“Sayang, maafin mami, ya? Tapi ini demi keselamatan kita berdua. Kamu mau, kan?” tanya Ayas pada anaknya.
Sebenarnya ia tidak tega melakukan hal itu pada Vano. Namun, Ayas tidak memiliki pilihan lain. Saat ini hanya itu yang paling aman untuk mereka.
“Tapi nanti kalau aku gak bisa napas gimana, Mami?” tanya Vano dengan wajah memelas.
“Mami gak akan tutup full resletingnya. Jadi nanti kamu masih bisa napas dan lihat cahaya. Mau ya, Sayang?” Ayas sedikit memohon.
‘Ya Tuhan … maafkan aku. Aku tau ini gila. Tapi aku akan lebih gila jika sampai anakku ditangkap oleh mereka,’ batin Ayas.
“Ya udah, deh. Aku mau,” jawab Vano. Ia pun tidak tega melihat maminya khawatir seperti itu.
Mendengar anaknya rela melakukan apa yang ia minta, Ayas bukannya bahagia, ia justru terharu dengan pengorbanan anaknya it
Bola mata Ayas hampir melompat. Jantungnya pun seolah berhenti berdetak saat Tira menyetopnya. Ia sangat khawatir ptia itu dapat mengenalinya atau mungkin melihat Alif yang ada di koper.‘Ya Tuhan, apa dia mengenali aku?’ batin Ayas. Ia tidak berani menoleh ke belakang. Namun Ayas pun tidak melanjutkan langkahnya.“Itu kopernya terbuka. Nanti barangnya jatuh,” ucap Tira. Ia bahkan tidak melangkah ke arah Ayas. Namun ia cukup memerhatikan Ayas karena bentuk tubuhnya tidak terlalu asing. Beruntung saat itu Ayas tidak membawa anak. Sehingga ia pikir dia orang yang berbeda.“O-oh iya, terima kasih,” jawab Ayas, gugup. Ia pun segera menutup celah koper tersebut, dan bergegas pergi meninggalkan mall itu.‘Maafin Mami ya, Vano,’ batin Ayas, sambil menarik resleting koper itu.Kali ini ia tidak mendorong koper tersebut. Sebab, Ayas khawtair
Ayas sangat terkejut saat melihat kedatangan mamah Yoga yang tiba-tiba itu. Berbeda dengannya, Yoga terlihat lebih santai. Ia justru ingin memanfaatkan momen ini untuk mengenalkan Ayas dengan mamahnya.Sebab, selama ini Ayas tidak pernah mau jika diajak bertemu dengan mamahnya secara langsung.“Mah, kok mau datang ke sini gak bilang-bilang?” tanya Yoga. Ia pun berdiri dan bersalaman dengan mamahnya.“Kamu tuh yang susah banget dibuhubungin. Kenapa sih telepon mamah gak diangkat?” keluh mamah Yoga.Sejak tadi ia berusaha menghubungi Yoga. Namun tidak satu pun panggilannya dijawab oleh anaknya tersebut.“Oh, maaf. Aku lagi gak pegang ponsel, Mah,” jawab Yoga. Jika sedang bersama Ayas, Yoga memang jarang memegang ponsel. Tujuan utamanya hanya pada Ayas.Setelah itu mamah Yoga melirik ke arah Ayas yang sedang bingung hendak mel
Yoga langsung terlihat murung. Yang dikatakan oleh mamahnya memang benar, bahkan dirinya sudah mendekati Ayas sejak ia masih mengandung dan kini Vano sudah berusia 3 tahun.“Apa Mamah bisa bantu aku untuk meyakinkannya?” tanya Yoga. Ia terlihat seperti sudah sangat putus asa. Sehingga meminta bantuan mamahnya.Mamah Yoga tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Ya ampun … punya anak satu-satunya kok miris sekali, ya? Sudah cukup umur masih belum menikah, tapi gak bisa naklukin satu wanita yang dia suka,” cibir mamah Yoga.“Mah, bukan seperti itu … masalahnya ini wanitanya gak biasa, Mah. Dia lain dari yang lain. Makanya aku udah klik banget sama dia. Mamah bisa lihat sendiri bagaimana sikap dia, kan? Bahkan anaknya manggil aku dengan sebutan daddy aja dia larang,” keluh Yoga.Ia seperti anak kecil yang sedang mengadu pada mamahnya.
Ayas dan Yoga yang sedang melihat dokumen pun menoleh ke arah sumber suara.Deg!Jantung Ayas hampir lepas saat melihat Tira berdiri di ambang pintu.Tira pun tidak kalah terkejut ketika melihat Ayas duduk di sana. Satu sisi ia sangat bahagia. Sebab, dirinya seolah selalu ditakdirkan untuk bertemu dengan Ayas.Namun, di sisi lain Tira tidak senang melihat Ayas begitu dekat dengan Yoga.Melihat kedatangan Tira, Yoga pun langsung berdiri. Tak lupa ia mengajak Ayas berdiri dan membantu Ayas menarik kursinya agar ia tidak kerepotan.Tira pun melirik sinis ke arah tangan Yoga. Ia tidak rela jika pria itu menyentuh Ayas sedikit pun.“Wah, selamat datang, Tuan Yudistira,” ucap Yoga sambil mengulurkan tangan, tanpa dosa.“Terima kasih,” jawab Tira sambil menjabat tangan Yoga. Meski begitu, matanya teta
Yoga terkesiap saat Ayas mengatakan bahwa Tira adalah ayah kandung Vano. “Kamu serius?” tanyanya, lemas.Ia seolah menjebloskan Ayas ke lubang yang cukup dalam. Hingga wanita itu harus berhubungan dengan pria yang selama ini telah membuatnya trauma.Ayas mengangguk. “Iya, Mas. Makannya tadi aku gak konsen waktu presentasi. Jujur aja aku khawatir, gugup dan semua rasa bercampur jadi satu,” jelas Ayas sambil menatap kosong ke sembarang arah.“Ya Tuhan, Vi. Kamu kenapa gak bilang dari awal, sih? Kalau aku tau Tuan Tira adalah pria berengsek itu, mana mungkin aku menjerumuskan kamu seperti ini?” keluh Yoga.Ia sangat gemas karena Ayas tidak pernah mau memberi tahu siapa nama ayah Vano.“Maaf, Mas. Aku hanya khawatir akan keselamatan kamu. Aku pun gak nyangka kalau dia akan sampai di kota ini,” lirih Ayas.“Vi,
Ayas berusaha melepaskan genggaman tangan Tira. Namun tenaganya kalah kuat. Sebab, Tira menautkan jemari mereka. Sehingga tanpa perlu mengeluarkan tenaga yang cukup besar pun genggaman itu tidak mudah terlepas. Tira membawa Ayas ke sebuah ruangan yang biasa ia gunakan sebagai ruang kerja. “Mana anakku?” tanya Ayas saat mereka sudah berada di ruangan itu. Tira bahkan mengunci pintunya agar Ayas tidak dapat kabur. “Duduk dulu, jangan langsung marah begitu,” ucap Tira, santai. Kemudian ia duduk di sofa sambil mengambil sebuah remote. “Apa kamu sengaja ingin mempermainkan aku?” tanya Ayas. Ia sudah tidak menghormati Tira lagi. Sehingga Ayas enggan memanggilnya dengan sebutan Tuan. “Apa aku tidak salah dengar? Bukankah selama ini kamu yang mempermainkan aku?” tanya balik Tira. Memang selama ini dirinyalah yang merasa dipermainkan oleh Ayas. &nb
“TIRA!” bentak Ayas.Tira ternganga mendengar Ayas berani menyebut namanya secara langsung. Namun ia justru senang akan hal itu.“Apa? Coba diulang!” tanya Tira sambil menunduk ke arah Ayas. Ia mengurungkan niatnya. Sebenarnya tadi ia hanya ingin bercanda.Ayas menggelengkan kepala. Ia sadar bahwa barusan dirinya kelepasan karena terlalu terkejut.“Aku gak akan marah. Justru aku senang jika kamu memanggil namaku secara langsung. Mulai sekarang, aku mau kamu manggil namaku, ya?” pinta Tira. Kemudian ia mengusap kepala Ayas.Ayas mengerutkan keningnya. Ia heran mengapa Tira tidak marah padanya.‘Ni orang aneh banget, sih?’ batin Ayas.Tira berjalan memungut kaos yang tadi sempat iya lempar. Kemudian menggunakannya. Sebab ia tidak nyaman jika terus bertelanjang dada.Setela
“Tentu. Memangnya kamu pikir aku kurang kerjaan sampai mengedit foto Vano?” Tira balik bertanya.‘Ya ampun, mirip sekali,’ batin Ayas. Ia mengakui kemiripan mereka.Sebenaranya apa yang Ayas ucapkan pada Tira hanya untuk mengetest seberapa yakin pria itu bahwa Vano adalah anaknya. Padahal hal itu tidak perlu ditanyakan lagi. Jangankan dengan Tira kecil, sekarang saja mereka masih terlihat mirip.“Aku harap kamu tidak mencari alasan untuk memisahkanku dengan Vano. Satu lagi, tolong jangan pernah melarikan diri dari aku. Aku sudah bersumpah tidak akan menyakiti kalian lagi. Semoga kamu mengerti bagaimana perasaanku,” pinta Tira.Ayas mengembalikan kembali ponsel Tira pada pemiliknya. Kemudian ia beranjak.“Kamu mau ke mana?” tanya Tira saat melihat Ayas berdiri.“Mau ajak Vano pulang,” sahut Ayas. Ia m
Saat ini Atas sedang di rumah dan ditemani oleh Gita.“Gimana ya, kok belum ada kabar?” gumam Ayas, khawatir.Ayas ingin menghubungi Tira tapi ia khawatir akan menggangu, sedangkan Tira sengaja tidak menghubungi Ayas karena ingin memberi dia kejutan.“Sabar, Yas. Mungkin mereka sedang dalam perjalanan pulang,” ucap Gita. Ia berusaha menenangkan Ayas.“Semoga aja bener begitu.”Ayas senang di saat seperti ini ada Gita yang menemani, awalnya Yoga juga ada di sana. Tapi ia harus pergi karena ada urusan lain.“Oh, iya. Kamu jadi nikah dengan Mas Yoga?” tanya Ayas, pada Gita. Ia berpikir lebih baik mengobrol dengan Gita daripada terus seperti tadi.“Katanya sih, jadi!” jawab Gita.Ayas mengerutkan kening, “Lho, kok gitu?” tanyanya.“Ya emang begitu, hehehe!” sahut Gita, cengengesan.Ayas berpikir Gita itu seperti tidak niat menikah dengan Yoga, “Kalau kamu gak suka mendingan gak usah, Git!” ucapnya.“Enak aja! Siapa bilang aku gak suka? Oops!” Gita kelepasan.Melihat respon Gita yang seper
Dengan raut wajahnya yang datar Tira menatap James dan Ady, “Kalian berdua memang sepertinya sudah bosan hidup,” ucap Tira.James dan Ady saling bertukar pandang, lalu mereka berdua tertawa.Hahaha!“Sepertinya kepala kamu habis terbentur benda keras, ya?” ledek Ady.“Atau mungkin orang yang sudah mau mati kelakuannya memang aneh?” timpal James.Hahaha!James dan Ady kembali menertawai Tira yang hanya diam dan tidak membalas.“Maaf ya, kalau kamu ingin menyalahkan seseorang. Salahkan Ayahmu dan orang ini,” ucap James.Ady hanya tertawa karena ia pikir itu memang benar, “Awalnya aku pikir Anda hanya bekerja untukku, tapi ternyata Anda juga bekerja untuk orang lain,” sahut Ady.“Tuan Ady, kita itu hidup harus bisa memanfaatkan semua kesempatan yang ada. Lagipula hal tersebut tidak melanggar kontrak kerja sama kita,” balas James.Awalnya saat Ady tahun kalau James juga bekerja untuk orang lain, ia sempat marah pada James dan menuding James memanfaatkan dirinya.Namun, setelah James memb
“Apa itu, Tuan James?” tanya Ady.James menyeringai, “Mereka sudah datang,” jawab James.“Hah? Mereka? Siapa?”“Tentu saja tamu yang kita undang, mereka datang sesuai dengan rencanaku,” ucap James. Ia merasa bangga karena Tira dan rombongannya telah terjebak.“Tapi Tuan, kalau mereka mati. Rasanya kurang puas,” balas Ady.“Aku yakin dia tidak akan mati semudah itu, tapi kalau memang dia mati. Mau bagaimana lagi, kan?” sahut James.Ady pun berpikir tidak masalah kalau memang Tira mati sebelum berhasil menemukan putranya, bagi Ady itu sudah cukup memuaskan karena telah memberikan Tira balasan yang setimpal.Sementara itu di mobil yang Tiran dan Daren tumpangi.“Suara ledakan apa itu?” tanya Tira.“Baru saja aku menerima laporan, kalau ternyata akses menuju ke tempat James berada sudah dipasangi jebakan. Anak buah James juga lumayan banyak,” sahut Daren.“Jadi, bagaimana caranya kita ke sana?” tanya Tira.Daren menyeringai, “Jangan khawatir, Tuan. Tentara dan Polisi berpihak pada kita, j
Setelah Tira mengantar Ayas pulang, ia langsung pergi menemui Daren di bandara, Daren bergegas menghubungi Tira saat ia menerima tugas.Tidak butuh waktu lama Tira telah sampai di bandara, mobil yang ia tumpangi berhenti di dekat sebuah pesawat jet pribadi.Seorang pria berpakaian serba hitam dengan sebuah kacamata hitam, berdiri di dekat tangga pesawat dan langsung membungkuk saat Tira berjalan ke arahnya.“Tuan, ayo kita selamatkan Putra Anda!” ucap pria itu, yang tidak lain adalah Daren.“Maaf sudah merepotkan, terima kasih karena kamu sudah mau datang dari jauh untuk membantu,” balas Tira.“Tuan dan Nyonya besar sudah sangat berjasa padaku, mana mungkin aku tidak mau membantu.”“Bagaimana dengan Ayah?” tanya Tira. Bagaimanapun juga Daren adalah kepala pengawal Ayahnya Tira.“Lebih baik kita bergegas, Tuan. Aku khawatir pada Putra Anda,” ucap Daren.Sudah lama tidak bertemu dengan Daren membuat Tira banyak mengajukan pertanyaan, akhirnya Tira dan Daren masuk ke dalam pesawat.Setel
“Sayang, tunggu!” Sontak Tira langsung mengejar Ayas.Tap!Tira meraih tangan Ayas dan menariknya.“Kalau gak ada yang peduli, biar aku sendiri yang nolong Vano!” ucap Ayas, agak berteriak.Tira menghela napas kasar, “Kamu tenang dulu, sayang. Kita serahkan pada Mama, tapi aku juga gak bisa tinggal diam. Aku juga akan ikut mencari Vano,” ucap Tira.Saat itu Atas yang sedang kesal merasa bodoh, “Sebentar, tadi Papi bilang apa?” tanyanya.“Hem, yang mana?” Tira bertanya balik.“Yang tadi, yang Papi bilang serahkan pada Mama. Apa maksud Papi?”“Oh, itu. Jadi sebenarnya Mamah marah karena Vano hilang, dia bilang menjaga anak satu aja gak bisa,” jelas Tira.Ayas tercenung, “Hah? Mamah marah karena itu?” tanyanya.“Iya, jadi kamu cuman salah paham aja. Justru Mamah malah marah sama kita karena kita gak bisa jagain Vano dengan benar.”Mendengar penjelasan Tira, membuat Ayas merasa menjadi seorang Ibu yang buruk. Ia tidak menyangka kalau Ibu mertuanya justru sangat peduli.“Terus aku harus gi
“Tira, sini kamu!” panggil Sisca, dengan mata melotot.“Iya, Mah!” jawab Tira. Ia lalu menghampiri mamahnya.“Laras, kamu tunggu di sini!” ucap Sisca.“I-iya, Mah!” jawab Ayas, kikuk.Sementara Tira di ajak pergi oleh mamahnya, Ayas duduk di sofa seorang diri. Ia masih agak canggung dengan Ibu mertuanya itu, Ayas juga tidak tahu harus berbuat apa saat ini.Tira diajak oleh mamahnya ke sebuah ruangan, “Duduk!” ucap Sisca, dengan sikap yang dingin.“Iya, mah.” Tira pun duduk di sebuah sofa.Sudah lama Tira dan Mamahnya tidak bicara seserius ini, terakhir kali mereka berbicara serius adalah saat Tira memutuskan untuk menikahi Ayas.“Tira, kamu tau kenapa mamah memanggil kamu ke sini?” tanya Sisca, serius.Tira hanya menggeleng dan tidak menjawab.“Kamu ini sudah punya anak, seharusnya kamu tidak lagi mementingkan diri kamu sendiri!” ucap Sisca. Ia memarahi putranya itu.“Jadi mamah memang sudah tahu kalau—“ Belum selesai Tira berbicara, Sisca sudah tampak emosi.Brakk!“Tau kalau Vano di
Di tempat Vano disandera yang merupakan tempat persembunyian James, seorang pria datang menemui James.“Sepertinya semua berjalan dengan lancar, Tuan James!” ucap pria itu.James tampak tersenyum tipis sambil duduk di sofa besar, “Silakan Tuan Ady, anggap saja rumah sendiri,” sahut James.Pria yang baru saja datang itu tidak lain adalah Ady, ia tampak sangat puas dengan kinerja James. “Profesional memang selalu bisa diandalkan,” puji Ady.“Anda terlalu memuji Tuan, aku hanya melaksanakan semuanya sesuai dengan rencana saja,” ucap James.Ady tampak tersenyum tipis, ia lalu menghampiri Vano yang saat ini sedang berada di sebuah kamar.Ceklek!Saat melihat ada orang yang datang dan membuka pintu kamar, Vano sempat berpikir kalau itu adalah Papi atau Maminya.Namun, orang yang muncul ternyata tidak seperti yang Vano harapkan.“Haloo, adik kecil,” sapa Ady, sambil te
Tira kaget bukan main saat tiba-tiba saja Mamahnya menelepon, ia tidak menyangka kalau Mamahnya akan tahu dan akan memarahinya karena Vano hilang.“Mah—“ Belum selesai Tira berbicara, Mamah Tira terus memarahi Tira.“Kalau kamu gak bisa jagain Vano, harusnya kamu bilang! Jangan diem aja!” Mamah Tira terus saja mengomel, sampai-sampai Tira saja tidak diberi kesempatan untuk berbicara.“Sekarang juga, kamu datang ke sini! Biar semua mamah dan papah yang urus!” ucap Mamah Tira dengan sangat tegas.“Tapi, Mah—“ Belum selesai Tira berbicara, mamahnya sudah mengakhiri panggilan tersebut.Panggilan terputus.Ayas yang melihat Tira tampak kebingungan langsung menghampiri, “Pi, ada apa?” tanyanya.“Ini, Mi. Mamah aku marah-marah,” sahut Tira.Sontak Ayas pun tercekat, “Hah? Marah-marah? Emangnya kenapa?” tanya Ayas.&ldqu
“Kamu yakin?” tanya Tira pada Panji.“Iya, Tuan. Saya sangat yakin, karena mereka benar-benar meninggalkan jejak mereka di CCTV yang ada di rumah. Seolah-olah mereka memang sengaja dan memang ingin menantang kita,” jawab Panji. Ia berani berkata seperti itu karena memang hal tersebut sangat tidak masuk akal.Dan satu-satunya kemungkinan yang terjadi mereka memang benar-benar sengaja, semua sudah dapat Panji tebak dengan baik.“Jadi siapa mereka?” tanya Tira. Ia sudah tidak sabar mengetahui siapa orang yang berani melakukan ini pada keluarganya.Akhirnya Panji pun memberi tahu siapa orang yang sudah membawa Vano pergi, ia adalah seorang pembunuh bayaran yang bernama James.“James?” tanya Tira.“Iya, Tuan. James S adalah seorang pembunuh bayaran, ia tidak segan membunuh targetnya dengan sadis. Dan itu semua tergantung dari permintaan kliennya,” ujar Panji.“Yang paling pe