"Anya, turun sekarang!"
Rain bersedekap tangan sekaligus berdecak kesal di tempatnya berdiri. Maniknya yang serupa pekat malam tanpa bintang menyorot dengan datar pun dibubuhi aura dingin, yang seolah tiada habisnya pada seorang gadis berpenampilan mengerikan bagai manusia purba; sedang berusaha memanjat pohon mangga yang tumbuh liar di dalam hutan.
Rain tidak mengada-ngada saat memikirkan sosok Anya yang kian hari semakin mirip kawanan monyet; rambut acak-acakan, baju kedodoran miliknya yang sudah bolong sana-sini, kulit pucat yang dipenuhi bercak tanah, dan jangan lupakan bau menyengat keluar dari tubuhnya.
Rain harus menahan diri saat berada di dekat gadis itu agar tidak muntah saking baunya.
Pria itu tidak habis pikir, sebab dia memiliki rumah yang meski berada di tengah hutan
Blood Rain berjalan mendekat, tangan kirinya memegang sebelah kaki Anya yang sedang ter-telungkup di lantai, semakin ditarik dengan kuat agar ia bisa menjangkau gadis itu. Anya sudah menjerit ditempat, wajahnya basah karena dipenuhi sisa air mata. Dia tidak tahan sebab benar-benar merasa sakit. Dalam sekali tarikan kuatnya, Blood Rain berhasil membuat Anya berdiri dari posisi sebelumnya. Pria itu menjadi semakin kuat. Sebelah tangannya yang memegang pisau dia arahkan tepat ke tengah leher pucat milik Anya yang hanya bisa menangis. Pria mengerikan itu sontak tertawa jahat diselingi desiran remeh kepada Anya yang tidak bisa melakukan apa-apa. Rasanya dia tidak puas. Dijambaknya rambut panjang gadis itu agar mendongak, lantas memposisikan pisaunya dengan tepat; posisi yang akan membunuh Anya hanya dalam sekali sayat. Tubuh gadis malang itu kian gemetar. Dia ter
Anya menatap ke arah hutan rimbun di depan sana. Suasana sejuk udara pagi menyambutnya sejak beberapa menit yang lalu, saat ia terbangun begitu cepat dan berakhir duduk di teras luar berlantai kayu rumah ini. Kegiatan tersebut sudah berlangsung selama tiga hari terakhir sejak kejadian mengerikan itu terjadi. Kejadian yang nyaris saja membuatnya mati juga hampir hanya menyisakan nama. Bukan saja nyaris mati, kejadian aneh yang dia alami saat melukai Rain ketika peristiwa itu terjadi, juga menjadi hal besar yang menggangu pikirannya. Dia sudah berusaha mencari jawaban melalui sepenggal ingatan yang kadang terlintas. Tapi nihil. Anya masih tidak bisa mengingat dengan jelas. Anya jadi teringat, Rain adalah orang pertama yang dia lihat saat membuka mata dan Rain pula lah, yang hampir saja ia lempar menggunakan vas bunga di dala
Tidak ada yang pernah mengira dan menduga akan seperti apa masa depan di waktu mendatang. Hidup adalah misteri dengan segala kemistisannya. Tidak akan ada yang pernah tahu; entah hari ini, esok, atau bahkan lusa--seseorang,akankah masih hidup atau justru telah mati. Akan ada suatu masa, dimana suasana kelam yang nyata menyeruak datang menghampiri siapa saja. Kekelaman tanpa batas yang akan membawa rasa putus asa, tiada dua. Dan memaksa sebuah jiwa beraga memilih mengakhiri hidup. Tetapi, di saat-saat seperti itulah seseorang membutuhkan orang lain untuk membantunya; bangkit, berdiri, dan bertahan. Anya tidak terkecuali. Hidup menderita sejak kecil bukanlah hal mudah, orang tua yang egois memaksanya harus bertahan diantara keributan memuakkan orang dewasa. Hidup di panti, tidak lantas membuatnya membaik. Dia harus b
"Rain? Kamu dengar apa yang kukatakan?" Pria itu jelas mendengar, tetapi dia memilih bisu. Manik indahnya memejam dengan rapat pun bibirnya tertutup. Dia tidak peduli dengan apapun sekarang, termasuk meladeni sosok pria bertubuh tegap yang beberapa senti lebih pendek darinya--sedang berdiri di samping tempatnya duduk--di depan teras kolam ikan. Menghela nafas panjang yang terdengar sedikit kesal dan putus asa, pria berbaju formal tersebut lantas memegangi pundak Rain yang masih duduk mengabaikan keberadaannya di rumah hutan itu, selama beberapa hari belakangan setelah Anya pergi. Dia tentu tahu mengapa Rain marah kepadanya. Sebab dia lah yang meminta Rain meninggalkan tempat itu sebelum berhasil menangkap Anya dan kembali membawanya pulang. Si Pria berbaju formal jelas tidak akan menggangu kes
Beberapa jam sebelum Tuti tewas.... Atmosfir ruangan terasa berat. Aura-aura berganti dan saling membaur di dalamnya. Namun aura pekat milik Rayland Pram Adiptara jauh lebih mendominasi, mengenyahkan aura lain milik Ramlan, Ryan, juga Tania. Ini bukan kali pertama terjadi. Aura Rayland yang suram terkadang menginvasi aura lain hingga membuat pria itu tampak unggul--di mana pun dan kapan pun--saat dia menghendakinya. Tidak menutup kemungkinan, jika hal inilah yang membuat Rayland selalu tampak mengintimidasi, mengendalikan berbagai macam situasi, karena auranya. Tidak ada yang tahu, bahwa sejatinya sosok Rayland juga mampu melihat warna aura seseorang. Pria itu terlalu misterius, gerak-geriknya nampak pasif sehingga tidak ada yang tahu pasti apa yang tengah dipikir
Berbulan-bulan terlewati sejak peristiwa kematian Tuti yang misterius. Tentu saja hari-hari yang dilalui Anya begitu berat. Tuti adalah pelayan pribadinya selama ia tinggal di mansion Adiptara, jadi tidak menutup kemungkinan jika mereka sudah akrab, tidak hanya sebagai pelayan dan majikan melainkan juga sebagai teman. Anya bahkan telah menganggap Tuti selayaknya sosok ibu yang cerewet; sering menegurnya mengenai hal ini-itu dan terutama mengenai apa yang bersangkutan dengan Rayland, suaminya yang kaku. Tuti adalah pelayan yang baik dibalik kecerewetannya, mungkin karena pengalamannya sebagai seorang pelayan membuatnya tidak merasa canggung jika berhadapan dengan Anya yang pecicilan dan pembuat onar. Sebaliknya, ia justru bersikap apa adanya dan tidak harus memasang sikap palsu untuk mendapatkan perhatian, mengingat status Anya sebagai nyony
Kalau saja ia bisa pingsan saking kagetnya. Anya ingin melakukannya sekarang. Sayangnya, ia sama sekali tidak berharap menjadi tontonan orang-orang yang menatapnya aneh, juga berpikiran yang tidak-tidak mengenai dirinya. Bisa dipastikan, ia akan di cap sebagai gadis yang mengawali mata kuliah terakhirnya di awal semester dengan pingsan di kelas. Tidak, Anya tidak menginginkannya. Namun nyatanya, dia merasa ingin pingsan justru karena dosennya sendiri, yang tidak lain adalah Rain. Orang yang sudah menculik dan hampir saja membunuhnya dengan sadis. Sontak, Anya hanya bisa termangu, tidak memikirkan apapun selain bagaimana dia akan mati ditangan Rain.Atau cara seperti apa yang akan dilakukan lelaki itu untuk menghabisi nyawanya. Nyatanya, Anya sangat takut sekarang. Dia tidak bisa memikirkan apapun selain kata MATI. Keringat dingin telah menghampirinya saat
Kriuk!! Kriuk!! Kriuk!! "Bisakah kamu makan tanpa harus menimbulkan bunyi menjengkelkan seperti itu?" Lolita menoleh sembari menyengir. Keripik pisang ditangannya berhenti tepat di depan mulutnya. Remah-remahannya pun menempel bak lintah darat di sekitar bibirnya. Ryuu yang pengertian segera menghapusnya dengan tissue. "Empat belas kali," Anya mengernyit. "Hah?" Lolita menggeleng. Suara kriuk-kriuk renyah kembali terdengar saat keripik pisang lagi-lagi masuk ke dalam mulut kecilnya. Seperti biasa, Ryuu yang duduk di samping gadis itu kembali bertingkah layaknya pelayan anjing--melayani Lolita. Benar-benar pria bucin. Menyebalkan!! "Sudah empat belas kali kamu marah-marah karena hal sepele hari ini, Anya. Katakan! Kamu ada masalah? Ryuu akan menyelesai
"Astaga, Rayaaaa!!" "Buahh! Baa!!" Rendi melotot. Merasa bodoh sendiri memaki bocah perempuan yang masih berusia satu tahun. Beralih menatap ke arah bocah laki-laki di samping Raya; berambut punk, bertindik ala-ala, jangan lupakan tato mainan disekujur tubuhnya. Kemudian pemuda itu menunjuk ke arah dinding kamarnya yang dipenuhi coretan tinta. "Eh, bocah rock jalanan, kamu yang coret dinding kamarku?" tuduhnya, merasa jengkel dengan anak kakaknya yang satu ini. Kenakalannya berada di tingkat dewa. Masih berumur dua tahun saja, cita-citanya sudah ingin menjadi penyanyi rock. Manik kelam milik bocah
Bau dupa merebak kuat memenuhi seluruh tempat. Lalu di beberapa bagian, kelopak bunga mawar bertebaran seolah sengaja diletakkan di antara salju putih yang menyilaukan mata, begitu kontras dengan warna merahnya. Perpaduan dupa dan harum mawar terasa pekat, menusuk hidung sampai ke ubun-ubun. Dan ketika Anya terbangun, wajahnya luar biasa syok menyadari di mana dirinya saat ini. Dunia mimpi-tetapi tidak di pondok kakek Pram. Kerutan di dahinya bertambah seiring kemilau gaun putih yang ia kenakan tertimpa beberapa cahaya matahari, menyembul malu di antara awan, sementara salju terus berguguran. Kemudian maniknya menyipit menatap sekeliling; tidak ada apapun selain hamparan salju di tanah lapang tanpa kontur tanah, selain ranjang yang ia tempati sekarang. Anya termangu. Merasa bingung seb
Drap! Drap! Langkah kaki terdengar terburu, memenuhi nyaris separuh lorong rumah sakit dari arah ruang bersalin menuju ruangan lain--khusus VIP. Beberapa perawat menegur mereka, meminta dengan sopan agar tidak membuat keributan. Rangga berhenti, membiarkan Rendi, Anya, dan Lolita untuk melanjutkan langkah. Sementara dia menatap perawat untuk meminta maaf atas kelancangannya. Perawat yang baru saja menegur lantas memasang mimik mengerti, namun meminta, agar Rangga tidak mengulangi hal yang sama. Sebab ini jelas menggangu pasien yang sedang beristirahat. Sekali lagi meminta maaf, Rangga akhirnya berlalu dengan langkah cepat. Orang pertama yang memasuki ruang inap Rayland adalah Rendi dan Lolita. Sementara Anya, dia berhenti, kakinya tiba-tiba terasa berat d
Tik! Tik! Anya termenung. Memejamkan mata merasai rintik hujan yang mulai membasahi wajah, nyaris seluruh tubuh. Dia berjongkok, menyamai tubuhnya dengan tumpukan tanah basah yang baru saja menenggelamkan tubuh Rain dalam kesunyian. Kesannya bagai mimpi, dan rasanya baru kemarin dia bertemu dengan sosok pria yang kini tengah terbaring damai dalam peraduan terakhirnya. Anya tidak menangis, sebab terlalu lelah dan ia ingin mengakhirinya. Anya hanya ingin menerka, mencoba bertanya kepada diri sendiri, mengapa Rain pergi? Mengapa pria itu memilih pergi setelah semua yang terjadi di antara mereka? Tidak seperti yang Anya duga, nyatanya hujan tidak turun dengan deras. Gerimis yang semula muncul menghilang entah ke mana, t
Membelalak. Rahman seolah tidak mampu mengucapkan satu kata pun sekarang. Maniknya melebar terkejut, melihat bagaimana ledakan yang nyaris menghempaskannya andai tidak segera memasang kuda-kuda pertahanan yang tepat. Tubuhnya jelas akan ikut terjebak dalam pusaran angin, membawa raganya terpental bersama yang lain. Beruntung, sebab ia memiliki refleks yang bagus. Mendongak. Kilat kemarahan di manik pria baya itu bertambah seiring mata gelapnya menatap sosok Anya; melayang di udara dengan posisi yang tidak berubah sedikitpun. Tidak ada riak berarti di wajah gadis itu. Matanya masih membuka dengan iris sehitam arang tanpa setitik pantulan cahaya di sana. Yang dia lakukan hanya diam melayang dengan sorot luar biasa kosong. Bukankah seharusnya proses penengah hanya bisa terjadi saat tubuh pengguna dalam keadaan sadar?
Satu jam sebelum Rayland tertangkap Sejatinya, Lolita begitu malas menghampiri Rayland di kamar mandi. Inginnya hanya berdua saja dengan Ryuu lalu tidur setelahnya. Namun, seperti yang sudah-sudah, dia jelas tidak bisa menolak jika mengingat hanya dirinya yang paling memungkinkan untuk bergerak bebas. Jadi, tidak ada pilihan lain selain dia yang harus menghampiri pria itu. Tiba di depan kamar mandi, Lolita mengetuk pintu hingga berulang kali dan Rayland di dalamnya sama sekali tidak merespon. Sampai ketukan ke empat, pintu akhirnya terbuka dan Rayland muncul di baliknya. Satu detik! Dua detik! Tiga detik! "Aaaaaaaa ...," Teriakan Lolita menggema. Bukan tanpa alasan, sebab nyatanya, orang yang muncul dari balik
BRAK!! BRAK!! Darah mengucur deras, mengaliri hidung, mulut, bahkan telinga Rain. Pria itu meluruh lemas ke bawah lantai dengan penampilan mengerikan. Sekujur tubuhnya dipenuhi luka sayatan dan darah tidak berhenti merembes dari sana. Manik kelamnya menyorot sosok Rahman yang sedang duduk di kursi, sembari menyeringai setan melihat penderitaannya. Kedua tangannya dirantai begitupun lehernya. Kini, Rain tidak ubahnya seekor hewan penyiksaan. Dua orang pria bertopeng berdiri di sisi Rahman, memegang senapan aneh dan sejak tadi hanya terdiam menyaksikan kekejaman Rahman kepada Rain. Kasih sayang seorang ayah seolah tidak ada dalam jiwanya, lantas menyiksa anak sendiri bukanlah masalah besar baginya. Ketika mengetahui Ren telah terbunuh, Rahma
Perih. Panas. Dan rasa sakit perlahan mulai merambati Antonio dari satu titik, kemudian menyebar hingga ke seluruh perutnya. Satu tembakan bisa ditahan, namun dua tembakan berikutnya menembus dada, memaksa Antonio untuk tersungkur ke lantai. Matanya berkunang, pandangannya mulai memburam, dan kesadarannya nyaris menghilang. Dinginnya lantai seolah tidak berasa, ketika pipinya menghantam keramik di bawahnya. Sosok wanita yang selalu ia kenal ramah dan baik menjadi latar mengerikan, memegangi pistol yang masih mengepulkan asap panas, sedang berdiri mengarah kepadanya. Sejatinya, Antonio tidak menyangka akan kalah secepat ini. Bangun! pikirnya. Rayland masih membutuhkannya dan ia harus melakukan sesuatu, sebelum wanita ular itu melukai Rayland dan Anya. Mereka berdua baru saja bertemu. Tania tidak boleh menghancurkan setitik kebahagi
Langkah kaki yang terdengar pelan beradu dengan suara gesekan ranting pun dedaunan kering, ketika terseret, terdengar bagai gema suara yang khas. Mengalun dengan aneh; srek ... srek. Seonggok tubuh manusia bergerak menyapu bersih dedaunan, ketika bokong hingga ujung kakinya menyentuh tanah, ditarik dengan kasar, sementara dia tidak sadarkan diri. Separuh tubuhnya telah kotor, celana panjangnya di penuhi bekas tanah, lalu sepatu hitamnya hilang sebelah, dan hanya menyisakan kaos kaki. Dari jarak dua meter, tampak bangunan tua beratap flat di penuhi lumut, cat tembok terkelupas, beberapa bagian rusak, dan sekitarnya dirambati tanaman rambat. Pun, dipenuhi semak belukar berduri. Jika dilihat, berpikir dua kali adalah pikiran wajar sebelum mengunjungi tempat tersebut. Begitu kotor dan menakutkan. Bisa jadi, tempat itu adalah sarang destinasi ekperimen paranormal.