Saat waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, Lia dengan terburu-buru menyelesaikan semua pekerjaannya dan bergegas untuk pulang.
Hari ini, setelah magrib akan ada acara baca doa lagi di rumahnya, dia harus bergegas beberes rumah. Karena kedua kakaknya sudah pulang ke Jogja jadi semuanya harus Lia urus sendiri.
“Lia! Lia!”
Saat Lia hendak menyalakan motornya, Anita berlari tergopoh-gopoh mendekatinya. Lia pun menurunkan standar motor dan menunggu Anita hingga mendekat.
“Ada apa Nit?”
“Nanti acara baca doanya jam berapa?”
“Habis magrib, makanya aku buru-buru mau pulang.”
“Wah, mepet sekali! Sekarang kan sudah jam lima!” tanpa bicara lagi Anita langsung naik ke atas motor Lia.
“Loh, Nit? Ngapain?”
“Aku ikut ke rumahmu, bantu-bantu. Aku kira acaranya
“Kali ini kamu nggak bisa mengelak lagi! Ayo bilang, atau aku akan terus di sini menunggu!”Amalia duduk sambil menundukkan kepalanya persis seorang murid yang ketahuan mencontek saat ulangan oleh Guru yang galak. Dan Anita adalah guru galak itu.Anita menyilangkan tangannya di dada sambil menatap Amalia yang masih terus tertunduk. Posisinya yang berdiri membuat Amalia semakin terintimidasi.“Semalam kamu bisa mengelak dengan alasan sudah lelah, aku maklum karena aku juga merasa lelah. Tapi sekarang nggak ada alasan kan? Ayo cerita, mumpung kita hanya berdua di sini!" Ya, ruang klaim memang saat ini sedang kosong.Saat jam istirahat, admin klaim yang hanya terdiri dari dua orang yaitu Anita dan Pak Anhar tak
Lia memarkirkan motornya di pelataran sebuah restoran dengan bangunan yang bergaya belanda kuno.“Benar ini tempatnya kan?” ucap Lia bermonolog.Lia belum pernah datang ke sini sebelumnya, dia hanya mengikuti lokasi yang dibagikan oleh Revan lewat chat. Dia tak menyangka kalau tempat makan kali ini begitu lengang. Bahkan hanya ada dua mobil di halaman parkirnya.Lia jadi sedikit takut jika dia salah masuk tempat. Akhirnya dia mengambil ponselnya untuk menghubungi Revan.“Pak... Saya sudah ada di depan,” ucap Lia saat panggilan teleponnya diangkat oleh Revan.“Ya, masuk aja Lia. Saya sudah ada di dalam.”“Oh... i
Lia berulang kali menatap pantulan dirinya di cermin. Malam ini, setelah acara baca doa selesai dan Anita pulang, Lia langsung mengganti bajunya dengan baju terbaik yang dia miliki. Tadi siang saat makan siang dengan Pak Revan, dia berjanji untuk makan malam di angkringan dekat rumahnya. Entah kenapa Lia selalu menurut dan tak bisa menolak permintaan atasannya itu. Revan ngotot minta makan malam bersama karena Lia tak bisa ikut makan siang esoknya. Lia tak bisa makan siang dengan Pak Revan karena dia sudah membuat janji makan siang bersama Anita. Besok adalah hari ulang tahunnya, tapi Lia enggan mengatakan yang sebenarnya pada Revan. Lia terdiam, dia teringat kembali saat Pak Revan mengatakan bahwa dia menyukainya, bahwa dia merasa nyaman saat di dekatnya. Tanpa Lia sadari senyum mengembang di bibi
"Selamat ulang tahun Lia.." Anita sengaja menyiapkan sebuah kue tart mungil dilengkapi dengan tiga lilin ulir warna pink."Ayo tiup lilinnya," Ucap Anita sambil bertepuk tangan."Stt! Malu ah, kaya ABG aja pakai tiup lilin segala," Lia menunduk malu. Ini adalah kali pertamanya dia merayakan ulang tahun di sebuah restoran. Selama ini, Lia selalu merayakan ulang tahunnya sendirian, karena tak pernah ada teman yang memperhatikan hari lahirnya itu. Jujur Lia sangat senang dan terharu atas perhatian Anita namun dia tetap merasa malu, dia merasa terlalu tua untuk melakukan ini semua.“Maaf aku datang terlambat,” Adam datang dengan sedikit tergopoh-gopoh.“Kerjaan di kantor banyak banget tadi,” lanjutny
"Jadi kamu nggak mau makan siang dengan Saya hari ini karena sudah janji makan siang dengan pacarmu?”Revan berdiri sambil menyandarkan bokongnya diujung meja kerjanya, sedangkan Lia duduk di kursi tepat di depan Revan.Lia merasa heran, tampak dari tatapan matanya saat melihat Revan.“Kok Pak Revan marah?”“Saya nggak marah, memangnya Saya terlihat marah? Saya hanya nggak suka di bohongi!”“Saya mau makan siang dengan siapa itu kan urusan Saya. Privasi Saya! kenapa Saya harus mengatakan semuanya kepada Bapak?”Revan menatap Lia sambil menyilangkan tangannya di dada. Setelah menarik n
Seharian ini Lia merasa kesal, bahkan terus terbawa perasaan itu hingga pulang kerja. Alhasil, Lia jadi malas untuk melakukan apa-apa di rumah. Dia hanya tiduran di atas ranjang milik almarhumah Ibu nya.“Ternyata, sepi sekali hidup sendirian di rumah ini. Rumah terasa terlalu besar dan kosong… apa lebih baik aku kos saja ya? biar punya teman kos dan nggak merasa sepi seperti ini…” gumam Lia.Sejak kepergian Ibu, baru kali ini Lia merasa kesepian. Biasanya selalu ada Pak Revan yang mengirimi pesan atau mengajak makan.“Sadarlah Lia, dia bukan siapa-siapa. Kenapa dia harus bertanggung jawab untuk perasaanmu,” gumamnya lagi sambil memejamkan mata.Kriing..Dengan
‘Klik. Klik.’Lia mengambil ponselnya karena ada notifikasi pesan masuk.“Pasti Mas Rohman,” gumamnya. Dari pagi Rohman memang sudah wanti-wanti agar Lia segera membuat dokumen permohonan order untuk Rumah sakit XX. Dia terlihat sangat khawatir Lia akan dimarahi lagi oleh Pak Revan sehingga dia terus mengingatkan Lia. Dia bahkan mengajukan diri untuk membantu dan berniat untuk pulang ke kantor lebih awal agar bisa membantu Lia menyelesaikan dokumennya.Rohman memang sangat baik pada Lia, dari dulu.‘Nanti siang kita makan bareng, Saya tunggu kamu di Obonk.’Lia terdiam sambil menatap pesan masuk itu dengan teliti. Benar ini Pak Revan yang kirim? bukankah dari kemarin dia masih marah-marah nggak jelas? tadi pagi pun saat bertemu di ruang absensi dia masih terlihat tak bersahabat. Kenapa tiba-tiba, nggak ada angin, nggak ada hujan dia mengirimi pesan dan mengajak makan siang?Lia mengusap matanya, takut kalau ini hanyalah halusinasinya saja.Atau mungkin Pak Revan salah kirim? mungkin
“Lho? Lia? kok sudah balik kantor? cepat sekali makannya?” tanya Rita yang melihat kemunculan Lia di ruang admin. Padahal Rita, Mita dan Novi bahkan belum menyelesaikan makan siang mereka.Lia memaksakan senyum sambil duduk di kubikelnya, “Aku ingat kerjaanku masih banyak jadi nggak tenang makan,” lalu Lia mulai berkutat dengan berkas-berkas pekerjaannya yang masih menumpuk.Lia bersyukur hari ini pekerjaannya sangat banyak, sehingga dia bisa sejenak melupakan kejadian tak menyenangkan saat makan siang tadi.Tapi benarkah Lia bisa melupakannya begitu saja?Lia menelan salivanya di tengah-tengah kegiatannya, dia berusaha fokus namun tetap tak bisa. Mengingat ucapan Pak Revan benar-benar membuat Lia terpukul.Jadi selama ini, tanpa dia sadari dia telah menyukai suami orang? itu sangat menakutkan! membayangkannya pun Lia tak sanggup.“Kencannya nggak lancar ya?” celetuk Novi sambil mengunyah nasinya.“Ya biasalah, namanya juga lelaki. Maunya itu yang muda, cantik, bohay. Jadi nggak usah
“Ayo, Lia!” ajak Tinik sambil menarik tangan Lia yang sedang sibuk memasukkan nota ke dalam map. Karena uang yang diberikan Nyonya Cici tak cukup untuk membeli map ordner, Lia memutuskan membeli map plastik yang murah. “Kemana, Mbak?” tanya Lia bingung. “Kalau sudah jam setengah 4, kita harus turun, ketemu sales dan terima setoran mereka, sambil dengerin briefing dari Bos.”Masih bingung, namun Lia menurut saja. Lia di ajak ke garasi mobil, dan disanalah sudah berjejer banyak lelaki paruh baya, ada beberapa yang masih muda dan seumuran Lia. Lia melihat Anggi sedang membagikan makanan dan minuman dan sesekali beberapa seles menggodanya. Anggi tersenyum bahkan tertawa karena candaan para lelaki itu. Lia menelan salivanya, sedikit enggan bergabung dengan orang-orang ini, tapi dia harus bekerja, kan? “Nah, ini ada karyawan baru, namanya Lia,” ucap lelaki yang tadi bertemu Lia di ruang tengah dan bertelanjang dada. Untunglah sekarang dia sudah mengenakan kaos oblong tapi masih menggu
Lia menatap pantulan dirinya di cermin dan merapikan lipatan bajunya yang masuk ke dalam celana bahan kain warna hitam. Hari ini Lia mendapat panggilan interview di sebuah perusahaan distributor alat-alat listrik. Ya, memang bidang alat-alat listrik belum pernah Lia geluti sebelumnya. Karena semenjak lulus hingga sekarang, Lia hanya bekerja di perusahaan distribusi obat-obatan. Tapi, tidak ada salahnya mencoba hal baru, kan? lagi pula jika Lia mencari perusahaan yang sama seperti sebelumnya, dia takut gosip tentang dirinya pasti tersebar di beberapa distributor obat saingan perusahaannya sebelumnya.“Aku pasti bisa!” ucap Lia bermonolog, mengafirmasi dirinya dengan energi positif.“Oke,semuanya sudah siap, aku harus be_” tiba-tiba ponselnya berbunyi dan dengan segera Lia mengangkatnya.“Halo, Van? aku lagi buru-buru, nih.”“....”“Halo? Van?”“Hatiku sakit,” jawab Revan dengan lemas.“Kenapa? ada apa?” tanya Lia, kaget. Lia Bahkan membeku di ambang pintu menunggu jawaban Revan.“Aku
“Tlililit… Tlililit…’“Siapa sih, pagi-pagi gini…?!” Dengan mata masih setengah terpejam, Lia meraba-raba kasur busanya, mencoba mencari-cari di mana ponselnya berada. “Ini dia!” dengan lega, Lia berhasil menemukan ponsel yang ternyata tertindih tubuhnya sendiri. Saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya, mata Lia langsung terbuka lebar, kantuk yang dari tadi masih menggantung di kelopak matanya seketika menghilang. “Revan?” pekiknya lirih.“Halo.”“Baru bangun?” tanya Revan dari seberang. Suaranya sama paraunya seperti Lia, sehingga Lia yakin jika Revan pun baru saja bangun tidur sama seperti dirinya.“Iya…” jawab Lia sambil tersenyum.“....”“Halo? Revan?”“Eh, ya. Kamu sehat-sehat saja kan?”Lia mengernyitkan alis, merasa aneh dengan pertanyaan Revan. “Ada apa?”“Ng… Nggak ada apa-apa.”“Hmmm… dasar aneh, oh ya, kemarin aku jalan-jalan sama Anita.”“jalan ke mana?” sambar Revan cepat.“Ke Mall, shopping sama jajan dimsum…”“Terus?” tanya Revan penasaran. Sebenarnya Revan i
“jadi kamu sekarang sudah pindah? kos di tempat yang sama dengan Adrian?” tanya Tristan. Nada suaranya menunjukkan dia sangat terkejut.“Kenapa?”Lia tersenyum, “nggak apa-apa. Rumah itu juga kan, bukan milikku seorang, jadi memang ada rencana di jual. Aku cuma mempercepat pindahanku.”“Tapi Revan, kan, punya Vila, kenapa kamu nggak tinggal di sana saja?” cecar Tristan. “Kalian nggak lagi bertengkar, kan?”“Nggak kok, Villa Revan itu kan jauh, kemana-mana jauh, dan terlalu besar untuk aku tinggali sendiri, jadi aku memilih sewa kamar kos aja.”Tristan berpikir sejenak,”kamu tau? aku selalu siap membantu jika kamu butuh apapun. Jangan sungkan minta tolong padaku ya?”Lia tersenyum sambil menganggukkan kepalanya, “terima kasih,” ucapnya lirih.“Aku heran! cuma di sini pelakor di sanjung-sanjung! dimana-mana yang namanya pelakor itu kan biasanya di maki-maki, di hajar sampai babak belur atau di laporin ke polisi! huh, dunia memang sudah mau kiamat!” ucap Novi sambil melirik sinis pada Li
“Mbak Lia, nggak makan?” tanya Adrian yang sejak tadi memperhatikan Lia. “Eh? Makan kok,” Lia mencoba tersenyum sambil mengambil gelas jusnya dan meminumnya melalui sedotan. “Nggak napsu makan karena nggak ada Pak Revan, ya?” Celetuk Novi sambil menggigit kentang goreng dan tersenyum sinis pada Lia. Lia tak peduli, dia enggan menanggapi omongan Novi yang selalu sinis padanya. Lagipula jika dia meladeni Novi, Lia takut perayaan ulang tahun Adrian akan kacau. Lia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya kemudian menghela napas, “Sudah jam sembilan malam, aku pulang dulu ya,” ucap Lia pada Adrian. “Loh, kenapa, Mbak? Acaranya sampai jam 12 loh. Setelah ini ada live perfomance aku, masa Mbak Lia nggak mau nonton?” Lia tersenyum kecil, “Anita besok harus kerja, aku nggak enak sama dia.” Adrian tampak kecewa, “paling tidak makanlah ini, dari tadi aku perhatikan Mbak Lia cuma minum jus,” Adrian mendekatkan sepiring spageti ke arah Lia. “Aku nggak mau Mbak Lia
Bibir Lia tersenyum lebar saat membaca pesan masuk yang dikirimkan Revan. 'Asti sudah setuju untuk bercerai. Aku akan urus semuanya setelah itu kita bisa langsung menikah.'Lia merebahkan tubuhnya masih dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. Jantungnya berdebar kencang membayangkan akhirnya dia akan menikah dengan Revan. Tak pernah terbayangkan olehnya sebelumnya jika dirinya akan menikah dengan lelaki setampan dan sesempurna Revan. Bagi Lia, Revan adalah lelaki pertama dan terakhir yang bertahta di hatinya, walaupun bagi Revan Lia bukan yang pertama. Mengingat itu, senyum Lia langsung sirna. Ada rasa bersalah yang tiba-tiba melintas, namun dengan cepat Lia berusaha menangkisnya. "Asti yang berselingkuh lebih dulu! Dia menyakiti Revan dan wajar Revan berpisah dengannya, tak ada hubungannya denganku…" gumam Lia sambil memejamkan matanya. Lia bangun dari tidurannya dan kembali berpikir, "bolehkan aku bahagia dengan perpisahan Revan?" tanyanya bermonolog. "Duuh kenapa sih aku?" Li
"Nanti aku ceritakan semuanya, tapi telpon di HP ku aja, ini HP orang aku nggak enak," Jawab Lia lirih, takut Adrian mendengar percakapannya. "Aku tanya kamu tidur di mana?" Ulang Revan meminta jawaban. "Aku sekarang tinggal di kos," Jawab Lia singkat. "Kenapa?""Nanti aku ceritakan semua setelah HP ku ambil, kemarin HP ku jatuh dan nggak mau nyala…""HP mu sudah jadi, dari semalam aku menelpon tapi nggak aktif. Dan barusan aku telpon sudah bisa, berarti HP mu sudah jadi. Buruan di ambil lalu telepon aku secepatnya!""Iya… jam 8 saat konter buka langsung aku ambil.""Ck, baiklah. Langsung telpon aku setelah diambil. Jangan lupa!" Ingat Revan. "Iya, sudah dulu…""Ya," Tut.. Tut.. Tut.. Lia menatap ponsel Adrian yang sudah mati. Semburat kekecewaan menghampiri hatinya karena Revan langsung memutuskan telpon begitu saja. Kenapa dia tak menanyakan kabar Lia? Sebegitu sibukkah dia sampai tak sempat berpikir untuk menanyakan keadaan Lia? Perasaan gelisah kini hinggap di relung hati
Sudah dua hari berlalu, namun Revan tak ada kabar sama sekali. Jangankan menelpon, kirim chat pun tidak. Ada apakah gerangan? Lia ingin sekali menelepon atau mengirimkan chat, namun dia takut. Takut jika ternyata Revan memang sengaja tak menghubunginya karena ingin kembali pada Asti. Entah kenapa, jika Revan tak menghubunginya lebih dulu, Lia merasa tak boleh menelponya. Jika Lia nekat menelpon atau mengirim chat, Lia jadi merasa dirinya benar-benar wanita jahat yang merebut lelaki orang. Lia menghela nafas sambil melempar pelan ponselnya ke atas meja kecil yang ada di sebelah ranjangnya. Namun naas ponselnya malah tergelincir dan jatuh. Sebenarnya meja ini tak terlalu tinggi, namun entah kenapa ponsel Lia malah retak karenanya. "Bego banget sih, Lia!" Geram Lia pada dirinya sendiri sambil menjitak kepalanya pelan. "Duh, mati lagi…" Lia berusaha menekan tombol power tapi ponselnya tak kunjung menyala. Akhirnya Lia memutuskan pergi mencari konter HP untuk memperbaiki ponselnya.
"Bikin malu!" Teriakan Ayah Revan menggema di seluruh ruangan. "Kamu selingkuh?! Kamu punya wanita lain dan memilih bercerai dengan Asti?! Apa kamu sudah nggak waras, Revan!""Revan mau menjelaskan, tapi kalau Ayah sudah menganggap buruk tentang Revan, sepertinya percuma Revan bicara," Revan berusaha menurunkan emosinya. Dia tahu Ayahnya pasti marah besar karena beliau adalah sahabat baik Pak Wijaya - Ayah dari Asti. "Mau penjelasan apa lagi?! Semua sudah jelas! Asti sampai menangis dan mengadu pada Ayahnya. Ayah benar-benar nggak tahu lagi mau ditaruh mana wajah Ayah kalau bertemu mereka! Dan setelah itu semua, Asti masih mau menerima kamu tapi kamu sendiri memilih untuk bercerai! Hanya karena wanita nggak jelas yang baru kamu kenal?! Kamu- pikiran kamu sudah rusak!" Teriakan dan makian dari Ayah Revan menggema memenuhi seluruh ruangan yang hanya berisi tiga orang yaitu Revan, Ayahnya dan Ibunya. "Ayah, tolong tenang. Biarkan Revan menjelaskan," Ucap Ibu Revan yang sejak tadi terd