Deru mobil Arfaaz di penghujung senja entah mengapa bukan menjadi hal yang membuat candu lagi di telinga Arindi. Jika dulu suara itu yang selalu ia nantikan di temaram sore, lalu menyambut suaminya dengan hangat, kini semua terasa berbeda.
Tetapi tidak dengan Keenandra, seperti biasa ia selalu menyambut hangat sang papa."Duh, anak Papa.” Arfaaz langsung menggendong sang putra."Mama mana?" tanyanya. "Di kamar."Hati Arfaaz mendadak tidak enak. Sepertinya Arindi memang tengah tidak baik-baik saja. "Keenan mainan dulu, ya. Papa mau ganti baju dulu," ucapnya sembari menurunkan sang putra.Beruntungnya Keenan bukan anak yang manja. Ia selalu menurut apa kata orangtuanya. Arfaaz menaiki tangga menuju kamar utama. Kamar yang menjadi istananya dan Arindi. Ia sengaja menempelkan telinga di pintu. Apakah saat ini Arindi tengah menangis bergelimangan air mata? Namun yang ia dengar justru musik hip hop yang diputar begitu kencang.‘Apakah ini cara Arindi mengobati lukanya?’"Rind," sapa Arfaaz yang membuka gagang pintu. Ia melihat Rindi tengah asyik dengan ponsel di tanganya sembari kepalanya menikmati alunan musik itu. "Bisa kamu kecilkan suara musik itu?" tegur Arfaaz dengan lembut. Arindi menuruti permintaanya. "Setelah ini kamu bersiap siap, ya. Ikut aku.""Ke mana?""Kita jalan jalan. Sudah lama kan kita tidak keluar bersama?""Bukankah kamu sibuk dengan persiapan pernikahan keduamu?""Sesibuk apapun aku, aku berusaha untuk tidak melupakanmu dan juga Keenandra.""Oh iya?"Wajah Arfaaz langsung berubah. Seperti ia tengah mengiba."Rind, tolong jangan membuat aku semakin merasa bersalah," pinta Arfaaz. "Bersalah? Jadi kamu menganggap ini sebuah kesalahan? Lantas kenapa diteruskan? Itu artinya ini adalah kesalahan yang kamu benarkan."Arfaz menarik rambutnya dengan kasar. "Rind, aku tau kamu wanita cerdas tapi tolong jangan membuat suamimu justru tertekan. Seorang istri adalah rumah untuk suaminya. Arindi yang aku kenal adalah wanita cerdas tetapi selalu melibatkan hati dan logika dalam berbicara dan mengambil keputusan agar tak melukai hati orang lain. Jangan kamu buat aku merindukan sosok Arindi yang dulu."'Kamu yang berhasil mengubahnya, Mas. Kamu yang menorehkan luka yang berujung perih saat ini. Aku pun sama. Merindukan sosok Arfaaz yang penyayang dulu. Yang bahkan aku tak menyangka makhluk sepertimu bisa terfikirkan untuk poligami, Mas, ' gumam Arindi dalam hati."Tunggu aku. Setengah jam lagi aku akan turun," ucap Arindi masih dengan nada suara yang dingin. Meskipun begitu, ada rasa lega dalam hati Arfaaz ketika sang istri yang ia kira tengah terluka hatinya mau menerima ajakanya.Arindi tepat janji. Di menit ke tiga puluh setelah itu, ia telah menuruni tangga dengan Keenandra yang terlihat riang sekali. Arindi masih dengan penampilan sederhananya. Legging hitam dengan tunik yang dipadukan dengan jilbab pasminanya. Tidak seperti wanita lain yang hedon dengan jejeran perhiasan di tanganya, Arindi hanya memakai cincin nikah. Itu saja. Padahal jika ditanya jumlah perhiasan, semua orang yang mengenalnya yakin, kekayaanya bukan kaleng-kaleng semata. Mobil yang dulu hangat dengan segala obrolan antar mereka, kini tampak sepi dan sunyi. Arindi hanya berbicara seperlunya saja.Siapa sangka justru mobil berhenti di sebuah butik yang memamerkan gaun pengantin di bagian kaca depan."Kalau untuk ke sini, kenapa harus mengajak aku, Mas?" tanya Arindi yang masih mencoba tenang. Walaupun sebenarnya emosi di dada saat ini tengah membuncah. "Aku ingin lewat tanganmu sendirilah yang memilihkan gaun dan busana untuk pernikahan kami, Rind. Sebagai tanda restumu.""Maukah kamu menjadi istriku?" tanya seorang pria yang bersimpuh di hadapanya dengan sebuah cincin berkilau emas di kotak bentuk love itu.Naina tersenyum kecil. Ini bukan kali pertama ia diperlakukakan begitu spesial oleh seorang laki-laki. Dari perjaka sampai suami orang sekalipun pernah memperlakukan dia begitu istimewa seperti ini.Tidak heran. Walaupun hanya staff biasa, Naina mempunyai wajah yang cantik campuran Indo-Turki. Berkulit putih bersih. Tentu tidak lepas dari perawatan mahal yang ia lakukan. Tubuhnya juga proposional. Kalau kata orang seperti gitar spanyol. Namun entah mengapa, seorang laki-laki yang bersimpuh di hadapanya kini terlihat berbeda. Ia masih muda, tampan dan tentu saja mapan. Seantero penjuru mungkin mengenal pria ini. Kekayaanya masuk dalam jajaran orang terkaya di negeri ini.Naina pun tau siapa dan latar belakang pria ini. Arfaaz Khairul Hartanto. Salah satu crazy rich di negara ini. "Tetapi istrimu?" tanya Naina masih dengan santai.Ya, Naina tahu
Tangan Arindi tampak membolak-balik gaun yang menjuntai hingga lantai dengan pernak pernik payet yang terlihat gemerlap. Mewah dan glamour. Arfaaz pun memuji pilihan Arindi. Seleranya sama. Mengagumi gaun itu dalam hati. "Dia dari kalangan apa?" tanya Arindi tiba tiba. "Maksudmu?""Hem latar belakangmya bagaimana? Mungkin dia seorang priyayi, seorang konglomerat sepertimu atau wanita berkelas yang memiliki jabatan tinggi di tempat kerja. Atau mungkin lebih dari itu?" tanya Arindi lagi. Arfaaz menunduk sesaat. "Dia dari kalangan biasa saja Rind. Perkerjaan terakhirnya juga hanya staff biasa.""Oh, biasa saja," kata Arindi dengan netra yang sedikit pun tidak menoleh ke arah Arfaaz."Mencari yang kedua seharusnya lebih dari yang pertama, Mas. Agar dia tidak insecure," bisik lirih Arindi di telinga sang suami lalu melangkahkan kaki lagi. "Tapi dia can…" jawab Arfaaz tetapi ia tidak melanjutkan kalimatnya itu. Arindi menoleh dengan tawa kecilnya."Karena dia cantik begitu Mas? Ya m
Menjelang acara pernikahanya, hanya rasa kebimbangan yang seolah terus bersemayam di hati Arfaaz. Bagaimana sang istri dan Naina nanti? Apakah mereka bisa hidup rukun? Namun waktu tetap berjalan sebagaimana mestinya. Pagi ini deru mobil Arfaaz mulai terdengar dipanasi. Ada hiasan bunga di atasnya. Arfaaz tampak bersiap siap pergi ke gedung tempat pernikahanya dilangsungkan. "Rind, kamu tidak siap-siap?" tanya Arfaaz ketika melihat Arindi masih santai dengan laptopnya. "Kemana?" tanyanya santai. "Rind, tolong jangan buat aku marah,""Siapa yang membuatmu marah? Ini acaramu sementara aku tidak melarang dan tetap mencoba kuat. Jadi, ini kesalahanku begitu?"Ah, Arfaaz selalu kehilangan kata-kata di depan Arindi. Sosok yang tidak pernah meninggikan suara dihadapanya kini benar benar menjadi sosok berbeda."Kamu tidak datangkah, Rind?" tanya Arfaaz dengan nada lembut. Arindi sejenak menghela nafas pelan. "Untuk apa? Untuk dipameri kemesraan kalian di atas pelaminan?""Lalu kena
"Mama bohong," teriak Keenandra di suatu pagi.Tubuh kecil anak itu berlari-lari menjauhi pintu utama. Arindi yang tengah memasak di dapur, terkesiap kaget dengan teriakan sang putra. Bergegas ia menghampiri. Walau masih dengan celemek melekat di tubuh."Mama bilang Papa pulang akan membawakan Arfaaz oleh-oleh tetapi nyatanya Papa membawa Tante itu sebagai oleh-oleh," ucap Arfaaz dengan cemberut. Arindi menatap arah tangan telunjuk Keenan. Naina sudah berdiri di depan pintu dengan satu koper di tanganya. Netranya nyalang menatap sekitar. Terlebih dengan rumah yang akan ia tempati. Sementara dari belakang, terdengar suara Arfaaz yang tengah menutup pintu mobil. "Nan, kenapa hanya berdiri disitu? Ayo masuk," ajak Arfaaz.Mereka sama-sama masih diam mematung. Terlebih saat menatap Arindi yang seolah menyambut di ruang tamu. "Eh Arindi," sapa Arfaaz dengan senyumnya. Seolah tidak terjadi sesuatu hal yang menyakitkan di antara mereka. Arindi melengos. Arfaaz lalu mendekatinya. "Kena
Tami terkesiap mendengar apa yang dikatakan Arindi. Bukan hanya Tami, namun juga Naina. Namun wanita itu cukup bisa menjaga sikap. Cukup tenang. Karena seperti apapun serangan yang dilakukan Arindi, toh ia dibela mati-matian oleh ibu mertua. "Ku rasa tidak perlu. Bahkan tidak pantas kamu mengatakan itu Rind. Bukan waktu dan tempat yang pas," ucap Arfaaz dengan dingin. Arindi memalingkan wajah dengan kesal. Namun sejenak ia tersenyum kecil."Terkadang aku pun perlu pengakuan dari orang lain, Mas. Aku juga jengah harga diriku di injak-injak. Diremehkan," jawab Arindi dengan berapi-api. Tiba-tiba Tami tertawa sumbang. "Halah ngomongin harga diri segala. Memangnya dirimu yang kotor itu ada harganya?" tanya Tami dengan pedas. Arindi mencoba untuk tetap berdiri dengan tegarnya. Namun apalah dirinya juga manusia yang tentu merasa sakit. Matanya mulai berembun. "Ma," tegur Arfaaz. Kalimat Tami memang dinilai menyakitkan. "Kenapa? Tidak ada yang salah. Aku bisa mengembalikan uang yang
Arindi gusar masuk ke dalam rumah. Ia merasa dirinya sudah tidak aman lagi. Apa jadinya andaikan Arfaaz tau? Herman sang Abdi Negara kembali menemuinya dengan Pangkat Kapolsa bintang dua. Ah andai berpangkat Jendral maupun berpangkat Kapolri sekalipun sejujurnya tidak akan membutnya silau. Hanya ia sangat menyayangkan mengapa ia kembali disaat yang tidak tepat. Disaat ia sudah bersuami. Disaat cintanya sudah terkubur rapat. Apa maksutnya? Dia boleh berdinas di kota ini lagi. Namun untuk menemui Arindi, rasanya tidak etis sekali. "Siapa sih? Berisik banget. Pakai membunyikan suara sirine segala." gerutu Naina yang menuruni anak tangga dengan masih menggunakan baju tidur sembari sesekali masih menguap. Sementara jam dinding sudah menunjukan pukul sembilan pagi. Arindi memiih bungkam dan meneruskan kembali aktifitasnya. "Mbak, sekalian bersihkan kamarku ya. Kotor banget," ucap Naina dengan entengnya."Bagaimana? Apa aku tidak salah mendengar?""Kamu tidak tuli kan Mbak?""Kamu jug
"Aku titip ini, Mas. Tolong berikan untuk Nessa,"ujar Arindi sembari menyerahkan satu bungkus kado kecil. Wajah Arindi tidak bisa berbohong. Ia kecewa dengan keputusan Arfaaz yang hanya mengajak Naina untuk datang. "Kamu harus mengerti. Begitulah yang namanya berbagi," jawab Arfaaz. Naina tertawa sumbang. "Pantas saja tidak diajak oleh Mas Arfaaz. Mau memberi hadiah ke pengantin kok sekecil itu? Mau mempermalukan diri sendiri Mbak?" sindir Naina.Arindi tetap tegar menghadapi. "Aku berbicara dengan Mas Arfaaz bukan denganmu. Lagipula aku sudah biasa diajak Mas Arfaaz ke pesta orang kaya seperti ini. Ke pesta pernikahan anak Presiden pun aku pernah. Jadi kalau hanya segini mah kecil. Ndeso sekali kamu," balas Arindi yang membuat Naina bertambah cemberut. Arfaaz tampak merapikan lengan kemeja yang dipakainya."Sudah, jangan terus menerus kamu tampakan muka masammu, Nan. Aku sudah bilang bahwa keluarga Tante Riana bukan orang sembarangan. Dia punya perusahaan tambang terbesar seant
"Kamu ini buat malu saja sih Nan. Ahh."Arfaaz bersungut marah. Sesekali tanganya memukul setir bundar di depanya. Naina hanya bergetar di tempat duduknya. "Ku kira kamu adalah sosok sosialita yang bisa bersosialisasi dengan baik disana," lanjut Arfaaz."Mas, aku sudah berusaha menjadi baik. Namun mereka yang tidak mau menerima hadirku. Jangan salahkan aku. Tapi salahkan Arindi!" balas Naina tak kalah marahnya. Arfaaz tertawa kecil. "Kenapa Arindi? Justru ia membuatku bangga. Walaupun ia tidak hadir, tapi ia tau bagaimana menghormati dan menghargai yang punya acara. Kamu itu istri dari Arfaaz Khairul Hartanto. Memberi kado kok bed cover murahan. Ya Tuhan. Seperti tidak punya muka aku dihadapan keluarga Tante Riana. Masih untung tertolong dengan Arindi yang memberi hadiah Nessa berupa kalung berlian.""Berhenti kamu membandingkan aku dengan istri pertamamu itu mas. Aku tidak suka,""Kalau kamu tidak suka, semestinya kamu juga tau diri bagaimana bersikap di depan keluarga besarku,
Naina hanya melengos mendengar alasan Arindi. Saat para pelayat satu persatu saat sudah pulang. Datanglah seorang tamu berpakaian rapi.Semula mereka mengira bahwa laki laki itu adalah teman atau klien Arfaaz. Ternyata laki laki itu memperkenalkan diri sebagai pengacara."Saya pengacara dari Pak Arfaaz, ingin menyampaikan amanah. Bahwa beliau mempunyai tabungan yang ia amanahkan kepada istrinya jika meninggal."Naina kaget. Namun dalam hati tentu ia bernafas lega. Ia kira ia akan hidup miskin setelah ditinggal mati Arfaaz dan perusahaannya terancam bangkrut. Namun rupanya suami pelitnya itu menyiapkan tabungan untuk mereka. Pengacara tersebut menyerahkan masing masing satu buku tabungan. Saat Arindi menerima buku tabungan itu, ekor mata Naina sempat meliriknya. Jumlahnya Wow cukup fantastis.Dan saat tiba gilirannya. Jumlahnya sangat berbeda jauh dengan yang di terima Arindi."Loh Pak. Kok jumlahnya tidak sama?""Iya Bu. Dikarenakan pernikahan Mbak Arindi dan Mas Arfaaz sudah berjala
Naina masih gemetar "Mbak Arindi," teriaknya. Suaranya bahkan hampir tercekat."Mbak," panggilnya sekali lagi sedikit keras.Arindi mendekat."Ada apa?""Mas Arfaaz kecelakaan. Dan dia meninggal.""Hah, serius kamu?""Aku Baru saja dapat telefon dari kepolisian. Dan sekarang dibawa ke RS BAYANGKARA," Jawab Naina..Arindi sebenarnya ingin menangis, meraung, menjerit saat itu. Tapi itu bukan solusi di saat genting. Ia segera menyambar kunci mobil."Aku ikut Mbak," tanya Naina dengan panik. Ia masuk ke kamar dulu."Tidak usah pakai acara dandan segala. Ini darurat," bentak ArindiSaat itu Naina tak memilih berdebat. Kecuali menuruti."Ra, kamu pulang dulu ya. Aku Mau ke rumah sakit. Suamiku kecelakaan,""Oh iya Nan. Tidak apa apa."Sepeninggal Naina, Clara hanya menggeleng. Membayangkan apesnya menjadi Naina saat itu.Saat sampai di rumah sakit, Arindi segera berlari di lorong rumah sakit. Tak perduli banyak pasang mata yang menatapnya."Sus, pasien kecelakaan atas nama Arfaaz dirawat d
Clara mengusap wajahnya dengan kasar. Berarti memang apa yang dikatakan Naina saat itu adalah benar."Ya Tuhan, Man. Kamu kok tega sekali sih?" protes Clara."Tega? Maksut kamu? Aku tidak menyakitinya.""Kamu itu sebagai laki laki peka sedikit kenapa sih. Kamu tau jika Naina itu suka dengan kamu. Masih tidak mengerti. Selama ini kamu berusaha mendekatinya. Lalu untuk apa kalau Ki tidak suka?" tanya Clara lagi."Ya Jan sikapku ke Naina ya sama seperti ke kamu Ra. Kita teman. Aku tidak pernah memberinya harapan lebih.""Tapi kalau dia berharap lebih bagaimana?""Ya dia yang salah.""Loh kok dia yang salah?" tanya Clara."Dia sudah bersuami. Kalaupun menjalin hubungan denganku, tujuannya untuk apa? Suatu hubungan itu harus ada tujuan yang jelas ke depannya seperti apa. Kalau aku dan Naina menikah itu adalah hal yang mustahil." jawab HermanAlis Clara bertaut."Kenapa mustahil? Kalian tidak ada ikatan darah. Kalian juga satu agama. Toh Naina juga hanya menjadi istri kedua. Bisa lah menik
Sesampai rumah juga Naina tak mengatakan apapun. Meskipun ia begitu kesal dengan Herman. Namun justru seperti Arfaaz yang terkena dampaknya."Nan, aku balik ke kantor ya," ucap Arfaaz.Naina hanya cemberut.'Mau balik ke kantor, mau balik ke alam kubur. Aku tidak perduli,' gumam Naina dalam hati.Namun saat Arfaaz hendak masuk ke dalam mobilnya, tiba-tiba ada sebuah taksi yang berhenti di depan rumah. Dan Arfaaz yakin dibalik taksi itu ada Arindi.Benar saja. Arindi turun bersama Keenandra. Dan laki laki itu mengurungkan niatnya untuk balik ke kantor."Rind," sapa Arfaaz."Iya.""Ada yang perlu aku bicarakan Rind.""Iya aku ingat Mas. Ada apa?"Langkah Arindi menuju teras. Dan Arfaaz mengekor di belakang."Kamu sedekat apa sih dengan Herman sekarang?" tanya Arfaaz.Arindi tertawa kecil."Dekat? Aku tidak dekat sedikit pun dengan dia. Ya kali sudah besuami dekat dengan laki laki lain," jawab Arindi dengan santai."Tapi lihatlah, bagaimana orang tuamu sekarang tidak menyukaiku Rind. It
Arfaaz tidak dapat berkata apa apa dengan penolakan Arindi tersebut. Ya memang karena nyatanya ada Naina yang sudah menunggunya di luar. Ia kenal Arindi menang berwatak tegas dan keras."Aku pesankan taksi untuk kamu ya nanti," tawar Arfaaz lagi.Arindi menggeleng pelan."Tidak usah Mas. Aku bisa pesan sendiri." jawab Arindi "Ya sudah. Kalau ada apa-apa, segera hubungi aku ya." pesan Arfaaz lagi.Arindi hanya mengangguk."Ada hal penting juga yang ingin aku sampaikan Rind. Tapi nanti saja menunggu di rumah," pesannya lagi.Arfaaz hanya menurut. Ia memilih segera berlalu dari situ. Bukan karena apa. Toh kehadirannya juga sudah tidak diharapkan oleh orang tua Arindi. Jadi untuk apa?Naina sudah ada di mobil. Hatinya kesal bukan main. Bukan karena direndahkan karena menjadi istri kedua oleh orang lain. Tetapi karena Herman menganggapnya mereka hanya teman biasa.Lalu apa artinya kedekatan mereka selama ini?"Lama sekali sih Mas." gerutu Naina."Sabar Nan. Aku juga harus pamit kepada ora
"Bu," pekik Arindi sebagai bentuk rasa protesnya."Biarlah Arindi. Biar semua tau dan menilai. Bagaimana suamimu ini," jawab Bu Asih."Kasihan sekali sih Arindi. Padahal kamu cantik, pintar, hebat, sukses lagi, kenapa mau saja dimadu?" jawab Mama Herman."Tante, Bu, saya kesini tidak berharap mendapatkan komentar apapun. Mau bagaimanapun, mau seperti apapun kehidupan saya, tetapi tidak dapat menutup kenyataan bahwa memang Naina adalah istri saya." jawab Arfaaz dengan berani.Naina yang sudah kesal karena Herman. Kini harus mendapatkan kesal lebih dobel lagi. Ia memegang tangan Arfaaz. Menandakan ia tidak suka di sini. Herman pun hanya diam seribu bahasa.Naina tiba tiba keluar begitu saja."Nan," pekik Arfaaz. Naina juga tidak menggubris lagi. Namun Arfaaz juga tidak mengejarnya sama sekali. Ia tentu tidak enak hati dengan keluarga mertuanya.Naina kesal dan menunggu di ruang tunggu yang agak jauh dengan kamar perawatan sang mertua.. "Heran dengan Mas Arfaaz. Orang kok hobinya mencar
Arindi salah tingkah dengan ucapannya tersebut. Tapi dengan sempurna ia mampu menutupinya"Maksutku tidak mungkin sekarang. Keenan masih kecil. Aku belum mau menambah momongan." elak Arindi."Belum bukan berarti tidak bukan? Mau kamu tutupi seperti apapun. Darah Herman mengalir di tubuh anakmu Rind. Dan itu tidak bisa kamu sangka. Mau sampai kapanpun. karena itu fakta," ucap Pak Asmat.Arindi hanya diam.Namun Bu Asih sebagai ibu kandung yang tau betul bagaimana sifat Arindi menaruh curiga. Sepertinya memang Arindi menyembunyikan suatu rahasia saat ini.Nina bergegas pulang setelah Herman tiba tiba membatalkan janji mereka. Namun langkahnya pulang ternyata bersamaan dengan Arfaaz yang juga pulang."Ada yang ketinggalan Mas?" tanya Nina.Arfaaz menggeleng "Tidak. Aku ada perlu dengan kamu." Degg..Nina meratap. Ia kaget. Kiranya apa dia melakukan sebuah kesalahan."A-ada apa ya Mas?" tanyanya setengah gugup "Kamu siap siap ya. Lima belas menit lagi kita pergi,""Kemana Mas?""Ke rum
Setengah hati Hernan menuju rumah orang tua Arindi. Meskipun keluarga Pak Asmat menyambut baik kedatangan mereka."Bagaimana keadaanya Pak? Apakah sudah lebih baik?" tanya Papa Herman.Pak Asmat melempar senyum penuh hormat."Alhamdulillah sudah lebih baik ini. Saya sudah bisa beraktivitas sehari hari. Bagaimana? Apa kita jadwalkan main golf sama sama jika ada kesempatan?" tawar Pak Asmat.Pak Hartono tersenyum lebar menanggapi."Wah benar benar ide yang bagus itu. Lebih baik segera kita agendakan saja," jawab Pak Hartono.Ya kedua keluarga itu sudah terlihat akrab. Bahkan lebih cocok untuk menjadi besan.Suara mobil terdengar berhenti di depan."Nah pucuk dicinta ulampun tiba, itu suara mobil Arindi. Dia kesini juga. Panjang umur mungkin," celetuk Pak Asmat."Apa kamu menghubungi Arindi Man?" tanya Bu Melia penuh harap. Jika memang iya, berarti kesempatan Herman untuk bisa kembali kepada Arindi tentu semakin besar.Namun Herman hanya menggeleng kecil. Mana mungkin ia menghubungi Arin
"Mas, aku nanti izin ke rumah Ayah. Mau lihat keadaan ayah," kata Arindi di sela sarapan pagi mereka.Arfaaz mengangguk."Iya. Sampaikan kepada Ayah ya, aku belum bisa menjenguk beliau. Akhir-akhir ini banyak meeting penting yang tidak bisa aku tinggalkan," jawab ArfaazArindi hanya mengangguk."Nan, barangkali kamu mau ikutan? Ya siapa tau kamu jenuh di rumah," usul Arfaaz. Ya dia hanya menginginkan dua istrinya tersebut untuk bisa akur..Naina langsung tersedak dengan saran dari Arfaaz. Dan Arindi hanya menatapnya santai. Bisa-bisanya Arfaaz menganggap Naina bosan di rumah. Yang padahal sebenarnya ia sering sekali keluar tanpa izin Arfaaz.Naina menggeleng pelan."Tidak Mas. Aku di rumah saja. Daripada menghampiri penyakit," elaknya.Mendengar jawaban dari Naina, Arindi menoleh tajam."Maksut kamu?""Ya kan Mbak Arindi tadi bilang bahwa mau menjenguk bapaknya. Bapaknya sedang sakit bukan? Kalau menular bagaimana? Memangnya situ tanggung jawab?" tanya Naina dengan sinis.Sebagian ora