“Kamu ini ngawur aja!” ketus Yoga, menanggapi Sheila.
Melihat sikap Yoga yang seperti itu membuat Sheila sama sekali tidak merasa risih, bahkan Sheila terlihat datar seolah hal tersebut bukanlah sesuatu yang berlebihan.
“Kenapa kamu belum nikah sampai sekarang?” tanya Sheila, pada Yoga.
Yoga tertunduk sambil menggaruk kepalanya sendiri, “Entah, aku hanya males aja nyari pasangan. Sekalinya nemu pasangan yang cocok dan pendekatan selama beberapa tahun, eh dia malah nikah sama orang lain. Sial bener, nasib! Nasib!” jawab Yoga.
“Eh, kok malah curhat. Hehehe!” lanjut Yoga, terkekeh.
“Begitu ya, kasian juga kamu!” balas Sheila, sedikit iba pada Yoga.
Yoga menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya, “Kalau kamu sendiri gimana?” Giliran Yoga bertanya.
“Eum ... aku males, semua laki-laki itu sama aja!” jawab Sheila, datar. Karena sepertinya Sheila memilik
Sheila berdiri di hadapan Yoga dengan tubuh nyaris polos, dan Yoga masih bertanya Sheila mau apa. “Kamu serius gak tau?” tanya Sheila.Glek!Yoga menelan saliva tepat di hadapan Sheila, “Bu-bukannya begitu, tapi kan—“ jawab Yoga, kikuk. Saat itu belum sempat Yoga selesai berbicara, Sheila melepaskan dua buah gel yang menutupi kedua bukit kembarnya.Sontak saja dua pucuk kecil berwarna merah muda mencuat di depan mata Yoga, “Tu-tunggu dulu!” pekik Yoga.Saat itu Sheila berdiri di hadapan Yoga, sambil meremas dan memilin pucuk bukit kembarnya sendiri.“Ehmph!” desis Sheila, sambil menggigit bibir bawahnya.Tangan Sheila dengan sendirinya bergerilya meraba tubuhnya sendiri, mulai dari atas hingga ke bagian bawah yang paling sensitif.Glek!Lagi-lagi Yoga menelan saliva, matanya terbelalak memperhatikan setiap gerakan yang dilakukan oleh Sheila.“Sepertinya yang ada
Sheila yang sedang menunduk hendak melepaskan celana dalamnya langsung tercekat, “Kamu ini kok, aneh?” Sheila terheran-heran dengan Yoga.“Jangan! Jangan dibuka!” ucap Yoga lagi.Padahal celana dalam Sheila sudah hampir terbuka seluruhnya, dan Yoga pun sebenarnya sempat melihat area sensitif Sheila yang mulus tanpa ada sehelai rambut halus menutupi.Sontak Sheila pun kembali menaikkan celana dalamnya, ia menatap sinis Yoga dan berpikir kalau Yoga itu tidak normal.“Tolong pakai juga yang atas,” ucap Yoga, meminta Sheila agar kembali mengenakan bra yang terbuat dari gel yg sudah ia lempar ke lantai.Bukannya mendengarkan perkataan Yoga, Sheila malah menggerakkan tubuhnya seolah menantang Yoga untuk segera menggagahinya.“Kamu ini kenapa, sih? Kamu gak normal, ya?” tuduh Sheila.“Enak aja, aku normal!” bantah Yoga.“Terus kenapa kamu begitu?” tanya lagi Sheil
Setelah Sheila selesai berpakaian, ia kembali duduk di samping Yoga. “Maaf ya, tadi itu aku cuma ngetes kamu aja,” ucap Sheila.“Ngetes?” tanya Yoga.“Iya, ngetes. Aku pikir kamu tuh sama aja kayak mantan aku yang brengsek itu, udah semuanya aku kasih. Apa aja yang dia minta aku turutin, dia masih aja selingkuh,” jawab Sheila, lirih.Dari yang Sheila ceritakan membuat Yoga tahu kalau Sheila adalah wanita yang baik, Yoga tidak habis pikir wanita cantik dan baik seperti itu masih dikhianati.“Semoga kamu bahagia,” ucap Sheila, berdiri.“Tunggu!” sahut Yoga.“Ada apa?” tanya Sheila.“Harusnya kamu gak boleh begitu, itu terlalu berlebihan sampe kamu buka baju segala,” jawab Yoga.“Gak apa-apa, aku ini udah gak suci lagi. Lagian tubuh ini hanya segumpal daging, gak ada artinya,” ucap Sheila, datar.Deg!Yoga langsung berdiri
Yoga terkesiap saat melihat Mamanya sudah berada di depan pintu, terlebih lagi dengan raut wajah Mamahnya yang terlihat masam.“Kenapa kamu gak mau sama Sheila? Kamu bukan penyuka sesama jenis, kan?” tanya Mamah Yoga. Ia berpikir ada yang tidak beres pada Yoga.“Mamah apaan sih? Aku normal lah, Mah!” bantah Yoga.Wajar saja Mamahnya Yoga seolah berpikir kalau Yoga itu tidak normal, karena ia bertemu dengan Sheila di bawah dan apa yang Sheila katakan berbeda.“Kamu dikasih cewek cakep dan seksi kayak gitu masih aja gak mau, apalagi kalo bukan karena kamu itu belok?” Lagi-lagi Mamah Yoga kembali menuduh Yoga.“Lah, emangnya Mamah tau dari mana?” tanya Yoga, heran.“Tadi Mamah ketemu sama Sheila, dia bilang kamu gak nafsu sama dia!” jawab Mamah Yoga.“Waduh! Ya gak salah juga sih, tapi harusnya jangan bilang gitu juga,” gumam Yoga.Sheila memang sengaja berkat
Saat jam kerja telah usai, Gita pergi ke sebuah cafe yang berada tidak jauh dari kantornya.Cafe tersebut adalah cafe tempat ia dan Anton sering bertemu, karena memang jaraknya tidak terlalu jauh dengan tempat kos Gita dahulu.Tidak butuh waktu lama untuk Gita tiba di restoran tersebut walaupun keadaan sangat macet, “Udah lama banget gak ketemu sama Anton, pasti dia tambah ganteng,” gumam Gita. Ia lalu masuk ke dalam cafe yang memang tidak terlalu besar.“Git!” Seorang pria memanggil Gita dari kejauhan, pria itu memang tidak lain adalah Anton yang sedang duduk di meja paling ujung.Saat melihat orang yang memanggilnya adalah Anton, Gita pun tersenyum dan segera menghampiri Anton. “Kamu apa kabar?” sapa Gita, sambil menjabat tangan Anton.“Baik, ayo duduk!” Anton mempersilakan Gita untuk duduk.Setelah itu mereka memesan makanan persis seperti yang sering mereka pesan dahulu.“Sudah
Anton berdiri dari tempat ia duduk sebelumnya, ia berjalan mendekati kamar Gita. “Gita beda banget, dulu bodynya gak kayak gini,” gumam Anton.Anton hendak mengintip Gita yang sedang ganti pakaian di dalam kamar.Ceklek!Kebetulan sekali saat itu Gita membuka pintu, “Kamu ngapain?” tanya Gita, mengerutkan alis.Anton benar-benar panik dan hampir tidak bisa berkata apa-apa, “A-aku mau numpang ke toilet,” jawab Anton, cepat.“Oh, toiletnya ada di sana!” balas Gita.Anton pun langsung pergi menuju toilet, ‘Sialan, hampir aja ketahuan!’ batin Anton.Gita masih berprasangka baik pada Anton, ia sama sekali tidak memilih kecurigaan pada Anton.Ceklek!Saat Anton keluar dari dalam toilet, ternyata Gita sudah menunggu Anton. “Eh, kamu di sini?” tanya Anton, kikuk.“Iya, aku mau mandi. Gerah banget rasanya hari ini,” jawab Gita. Ia pun lalu
Gita mendorong Anton, ia tidak ingin Anton terlalu dekat dengannya.Karena Gita merasa risih dengan Anton yang terlalu dekat, ditambah lagi Anton hanya mengenakan selembar handuk.“Anton! Apa-apaan kamu?” Gita terlihat tidak senang dengan apa yang baru saja Anton lakukan.Beruntung kecupan Anton sama sekali tidak mengenai pipi atau bagian wajah Gita yang lain, karena tepat saat itu Gita masih sempat menghindarinya dan Anton hanya bisa mengecup telinga yang tertutup rambut.Anton mengerutkan alis, “Kenapa, Git?” tanya Anton.Untuk beberapa saat Anton menatap Gita, sementara itu Gita juga menatap Anton dengan penuh tanda tanya.“Kamu tanya kenapa? Aku yang harusnya nanya, kamu kenapa?” balas Gita, agak menyentak.Anton berpikir kalau Gita hanya sedang berpura-pura jual mahal, “Ayolah, aku tau daritadi kamu sengaja, kan?” ucapnya menyeringai.“Apa maksud kamu?” marah Gita
Deg!Seketika Gita teringat dengan masa lalu sahabatnya yang tidak lain adalah Ayas, ia tidak mau hal buruk seperti itu menimpa dirinya.Karena jelas apa yang Ayas alami jauh berbeda, karena Anton dan Tira benar-benar tidak sama.Greb!Tiba-tiba Gita meremas bola gantung Anton, “Mampus!” geram Gita, ia meremasnya sekuat tenaga.“AAAAAAAA!” Anton berteriak kesakitan.Tidak hanya sampai di situ, lalu Gita mendorong Anton hingga terjengkang.Brukk!“Git, kamu ini apa-apaan, sih?” marah Anton, sambil berusaha berdiri menahan rasa sakit.“Kamu yang apa-apaan? Dasar bajingan!” balas Gita, memaki Anton.Lalu dengan emosi yang luar biasa dan sekuat tenaga, Gita menendang bagian vital Anton dengan sangat keras.Jebret!“AAAAA!” Sontak Anton langsung ambruk dan meringkuk kesakitan di atas lantai.“Rasain, tuh! Emang, enak?” cibir Gi