyenyak, ya!" bujukku. "Clarissa mau bobok sendiri kalau sudah jadi kakak. Kapan dong Bunda kasih aku adik bayi?" Astaga! Adik Bayi? Tiba-tiba saja aku ingat sesuatu. Sudah dua bulan ini aku tidak datang bulan. Mungkinkah ...? Sejak menikah lagi, baru kali ini aku telat datang bulan. Sebaiknya besok pagi aku periksakan diri. "Ya sudah, malam ini Bunda temenin bobok di sini." "Asiiik. I love you, Bunda." Clarissa menciumi wajahku. Mungkin karena sudah sangat mengantuk, beberapa menit kemudian Clarissa sudah pulas. Mataku beralih pada pintu kamar yang terbuka perlahan. Seorang pria tampan dengan jambang lebatnya berdiri dan tersenyum diambang pintu. Aku meletakkan jari telunjuk pada bibirku untuk memberi tanda ag
Karpet merah nan panjang telah terbentang di sepanjang jalan memasuki pintu utama ballroom hotel. Aku dan Devan bagaikan raja dan ratu turun dari mobil, langsung melangkahkan kaki disepanjang karpet merah hingga mencapai pelaminan. Alunan musik yang indah mengiringi setiap langkah kami. Aku dan Devan saling bergandengan, saling melempar senyum dan berbicara seperlunya. Para tamu berdiri di sepanjang tepi karpet merah menyambut kedatangan kami. Aku dan Devan telah tiba di atas pelaminan yang sangat megah ini. Hiasan bunga-bunga indah serta batu swarovsky membuat indahnya pelaminan ini bagaikan singgasana para raja-raja. Setelah MC membuka acara resepsi ini, para tamu mulai menghampiri kami untuk memberikan ucapan selamat. Tamu Devan dan Papa sebagian besar dari golongan atas. Para karyawan papa yang sebagian besar adalah teman sekantorku dulu menjerit histeris saat mengetahui pengantin wanitanya adalah diriku. "Zahra ... kita nggak nyangka lo bakal jadi menantunya konglomerat. "
"Zahra, kamu jangan bolak balik begitu! Nanti pakaianmu kusut! Pengantin kok kaya setrikaan mondar mandir?" Mama Andine, istri Pak Lucas, mamanya Devan, alias calon mertuaku, menegurku untuk yang kesekian kalinya. "Mamaaaa, aku deg-degan. Gimana doong?" pekikku tertahan, menahan mulas, sesekali rasanya ingin buang air kecil, jantung berdetak tak beraturan. Sepertinya saat ini aku merasakan kecemasan tingkat tinggi. "Ya udah sini duduk dekat Mama." Mama meraih lenganku dan membawaku duduk disampingnya. Saat ini kami berdua berada di salah satu kamar di rumah mama. Kamar yang tadinya dijadikan sebagai kamar tamu, tapi khusus di hari spesial ini dijadikan sebagai kamar untuk meriasku. Pagi ini aku akan menjalani akad nikah. Walaupun ini adalah yang kedua kalinya untukku, namun rasanya sangat berbeda. Aku begitu khawatir dan cemas. Belum lega rasanya jika ucapan ijab kabul dari Devan belum terdengar. Mama mengusap lembut punggungku. Wanita itu memilih menemaniku dalam kamar dari pad
Aku menangis bahagia. Karena hingga detik ini masih bisa memeluk Clarissa seperti ini. Namun pasti Clarissa lebih hancur, karena Kim-ibu kandung Clarissa telah pergi untuk selamanya. Clarissa merenggangkan pelukan. Jari mungil itu menghapus air mata yang mengalir deras di mataku. "Bunda jangan nangis ...!" lirihnya pelan. Aku yang tadi membungkuk, kini berjongkok mensejajarkan tubuhku dengan Clarissa. Aku kembali memeluk erat tubuh gadis itu. "Maafin, Bunda ... Bunda nggak bisa selamatin Mommy Kim. Maafin Bunda, Sayang ...!" Aku semakin tergugu dan merasa bersalah. Clarissa kembali melepaskan pelukanku. Gadis itu kembali mengulurkan tangannya untuk menghapus air mataku. "Bunda nggak salah. Mommy Kim jahat. Mommy Kim udah sakitin Aku!" "Tidak, tidak! Jangan bicara seperti itu Sayang. Mommy sangat sayang sama Clarissa. Mommy tidak mau kehilangan Clarissa. Sekarang Mommy sudah tenang di sana. Kita doakan Mommy ya, Sayang!" Aku membingkai wajah mungil bermata coklat itu dengan ke
Aku masih tergugu di hadapan pria yang telah mengorbankan jiwanya untukku. Pria yang tak peduli jika nyawanya akan hilang, demi menolongku. Pria yang tak pernah berpikir panjang jika menyangkut hal tentang diriku. Pria yang selama ini aku anggap lebay, bucin dan pencemburu, kini aku tau alasannya kenapa pria tampan ini seperti itu. Alasan yang justru membuatku tak sanggup untuk meninggalkannya saat ini. Kenapa dada ini begitu nyeri ketika melihatmya tak berdaya? Kenapa rasanya begitu sakit melihatnya terbaring dengan selang infusan di tangannya. Kenapa bukan aku saja yang berada di atas brankar itu? Kenapa harus Dia? Oh Astaga! Kenapa aku jadi berpikir seperti ini? Kenapa aku seperti tak rela jika dia terluka? Apakah aku sudah jatuh cinta pada pria ini? "Sudah dong, jangan nangis terus, Aku nggak apa-apa." Suara bariton itu membuyarkan lamunanku. Devan meraih jemariku yang sejak tadi tak henti-hentinya mengusap lembut kepala pria tampan itu. Entah mengapa Aku sangat merasa bersala
POV IvanMobilku melambat saat melihat keramaian di depan sana. Jalanan penuh oleh orang-orang yang ingin melihat sesuatu di sungai itu Aku menepikan mobilku dan membuka kaca. "Maaf, Bu. Ada apa rame-rame di sana?" "Ada mobil jatuh ke sungai, Pak! Katanya sih yang bawa perempuan!" Ya Tuhan. Jantungku langsung berdetak cepat setelah mendengar berita dari ibu-ibu itu. Jangan-jangan ... Astaga! Bukankah itu mobil Devan? Aku segera turun dan berlari menghampiri Devan. "Dev ... Devan!" Devan tak mempedulikan panggilanku. Aku tersentak saat melihatnya hendak bersiap-siap turun ke sungai. "Stop, Dev! Mau apa kamu?" "Zahra di bawah sana. Mana mungkin aku hanya diam!" geram Devan melotot padaku. Mataku membelalak melihat mobil Kim yang saat ini sudah terjun hingga berada disungai. "Jangan nekad, Pak. Sangat berbahaya! Kita tunggu bantuan!" Beberapa warga mencoba mencegah Devan. Namun kakakku itu tidak menghiraukan. Devan melepaskan jasnya, kemudian tanpa ragu kakakku itu melompat
Pov Ivan Cahaya yang menyilaukan mata menembus jendela kaca besar yang berada di kamarku ini. Aku menghempas napas kasar memandang tirai jendela yang terbuka lebar sejak semalam. Ternyata sudah siang. Aku melirik arloji yang menempel ditanganku. Sepertinya masih ada waktu untuk bersiap-siap ke kantor. Rasa nyeri di sekujur tubuhku sudah mulai berkurang. Perlahan aku bangkit menuju kamar mandi. Setelah membersihkan diri dan berpakaian, Aku melangkah keluar dari kamar. Sepiring nasi goreng dan segelas jus buah tersaji di atas meja makan. Siapa yang memasak? Mungkin pelayan Devan yang mengantarnya ke sini. Kebetulan, Aku memang sangat lapar. Sambil menikmati nasi goreng sosis ini, kubuka ponselku. Memeriksa pesan dan email yang masuk. Sebuah senyum terbit dibibirku saat membaca pesan dari Zahra. [ Makan yang banyak, semoga nasi goreng buatanku mampu menyembuhkan lukamu] Ternyata Zahra yang masak. Pantas rasanya sangat enak. Kunikmati setiap suapan yang masuk ke mulutku. Hatiku berd
"Astaga, Kim! Untuk apa dia menemuiku? "Zahra, Aku hanya ingin bicara sebentar!" Aku mendengar teriakan Kim dari balik pintu ini. "Kamu mau bicara apa ?" Karena penasaran, aku memutuskan untuk keluar dan menghampiri mantan istri Devan itu. "Jika kamu takut aku macan-macam, bagaimana jika kita bicara di cafe bawah saja?" ajak Kim. Aku berpikir sejenak. Kalau aku tidak mengikuti kemauan Kim. Wanita itu pasti akan terus berusaha. Aku khawatir dia akan nekad nantinya. Mungkim sebaiknya aku ikuti saja dulu kemauannya.. "Oke. Sebentar aku ambil tas dulu!" sahutku membuat para penjaga melotot "Bu Zahra! Tuan Devan melarang ibu untuk keluar." Salah seorang penjaga mengingatkanku "Saya hanya ke cafe bawah, Pak. aku khawatir Kim akan nekad jika aku tak mengikuti kemauannya." Penjaga itu tak lagi membantahku. Setelah meraih tas dan ponselku di meja tamu, aku segera kembali keluar dan menghampiri wanita cantik itu. "Ayo!" ajakku pada Kim yang kemudian melangkah bersisian denganku. Tubu