Share

PERSIAPAN

Author: Veronica Za
last update Last Updated: 2022-03-04 16:17:01

"Kita mampir dulu, ya? Lapar," rengek Kak Rai sambil mengelus perut six pack-nya dengan satu tangan, sedang yang lain memegang kemudi.

"Kan tadi sebelum pergi kita makan dulu. Masa makan lagi?" Aku menatapnya bingung. Tapi, dia malah terkekeh geli.

"Kalau orang nervous pasti bawaannya lapar mulu." Dia mengedipkan sebelah matanya ke arahku.

"Nervous kenapa?"

"Lah, dia pake nanya segala! Kok, kesannya cuma aku yang antusias sama pernikahan ini? Kamu nggak suka, ya?"

"Kalau gitu kita makan di situ saja," kataku seraya menunjuk sebuah mall yang tak jauh dari posisi kami. Aku sengaja tak menjawab pertanyaannya.

"Hmm ... ok!"

Kak Rai berbelok masuk ke arah gedung bertingkat itu. Ada gurat kekecewaan di wajahnya yang aku tak tahu karena apa.

Kami memilih cafe bernuansa Sunda, karena memang Kak Rai suka dengan makanan khas Si Kabayan itu. Baru saja memasuki cafe, tiba-tiba sebuah suara memanggil nama Kak Rai dari meja yang terletak di sudut ruangan.

"Rai ... sini!" Pria berwajah oriental terlihat melambaikan tangannya ke arah kami. Kak Rai tersenyum menghampiri mereka, sedangkan aku hanya mengekor di belakangnya.

Kedua pria itu tampak senang karena kebetulan bertemu. Aku menyambut ramah jabat tangan Kak Tio, sahabat sekaligus rekan kantor Kak Rai.

"Lama banget nggak ketemu kamu, Sa. Jadi, pangling aku lihat kamu."

Aku hanya tersenyum menanggapi perkataannya. Memang terakhir bertemu dengannya, ketika aku masih SMA.

Mataku menangkap sosok wanita yang kemarin membuat badai dalam hatiku. Wanita yang seenaknya mencium calon suami orang. Di sampingnya, wanita itu tak kalah cantik, hanya bedanya ia memakai hijab.

"Eh, lupa! Kenalin ... ini Saskia. Ini Davina, istriku sekaligus partner kerja." Aku menjabat tangan mereka. "Ini Nissa, adiknya Raihan."

Aku tak suka saat Kak Tio menyebutku “Adik”. Apa Kak Rai tidak bercerita tentang lamarannya waktu itu? Aku tetap diam, karena melihat Kak Rai terkesan tak peduli.

Jadi, wanita kurang kerjaan itu bernama Saskia. Dia terus-menerus menatap ke arah Kak Rai Padahal yang di pandang malah sibuk dengan handphone-nya.

Setelah berbasa-basi, Saskia berdiri dan tiba-tiba menunduk berbisik di telinga Kak Rai. Meskipun Kak Rai menghindar, sehingga jarak mereka tidak rapat. Namun, tetap saja membuat wajah ini terasa panas.

"Sa, aku keluar sebentar, ya? Tunggu di sini aja!" kata Kak Rai langsung mengikuti langkah Saskia yang berjalan keluar setelah pamit pada Kak Tio dan istrinya.

Ingin menangis tapi malu pada dua orang di hadapanku. Mencoba tetap tersenyum walaupun sebenarnya tanganku mengepal, menahan cairan bening di pelupuk mata agar tidak terjun bebas.

"Mereka berdua itu aneh tau, Sa! Yang satu ngaku pacar eh yang satunya ngaku teman." Kak Tio menjelaskan seolah menangkap ekspresi bingung di wajahku.

"Kok gitu, Kak?" tanyaku mulai tertarik untuk mencari informasi.

"Ya gitu, deh! Saskia naksir Raihan sejak pertama masuk kerja. Ada-ada saja ulahnya yang kadang sampai bikin gerah. Bahkan, kemarin hampir saja Saskia nyosor si Rai."

"Hampir?" Aku mencoba mencerna kata yang janggal itu. Jelas-jelas kemarin mereka berciuman.

Aku menyimpulkan bahwa orang yang ditelepon Saskia di minimarket itu adalah Davina. Aku masih ragu soal kedekatan mereka. Nyatanya, sekarang aku ditinggal demi bisa berduaan dengan Saskia.

"Tapi, kenapa Kak Rai mau aja meladeni cewek begitu?"

"Karena dia anak Pak Aryo, Bos kami. Mana mungkin kami tolak, yang ada malah dipecat."

Belum lagi aku mengajukan pertanyaan lain, Kak Rai sudah berada di depan kami sambil membawa paperbag kecil. Saskia tidak terlihat lagi bersamanya.

"Sudah selesai makannya?" tanya Kak Rai yang kujawab dengan anggukan. "lanjut pulang, yuk!"

Lagi-lagi aku mengangguk. Aku berpamitan pada dua orang yang tidak sengaja menjadi informanku tadi. Sebelum berpisah, Kak Rai memberikan paperbag itu kepada Kak Tio.

"Hari Senin nanti, tolong bagikan ini ke teman-teman di kantor, ya! Aku sudah mengajukan cuti dua minggu buat persiapan."

"Cuti apaan, Rai?"

"Nikah," jawab Kak Rai santai.

Mereka berdua sontak terkejut. Bahkan, Davina segera membuka isi paperbag dan membaca salah satu kertas undangan.

"Menikah. Raihan Putra Wiryawan dengan Denissa Anastasya."

Davina dan Kak Tio menatap kami tak percaya. Seolah baru saja mendengar berita yang tak masuk akal.

"Kamu beneran nikah sama Nissa, Rai?" tanya Kak Tio yang sudah tahu nama asliku sejak dulu.

"Dennisa itu Nissa?" Davina menunjuk ke arahku, yang sudah seperti kepiting rebus menahan malu. "Jadi, benar kata Saskia. Kamu nikah sama anak pemilik panti asuhan, kan?"

"Iya, benar. Hanya itu kalimat yang benar dari ucapan Saskia. Selebihnya bohong!"

Kak Rai mengajakku pulang. Aku berpamitan dan meminta maaf karena kabar ini mengejutkan mereka.

Sepanjang perjalanan, kami berdiam diri. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesampainya di rumah, Kak Rai hanya mengantarku sampai teras.

"Kak," panggilku ragu hendak bertanya.

"Hmm?"

"Maksud dari 'selebihnya bohong' itu apa?"

"Kamu penasaran? Kenapa nggak tanya langsung dari tadi?" Kak Rai mengerling ke arahku yang menyesal karena bertanya.

"Se-sedikit."

"Untuk saat ini, aku nggak bisa menjelaskan dan menjanjikan apa pun sama kamu. Tapi, aku minta supaya kamu bisa mencoba percaya pada semua keputusanku. Insha Allah, semua sudah jadi takdir bagi kita." Ada jeda sejenak sebelum Kak Rai melanjutkan kata-katanya, "Kamu bisa kan mempercayaiku? Sekarang dan juga seterusnya?"

Aku terpana mendengar kalimat ajaib Kak Rai. Tak menyangka jika seorang yang memiliki tingkat kejahilan tertinggi itu bisa berkata seserius itu. Anggukan kecil dariku membuatnya tersenyum penuh arti. Aku akan berusaha untuk percaya!

Kak Rai pamit pulang ke apartemen miliknya setelah berbincang sebentar dengan Ibu.

Aku tertidur sambil memeluk album foto masa kecil kami yang penuh cerita. Semoga masa depan kami nantinya juga akan berakhir bahagia.

Persiapan menjelang hari pernikahan mencapai sembilan puluh persen. Rumah yang semula damai, kini menjadi layaknya sebuah pasar.

Teriakan dua bocah berlaina jenis terdengar nyaring memekakkan telinga. Mereka berlarian mengitari seisi rumah. Sedangkan, ibu mereka malah asyik mengobrol dengan ibuku sambil memilah-milah beberapa baju.

"Ra, kamu nggak ngajak Dodi?" tanya Ibu sambil melipat baju yang dipilihnya.

"Nanti malam nyusul, Bu. Dia masih ada kerjaan yang belum selesai. Kan besok dia mau cuti panjang." Wanita berhidung mancung itu mengelus perutnya yang buncit. Ada calon jagoan baru di dalam sana yang sedang menanti hari kebebasannya.

"Kamu kan lagi hamil besar, Amara. Harusnya nggak usah datang."

"Masa iya, di hari bahagia kedua adikku, kakaknya yang cantik ini nggak datang. Nanti Raihan bisa dendam bertahun-tahun."

Amara, kakak kami yang selalu menjadi tempat curhat bagiku dan Kak Rai. Suster cantik itu, kini menjelma menjadi ibu muda yang menawan dengan sepasang anak kembar.

"Tapi, Kak. Itu anaknya kok, mirip banget sama ibunya, ya? Pecicilan." Aku menatap ngeri kedua bocah hyperactive yang sedang berloncatan di atas sofa ruang keluarga.

Kak Amara terkekeh. Dengan santai ia berkata, "Lebih tepatnya mirip kamu sama Raihan. Untung aja mereka saudara kandung. Coba kayak kalian, pasti jatuh cinta juga!"

Kata-kata ibu hamil itu membuatku merona seketika. Teringat kebiasaanku dan Kak Rai saat kecil dulu. Sama nakalnya seperti si kembar.

Aku pura-pura sibuk memilih baju yang sudah dilipat Ibu. Beliau tertawa melihat perdebatan kami tadi.

Baju-baju ini akan dibawa saat aku resmi menjadi istri Kak Rai nanti. Sedangkan sisanya, akan disumbangkan ke panti asuhan sahabat Ayah.

Suara denting pertanda pesan masuk terdengar dari benda pintar berwarna gold itu. Aku segera membukanya sambil berlalu, meninggalkan Ibu dan Kak Amara yang tersenyum nakal.

[Lagi ngapain?]

Segera kubalas pesan dari calon suamiku itu.

[Lagi santai sambil nonton si kembar ngobrak-abrik rumah.]

[Ada Kak Amara, ya? Ada Nadin sama Vino juga?]

[Iya.]

[Waah ... kangen banget nih, sama mereka. Jadi pengen ke rumah, deh.]

Aku merasa cemburu pada dua malaikat nakal itu. Mereka mencuri perhatian Kak Rai dengan mudah.

[Cuma kangen sama mereka?]

[Iya. Kalau saja nggak ada acara pingitan, aku pasti udah meluncur ke rumah.]

[Ngapain? Ketemu Si Kembar?]

Aku mulai kesal tak mendapat perhatiannya.

[Bukan. Tapi ketemu kamu ....]

Pipiku mungkin sudah berubah merah, menahan reaksi dari hati yang bergejolak.

Lusa adalah hari yang benar-benar kunantikan. Entah bagaimana perasaan Kak Rai saat ini. Bagiku, membayangkan saja membuat jantung ini berdetak hingga hampir lepas dari tempatnya.

Lamunanku buyar setelah mendengar bunyi vas bunga pecah dari arah ruang tamu. Secepat kilat aku berlari menuju asal suara.

"Pasti ulah si kembar!" Aku menggerutu, kesal.

Related chapters

  • After Marriage   MALAM PERTAMA

    Sosok cantik tersenyum di hadapanku. Bibirnya merah merekah dengan riasan natural. Tak ada bulu mata palsu yang menghias matanya yang sudah indah sejak lahir. Tak ada pula sapuan blush on di pipinya yang merona alami.Balutan kebaya putih dengan hijab senada, membuat penampilan sosok itu tampak berbeda dari biasa.Senyum terkembang tanpa henti di bibirnya. Mengingat sebentar lagi, ia akan menempuh hidup yang baru. Mengarungi bahtera kehidupan bersama orang yang dicintainya.Sosok itu adalah diriku yang terjebak dalam cermin. Di luar sana, Kak Rai tengah mempersiapkan diri untuk membaca ijab kabul.Andai saja Ayah masih di sini, mungkin Beliau yang akan menikahkanku. Om Tedy, adiknya Ayah, bersedia mengisi posisi wali yang kosong. Saat yang mendebarkan akhirnya tiba. Kak Rai menjabat erat tangan wali dan mengucap ijab kabul dengan satu helaan napas. Cairan bening dan hangat mengalir, diiringi ucapan syukur kepada-Nya dari bibirku dan juga keluarga. Aku

    Last Updated : 2022-03-04
  • After Marriage   DURI DI PAGI HARI

    Tepat setelah kepergian Saskia, Nadin dan Vino terbangun. Dengan pikiran kalut aku mengurus keduanya dan membuatkan sarapan instan. Nasi goreng sosis. Setelah bersiap, kami menuju rumah sakit tempat Kak Amara melahirkan. Sampai detik ini, baik aku maupun Kak Raihan tak ada yang memulai percakapan. Kehadiran Saskia cukup membuat Kak Rai goyah. Bagaimana tidak! Hanya lelaki gila saja yang tidak tergoda ditawari bidadari.“Mama!” Nadin dan Vino berteriak memanggil sang ibu tepat ketika pintu kamar VIP ini terbuka. Ibu dan Kak Dodi menyambut kedua bocah itu suka cita, sementara Kak Amara tengah menggendong putri cantik kecil yang mungkin ketika dewasa nanti akan sangat mirip ayahnya.“Siang banget ke sininya, Sa. Ibu hampir saja pulang buat mastiin keadaan anak-anak. Ibu takut kamu kurung mereka di kamar mandi,” jelas Kak Amara yang membuatku heran. “Apa sih, Kak! Mana bisa seorang Nissa yang baik hati dan tidak sombong ini berbuat keji kepada dua keponakan kesayangann

    Last Updated : 2022-03-04
  • After Marriage   MELABRAK

    Entah kenapa sudah beberapa hari ini aku selalu teringat masa-masa kecil dulu.Sebenarnya aku hanya ingin kembali ke masa-masa itu. Di mana rasa sakit karena sikap Kak Raihan yang tak acuh terhadap perasaanku tak begitu membuatku secemas ini.Tak ada yang berbeda sebenarnya sejak berstatus sebagai kakak ataupun suami. Yang berbeda adalah aku. Aku tak suka dengan sikapnya yang menerima wanita lain ke rumah kami. Ditambah lagi, permintaan yang masuk akal itu tidak dia sanggah sama sekali. Padahal dulu, saat aku hanya menjadi adiknya, tak terasa sesakit ini ketika dia bilang pada Ibu ada wanita yang ia sukai.“Kamu masih mikirin kata-kata Saskia?” Pertanyaan Dina seolah menyeretku kembali ke bumi. Mulai hari ini aku dan Kak Raihan sama-sama kembali bekerja. Tak ada bulan madu untuk kami karena situasi yang kurang mendukung. Kak Raihan tengah mempersiapkan proyek baru di kantornya, tentu saja akan sangat banyak menyita waktu. Sedangkan aku sendiri tidak mungki

    Last Updated : 2022-04-18
  • After Marriage   POSSESSIVE

    “Bu, Nissa mau tanya sesuatu boleh?” tanyaku suatu malam saat bersama Ibu yang baru saja pulang dari rumah Kak Amara.“Boleh dong, Nak. Apa yang mau kamu tanyakan?” Ibu membelai rambut hitam sebahuku yang kini kurebahkan di atas kedua pahanya. Sungguh, hal ini adalah momen favorit dalam hidupku. Selain Ayah, hanya Ibu yang mampu memberikan rasa aman dan nyaman.Perlahan, kuhirup napas dan mengembuskannya dengan ritme yang pelan. Sesuatu yang mengganjal hatiku sejak beberapa hari ini bolehkah aku ceritakan pada ibu? Seperti yang biasa aku dengar dari dakwah dan media tentang istri yang wajib menutupi aib dan borok suami. Apakah yang Kak Raihan lakukan saat ini adalah sebuah aib? Ataukah sebuah luka yang akan segera menjadi borok jika terlalu lama didiamkan?Jika mengikuti kata hati, tentu sudah sejak awal kedatangan Saskia ke rumah aku melapor kepada Ibu. Aku akan menangis dan meraung saat bercerita dengan beliau, kemudian merajuk hingga Kak Raihan mau menuruti mauku

    Last Updated : 2022-04-18
  • After Marriage   SAHABAT LAMA

    Hari ini adalah malam kedua Kak Raihan pergi ke Semarang untuk ikut seminar kantor dan hingga saat ini pula chat yang aku kirimkan tak mendapat respons apa pun. Jika saja aku tak punya kesabaran ekstra, tentu sudah kususul dia dan kumaki di depan semua rekan kerjanya. Sebegitu sibuknyakah sampai lupa memberi kabar.Okelah kita anggap dia tengah sibuk, tapi apakah tak ada satu menit pun di sela-sela waktu istirahatnya untuk membaca chat-ku? Kalaupun mungkin handphone Kak Raihan bermasalah, entah hilang atau rusak, harusnya dia bisa memberi kabar lewat telepon rumah. Apa mungkin dia terlalu bersemangat saat pergi dengan Saskia dan menghabiskan waktu istirahatnya berdua saja? Ah, pikiranku semakin kacau. Jujur, yang paling aku sesali sekarang adalah aku tidak pernah mengetahui siapa saja teman Kak Raihan yang bisa kuhubungi di saat genting.“Sa, tolong pergi ke supermarket sebentar, ya. Ibu lupa beli susu buat bikin puding.” Ibu menghampiriku yang tengah memberi makan ikan Koi kesayangan

    Last Updated : 2022-05-19
  • After Marriage   BIMBANG

    Menjadi seorang istri tapi dengan label adik itu terasa sangat menjengkelkan. Bayangkan saja, ketika suami yang sudah sejak beberapa hari ini kau tunggu kabarnya, kini pulang dengan santai sambil membawa oleh-oleh yang katanya semuanya untukku. Hei, aku ini bukan lagi adik kecil yang perlu oleh-oleh saat kamu pergi jauh. Bukan juga senyum tengil yang kini seolah menjadi hal wajib ketika ada bersamaku. Aku benci dia. Aku benci sikapnya. Bahkan, kini aku sangat membenci senyumnya. Aku benci semua hal tentang dirinya.Aku mengurung diri di dalam kamarku sendiri. Aku tak mau lagi berbagi kamar dengannya. Biar saja dia kembali ke kamar lamanya. Toh, setelah maupun sebelum menikah sama saja bagiku. Dia tetap Raihan yang sibuk dengan segala kegiatannya.“Sa, ayo makan malam. Suami kamu sudah nungguin tuh dari tadi. Masa Ibu yang harus nemenin, sih?” Ibu mengetuk pintu kamarku pelan. “Nissa nggak lapar, Bu. Ibu sama Kak Raihan makan duluan saja.” Aku bergeming. Aku tak mau ke sana. Untuk ap

    Last Updated : 2022-05-19
  • After Marriage   STALKING

    Dio datang ke rumah bersama Dina. Aku yang baru saja akan pergi akhirnya mengajak mereka ke cafe tempat Kak Raihan dan Saskia janjian bertemu. Sesampainya di sana, aku tidak menemukan keberadaan mereka. “Kamu yakin mereka janjian di sini?” tanya Dina tak sabar karena dia yang paling mengerti perasaanku saat ini.“Aku sih dengernya begitu, tapi nggak yakin juga karena Kak Rai kan sudah jalan satu jam sebelum kita ke sini,” jawabku sambil masih mencoba menilik seisi cafe.Dio berjalan menuju toilet yang berseberangan dengan toilet wanita. Aku pikir dia hanya ingin ke kamar kecil. Namun, tidak lama kemudian dia muncul dengan wajah memelas.“Dia nggak ada di toilet juga,” ucapnya polos membuatku dan Dina serempak tertawa.Bocah ganteng ini sungguh benar-benar polos. Dia bisa dengan lugunya berpikir mereka berdua ada di toilet. Astaga, apakah benar ini orang yang sama dengan juara kelas yang kukenal dulu?“Yakali mereka ketemuan di t

    Last Updated : 2022-07-25
  • After Marriage   Keputusan

    Malam ini, Ibu kembali menginap di rumah Kak Amara. Beliau bilang, Kak Amara sedang sakit dan Kak Dodi masih di luar kota. Ibu tak tega meninggalkannya sendirian mengurus bayi dan kedua kakaknya yang hiperaktif itu.Ada baiknya Ibu tak ada di rumah. Malam ini akan kupastikan Kak Raihan menjawab pertanyaan yang selama ini mengusik hidupku. Jika benar hubungan ini sebatas hubungan di atas kertas, maka aku akan memperjelas situasinya dan mengajukan beberapa syarat, salah satunya tentang perceraian. Entah bagaimana respons Kak Raihan menanggapi semua syarat dariku, yang pasti aku mau hubungan yang jelas. Aku juga ingin segera move on dan mulai menata kembali hatiku supaya bisa membuka hati untuk yang lain. Sudah cukup rasanya aku bertahan selama ini.“Aku mau bicara,” ujarku sambil duduk di sisi kanan sofa ruang TV, sementara dia berada di sisi kirinya.“Kenapa?” tanyanya seolah tanpa dosa.Aku ingin membahas tentang kejadian tadi siang, tapi Kak Rai malah terl

    Last Updated : 2022-07-26

Latest chapter

  • After Marriage   BERUBAH-UBAH

    “Kamu butuh yang lain?” Suara Kak Raihan membuyarkan lamunanku. Aku tersentak. Bisa-bisanya aku melamun di tengah-tengah keramaian ini dan mengabaikan Kak Raihan yang entah sudah berapa kali bertanya kepadaku. Dua bungkus nugget yang dia sodorkan tadi aku terima dan memasukkannya ke keranjang. Seminggu setelah keputusan itu, kami berusaha bersikap seperti biasa. Sisa waktu ini akan kami habiskan dengan tanpa masalah, semoga. Aku rasa sudah lebih dari cukup hubungan kami sebatas kakak-adik seperti dulu.“Mau apa lagi? Ada yang kurang?” tanya Kak Raihan lagi karena tadi aku hanya terdiam saja.“Nggak ada, Kak. Eh, tapi ada satu barang yang mau kubeli sebelum pulang nanti. Apa Kakak bisa antar aku ke sana?” Aku perlu membeli beberapa baju dalam untuk persiapan seminar nanti. Lucu saja kalau sampai teman sekamarku nanti tahu kalau baju dalamku sudah belel semua.“Oke.” Kak Raihan berjalan ke kasir dan mengantre untuk membayar belanjaan kami yang sungguh a

  • After Marriage   PERUBAHAN

    “Kamu butuh yang lain?” Suara Kak Raihan membuyarkan lamunanku. Aku tesentak. Bisa-bisanya aku melamun di tengah-tengah supermarket ini dan mengabaikan Kak Raihan yang entah sudah berapa kali bertanya kepadaku. Dua bungkus nugget yang dia sodorkan tadi aku terima dan memasukkannya ke keranjang. Seminggu setelah keputusan itu, kami berusaha bersikap seperti biasa. Sisa waktu ini akan kami habiskan dengan tanpa masalah, semoga. Kami kembali menjadi saudara yang saling menyayangi sejak saat itu, dan aku merasa cukup.“Mau apa lagi? Ada yang kurang?” tanya Kak Raihan lagi karena tadi aku hanya terdiam saja.“Nggak ada, Kak. Eh, tapi ada satu barang yang mau kubeli sebelum pulang nanti. Apa Kakak bisa antar aku ke sana?” Aku perlu membeli beberapa baju dalam untuk persiapan seminar nanti. Lucu saja kalau sampai teman sekamarku nanti tahu kalau baju dalamku sudah belel semua.“Oke.” Kak Raihan berjalan ke kasir dan mengantre untuk membayar belanjaan kami ya

  • After Marriage   Keputusan

    Malam ini, Ibu kembali menginap di rumah Kak Amara. Beliau bilang, Kak Amara sedang sakit dan Kak Dodi masih di luar kota. Ibu tak tega meninggalkannya sendirian mengurus bayi dan kedua kakaknya yang hiperaktif itu.Ada baiknya Ibu tak ada di rumah. Malam ini akan kupastikan Kak Raihan menjawab pertanyaan yang selama ini mengusik hidupku. Jika benar hubungan ini sebatas hubungan di atas kertas, maka aku akan memperjelas situasinya dan mengajukan beberapa syarat, salah satunya tentang perceraian. Entah bagaimana respons Kak Raihan menanggapi semua syarat dariku, yang pasti aku mau hubungan yang jelas. Aku juga ingin segera move on dan mulai menata kembali hatiku supaya bisa membuka hati untuk yang lain. Sudah cukup rasanya aku bertahan selama ini.“Aku mau bicara,” ujarku sambil duduk di sisi kanan sofa ruang TV, sementara dia berada di sisi kirinya.“Kenapa?” tanyanya seolah tanpa dosa.Aku ingin membahas tentang kejadian tadi siang, tapi Kak Rai malah terl

  • After Marriage   STALKING

    Dio datang ke rumah bersama Dina. Aku yang baru saja akan pergi akhirnya mengajak mereka ke cafe tempat Kak Raihan dan Saskia janjian bertemu. Sesampainya di sana, aku tidak menemukan keberadaan mereka. “Kamu yakin mereka janjian di sini?” tanya Dina tak sabar karena dia yang paling mengerti perasaanku saat ini.“Aku sih dengernya begitu, tapi nggak yakin juga karena Kak Rai kan sudah jalan satu jam sebelum kita ke sini,” jawabku sambil masih mencoba menilik seisi cafe.Dio berjalan menuju toilet yang berseberangan dengan toilet wanita. Aku pikir dia hanya ingin ke kamar kecil. Namun, tidak lama kemudian dia muncul dengan wajah memelas.“Dia nggak ada di toilet juga,” ucapnya polos membuatku dan Dina serempak tertawa.Bocah ganteng ini sungguh benar-benar polos. Dia bisa dengan lugunya berpikir mereka berdua ada di toilet. Astaga, apakah benar ini orang yang sama dengan juara kelas yang kukenal dulu?“Yakali mereka ketemuan di t

  • After Marriage   BIMBANG

    Menjadi seorang istri tapi dengan label adik itu terasa sangat menjengkelkan. Bayangkan saja, ketika suami yang sudah sejak beberapa hari ini kau tunggu kabarnya, kini pulang dengan santai sambil membawa oleh-oleh yang katanya semuanya untukku. Hei, aku ini bukan lagi adik kecil yang perlu oleh-oleh saat kamu pergi jauh. Bukan juga senyum tengil yang kini seolah menjadi hal wajib ketika ada bersamaku. Aku benci dia. Aku benci sikapnya. Bahkan, kini aku sangat membenci senyumnya. Aku benci semua hal tentang dirinya.Aku mengurung diri di dalam kamarku sendiri. Aku tak mau lagi berbagi kamar dengannya. Biar saja dia kembali ke kamar lamanya. Toh, setelah maupun sebelum menikah sama saja bagiku. Dia tetap Raihan yang sibuk dengan segala kegiatannya.“Sa, ayo makan malam. Suami kamu sudah nungguin tuh dari tadi. Masa Ibu yang harus nemenin, sih?” Ibu mengetuk pintu kamarku pelan. “Nissa nggak lapar, Bu. Ibu sama Kak Raihan makan duluan saja.” Aku bergeming. Aku tak mau ke sana. Untuk ap

  • After Marriage   SAHABAT LAMA

    Hari ini adalah malam kedua Kak Raihan pergi ke Semarang untuk ikut seminar kantor dan hingga saat ini pula chat yang aku kirimkan tak mendapat respons apa pun. Jika saja aku tak punya kesabaran ekstra, tentu sudah kususul dia dan kumaki di depan semua rekan kerjanya. Sebegitu sibuknyakah sampai lupa memberi kabar.Okelah kita anggap dia tengah sibuk, tapi apakah tak ada satu menit pun di sela-sela waktu istirahatnya untuk membaca chat-ku? Kalaupun mungkin handphone Kak Raihan bermasalah, entah hilang atau rusak, harusnya dia bisa memberi kabar lewat telepon rumah. Apa mungkin dia terlalu bersemangat saat pergi dengan Saskia dan menghabiskan waktu istirahatnya berdua saja? Ah, pikiranku semakin kacau. Jujur, yang paling aku sesali sekarang adalah aku tidak pernah mengetahui siapa saja teman Kak Raihan yang bisa kuhubungi di saat genting.“Sa, tolong pergi ke supermarket sebentar, ya. Ibu lupa beli susu buat bikin puding.” Ibu menghampiriku yang tengah memberi makan ikan Koi kesayangan

  • After Marriage   POSSESSIVE

    “Bu, Nissa mau tanya sesuatu boleh?” tanyaku suatu malam saat bersama Ibu yang baru saja pulang dari rumah Kak Amara.“Boleh dong, Nak. Apa yang mau kamu tanyakan?” Ibu membelai rambut hitam sebahuku yang kini kurebahkan di atas kedua pahanya. Sungguh, hal ini adalah momen favorit dalam hidupku. Selain Ayah, hanya Ibu yang mampu memberikan rasa aman dan nyaman.Perlahan, kuhirup napas dan mengembuskannya dengan ritme yang pelan. Sesuatu yang mengganjal hatiku sejak beberapa hari ini bolehkah aku ceritakan pada ibu? Seperti yang biasa aku dengar dari dakwah dan media tentang istri yang wajib menutupi aib dan borok suami. Apakah yang Kak Raihan lakukan saat ini adalah sebuah aib? Ataukah sebuah luka yang akan segera menjadi borok jika terlalu lama didiamkan?Jika mengikuti kata hati, tentu sudah sejak awal kedatangan Saskia ke rumah aku melapor kepada Ibu. Aku akan menangis dan meraung saat bercerita dengan beliau, kemudian merajuk hingga Kak Raihan mau menuruti mauku

  • After Marriage   MELABRAK

    Entah kenapa sudah beberapa hari ini aku selalu teringat masa-masa kecil dulu.Sebenarnya aku hanya ingin kembali ke masa-masa itu. Di mana rasa sakit karena sikap Kak Raihan yang tak acuh terhadap perasaanku tak begitu membuatku secemas ini.Tak ada yang berbeda sebenarnya sejak berstatus sebagai kakak ataupun suami. Yang berbeda adalah aku. Aku tak suka dengan sikapnya yang menerima wanita lain ke rumah kami. Ditambah lagi, permintaan yang masuk akal itu tidak dia sanggah sama sekali. Padahal dulu, saat aku hanya menjadi adiknya, tak terasa sesakit ini ketika dia bilang pada Ibu ada wanita yang ia sukai.“Kamu masih mikirin kata-kata Saskia?” Pertanyaan Dina seolah menyeretku kembali ke bumi. Mulai hari ini aku dan Kak Raihan sama-sama kembali bekerja. Tak ada bulan madu untuk kami karena situasi yang kurang mendukung. Kak Raihan tengah mempersiapkan proyek baru di kantornya, tentu saja akan sangat banyak menyita waktu. Sedangkan aku sendiri tidak mungki

  • After Marriage   DURI DI PAGI HARI

    Tepat setelah kepergian Saskia, Nadin dan Vino terbangun. Dengan pikiran kalut aku mengurus keduanya dan membuatkan sarapan instan. Nasi goreng sosis. Setelah bersiap, kami menuju rumah sakit tempat Kak Amara melahirkan. Sampai detik ini, baik aku maupun Kak Raihan tak ada yang memulai percakapan. Kehadiran Saskia cukup membuat Kak Rai goyah. Bagaimana tidak! Hanya lelaki gila saja yang tidak tergoda ditawari bidadari.“Mama!” Nadin dan Vino berteriak memanggil sang ibu tepat ketika pintu kamar VIP ini terbuka. Ibu dan Kak Dodi menyambut kedua bocah itu suka cita, sementara Kak Amara tengah menggendong putri cantik kecil yang mungkin ketika dewasa nanti akan sangat mirip ayahnya.“Siang banget ke sininya, Sa. Ibu hampir saja pulang buat mastiin keadaan anak-anak. Ibu takut kamu kurung mereka di kamar mandi,” jelas Kak Amara yang membuatku heran. “Apa sih, Kak! Mana bisa seorang Nissa yang baik hati dan tidak sombong ini berbuat keji kepada dua keponakan kesayangann

DMCA.com Protection Status