Seharian ini Lia merasa kesal, bahkan terus terbawa perasaan itu hingga pulang kerja. Alhasil, Lia jadi malas untuk melakukan apa-apa di rumah. Dia hanya tiduran di atas ranjang milik almarhumah Ibu nya.
“Ternyata, sepi sekali hidup sendirian di rumah ini. Rumah terasa terlalu besar dan kosong… apa lebih baik aku kos saja ya? biar punya teman kos dan nggak merasa sepi seperti ini…” gumam Lia.
Sejak kepergian Ibu, baru kali ini Lia merasa kesepian. Biasanya selalu ada Pak Revan yang mengirimi pesan atau mengajak makan.
“Sadarlah Lia, dia bukan siapa-siapa. Kenapa dia harus bertanggung jawab untuk perasaanmu,” gumamnya lagi sambil memejamkan mata.
Kriing..
Dengan
‘Klik. Klik.’Lia mengambil ponselnya karena ada notifikasi pesan masuk.“Pasti Mas Rohman,” gumamnya. Dari pagi Rohman memang sudah wanti-wanti agar Lia segera membuat dokumen permohonan order untuk Rumah sakit XX. Dia terlihat sangat khawatir Lia akan dimarahi lagi oleh Pak Revan sehingga dia terus mengingatkan Lia. Dia bahkan mengajukan diri untuk membantu dan berniat untuk pulang ke kantor lebih awal agar bisa membantu Lia menyelesaikan dokumennya.Rohman memang sangat baik pada Lia, dari dulu.‘Nanti siang kita makan bareng, Saya tunggu kamu di Obonk.’Lia terdiam sambil menatap pesan masuk itu dengan teliti. Benar ini Pak Revan yang kirim? bukankah dari kemarin dia masih marah-marah nggak jelas? tadi pagi pun saat bertemu di ruang absensi dia masih terlihat tak bersahabat. Kenapa tiba-tiba, nggak ada angin, nggak ada hujan dia mengirimi pesan dan mengajak makan siang?Lia mengusap matanya, takut kalau ini hanyalah halusinasinya saja.Atau mungkin Pak Revan salah kirim? mungkin
“Lho? Lia? kok sudah balik kantor? cepat sekali makannya?” tanya Rita yang melihat kemunculan Lia di ruang admin. Padahal Rita, Mita dan Novi bahkan belum menyelesaikan makan siang mereka.Lia memaksakan senyum sambil duduk di kubikelnya, “Aku ingat kerjaanku masih banyak jadi nggak tenang makan,” lalu Lia mulai berkutat dengan berkas-berkas pekerjaannya yang masih menumpuk.Lia bersyukur hari ini pekerjaannya sangat banyak, sehingga dia bisa sejenak melupakan kejadian tak menyenangkan saat makan siang tadi.Tapi benarkah Lia bisa melupakannya begitu saja?Lia menelan salivanya di tengah-tengah kegiatannya, dia berusaha fokus namun tetap tak bisa. Mengingat ucapan Pak Revan benar-benar membuat Lia terpukul.Jadi selama ini, tanpa dia sadari dia telah menyukai suami orang? itu sangat menakutkan! membayangkannya pun Lia tak sanggup.“Kencannya nggak lancar ya?” celetuk Novi sambil mengunyah nasinya.“Ya biasalah, namanya juga lelaki. Maunya itu yang muda, cantik, bohay. Jadi nggak usah
Saat melihat bosnya, jantung Lia berdebar sangat kencang. Tangannya gemetar. Lidah pun kelu, Lia tak bisa mengeluarkan kata-kata. "Kita lagi menyelesaikan dokumen permohonan Rumah Sakit, Pak," jawab Rohman dengan santai. Dia tak merasa apa yang dia lakukan bersama Lia di ruang meeting adalah sebuah masalah, toh sejak dulu mereka sering membuat dokumen bersama di ruang meeting. Yang membuat berbeda adalah perasaan Lia sendiri. “Kenapa sales mau bersusah payah mengerjakan dokumen?” Revan masih tampak sedikit kesal, dia pun duduk persis di depan Lia, untunglah ada monitor komputer yang bisa membantu Lia bersembunyi dari tatapan Revan.“Nggak apa-apa Pak, Saya cuma kasihan sama Mbak Lia. Kerjaannya banyak. Niatnya mau bantuin eh malah sudah selesai,” Rohman mengambil hasil print out dokumen yang dikerjakan Lia, mengumpulkannya dan menatanya dengan rapi. Lalu menyerahkan semuanya kepada Pak Revan, “tolong ditandatangani ya Pak,”Revan mengambil setumpuk dokumen tadi, dan memperhatikan se
Gila! Wajah Lia berubah pucat setelah membaca pesan dari Revan. Dia tak punya pilihan lain selain menurut, dia tak ingin Revan nekat.Akhirnya Lia bangun dari duduknya. Dia hendak menemui atasannya di lapangan badminton sebelum hal yang berbahaya terjadi. "Sibuk amat sih! Dari tadi bolak balik terus. Pusing lihatnya," gerutu Novi. Mungkin dia sedikit terganggu karena Lia duduk persis di sebelahnya. Lia memilih tak ambil pusing, dia enggan menjawab celotehan Novi. Ada yang harus dia kerjakan dan itu lebih penting daripada nyinyiran rekan kerjanya itu. Setelah keluar dari ruang admin, Lia segera berlari ke halaman belakang kantor yang ada lapangan badminton terbuka, namun sudah terbengkalai karena lama tak pernah di pakai. Dan saat sampai di lapangan, Lia bisa melihat atasannya yang sedang menginjak puntung rokok yang sudah habis. Dia menunggu Lia di ujung lapangan. Dengan jantung berdebar kencang, Lia mendekati Revan perlahan. Revan tersenyum saat melihat kedatangan Lia. Walaupu
"Mbak Lia, gimana?” Rohman masuk ke ruang admin dan langsung menemui Lia.“Ini, tagihan Mas Rohman. Dokumen permohonan sudah di bawa?” tanya Lia sambil menyerahkan setumpuk nota tagihan pada Rohman.“Sudah,” jawab Rohman sambil menepuk tas ransel yang tergantung di depan dadanya, lalu Rohman menerima tagihan dari Lia tanpa mengecek isinya, dia sudah sepenuhnya percaya pada kerja Lia. Dengan segera Rohman memasukan tagihan tadi ke dalam tas ranselnya.“Mbak…” Rohman melirik ke arah Novi yang sedang sibuk mengobrol dengan Rita, “gimana masalah ‘itu’?” bisiknya.Lia mengangguk, “Aku akan coba saran mas Rohman kemarin, semoga berhasil ya,” jawab Lia lirih. Dia juga tak mau Novi mendengar pembicaraan mereka berdua.Rohman tersenyum sambil mengacungkan jempolnya, “Aku yakin bakal berhasil Mbak, aku tau banget dia pasti nggak bakal mau.”Lia menganggukkan kepala beberapa kali sambil tersenyum.“Ayo briefing! Rohman! ngapain kamu pagi-pagi sudah di ruang admin! bukannya ke ruang meeting dulu!
Saat memasuki ruang admin, Lia sempat melirik Mita yang tersenyum sambil mengacungkan jempolnya secara diam-diam. Dia secara sembunyi-sembunyi mendukung Lia, mungkin dia segan pada Rita karena Rita adalah sahabat Novi.Mengetahui dia mendapat dukungan dari salah satu rekan kerjanya, Lia merasa lega. Lia hanya tersenyum membalas acungan jempol dari Mita.“Lia!” Lia yang baru saja menempelkan bokongnya di kursi, secara spontan berdiri dan menatap pintu ruang admin.“Ke ruangan Saya! oh iya, sekalian buatkan kopi,” tanpa menunggu jawaban, Revan langsung meninggalkan ruang admin.Lia hanya bisa mendesah dan menuruti perintah bos nya itu. Dia segera menuju pantry dan memasak air. Setelah pesanan Revan siap, barulah Lia menuju ruangan bos nya itu.‘Tok. Tok. Tok.’ Lia mengetuk pintu tiga kali dan menunggu jawaban Revan.“Masuk,” jawab Revan dan dengan segera Lia menurut."Ini kopinya," Ucap Lia sedikit ketus. “Ada apa Pak Revan memanggil Saya?” lanjutnya. Revan tersenyum, bukannya menjawa
"Lia…” Anita menyerbu ruang admin, tempat kerja Lia saat jam di dinding tepat di angka 12. Mereka berdua sudah janjian mau makan siang bersama, dan Anita sangat antusias karena dia benar-benar penasaran dengan kelanjutan kisah percintaan sahabatnya itu.Lia yang mendengar panggilan Anita, dengan segera berbenah. Sebelum pergi makan siang, Lia selalu merapikan meja kerjanya dan menyimpan semua nota penjualannya dalam brankas. Dia memang sangat teliti.“Mau makan apa kita?” tanya Anita sambil memperhatikan Lia yang sedang beranjak sambil mengambil tas kerjanya.“Terserah, aku ikut aja.”Anita menepuk jidatnya, “Biasanya itu jawaban aku kalau di tanya sama Adam. Pantesan aja Adam selalu marah, ternyata jawaban ‘terserah’ itu bikin pusing.”“Apa sih? jangan lebay lah…” Lia terkekeh sambil mendorong pelan bahu Anita. Tanpa di duga, ternyata Anita oleng dan tubuhnya terdorong ke belakang, untunglah ada sepasang tangan kekar menyangga bahunya sehingga Anita tak terjatuh.Anita terkejut saat t
"Ada apa sih yank? Kok tiba-tiba kamu mau comblangin Lia? Bukannya Lia lagi dekat sama… siapa ya namanya?""Revan! Sudah jangan bahas cowok brengsek itu!" Anita mengepalkan tangannya, menggenggam pisau pemotong daging itu dengan erat. Dia bahkan menghentakkannya beberapa kali di atas meja. Anita dan Adam sedang makan malam berdua. Adam pikir mereka berdua akan makan malam romantis, makannya dia mengajak Anita ke restoran steak karena dia tau Anita sangat suka makan daging. Namun ternyata, kekasihnya itu sedang dalam mood yang buruk. Dia tampak marah-marah dari tadi. "Kenapa memangnya dengan si Revan ini?" Tanya Adam hati-hati, takut jika ucapannya nanti menyulut amarah Anita makin besar. "Aku pikir dia cowok baik! Ternyata dia itu sampah!" Anita memukul meja makannya dengan keras hingga membuat beberapa orang yang ada di dalam restoran menatap dirinya penasaran."Kamu tau nggak! Dia itu sudah menikah! Dia itu lelaki beristri! Dan dengan santainya mendekati Lia, kasih perhatian, k
“Ayo, Lia!” ajak Tinik sambil menarik tangan Lia yang sedang sibuk memasukkan nota ke dalam map. Karena uang yang diberikan Nyonya Cici tak cukup untuk membeli map ordner, Lia memutuskan membeli map plastik yang murah. “Kemana, Mbak?” tanya Lia bingung. “Kalau sudah jam setengah 4, kita harus turun, ketemu sales dan terima setoran mereka, sambil dengerin briefing dari Bos.”Masih bingung, namun Lia menurut saja. Lia di ajak ke garasi mobil, dan disanalah sudah berjejer banyak lelaki paruh baya, ada beberapa yang masih muda dan seumuran Lia. Lia melihat Anggi sedang membagikan makanan dan minuman dan sesekali beberapa seles menggodanya. Anggi tersenyum bahkan tertawa karena candaan para lelaki itu. Lia menelan salivanya, sedikit enggan bergabung dengan orang-orang ini, tapi dia harus bekerja, kan? “Nah, ini ada karyawan baru, namanya Lia,” ucap lelaki yang tadi bertemu Lia di ruang tengah dan bertelanjang dada. Untunglah sekarang dia sudah mengenakan kaos oblong tapi masih menggu
Lia menatap pantulan dirinya di cermin dan merapikan lipatan bajunya yang masuk ke dalam celana bahan kain warna hitam. Hari ini Lia mendapat panggilan interview di sebuah perusahaan distributor alat-alat listrik. Ya, memang bidang alat-alat listrik belum pernah Lia geluti sebelumnya. Karena semenjak lulus hingga sekarang, Lia hanya bekerja di perusahaan distribusi obat-obatan. Tapi, tidak ada salahnya mencoba hal baru, kan? lagi pula jika Lia mencari perusahaan yang sama seperti sebelumnya, dia takut gosip tentang dirinya pasti tersebar di beberapa distributor obat saingan perusahaannya sebelumnya.“Aku pasti bisa!” ucap Lia bermonolog, mengafirmasi dirinya dengan energi positif.“Oke,semuanya sudah siap, aku harus be_” tiba-tiba ponselnya berbunyi dan dengan segera Lia mengangkatnya.“Halo, Van? aku lagi buru-buru, nih.”“....”“Halo? Van?”“Hatiku sakit,” jawab Revan dengan lemas.“Kenapa? ada apa?” tanya Lia, kaget. Lia Bahkan membeku di ambang pintu menunggu jawaban Revan.“Aku
“Tlililit… Tlililit…’“Siapa sih, pagi-pagi gini…?!” Dengan mata masih setengah terpejam, Lia meraba-raba kasur busanya, mencoba mencari-cari di mana ponselnya berada. “Ini dia!” dengan lega, Lia berhasil menemukan ponsel yang ternyata tertindih tubuhnya sendiri. Saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya, mata Lia langsung terbuka lebar, kantuk yang dari tadi masih menggantung di kelopak matanya seketika menghilang. “Revan?” pekiknya lirih.“Halo.”“Baru bangun?” tanya Revan dari seberang. Suaranya sama paraunya seperti Lia, sehingga Lia yakin jika Revan pun baru saja bangun tidur sama seperti dirinya.“Iya…” jawab Lia sambil tersenyum.“....”“Halo? Revan?”“Eh, ya. Kamu sehat-sehat saja kan?”Lia mengernyitkan alis, merasa aneh dengan pertanyaan Revan. “Ada apa?”“Ng… Nggak ada apa-apa.”“Hmmm… dasar aneh, oh ya, kemarin aku jalan-jalan sama Anita.”“jalan ke mana?” sambar Revan cepat.“Ke Mall, shopping sama jajan dimsum…”“Terus?” tanya Revan penasaran. Sebenarnya Revan i
“jadi kamu sekarang sudah pindah? kos di tempat yang sama dengan Adrian?” tanya Tristan. Nada suaranya menunjukkan dia sangat terkejut.“Kenapa?”Lia tersenyum, “nggak apa-apa. Rumah itu juga kan, bukan milikku seorang, jadi memang ada rencana di jual. Aku cuma mempercepat pindahanku.”“Tapi Revan, kan, punya Vila, kenapa kamu nggak tinggal di sana saja?” cecar Tristan. “Kalian nggak lagi bertengkar, kan?”“Nggak kok, Villa Revan itu kan jauh, kemana-mana jauh, dan terlalu besar untuk aku tinggali sendiri, jadi aku memilih sewa kamar kos aja.”Tristan berpikir sejenak,”kamu tau? aku selalu siap membantu jika kamu butuh apapun. Jangan sungkan minta tolong padaku ya?”Lia tersenyum sambil menganggukkan kepalanya, “terima kasih,” ucapnya lirih.“Aku heran! cuma di sini pelakor di sanjung-sanjung! dimana-mana yang namanya pelakor itu kan biasanya di maki-maki, di hajar sampai babak belur atau di laporin ke polisi! huh, dunia memang sudah mau kiamat!” ucap Novi sambil melirik sinis pada Li
“Mbak Lia, nggak makan?” tanya Adrian yang sejak tadi memperhatikan Lia. “Eh? Makan kok,” Lia mencoba tersenyum sambil mengambil gelas jusnya dan meminumnya melalui sedotan. “Nggak napsu makan karena nggak ada Pak Revan, ya?” Celetuk Novi sambil menggigit kentang goreng dan tersenyum sinis pada Lia. Lia tak peduli, dia enggan menanggapi omongan Novi yang selalu sinis padanya. Lagipula jika dia meladeni Novi, Lia takut perayaan ulang tahun Adrian akan kacau. Lia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya kemudian menghela napas, “Sudah jam sembilan malam, aku pulang dulu ya,” ucap Lia pada Adrian. “Loh, kenapa, Mbak? Acaranya sampai jam 12 loh. Setelah ini ada live perfomance aku, masa Mbak Lia nggak mau nonton?” Lia tersenyum kecil, “Anita besok harus kerja, aku nggak enak sama dia.” Adrian tampak kecewa, “paling tidak makanlah ini, dari tadi aku perhatikan Mbak Lia cuma minum jus,” Adrian mendekatkan sepiring spageti ke arah Lia. “Aku nggak mau Mbak Lia
Bibir Lia tersenyum lebar saat membaca pesan masuk yang dikirimkan Revan. 'Asti sudah setuju untuk bercerai. Aku akan urus semuanya setelah itu kita bisa langsung menikah.'Lia merebahkan tubuhnya masih dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. Jantungnya berdebar kencang membayangkan akhirnya dia akan menikah dengan Revan. Tak pernah terbayangkan olehnya sebelumnya jika dirinya akan menikah dengan lelaki setampan dan sesempurna Revan. Bagi Lia, Revan adalah lelaki pertama dan terakhir yang bertahta di hatinya, walaupun bagi Revan Lia bukan yang pertama. Mengingat itu, senyum Lia langsung sirna. Ada rasa bersalah yang tiba-tiba melintas, namun dengan cepat Lia berusaha menangkisnya. "Asti yang berselingkuh lebih dulu! Dia menyakiti Revan dan wajar Revan berpisah dengannya, tak ada hubungannya denganku…" gumam Lia sambil memejamkan matanya. Lia bangun dari tidurannya dan kembali berpikir, "bolehkan aku bahagia dengan perpisahan Revan?" tanyanya bermonolog. "Duuh kenapa sih aku?" Li
"Nanti aku ceritakan semuanya, tapi telpon di HP ku aja, ini HP orang aku nggak enak," Jawab Lia lirih, takut Adrian mendengar percakapannya. "Aku tanya kamu tidur di mana?" Ulang Revan meminta jawaban. "Aku sekarang tinggal di kos," Jawab Lia singkat. "Kenapa?""Nanti aku ceritakan semua setelah HP ku ambil, kemarin HP ku jatuh dan nggak mau nyala…""HP mu sudah jadi, dari semalam aku menelpon tapi nggak aktif. Dan barusan aku telpon sudah bisa, berarti HP mu sudah jadi. Buruan di ambil lalu telepon aku secepatnya!""Iya… jam 8 saat konter buka langsung aku ambil.""Ck, baiklah. Langsung telpon aku setelah diambil. Jangan lupa!" Ingat Revan. "Iya, sudah dulu…""Ya," Tut.. Tut.. Tut.. Lia menatap ponsel Adrian yang sudah mati. Semburat kekecewaan menghampiri hatinya karena Revan langsung memutuskan telpon begitu saja. Kenapa dia tak menanyakan kabar Lia? Sebegitu sibukkah dia sampai tak sempat berpikir untuk menanyakan keadaan Lia? Perasaan gelisah kini hinggap di relung hati
Sudah dua hari berlalu, namun Revan tak ada kabar sama sekali. Jangankan menelpon, kirim chat pun tidak. Ada apakah gerangan? Lia ingin sekali menelepon atau mengirimkan chat, namun dia takut. Takut jika ternyata Revan memang sengaja tak menghubunginya karena ingin kembali pada Asti. Entah kenapa, jika Revan tak menghubunginya lebih dulu, Lia merasa tak boleh menelponya. Jika Lia nekat menelpon atau mengirim chat, Lia jadi merasa dirinya benar-benar wanita jahat yang merebut lelaki orang. Lia menghela nafas sambil melempar pelan ponselnya ke atas meja kecil yang ada di sebelah ranjangnya. Namun naas ponselnya malah tergelincir dan jatuh. Sebenarnya meja ini tak terlalu tinggi, namun entah kenapa ponsel Lia malah retak karenanya. "Bego banget sih, Lia!" Geram Lia pada dirinya sendiri sambil menjitak kepalanya pelan. "Duh, mati lagi…" Lia berusaha menekan tombol power tapi ponselnya tak kunjung menyala. Akhirnya Lia memutuskan pergi mencari konter HP untuk memperbaiki ponselnya.
"Bikin malu!" Teriakan Ayah Revan menggema di seluruh ruangan. "Kamu selingkuh?! Kamu punya wanita lain dan memilih bercerai dengan Asti?! Apa kamu sudah nggak waras, Revan!""Revan mau menjelaskan, tapi kalau Ayah sudah menganggap buruk tentang Revan, sepertinya percuma Revan bicara," Revan berusaha menurunkan emosinya. Dia tahu Ayahnya pasti marah besar karena beliau adalah sahabat baik Pak Wijaya - Ayah dari Asti. "Mau penjelasan apa lagi?! Semua sudah jelas! Asti sampai menangis dan mengadu pada Ayahnya. Ayah benar-benar nggak tahu lagi mau ditaruh mana wajah Ayah kalau bertemu mereka! Dan setelah itu semua, Asti masih mau menerima kamu tapi kamu sendiri memilih untuk bercerai! Hanya karena wanita nggak jelas yang baru kamu kenal?! Kamu- pikiran kamu sudah rusak!" Teriakan dan makian dari Ayah Revan menggema memenuhi seluruh ruangan yang hanya berisi tiga orang yaitu Revan, Ayahnya dan Ibunya. "Ayah, tolong tenang. Biarkan Revan menjelaskan," Ucap Ibu Revan yang sejak tadi terd