“Selamat pagi semuanya,” ucap Revan membuka briefing pagi ini.
“Pagi Pak...” Jawab seluruh karyawan kompak.
"Dua hari Saya absen, nggak ada masalah kan?”
“Nggak ada Pak, aman!” ucap Jamal mewakili teman-teman sales nya.
“Lia? Kamu pasti kesulitan ya, harus buat tagihan yang lumayan banyak.”
Lia tersentak kaget saat namanya disebut oleh bosnya, “oh, nggak Pak," jawabnya singkat.
Revan mengangguk puas dengan kinerja Lia. Sebelum briefing dia memang sudah mengecek tagihan-tagihan yang dibawa sales selama dua hari kemarin. Dan pekerjaan Lia ny
“Bu, Lia sudah masak udang goreng tepung loh, katanya kemarin Ibu pengen udang tepung,” Lia masuk ke kamar Ibunya sambil membawa sepiring penuh udang goreng tepung yang baru saja matang. “Baunya enak banget loh Bu, hmmm... Ibu pasti suka.” Lia meletakkan piring itu di meja dekat ranjang Ibunya dan menatap Ibu yang sepertinya masih lelap tertidur. “Tumben, sudah jam tujuh pagi kok Ibu belum bangun? Biasanya Ibu sudah bangun dari subuh, apa karena sekarang hari minggu?” ucap Amalia bermonolog. “Ibu...” Amalia duduk di tepi ranjang Ibunya dan menyentuh pundaknya dengan pelan mencoba membangunkan sang Ibu. “Badannya di seka dulu yuk? Sama ganti pampersnya, terus sarapan. Sudah jam tujuh loh... Bu...” Ibu tetap diam tak bergeming. “Bu? Bu?" Lia langsung merasa cemas, jantungnya berdebar makin kencang saat menyadari tubuh Ibunya sudah terasa dingin. Dengan tangan gemetar, Lia mendekatkan j
“Pak.. Revan..”“Kamu mau ke mana Lia?” suara baritone yang sangat dalam dari Pak Revan menembus hati Lia membuatnya entah kenapa ingin menangis dalam pelukan hangat ini.Lia tak menjawab, namun malah menangis terisak. Membuat Revan mengurungkan niatnya untuk bertanya hal yang lainnya, dia hanya memeluk Lia makin erat dalam dekapannya.Hampir sepuluh menit, Lia menangis terisak dalam pelukan bos nya, membuat kemeja Revan basah kuyup tepat di bagian dada di mana Lia menyandarkan wajahnya.Setelah reda emosinya, Lia merasa malu. Perlahan dia menjauhkan tubuhnya dari dekapan Pak Revan. Revan yang merasa Lia mulai bergerak menjauh akhirnya mulai melonggarkan pelukannya.
"Tanah di makam Ibu masih basah, tapi mas Toni sudah ribut mau jual rumah Ibu! Kebangetan kamu Mas!" Ucap Lia sambil berusaha menahan emosi nya yang meletup-letup di dada."Ya bukan begitu maksudku, biar semuanya clear," jawab kakak kedua Lia dengan santai."Aku juga setuju dengan usul Toni," tiba-tiba Sandy, kakak pertama Lia muncul dan ikut berkomentar."Nanti kamu bisa ikut mas atau mau ikut Toni juga nggak apa-apa."Lia merasa tak bisa berkata-kata lagi, lidahnya terasa kelu."Nggak perlu! Aku bisa mengurus diriku sendiri!" Lia menghentikan kegiatan makannya yang belum selesai. Dia sudah tak punya napsu makan sama sekali.
Lia diajak masuk ke dalam restaurant yang sangat besar itu dan digiring menuju tempat duduk yang ada di dekat jendela dengan pemandangan taman yang sangat indah.Revan memperlakukannya dengan sangat sopan, dia bahkan menarik kursi yang akan diduduki Lia agar Lia dapat duduk dengan mudah.“Te.. terima kasih,” ucap Lia gugup.“Nggak usah gugup, Saya nggak akan macam-macam. Cuma mau temani kamu makan siang,” Revan mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum, sangat menawan.“Ehm.. “ Lia berdehem untuk menghilangkan rasa gugupnya, dan duduk dengan tenang di kursinya. Ini benar-benar kali pertama baginya makan di tempat semewah ini, apalagi dengan seorang pria setampan atasannya itu.
Amalia kembali ke kantornya dengan jantung yang berdebar-debar tak karuan. Dia merasa takut.Takut jika dia ketahuan telah makan siang dengan Pak Revan, pasti semua teman kantornya sangat heboh walau sebenarnya Pak Revan mengatakan kalau itu semua tidak masalah buatnya.Apalagi kalau Novi sampai tahu, ahh... Lia tak berani membayangkannya.Lia berusaha memasang wajah senormal mungkin saat masuk ke dalam ruang kerjanya dan duduk dengan manis di kursinya.Lia merasa sangat konyol, memangnya dia melakukan kesalahan apa? Hanya makan siang dengan atasannya, itu bukan sebuah dosa kan? Hanya makan siang! Iya hanya makan siang!Namun entah kenapa, hati Lia menginginkan lebih dari sekedar makan siang. Salah
Saat waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, Lia dengan terburu-buru menyelesaikan semua pekerjaannya dan bergegas untuk pulang.Hari ini, setelah magrib akan ada acara baca doa lagi di rumahnya, dia harus bergegas beberes rumah. Karena kedua kakaknya sudah pulang ke Jogja jadi semuanya harus Lia urus sendiri.“Lia! Lia!”Saat Lia hendak menyalakan motornya, Anita berlari tergopoh-gopoh mendekatinya. Lia pun menurunkan standar motor dan menunggu Anita hingga mendekat.“Ada apa Nit?”“Nanti acara baca doanya jam berapa?”“Habis magrib, makanya aku buru-buru mau pulang.”“Wah, mepet sekali! Sekarang kan sudah jam lima!” tanpa bicara lagi Anita langsung naik ke atas motor Lia.“Loh, Nit? Ngapain?”“Aku ikut ke rumahmu, bantu-bantu. Aku kira acaranya
“Kali ini kamu nggak bisa mengelak lagi! Ayo bilang, atau aku akan terus di sini menunggu!”Amalia duduk sambil menundukkan kepalanya persis seorang murid yang ketahuan mencontek saat ulangan oleh Guru yang galak. Dan Anita adalah guru galak itu.Anita menyilangkan tangannya di dada sambil menatap Amalia yang masih terus tertunduk. Posisinya yang berdiri membuat Amalia semakin terintimidasi.“Semalam kamu bisa mengelak dengan alasan sudah lelah, aku maklum karena aku juga merasa lelah. Tapi sekarang nggak ada alasan kan? Ayo cerita, mumpung kita hanya berdua di sini!" Ya, ruang klaim memang saat ini sedang kosong.Saat jam istirahat, admin klaim yang hanya terdiri dari dua orang yaitu Anita dan Pak Anhar tak
Lia memarkirkan motornya di pelataran sebuah restoran dengan bangunan yang bergaya belanda kuno.“Benar ini tempatnya kan?” ucap Lia bermonolog.Lia belum pernah datang ke sini sebelumnya, dia hanya mengikuti lokasi yang dibagikan oleh Revan lewat chat. Dia tak menyangka kalau tempat makan kali ini begitu lengang. Bahkan hanya ada dua mobil di halaman parkirnya.Lia jadi sedikit takut jika dia salah masuk tempat. Akhirnya dia mengambil ponselnya untuk menghubungi Revan.“Pak... Saya sudah ada di depan,” ucap Lia saat panggilan teleponnya diangkat oleh Revan.“Ya, masuk aja Lia. Saya sudah ada di dalam.”“Oh... i
“Ayo, Lia!” ajak Tinik sambil menarik tangan Lia yang sedang sibuk memasukkan nota ke dalam map. Karena uang yang diberikan Nyonya Cici tak cukup untuk membeli map ordner, Lia memutuskan membeli map plastik yang murah. “Kemana, Mbak?” tanya Lia bingung. “Kalau sudah jam setengah 4, kita harus turun, ketemu sales dan terima setoran mereka, sambil dengerin briefing dari Bos.”Masih bingung, namun Lia menurut saja. Lia di ajak ke garasi mobil, dan disanalah sudah berjejer banyak lelaki paruh baya, ada beberapa yang masih muda dan seumuran Lia. Lia melihat Anggi sedang membagikan makanan dan minuman dan sesekali beberapa seles menggodanya. Anggi tersenyum bahkan tertawa karena candaan para lelaki itu. Lia menelan salivanya, sedikit enggan bergabung dengan orang-orang ini, tapi dia harus bekerja, kan? “Nah, ini ada karyawan baru, namanya Lia,” ucap lelaki yang tadi bertemu Lia di ruang tengah dan bertelanjang dada. Untunglah sekarang dia sudah mengenakan kaos oblong tapi masih menggu
Lia menatap pantulan dirinya di cermin dan merapikan lipatan bajunya yang masuk ke dalam celana bahan kain warna hitam. Hari ini Lia mendapat panggilan interview di sebuah perusahaan distributor alat-alat listrik. Ya, memang bidang alat-alat listrik belum pernah Lia geluti sebelumnya. Karena semenjak lulus hingga sekarang, Lia hanya bekerja di perusahaan distribusi obat-obatan. Tapi, tidak ada salahnya mencoba hal baru, kan? lagi pula jika Lia mencari perusahaan yang sama seperti sebelumnya, dia takut gosip tentang dirinya pasti tersebar di beberapa distributor obat saingan perusahaannya sebelumnya.“Aku pasti bisa!” ucap Lia bermonolog, mengafirmasi dirinya dengan energi positif.“Oke,semuanya sudah siap, aku harus be_” tiba-tiba ponselnya berbunyi dan dengan segera Lia mengangkatnya.“Halo, Van? aku lagi buru-buru, nih.”“....”“Halo? Van?”“Hatiku sakit,” jawab Revan dengan lemas.“Kenapa? ada apa?” tanya Lia, kaget. Lia Bahkan membeku di ambang pintu menunggu jawaban Revan.“Aku
“Tlililit… Tlililit…’“Siapa sih, pagi-pagi gini…?!” Dengan mata masih setengah terpejam, Lia meraba-raba kasur busanya, mencoba mencari-cari di mana ponselnya berada. “Ini dia!” dengan lega, Lia berhasil menemukan ponsel yang ternyata tertindih tubuhnya sendiri. Saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya, mata Lia langsung terbuka lebar, kantuk yang dari tadi masih menggantung di kelopak matanya seketika menghilang. “Revan?” pekiknya lirih.“Halo.”“Baru bangun?” tanya Revan dari seberang. Suaranya sama paraunya seperti Lia, sehingga Lia yakin jika Revan pun baru saja bangun tidur sama seperti dirinya.“Iya…” jawab Lia sambil tersenyum.“....”“Halo? Revan?”“Eh, ya. Kamu sehat-sehat saja kan?”Lia mengernyitkan alis, merasa aneh dengan pertanyaan Revan. “Ada apa?”“Ng… Nggak ada apa-apa.”“Hmmm… dasar aneh, oh ya, kemarin aku jalan-jalan sama Anita.”“jalan ke mana?” sambar Revan cepat.“Ke Mall, shopping sama jajan dimsum…”“Terus?” tanya Revan penasaran. Sebenarnya Revan i
“jadi kamu sekarang sudah pindah? kos di tempat yang sama dengan Adrian?” tanya Tristan. Nada suaranya menunjukkan dia sangat terkejut.“Kenapa?”Lia tersenyum, “nggak apa-apa. Rumah itu juga kan, bukan milikku seorang, jadi memang ada rencana di jual. Aku cuma mempercepat pindahanku.”“Tapi Revan, kan, punya Vila, kenapa kamu nggak tinggal di sana saja?” cecar Tristan. “Kalian nggak lagi bertengkar, kan?”“Nggak kok, Villa Revan itu kan jauh, kemana-mana jauh, dan terlalu besar untuk aku tinggali sendiri, jadi aku memilih sewa kamar kos aja.”Tristan berpikir sejenak,”kamu tau? aku selalu siap membantu jika kamu butuh apapun. Jangan sungkan minta tolong padaku ya?”Lia tersenyum sambil menganggukkan kepalanya, “terima kasih,” ucapnya lirih.“Aku heran! cuma di sini pelakor di sanjung-sanjung! dimana-mana yang namanya pelakor itu kan biasanya di maki-maki, di hajar sampai babak belur atau di laporin ke polisi! huh, dunia memang sudah mau kiamat!” ucap Novi sambil melirik sinis pada Li
“Mbak Lia, nggak makan?” tanya Adrian yang sejak tadi memperhatikan Lia. “Eh? Makan kok,” Lia mencoba tersenyum sambil mengambil gelas jusnya dan meminumnya melalui sedotan. “Nggak napsu makan karena nggak ada Pak Revan, ya?” Celetuk Novi sambil menggigit kentang goreng dan tersenyum sinis pada Lia. Lia tak peduli, dia enggan menanggapi omongan Novi yang selalu sinis padanya. Lagipula jika dia meladeni Novi, Lia takut perayaan ulang tahun Adrian akan kacau. Lia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya kemudian menghela napas, “Sudah jam sembilan malam, aku pulang dulu ya,” ucap Lia pada Adrian. “Loh, kenapa, Mbak? Acaranya sampai jam 12 loh. Setelah ini ada live perfomance aku, masa Mbak Lia nggak mau nonton?” Lia tersenyum kecil, “Anita besok harus kerja, aku nggak enak sama dia.” Adrian tampak kecewa, “paling tidak makanlah ini, dari tadi aku perhatikan Mbak Lia cuma minum jus,” Adrian mendekatkan sepiring spageti ke arah Lia. “Aku nggak mau Mbak Lia
Bibir Lia tersenyum lebar saat membaca pesan masuk yang dikirimkan Revan. 'Asti sudah setuju untuk bercerai. Aku akan urus semuanya setelah itu kita bisa langsung menikah.'Lia merebahkan tubuhnya masih dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. Jantungnya berdebar kencang membayangkan akhirnya dia akan menikah dengan Revan. Tak pernah terbayangkan olehnya sebelumnya jika dirinya akan menikah dengan lelaki setampan dan sesempurna Revan. Bagi Lia, Revan adalah lelaki pertama dan terakhir yang bertahta di hatinya, walaupun bagi Revan Lia bukan yang pertama. Mengingat itu, senyum Lia langsung sirna. Ada rasa bersalah yang tiba-tiba melintas, namun dengan cepat Lia berusaha menangkisnya. "Asti yang berselingkuh lebih dulu! Dia menyakiti Revan dan wajar Revan berpisah dengannya, tak ada hubungannya denganku…" gumam Lia sambil memejamkan matanya. Lia bangun dari tidurannya dan kembali berpikir, "bolehkan aku bahagia dengan perpisahan Revan?" tanyanya bermonolog. "Duuh kenapa sih aku?" Li
"Nanti aku ceritakan semuanya, tapi telpon di HP ku aja, ini HP orang aku nggak enak," Jawab Lia lirih, takut Adrian mendengar percakapannya. "Aku tanya kamu tidur di mana?" Ulang Revan meminta jawaban. "Aku sekarang tinggal di kos," Jawab Lia singkat. "Kenapa?""Nanti aku ceritakan semua setelah HP ku ambil, kemarin HP ku jatuh dan nggak mau nyala…""HP mu sudah jadi, dari semalam aku menelpon tapi nggak aktif. Dan barusan aku telpon sudah bisa, berarti HP mu sudah jadi. Buruan di ambil lalu telepon aku secepatnya!""Iya… jam 8 saat konter buka langsung aku ambil.""Ck, baiklah. Langsung telpon aku setelah diambil. Jangan lupa!" Ingat Revan. "Iya, sudah dulu…""Ya," Tut.. Tut.. Tut.. Lia menatap ponsel Adrian yang sudah mati. Semburat kekecewaan menghampiri hatinya karena Revan langsung memutuskan telpon begitu saja. Kenapa dia tak menanyakan kabar Lia? Sebegitu sibukkah dia sampai tak sempat berpikir untuk menanyakan keadaan Lia? Perasaan gelisah kini hinggap di relung hati
Sudah dua hari berlalu, namun Revan tak ada kabar sama sekali. Jangankan menelpon, kirim chat pun tidak. Ada apakah gerangan? Lia ingin sekali menelepon atau mengirimkan chat, namun dia takut. Takut jika ternyata Revan memang sengaja tak menghubunginya karena ingin kembali pada Asti. Entah kenapa, jika Revan tak menghubunginya lebih dulu, Lia merasa tak boleh menelponya. Jika Lia nekat menelpon atau mengirim chat, Lia jadi merasa dirinya benar-benar wanita jahat yang merebut lelaki orang. Lia menghela nafas sambil melempar pelan ponselnya ke atas meja kecil yang ada di sebelah ranjangnya. Namun naas ponselnya malah tergelincir dan jatuh. Sebenarnya meja ini tak terlalu tinggi, namun entah kenapa ponsel Lia malah retak karenanya. "Bego banget sih, Lia!" Geram Lia pada dirinya sendiri sambil menjitak kepalanya pelan. "Duh, mati lagi…" Lia berusaha menekan tombol power tapi ponselnya tak kunjung menyala. Akhirnya Lia memutuskan pergi mencari konter HP untuk memperbaiki ponselnya.
"Bikin malu!" Teriakan Ayah Revan menggema di seluruh ruangan. "Kamu selingkuh?! Kamu punya wanita lain dan memilih bercerai dengan Asti?! Apa kamu sudah nggak waras, Revan!""Revan mau menjelaskan, tapi kalau Ayah sudah menganggap buruk tentang Revan, sepertinya percuma Revan bicara," Revan berusaha menurunkan emosinya. Dia tahu Ayahnya pasti marah besar karena beliau adalah sahabat baik Pak Wijaya - Ayah dari Asti. "Mau penjelasan apa lagi?! Semua sudah jelas! Asti sampai menangis dan mengadu pada Ayahnya. Ayah benar-benar nggak tahu lagi mau ditaruh mana wajah Ayah kalau bertemu mereka! Dan setelah itu semua, Asti masih mau menerima kamu tapi kamu sendiri memilih untuk bercerai! Hanya karena wanita nggak jelas yang baru kamu kenal?! Kamu- pikiran kamu sudah rusak!" Teriakan dan makian dari Ayah Revan menggema memenuhi seluruh ruangan yang hanya berisi tiga orang yaitu Revan, Ayahnya dan Ibunya. "Ayah, tolong tenang. Biarkan Revan menjelaskan," Ucap Ibu Revan yang sejak tadi terd