Memang ada yang berbeda dengan Siera. Dean sepenuhnya menyadari itu. Pertama, perempuan itu jadi lebih sering datang ke rumah Mike. Bukan dulu tidak demikian, tetapi kali ini hampir setiap hari. Bahkan tidak jarang di pagi hari sudah muncul dengan membawa sarapan.
Kedua, keteguhan perempuan itu untuk menjauhkannya dari Nara. Tidak main-main. Bahkan telepon dari Nara tidak diizinkan Dean jawab. Dan yang terakhir, soal Arkan.
Awalnya Dean tak sungguh percaya jika hubungan Arkan dan Siera memang sudah berakhir. Namun, melihat Siera selalu di rumah ayahnya dan tak pernah sekali pun dijemput Arkan, Dean jadi agak percaya.
Untuk benar-benar mendapat kepastian, Dean pun menyuarakan tanya itu sore ini. Saat Siera tengah duduk sendirian di teras belakang.
"Kamu bukannya tidur?"
Dean menggeleng, memposisikan diri duduk tepat di samping si perempuan. "Kamu enggak kerja?"
"Udah enggak." Siera menekuri ujung kaki. 
Turun dari mobil, cara Dean berjalan masih sedikit pincang. Pria itu hendak membuka pagar rumah yang sudah lima hari terakhir ditinggal. Di dekatnya, ia melihat Nara.Tidak menghindar, meski hanya melirik sekilas, pria itu membiarkan saja perempuan itu ikut masuk ke rumah. Mereka memang harus bicara.Suasana hati masih tidak terlalu baik, Dean memilih untuk mandi lebih dulu. Mengganti pakaian kerjanya, lalu kemudian menyusul Nara di ruang tamu."Aku mau minta maaf, An." Nara memulai konversasi. Perempuan itu menunduk dalam di depan sang kekasih. "Aku benar-benar marah waktu itu."Marah. Selalu itu yang menjadi pembenaran Nara sesudah berbuat kasar saat mereka bertengkar. Dean sudah kenyang mendengar alasan itu."Aku sungguh nggak terima kamu membela dia. Aku salah paham dan ngira kamu udah jatuh cinta sama dia."Mendengarkan saja, dalam hati si lelaki membenarkan. Siera memang telah punya tempat spesial di
Terlalu terkejut, Siera nyaris tersandung karena tiba-tiba saja melihat sosok Arkan di depan Ramaji. Mereka beradu pandang sebentar, Siera ditampar oleh senyuman lembut yang mantan pacarnya suguhkan.Masih saja baik, meski sudah disakiti. Siera tak berani mengangkat wajah saat Arkan mengajaknya masuk ke mobil. Mengekori seraya memegang tali tote bag erat, perempuan itu kehilangan muka.Arkan bertanya kabar. Menyayangkan mengapa Siera sampai harus resign dari mini marketnya. Pria itu berkata bisa membedakan mana urusan kerja dan ranah pribadi. Semua penjelasan itu disuarakan tanpa ada kemarahan apalagi kebencian."Aku terlalu banyak ngomong kayaknya. Kamu kenapa diam aja?"Melirik ke pria itu sesaat, Siera berusaha tersenyum. "Aku enggak tahu harus bilang apa. Kepalaku hanya diisi kata maaf sekarang," akunya sungguh.Arkan menatapi jalan di depan mereka. "Aku memang sempat marah. Patah hati aku kamu tinggal gitu aja. Ka
Jauh dari kesan hangat, ruang tamu yang Dean huni itu malah terasa kaku dan dingin. Bahkan setelah si pria mengutarakan maksud kedatangan pada orang tua Nara.Menepati janji yang ia buat, Selasa ini Dean mengesampingkan sejenak jadwal kerja. Ia bersama Nara mendatangi kediaman orang tua si perempuan guna membicarakan perihal pertunangan.Dean bisa membaca keterkejutan Brian dan Ria atas apa yang ia sampaikan. Namun, setelah itu, dua orang itu hanya saling pandang, lalu diam untuk beberapa saat."Semua keperluan aku dan Dean yang akan mengurus. Kami hanya perlu restu Mama dan Papa." Nara memecah hening yang canggung itu.Brian mengangguk paham. "Baiklah kalau demikian. Wajar jika kami terkejut. Nara tak pernah menyinggung soal hubungannya dengan kamu." Pria itu menetap sedih pada si putri.Dean mengamini dan meminta maaf. Meski itu bukan salahnya. Naralah yang selama ini menolak membawa dan memperkenalkannya pada Brian
Siang ini, sehabis dari percetakan untuk mengambil undangan, Nara menyempatkan diri berkunjung ke rumah Mike. Sedikit memaksa untuk bisa masuk, karena asisten rumah tangga tak membolehkan, perempuan itu menemukan Sier di ruang tamu calon mertuanya."Aku bawa martabak. Semoga Om suka." Tersenyum lebar pada Mike, ia melirik berang pada Siera.Mike hanya menatap buah tangan yang ditaruh Nara di meja. Pria itu tak punya kalimat yang ingin disuarakan."Aku baru aja ambil undangan ke percetakan, Om. Besok mulai dibagiin ke saudara."Bisa dilihatnya Siera menunduk. Agaknya menutupi perasaan kalah dan patah hati. Nara tergelak dalam hati menyaksikan itu. Akhirnya, ia menang.Kalau saja tidak diinterupsi oleh dering ponsel, sudah pasti Mike langsung meminta Nara pulang saja. Ia tahu kunjungan ini hanya basa-basi. Nara hanya perlu Dean dan bukan dirinya."Papa angkat telepon dulu, ya." Berat hati pria itu untuk pami
Dean memegang kemudi erat. Ponsel di telinga masih saja menderingkan nada tunggu, tak ada tanda-tanda akan dijawab.Pria itu memutus sambung. Melempar gawai tadi ke kursi penumpang di samping. Siera sepertinya memang tak ingin menjawab panggilan teleponnya. Yang barusan adalah percobaan Dean yang kesepuluh kali hingga malam ini.Memijat pelipis, seraya berusaha fokus ke jalanan, Dean merutuk dirinya. Lelaki itu marah pada dirinya yang masih saja bersikap plin-plan hingga sekarang.Sudah memilih Nara. Undangan pertunangannya sudah disebar. Dan apa? Dean sempat-sempatnya mengkhawatirkan si mantan istri yang beberapa hari belakang tak membalas pesan atau mengangkat telepon.Dean sungguh tak paham akan inginnya sendiri. Berlagak gentleman, bertanggung jawab pada Nara. Namun, merasa bersalah dan tidak tega pada Siera. Belum lagi, Mike yang kukuh tak ingin ikut campur atau terlibat di acara pertunangannya. Si ayah bahkan menolak datang d
Siera kembali tak bisa tidur malam ini. Tak ingin mengganggu Mike atau Dean yang kebetulan menginap, perempuan itu memilih menyibukkan diri dengan ponsel di ruang tamu.Tak ada tujuan berarti. Hanya menggulir layar asal, berpindah aplikasi media sosial atau video. Sampai setengah jam berlalu dan ia masih belum mengantuk.Lampu di sana tidak dipadamkan, Siera melihat Dean datang. Pria itu sepertinya sudah sempat tidur, karena rambutnya sedikit kusut.Siera berbaring di sofa, mereka bertatapan sebentar, lalu Dean bergerak ke dapur. Sekitar beberapa menit pria itu di sana, lalu kembali menghampiri."Aku duduk sini, ya?" Dean menaruh dua gelas susu coklat di atas meja. Pria itu menyandarkan punggung dan kepala, lalu memejam sesaat.Siera bangun dan duduk. "Aku berisik?"Yang ditanyai menggeleng. "Aku lagi iseng meriksa jurnal review punya mahasiswa." Lelaki itu tersenyum kecil. "Masih ada aja yang asal nyalin
Banyak yang Siera alami semenjak tinggal di rumah Mike. Pertama dan yang paling menyenangkan, ia tidak merasa sendirian lagi. Ada Mike yang selalu bisa diajak bicara soal apa saja. Dua, banyak pekerjaan rumah yang bisa ia lakukan dan tiga ... diam-diam memerhatikan Dean.Untuk yang terakhir, Siera tak paham mengapa dirinya tak pernah bosan pada pria satu itu. Seolah di dunia ini tak ada laki-laki lain yang menarik selain si jangkung satu itu.Siang ini, Siera hanya berdua saja dengan asisten rumah tangga di rumah itu. Mike sedang ada keperluan di toko, sedang Dean pergi mengajar.Seorang diri, perempuan itu jadi terpikirkan banyak hal. Salah satunya, soal apa yang akan dilakukan ke depan. Siera mau apa?Ia mengingat apa yang pernah si ayah mertua ucap. Mengejar kebahagiaan sendiri. Apa ini saatnya Siera memikirkan dirinya sendiri? Toh, Dean juga sudah lepas dari Nara.Fakta barusan membuat perempuan berkaus hitam itu t
"Memang ingin?"Dean duduk sendirian di ruang tamu rumah Mike. Sekarang pukul enam pagi."Kebetulan lagi enggak ke kampus?"Pria itu menggaruk kepala kasar. Wajahnya semakin tertekuk."Enggak ada alasan? Memang mau nganterin?"Lelaki dewasa di sana menendang udara. Mengapa harus sampai serumit ini hanya karena ingin mengantar Siera?Dean tidak ke kampus hari ini. Sedang dapat jatah libur. Kemarin malam, ia mendengar bahwa pagi ini Siera ingin pergi mencari pekerjaan. Kejadian akibat ulah Nara sudah membuat mantan istrinya itu dipecat karena sempat tak masuk kerja beberapa hari.Ia ingin mengantar. Entah ke mana pun Siera akan melamar pekerjaan nanti. Masalahnya, jika nanti perempuan itu bertanya perihal apa alasannya ingin menjadi ojek pribadi, Dean harus jawab apa?Dirinya yakin bahwa Siera sudah paham alasan yang dipunya. Namun, si mantan istri pasti sengaja pura-pura tak paham
Dean yang sudah sangat mengantuk dan hampir lelap berbalik untuk menatap Siera. Istrinya itu terus bergerak gelisah sejak setengah jam tadi. Mengubah posisi tidur terus-terusan, sesekali memukuli bantal.Apa sedang cari perhatian?"Kenapa, Siera? Enggak bisa tidur?" Dean menumpu kepala dengan tangan.Yang ditanya mengangguk. Matanya mengerjap cepat, seolah sedang membujuk."Kenapa? Lapar?" Dean menebak.Si istri menggeleng."Sakit perut?" Dean membawa tubuhnya duduk bersila."Pengin makan sesuatu, Paksu."Diam-diam Dean menelan ludah hati-hati. Kalimat itu adalah sesuatu yang sejak seminggu lalu ia takutkan. Akhirnya muncul juga."Apa?" Alis Dean mengait tak ramah."Belimbing."Matanya melebar, Dean kemudian mengusap wajah. Pria itu menggaruk rambut. Sampai sekarang, mereka belum juga memeriksakan keadaan Siera. Belum berani. Namun, dari ting
Mengendarai motor tak tentu arah selama berjam-jam, Dean akhirnya memilih mendatangi rumah Mike. Itu sekitar pukul dua belas malam, kedatangannya disambut raut heran sang ayah."Ayah tidur aja. Aku cuma mau numpang sampai besok pagi."Mike mengabaikan usiran halus itu. Ia duduk di samping sang putra. "Bertengkar dengan Siera? Tumben sampai minggat." Lelaki tua itu berusaha bercanda. Namun, Dean hanya merespon dengan senyum yang dipaksakan.Bungkam selama beberapa menit, Dean membuka bibir. "Aku takut, Ayah. Aku takut anak-anakku nanti akan menerima akibat dari perbuatanku dulu."Misal Siera melahirkan anak laki-laki. Bagaimana jika Dean tidak becus mendidiknya? Dirinya saja yang mendapat didikan benar dari Mike, sempat melenceng. Konon anaknya nanti. Dean pesimis dirinya sudah layak menjadi seorang ayah."Kalau dia perempuan, gimana, Ayah? Gimana kalau dia ketemu laki-laki yang kayak aku? Gimana kalau dia disakiti sama
"Mau beli apa, Nak? Mau jajan apa?"Siera mengulum senyum saat mendapati dua orang pelanggan datang ke warungnya. Hari ini giliran Siera yang berjaga, Dean sedang mengurus keperluan pembukaan warung makan mereka yang akan digelar minggu depan.Setahun menggeluti usaha warung kelontong, Dean berhasil mengumpulkan modal untuk membuka warung makan. Pria itu memang gigih dan berbakat dalam setiap pekerjaan yang dilakukannya. Ekonomi mereka berangsur makin stabil, semua baik, kecuali satu."Susu formulanya satu, ya, Buk. Yang biasa." Pelanggan tadi meminta dengan sopan pada Siera.Siera mengambilkan barang itu. Matanya kembali memandangi gadis kecil yang pelanggannya tadi gendong. Mereka ayah dan anak yang memang biasa belanja. Setiap sore begini, si ayah yang pulang bekerja akan membawa anaknya membeli jajan ke warung Siera ini.Kebersamaan ayah dan anak itu membuat hati Siera senang, sekaligus sedih tiap kali melihatnya.
Suasana kamar sore itu semakin hangat. Siera merasa dirinya terbakar oleh tiap sentuhan dan kecupan Dean. Pria itu memang selalu andal membuatnya terbang.Terbaring di atas ranjang mereka, Siera mendongakkan wajah kala sapuan telapak tangan Dean mampir di paha. Laki-laki itu membuatnya terbuka dan siap untuk berkelana ke nirwana.Saat Siera merasa jarak mereka sudah sangat dekat, tiba-tiba saja Dean bangkit dari atas tubuhnya. Pria itu menarik laci, mengambil sebuah benda dari sana. Dalam usahanya mengatur napas yang terengah, Siera melihat pria itu memakai pengaman.Seminggu sejak mereka menikah, Dean mulai melakukan ini. Pria itu melapisi dirinya dengan benda karet itu. Saat ditanya kenapa, jawabannya membuat Siera sedih."Kamu udah periksa ke dokter, 'kan, Paksu? Kamu sehat, untungnya. Kenapa pakai itu?"Tanya itu Siera berani suarakan di pergumulan mereka yang kesepuluh. Dean langsung memasang wajah sedih kala itu.
Siera yang baru saja pulang dari rumah Mike memutuskan turun di warung milik Dean, alih-alih langsung ke rumah. Perempuan itu khawatir suaminya lelah melayani pembeli sejak pagi hingga sore, dan akan menawarkan bantuan. Dean bisa pulang dan dia yang menjaga warung.Sebulan pernikahan, Siera benar-benar bahagia. Dean makin hari semakin perhatian. Pria itu mulai mengabaikan sedikit gengsi dan sudah lebih sering menunjukkan rasa peduli.Satu contohnya, Dean sudah tak perlu diingatkan untuk menghubungi Mike atau menjenguk ayah mereka itu. Dean bahkan pernah tanpa sepengetahuannya membelikan si ayah mertua sepatu.Tiba di warung kecil mereka, Siera melempar senyum pada si pria berkaus abu-abu. Rasanya sedikit aneh. Biasanya, saat bekerja, Dean akan mengenakan kemeja dan celana kain fromal. Tidak sesantai sekarang. Hanya kaus dan celana pendek. Namun, tetap saja ketampanan suaminya itu tak berkurang."Capek, Paksu? Mau gantian?" Siera me
"Aku udah jual rumah ini. Uangnya udah habis."Dean menanti, mengamati dengan cermat raut wajah istrinya. Awalnya perempuan itu terkejut, kemudian meringis kesal. Siera melempar diri ke sofa, berulang kali menarik dan membuang napas."Kamu enggak mau tanya kenapa aku jual rumahnya dan ke mana uangnya?"Perempuan itu menoleh. Satu tangannya terangkat. "Bentar. Aku napas dulu. Siap-siap dulu," ujarnya dengan dahi berkerut.Di tempatnya berdiri, Dean mengulum senyum. Hah, dia menyesal setengah mati. Kenapa tidak dari dulu memilih perempuan itu sebagai teman hidup? Walau ditempatkan di situasi yang buruk, Siera tetap berusaha tenang. Garis bawahi, berusaha. Bukan Dean tidak tahu jika sekarang emosi istrinya sedang mendidih.Siera memilih mendinginkan kepala dulu, mengambil waktu untuk bersiap, padahal jika langsung mengamuk pun, itu sangat wajar. Kenapa dulu Dean malah terjebak dengan seseorang yang sesuka hati melam
"Apa, sih, gunanya hape?"Siera melempar ponselnya ke atas sofa, setelah panggilan yang ditujukan pada Dean kembali tidak dijawab. Duduk di samping gawainya, si perempuan bersedekap dengan wajah ditekuk. Melirik sebentar ke arah pintu, lalu mengerutkan dahi.Sekarang sudah pukul sembilan malam. Dean belum pulang dan mengabaikan semua panggilan dan pesan Siera. Membuat si istri cemas, tetapi juga kesal.Ke mana Dean pergi? Mencari kerja seperti yang tadi pagi ia suruh? Yang benar saja! Sampai jam segini? Siera curiga Dean malah sedang berduaan dengan Intan di suatu tempat.Membuang napas kasar, Siera mengusap dada. Harus konsisten dan tanggung jawab atas pilihan. Kalau pun misal Dean memang sedang bersama Intan maka Siera akan ....Siera akan menjambak dan memukul Dean. Sungguh, bila benar suaminya itu kembali mengulang kesalahan seperti saat bersama Nara, maka Siera tak akan bersikap lembut lagi.Tak lama,
Setelah pernikahan, lalu apa?Ya bermesraan. Saling mengungkapkan cinta dengan cara yang lebih intim. Mungkin jalan-jalan ke tempat baru, menghabiskan hari dengan bekencan dan sebagainya yang menyenangkan.Atau, di rumah saja. Seharian di kasur, membicarakan dan merancang masa depan. Mungkin mendiskusikan soal jumlah anak dan nama mereka. Namun, itu tidak berlaku untuk Siera. Sebab setelah resmi menjadi istri Dean lagi, perempuan itu malah didiamkan.Selepas acara sederhana dengan keluarga, mereka pulang ke rumah Dean yang lama. Makan, mandi, lalu istirahat, karena lelah. Setelahnya? Hanya saling bertatapan beberapa kali lalu diam.Jika alasannya lelah, Siera bisa paham. Namun, yang Dean tunjukkan ini bukan sikap pengantin pria yang kelelahan sehabis acara pernikahan dan tidak berselera melakukan apa pun. Pria itu memang sengaja membuat jarak. Menjauh darinya, sejauh mungkin.Bayangkan. Semalam, Dean menaruh guling di
Dean dengan sengaja merebahkan tubuh di sofa. Pria itu memejam dengan satu satu lengan di dahi. Bersikap selayaknya tak mendengarkan ocehan perempuan di sana.Tidak sendiri di ruang tamu rumah Mike, sekarang pukul sepuluh. Sang ayah sudah istirahat, Bu Ratna juga, tersisa ia dan Siera. Dan lagi, Siera sedang membicarakan ajakan menikah. Seolah tak lelah dan bosan."Kamu tidur, Dean? Kamu enggak dengerin aku?"Tidak dengar apanya? Seminggu lebih menelan semua bujuk rayu Siera, Dean mampu jika disuruh mengulang, walau tanpa teks. Hapal. Dean sudah hapal."Ayo nikah lagi. Kamu enggak kasihan sama aku? Aku ini mantan istri kamu, yang jatuh cinta sama kamu, dan sekarang ngemis untuk dinikahi. Enggak kasihan? Enggak mau? Udah ada pacar baru kamu?"Masih mempertahankan posisi berbaring, si lelaki tidak menjawab. Sampai sekarang, benar ia belum bisa memutuskan apakah harus memulai lagi hubungan dengan Siera atau tidak. Walau s