Beranda / Romansa / After Marriage / MALAM PERTAMA

Share

MALAM PERTAMA

Penulis: Veronica Za
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Sosok cantik tersenyum di hadapanku. Bibirnya merah merekah dengan riasan natural. Tak ada bulu mata palsu yang menghias matanya yang sudah indah sejak lahir. Tak ada pula sapuan blush on di pipinya yang merona alami.

Balutan kebaya putih dengan hijab senada, membuat penampilan sosok itu tampak berbeda dari biasa.

Senyum terkembang tanpa henti di bibirnya. Mengingat sebentar lagi, ia akan menempuh hidup yang baru. Mengarungi bahtera kehidupan bersama orang yang dicintainya.

Sosok itu adalah diriku yang terjebak dalam cermin. Di luar sana, Kak Rai tengah mempersiapkan diri untuk membaca ijab kabul.

Andai saja Ayah masih di sini, mungkin Beliau yang akan menikahkanku. Om Tedy, adiknya Ayah, bersedia mengisi posisi wali yang kosong.

Saat yang mendebarkan akhirnya tiba. Kak Rai menjabat erat tangan wali dan mengucap ijab kabul dengan satu helaan napas.

Cairan bening dan hangat mengalir, diiringi ucapan syukur kepada-Nya dari bibirku dan juga keluarga.

Aku mencium tangan Kak Rai dengan takzim. Ia mengusap kepalaku, lembut. Ibu dan seluruh kakak kami di panti yang hadir menatap kami penuh haru. Perasaanku saat ini sudah bercampur aduk, tak dapat dilukiskan walau dengan kata-kata.

***

"Duh ... pegel banget berdiri seharian," keluhku ketika sudah berada di kamar. Aku meluruskan kaki di atas kasur, bersender pada dua bantal yang ditumpuk.

Kak Rai masih beramah tamah pada sahabat dan keluarga yang masih mengobrol di ruang tamu. Aku sempat berpikir, apakah seharian dipajang pada acara resepsi pernikahan kami tak membuatnya lelah?

Aku beringsut ke sisi ranjang, mengambil kotak berpita biru di atas meja. Hadiah itu dari Kak Amara. Ia sendiri yang menaruhnya di kamarku sebelum pergi ke gedung resepsi.

Penasaran, kubuka perlahan. Aku terpekik saat melihat isinya. Baju tidur putih panjang tanpa lengan dengan belahan dada yang cukup lebar.

Isi kado itu seakan menyadarkanku. Bukan hanya jiwa yang bersatu, melainkan juga raga kami. Seketika wajahku terasa panas, mungkin kini sudah sangat merah.

Terdengar suara langkah kaki menuju kamarku. Segera kusembunyikan kado Kak Amara di bawah ranjang. Aku merebahkan tubuh, memejamkan mata senormal mungkin.

Terdengar pintu dibuka dan langkah kaki yang kian mendekat. Aku mengatur napas supaya tak terlihat berpura-pura.

Desahan napas terasa sangat dekat dari wajahku. Hangat. Membuatku tergelitik untuk membuka mata dan memeluk pria yang sudah sah sebagai suami.

Jemarinya terasa membelai wajahku. Mungkin ia berpikir aku benar-benar terlelap. Mulai dari kening, pipi kemudian bibir.

Jantung ini hampir lepas, saat jemarinya tak juga beranjak dari bibirku. Aku sudah tak kuat lagi menjaga mata ini tetap terpejam. Namun, juga malu untuk membukanya.

Jari lembut itu terus menyapu bibirku dan kemudian beralih ke atas. Aku berteriak dan terduduk, saat ia dengan kencang mencubit hidungku.

"Pake acara pura-pura tidur segala, sih!" Kak Rai tergelak melihat hidungku yang merah.

"Iih ... Kak Rai jahat banget!" Aku mengusap hidung yang terasa berdenyut. Tega sekali suamiku ini!

Ia berhenti tertawa dan duduk di sampingku. Ia membawaku dalam pelukannya lama. Aku pun hanyut dalam rengkuhannya.

"Alhamdullillah. Akhirnya perjuangan selama ini berbuah hasil yang kuinginkan," bisiknya lembut di telingaku.

Aku tersenyum, meng-iyakan. Ia menatap lekat wajahku. Perlahan ia mengikis jarak di antara wajah kami. Aku memejamkan mata, menghitung dalam hati.

Lima centi ....

Tiga centi ....

Dan, sebelum kedua bibir ini bertemu. Tiba-tiba suara ketukan keras terdengar dari luar. Suara panik Ibu membuat Kak Rai tergesa membuka pintu.

"Rai, tolong Ibu. Kak Amara mau melahirkan. Ketubannya sudah pecah dan keluar darah."

"Hah ... yang benar, Bu?"

Tanpa menunggu jawaban, Kak Rai melesat ke arah kamar Ibu diikuti aku dan Ibu.

Kak Amara terlihat menahan sakit sambil memegangi perutnya. Cairan bening terus mengalir dari jalan lahir. Suamiku dengan sigap menggendong tubuh hamil yang kesakitan itu menuju mobil.

"Kak Dodi ke mana, Bu?" tanyaku sambil membantu menyiapkan barang yang dibutuhkan saat persalinan. Baju ibu dan bayi serta perlengkapan mandinya.

"Nganter kakakmu yang lain ke Bandara. Dia sudah Ibu telepon. Mungkin sudah balik lagi."

"Aku ganti baju dulu, ya. Aku tadi ketiduran jadi lupa ganti baju. Tunggu aja di mobil." Aku berbohong menutupi sikap bodoh yang lupa mengganti baju karena malu.

"Kamu nggak usah ikut! Jagain Nadin dan Vino. Nggak ada orang lagi di rumah. Mungkin Dodi juga langsung ke rumah sakit." Ibu berlalu setelah mendapat anggukan kepala dariku.

Mereka berangkat dengan iringan doa dalam setiap perjalanannya. Aku berharap Ibu dan bayinya sehat.

Aku mengganti baju dengan kaos panjang dan celana training panjang pula. Aku merebahkan diri di damping Vino dan Nadin yang terlelap tanpa mengetahui kondisi ibunya.

"Malam pertama yang menegangkan!" Aku berguman seiring mata yang terpejam. Kali ini nyata tanpa rekayasa.

***

Ting ... Tong!

Suara bel di pintu pagar membuatku berusaha membuka mata. Pagi mungkin sudah beranjak siang saat mataku menangkap sinar matahari yang menyeruak dari balik tirai.

Seolah mengumpulkan kesadaran, aku memindai seisi kamar. Dua bocil masih terlelap padahal mereka yang membuatku harus menahan kantuk hingga subuh. Keinginan untuk bertemu dengan adik barunya tak bisa sedikit pun mereka tahan.

Mataku berhenti memindai saat menangkap sosok yang baru sehari menjadi suamiku. Orang yang dulu pernah menjadi figur ayah, kakak, bahkan sahabat. Aku berharap, meskipun kami menikah dan sedikit canggung di awal, tetapi perlahan rumah tangga kami akan berjalan seperti layaknya pasangan yang saling mencintai.

Ting ... Tong!

Ah, aku lupa! Suara bel yang membangunkanku tadi malah terabaikan. Salahkan Kak Raihan yang tidur dengan wajah penuh senyum itu. Mau tak mau aku kembali mengingar ciuman hangat semalam. Andai saja duo bocil itu tidak terbangun, mungkin bulan depan sudah akan ada kabar bahagia dari kami. Astaga ... aku semakin melantur.

Suara bel yang ditekan berulang kali ditambah gedoran di pintu membuatku kesal. Tak bisakah orang itu sedikit bersabar. Harusnya dia juga mengerti adab bertamu, bukan malah membuat keributan di saat penghuni rumah masih belum sepenuhnya terjaga.

“Saskia? Ngapain ke sini pagi-pagi?” tanyaku sambil membuka pintu.

Seorang wanita yang tak mungkin aku lupakan seumur hidup itu ada di hadapanku. Wajahnya yang aku yakini memiliki berbagai macam perawatan itu terlihat marah. Wanita itu mengenakan gaun merah terang yang melekat erat di lekuk tubuhnya. Tubuh sintal yang tentu saja akan membuat suami tetanggamu sendiri menoleh. Highheels silver menambah kesan menggoda bagi semua Kaum Adam yang menatapnya.

“Di mana Raihan?” tanyanya ketus.

“Mau apa?” balasku tak kalah ketus. Enak saja pagi-pagi begini sudah mencari suami orang. Pakai baju super seksi lagi. Tanpa sengaja aku melirik baju yang kukenakan. Baju tidur Doraemon kedodoran membuatku bak bebek buruk rupa di hadapan angsa.

“Kamu nggak perlu tahu. Ini adalah urusan kami. Cepat panggil Raihan ke sini. Dia harus ikut aku ke suatu tempat.”

Belum lagi aku melawan ucapannya, suara Kak Raihan menyela. “Ada apa kamu ke sini, Sas?”

“Rai!”

Wanita itu berubah manja dan mendorongku ke samping dengan keras. Tanpa malu ia memeluk tubuh yang hanya berbalutkan kaos putih tipis. Dilihat dari posisi mana pun, sudah pasti tubuh sintal itu menekan tubuh sixpack Kak Rai.

Seolah mengetahui kecemburuanku, Kak Rai segera mendorong tubuh Saskia untuk menjauh. Dengan sopan Kak Rai menyuruh Saskia untuk duduk di sofa diikuti olehku dan Kak Raihan sendiri. Seharusnya aku membuatkan minuman demi menjaga tata krama, tapi kalau tamu yang datang adalah duri dalam daging, tentu aku tak perlu memikirkan itu.

"Ada perlu apa kamu kemari?" tanyaku senormal mungkin sambil menyodorkan bantalan sofa untuk menutupi pahanya itu, sebelum menjadi zina mata suamiku nanti.

Ia menerimanya sambil tersenyum sinis lalu bertanya dengan nada mengejek, "Kamu takut, ya? Takut suamimu itu tergiur pada tubuhku?"

Aku hanya melengos, berusaha bersabar.

"Ada apa, Sas? Pagi-pagi sudah berkunjung. Minggu depan di kantor, kan, bisa ketemu.”

Sontak saja aku kesal mendengar kalimat terakhirnya. Mereka sering bertemu di kantor.

"Aku ingin bicara sama kalian. Kalau di kantor kan cuma ada kamu," jawab Saskia dengan nada manja membuatku ingin muntah.

"Menikahlah denganku, Raihan!"

Kata-kata yang meluncur dari bibir sensualnya itu seolah tanpa filter. Seenaknya menerobos tembok tak kasat mata yang baru kami bangun satu hari lalu.

"Kamu gila, ya?" Aku berdiri tak terima dengan permintaannya. Kak Rai menggenggam tanganku erat. Otomatis, aku kembali terduduk dengan perasaan yang sulit diungkapkan.

Tak ada satu pun kata yang keluar dari bibir suamiku. Apakah ia sedang mempertimbangkan tawaran Saskia? Aku menggigit bibir bawah, demi menahan gejolak amarah yang hampir memuncak.

"Apa kurangnya aku dibandingkan dia?" Jari telunjuk Saskia mengarah tepat ke wajahku. "Cantik, terpelajar, dan yang terpenting aku ini kaya. Kalau kamu menikahiku, Papa nggak bakal cuma jadiin kamu seorang manajer. Sama sekali tak ada rugi bagimu jika menikahiku, malah untung. Sekarang aku rela jadi yang kedua. Apa lagi yang kamu pikirkan, Raihan?"

Tangan Kak Rai tetap menggenggam tanganku yang bergetar hebat. Jika tidak, mungkin saja sudah melayang ke wajah cantiknya itu. Aku yang sudah berada di ambang murka akhirnya tidak mampu berkata-kata.

"Kamu salah jika berpikir seperti itu, Saskia. Aku sama sekali tidak menginginkan semua yang ada padamu dan keluargamu. Hanya akan ada satu pendamping dalam hidupku. Nissa!"

Saskia mencebik, kemudian dengan angkuh berkata, "Dasar bodoh! Baiklah, jika memang itu yang kamu mau. Satu pendamping, ya?"

Wanita dengan tubuh semampai itu berlalu setelah agak lama menatap lelakiku. Kulihat raut wajah Kak Rai berubah cemas. Entah apa itu. Mungkinkah kariernya yang kini jadi terancam?

Bab terkait

  • After Marriage   DURI DI PAGI HARI

    Tepat setelah kepergian Saskia, Nadin dan Vino terbangun. Dengan pikiran kalut aku mengurus keduanya dan membuatkan sarapan instan. Nasi goreng sosis. Setelah bersiap, kami menuju rumah sakit tempat Kak Amara melahirkan. Sampai detik ini, baik aku maupun Kak Raihan tak ada yang memulai percakapan. Kehadiran Saskia cukup membuat Kak Rai goyah. Bagaimana tidak! Hanya lelaki gila saja yang tidak tergoda ditawari bidadari.“Mama!” Nadin dan Vino berteriak memanggil sang ibu tepat ketika pintu kamar VIP ini terbuka. Ibu dan Kak Dodi menyambut kedua bocah itu suka cita, sementara Kak Amara tengah menggendong putri cantik kecil yang mungkin ketika dewasa nanti akan sangat mirip ayahnya.“Siang banget ke sininya, Sa. Ibu hampir saja pulang buat mastiin keadaan anak-anak. Ibu takut kamu kurung mereka di kamar mandi,” jelas Kak Amara yang membuatku heran. “Apa sih, Kak! Mana bisa seorang Nissa yang baik hati dan tidak sombong ini berbuat keji kepada dua keponakan kesayangann

  • After Marriage   MELABRAK

    Entah kenapa sudah beberapa hari ini aku selalu teringat masa-masa kecil dulu.Sebenarnya aku hanya ingin kembali ke masa-masa itu. Di mana rasa sakit karena sikap Kak Raihan yang tak acuh terhadap perasaanku tak begitu membuatku secemas ini.Tak ada yang berbeda sebenarnya sejak berstatus sebagai kakak ataupun suami. Yang berbeda adalah aku. Aku tak suka dengan sikapnya yang menerima wanita lain ke rumah kami. Ditambah lagi, permintaan yang masuk akal itu tidak dia sanggah sama sekali. Padahal dulu, saat aku hanya menjadi adiknya, tak terasa sesakit ini ketika dia bilang pada Ibu ada wanita yang ia sukai.“Kamu masih mikirin kata-kata Saskia?” Pertanyaan Dina seolah menyeretku kembali ke bumi. Mulai hari ini aku dan Kak Raihan sama-sama kembali bekerja. Tak ada bulan madu untuk kami karena situasi yang kurang mendukung. Kak Raihan tengah mempersiapkan proyek baru di kantornya, tentu saja akan sangat banyak menyita waktu. Sedangkan aku sendiri tidak mungki

  • After Marriage   POSSESSIVE

    “Bu, Nissa mau tanya sesuatu boleh?” tanyaku suatu malam saat bersama Ibu yang baru saja pulang dari rumah Kak Amara.“Boleh dong, Nak. Apa yang mau kamu tanyakan?” Ibu membelai rambut hitam sebahuku yang kini kurebahkan di atas kedua pahanya. Sungguh, hal ini adalah momen favorit dalam hidupku. Selain Ayah, hanya Ibu yang mampu memberikan rasa aman dan nyaman.Perlahan, kuhirup napas dan mengembuskannya dengan ritme yang pelan. Sesuatu yang mengganjal hatiku sejak beberapa hari ini bolehkah aku ceritakan pada ibu? Seperti yang biasa aku dengar dari dakwah dan media tentang istri yang wajib menutupi aib dan borok suami. Apakah yang Kak Raihan lakukan saat ini adalah sebuah aib? Ataukah sebuah luka yang akan segera menjadi borok jika terlalu lama didiamkan?Jika mengikuti kata hati, tentu sudah sejak awal kedatangan Saskia ke rumah aku melapor kepada Ibu. Aku akan menangis dan meraung saat bercerita dengan beliau, kemudian merajuk hingga Kak Raihan mau menuruti mauku

  • After Marriage   SAHABAT LAMA

    Hari ini adalah malam kedua Kak Raihan pergi ke Semarang untuk ikut seminar kantor dan hingga saat ini pula chat yang aku kirimkan tak mendapat respons apa pun. Jika saja aku tak punya kesabaran ekstra, tentu sudah kususul dia dan kumaki di depan semua rekan kerjanya. Sebegitu sibuknyakah sampai lupa memberi kabar.Okelah kita anggap dia tengah sibuk, tapi apakah tak ada satu menit pun di sela-sela waktu istirahatnya untuk membaca chat-ku? Kalaupun mungkin handphone Kak Raihan bermasalah, entah hilang atau rusak, harusnya dia bisa memberi kabar lewat telepon rumah. Apa mungkin dia terlalu bersemangat saat pergi dengan Saskia dan menghabiskan waktu istirahatnya berdua saja? Ah, pikiranku semakin kacau. Jujur, yang paling aku sesali sekarang adalah aku tidak pernah mengetahui siapa saja teman Kak Raihan yang bisa kuhubungi di saat genting.“Sa, tolong pergi ke supermarket sebentar, ya. Ibu lupa beli susu buat bikin puding.” Ibu menghampiriku yang tengah memberi makan ikan Koi kesayangan

  • After Marriage   BIMBANG

    Menjadi seorang istri tapi dengan label adik itu terasa sangat menjengkelkan. Bayangkan saja, ketika suami yang sudah sejak beberapa hari ini kau tunggu kabarnya, kini pulang dengan santai sambil membawa oleh-oleh yang katanya semuanya untukku. Hei, aku ini bukan lagi adik kecil yang perlu oleh-oleh saat kamu pergi jauh. Bukan juga senyum tengil yang kini seolah menjadi hal wajib ketika ada bersamaku. Aku benci dia. Aku benci sikapnya. Bahkan, kini aku sangat membenci senyumnya. Aku benci semua hal tentang dirinya.Aku mengurung diri di dalam kamarku sendiri. Aku tak mau lagi berbagi kamar dengannya. Biar saja dia kembali ke kamar lamanya. Toh, setelah maupun sebelum menikah sama saja bagiku. Dia tetap Raihan yang sibuk dengan segala kegiatannya.“Sa, ayo makan malam. Suami kamu sudah nungguin tuh dari tadi. Masa Ibu yang harus nemenin, sih?” Ibu mengetuk pintu kamarku pelan. “Nissa nggak lapar, Bu. Ibu sama Kak Raihan makan duluan saja.” Aku bergeming. Aku tak mau ke sana. Untuk ap

  • After Marriage   STALKING

    Dio datang ke rumah bersama Dina. Aku yang baru saja akan pergi akhirnya mengajak mereka ke cafe tempat Kak Raihan dan Saskia janjian bertemu. Sesampainya di sana, aku tidak menemukan keberadaan mereka. “Kamu yakin mereka janjian di sini?” tanya Dina tak sabar karena dia yang paling mengerti perasaanku saat ini.“Aku sih dengernya begitu, tapi nggak yakin juga karena Kak Rai kan sudah jalan satu jam sebelum kita ke sini,” jawabku sambil masih mencoba menilik seisi cafe.Dio berjalan menuju toilet yang berseberangan dengan toilet wanita. Aku pikir dia hanya ingin ke kamar kecil. Namun, tidak lama kemudian dia muncul dengan wajah memelas.“Dia nggak ada di toilet juga,” ucapnya polos membuatku dan Dina serempak tertawa.Bocah ganteng ini sungguh benar-benar polos. Dia bisa dengan lugunya berpikir mereka berdua ada di toilet. Astaga, apakah benar ini orang yang sama dengan juara kelas yang kukenal dulu?“Yakali mereka ketemuan di t

  • After Marriage   Keputusan

    Malam ini, Ibu kembali menginap di rumah Kak Amara. Beliau bilang, Kak Amara sedang sakit dan Kak Dodi masih di luar kota. Ibu tak tega meninggalkannya sendirian mengurus bayi dan kedua kakaknya yang hiperaktif itu.Ada baiknya Ibu tak ada di rumah. Malam ini akan kupastikan Kak Raihan menjawab pertanyaan yang selama ini mengusik hidupku. Jika benar hubungan ini sebatas hubungan di atas kertas, maka aku akan memperjelas situasinya dan mengajukan beberapa syarat, salah satunya tentang perceraian. Entah bagaimana respons Kak Raihan menanggapi semua syarat dariku, yang pasti aku mau hubungan yang jelas. Aku juga ingin segera move on dan mulai menata kembali hatiku supaya bisa membuka hati untuk yang lain. Sudah cukup rasanya aku bertahan selama ini.“Aku mau bicara,” ujarku sambil duduk di sisi kanan sofa ruang TV, sementara dia berada di sisi kirinya.“Kenapa?” tanyanya seolah tanpa dosa.Aku ingin membahas tentang kejadian tadi siang, tapi Kak Rai malah terl

  • After Marriage   PERUBAHAN

    “Kamu butuh yang lain?” Suara Kak Raihan membuyarkan lamunanku. Aku tesentak. Bisa-bisanya aku melamun di tengah-tengah supermarket ini dan mengabaikan Kak Raihan yang entah sudah berapa kali bertanya kepadaku. Dua bungkus nugget yang dia sodorkan tadi aku terima dan memasukkannya ke keranjang. Seminggu setelah keputusan itu, kami berusaha bersikap seperti biasa. Sisa waktu ini akan kami habiskan dengan tanpa masalah, semoga. Kami kembali menjadi saudara yang saling menyayangi sejak saat itu, dan aku merasa cukup.“Mau apa lagi? Ada yang kurang?” tanya Kak Raihan lagi karena tadi aku hanya terdiam saja.“Nggak ada, Kak. Eh, tapi ada satu barang yang mau kubeli sebelum pulang nanti. Apa Kakak bisa antar aku ke sana?” Aku perlu membeli beberapa baju dalam untuk persiapan seminar nanti. Lucu saja kalau sampai teman sekamarku nanti tahu kalau baju dalamku sudah belel semua.“Oke.” Kak Raihan berjalan ke kasir dan mengantre untuk membayar belanjaan kami ya

Bab terbaru

  • After Marriage   BERUBAH-UBAH

    “Kamu butuh yang lain?” Suara Kak Raihan membuyarkan lamunanku. Aku tersentak. Bisa-bisanya aku melamun di tengah-tengah keramaian ini dan mengabaikan Kak Raihan yang entah sudah berapa kali bertanya kepadaku. Dua bungkus nugget yang dia sodorkan tadi aku terima dan memasukkannya ke keranjang. Seminggu setelah keputusan itu, kami berusaha bersikap seperti biasa. Sisa waktu ini akan kami habiskan dengan tanpa masalah, semoga. Aku rasa sudah lebih dari cukup hubungan kami sebatas kakak-adik seperti dulu.“Mau apa lagi? Ada yang kurang?” tanya Kak Raihan lagi karena tadi aku hanya terdiam saja.“Nggak ada, Kak. Eh, tapi ada satu barang yang mau kubeli sebelum pulang nanti. Apa Kakak bisa antar aku ke sana?” Aku perlu membeli beberapa baju dalam untuk persiapan seminar nanti. Lucu saja kalau sampai teman sekamarku nanti tahu kalau baju dalamku sudah belel semua.“Oke.” Kak Raihan berjalan ke kasir dan mengantre untuk membayar belanjaan kami yang sungguh a

  • After Marriage   PERUBAHAN

    “Kamu butuh yang lain?” Suara Kak Raihan membuyarkan lamunanku. Aku tesentak. Bisa-bisanya aku melamun di tengah-tengah supermarket ini dan mengabaikan Kak Raihan yang entah sudah berapa kali bertanya kepadaku. Dua bungkus nugget yang dia sodorkan tadi aku terima dan memasukkannya ke keranjang. Seminggu setelah keputusan itu, kami berusaha bersikap seperti biasa. Sisa waktu ini akan kami habiskan dengan tanpa masalah, semoga. Kami kembali menjadi saudara yang saling menyayangi sejak saat itu, dan aku merasa cukup.“Mau apa lagi? Ada yang kurang?” tanya Kak Raihan lagi karena tadi aku hanya terdiam saja.“Nggak ada, Kak. Eh, tapi ada satu barang yang mau kubeli sebelum pulang nanti. Apa Kakak bisa antar aku ke sana?” Aku perlu membeli beberapa baju dalam untuk persiapan seminar nanti. Lucu saja kalau sampai teman sekamarku nanti tahu kalau baju dalamku sudah belel semua.“Oke.” Kak Raihan berjalan ke kasir dan mengantre untuk membayar belanjaan kami ya

  • After Marriage   Keputusan

    Malam ini, Ibu kembali menginap di rumah Kak Amara. Beliau bilang, Kak Amara sedang sakit dan Kak Dodi masih di luar kota. Ibu tak tega meninggalkannya sendirian mengurus bayi dan kedua kakaknya yang hiperaktif itu.Ada baiknya Ibu tak ada di rumah. Malam ini akan kupastikan Kak Raihan menjawab pertanyaan yang selama ini mengusik hidupku. Jika benar hubungan ini sebatas hubungan di atas kertas, maka aku akan memperjelas situasinya dan mengajukan beberapa syarat, salah satunya tentang perceraian. Entah bagaimana respons Kak Raihan menanggapi semua syarat dariku, yang pasti aku mau hubungan yang jelas. Aku juga ingin segera move on dan mulai menata kembali hatiku supaya bisa membuka hati untuk yang lain. Sudah cukup rasanya aku bertahan selama ini.“Aku mau bicara,” ujarku sambil duduk di sisi kanan sofa ruang TV, sementara dia berada di sisi kirinya.“Kenapa?” tanyanya seolah tanpa dosa.Aku ingin membahas tentang kejadian tadi siang, tapi Kak Rai malah terl

  • After Marriage   STALKING

    Dio datang ke rumah bersama Dina. Aku yang baru saja akan pergi akhirnya mengajak mereka ke cafe tempat Kak Raihan dan Saskia janjian bertemu. Sesampainya di sana, aku tidak menemukan keberadaan mereka. “Kamu yakin mereka janjian di sini?” tanya Dina tak sabar karena dia yang paling mengerti perasaanku saat ini.“Aku sih dengernya begitu, tapi nggak yakin juga karena Kak Rai kan sudah jalan satu jam sebelum kita ke sini,” jawabku sambil masih mencoba menilik seisi cafe.Dio berjalan menuju toilet yang berseberangan dengan toilet wanita. Aku pikir dia hanya ingin ke kamar kecil. Namun, tidak lama kemudian dia muncul dengan wajah memelas.“Dia nggak ada di toilet juga,” ucapnya polos membuatku dan Dina serempak tertawa.Bocah ganteng ini sungguh benar-benar polos. Dia bisa dengan lugunya berpikir mereka berdua ada di toilet. Astaga, apakah benar ini orang yang sama dengan juara kelas yang kukenal dulu?“Yakali mereka ketemuan di t

  • After Marriage   BIMBANG

    Menjadi seorang istri tapi dengan label adik itu terasa sangat menjengkelkan. Bayangkan saja, ketika suami yang sudah sejak beberapa hari ini kau tunggu kabarnya, kini pulang dengan santai sambil membawa oleh-oleh yang katanya semuanya untukku. Hei, aku ini bukan lagi adik kecil yang perlu oleh-oleh saat kamu pergi jauh. Bukan juga senyum tengil yang kini seolah menjadi hal wajib ketika ada bersamaku. Aku benci dia. Aku benci sikapnya. Bahkan, kini aku sangat membenci senyumnya. Aku benci semua hal tentang dirinya.Aku mengurung diri di dalam kamarku sendiri. Aku tak mau lagi berbagi kamar dengannya. Biar saja dia kembali ke kamar lamanya. Toh, setelah maupun sebelum menikah sama saja bagiku. Dia tetap Raihan yang sibuk dengan segala kegiatannya.“Sa, ayo makan malam. Suami kamu sudah nungguin tuh dari tadi. Masa Ibu yang harus nemenin, sih?” Ibu mengetuk pintu kamarku pelan. “Nissa nggak lapar, Bu. Ibu sama Kak Raihan makan duluan saja.” Aku bergeming. Aku tak mau ke sana. Untuk ap

  • After Marriage   SAHABAT LAMA

    Hari ini adalah malam kedua Kak Raihan pergi ke Semarang untuk ikut seminar kantor dan hingga saat ini pula chat yang aku kirimkan tak mendapat respons apa pun. Jika saja aku tak punya kesabaran ekstra, tentu sudah kususul dia dan kumaki di depan semua rekan kerjanya. Sebegitu sibuknyakah sampai lupa memberi kabar.Okelah kita anggap dia tengah sibuk, tapi apakah tak ada satu menit pun di sela-sela waktu istirahatnya untuk membaca chat-ku? Kalaupun mungkin handphone Kak Raihan bermasalah, entah hilang atau rusak, harusnya dia bisa memberi kabar lewat telepon rumah. Apa mungkin dia terlalu bersemangat saat pergi dengan Saskia dan menghabiskan waktu istirahatnya berdua saja? Ah, pikiranku semakin kacau. Jujur, yang paling aku sesali sekarang adalah aku tidak pernah mengetahui siapa saja teman Kak Raihan yang bisa kuhubungi di saat genting.“Sa, tolong pergi ke supermarket sebentar, ya. Ibu lupa beli susu buat bikin puding.” Ibu menghampiriku yang tengah memberi makan ikan Koi kesayangan

  • After Marriage   POSSESSIVE

    “Bu, Nissa mau tanya sesuatu boleh?” tanyaku suatu malam saat bersama Ibu yang baru saja pulang dari rumah Kak Amara.“Boleh dong, Nak. Apa yang mau kamu tanyakan?” Ibu membelai rambut hitam sebahuku yang kini kurebahkan di atas kedua pahanya. Sungguh, hal ini adalah momen favorit dalam hidupku. Selain Ayah, hanya Ibu yang mampu memberikan rasa aman dan nyaman.Perlahan, kuhirup napas dan mengembuskannya dengan ritme yang pelan. Sesuatu yang mengganjal hatiku sejak beberapa hari ini bolehkah aku ceritakan pada ibu? Seperti yang biasa aku dengar dari dakwah dan media tentang istri yang wajib menutupi aib dan borok suami. Apakah yang Kak Raihan lakukan saat ini adalah sebuah aib? Ataukah sebuah luka yang akan segera menjadi borok jika terlalu lama didiamkan?Jika mengikuti kata hati, tentu sudah sejak awal kedatangan Saskia ke rumah aku melapor kepada Ibu. Aku akan menangis dan meraung saat bercerita dengan beliau, kemudian merajuk hingga Kak Raihan mau menuruti mauku

  • After Marriage   MELABRAK

    Entah kenapa sudah beberapa hari ini aku selalu teringat masa-masa kecil dulu.Sebenarnya aku hanya ingin kembali ke masa-masa itu. Di mana rasa sakit karena sikap Kak Raihan yang tak acuh terhadap perasaanku tak begitu membuatku secemas ini.Tak ada yang berbeda sebenarnya sejak berstatus sebagai kakak ataupun suami. Yang berbeda adalah aku. Aku tak suka dengan sikapnya yang menerima wanita lain ke rumah kami. Ditambah lagi, permintaan yang masuk akal itu tidak dia sanggah sama sekali. Padahal dulu, saat aku hanya menjadi adiknya, tak terasa sesakit ini ketika dia bilang pada Ibu ada wanita yang ia sukai.“Kamu masih mikirin kata-kata Saskia?” Pertanyaan Dina seolah menyeretku kembali ke bumi. Mulai hari ini aku dan Kak Raihan sama-sama kembali bekerja. Tak ada bulan madu untuk kami karena situasi yang kurang mendukung. Kak Raihan tengah mempersiapkan proyek baru di kantornya, tentu saja akan sangat banyak menyita waktu. Sedangkan aku sendiri tidak mungki

  • After Marriage   DURI DI PAGI HARI

    Tepat setelah kepergian Saskia, Nadin dan Vino terbangun. Dengan pikiran kalut aku mengurus keduanya dan membuatkan sarapan instan. Nasi goreng sosis. Setelah bersiap, kami menuju rumah sakit tempat Kak Amara melahirkan. Sampai detik ini, baik aku maupun Kak Raihan tak ada yang memulai percakapan. Kehadiran Saskia cukup membuat Kak Rai goyah. Bagaimana tidak! Hanya lelaki gila saja yang tidak tergoda ditawari bidadari.“Mama!” Nadin dan Vino berteriak memanggil sang ibu tepat ketika pintu kamar VIP ini terbuka. Ibu dan Kak Dodi menyambut kedua bocah itu suka cita, sementara Kak Amara tengah menggendong putri cantik kecil yang mungkin ketika dewasa nanti akan sangat mirip ayahnya.“Siang banget ke sininya, Sa. Ibu hampir saja pulang buat mastiin keadaan anak-anak. Ibu takut kamu kurung mereka di kamar mandi,” jelas Kak Amara yang membuatku heran. “Apa sih, Kak! Mana bisa seorang Nissa yang baik hati dan tidak sombong ini berbuat keji kepada dua keponakan kesayangann

DMCA.com Protection Status