"Sah!" Satu kata yang membuat stasusku berubah.Kini aku sudah menjadi istri Bang Ilyas. Hari ini, tepat seminggu setelah lamaran. Sesuai tanggal yang sudah ditentukan kami menikah dengan sederhana di KUA.Aku sengaja tak menyelenggarakan pesta. Karena malas ribet. Keluarga Bang Ilyas juga nantinya akan membuat acara di kediamannya. Mengadati sesuai tradisi suku batak simalungun. Jadi, kuputuskan untuk di sana sajalah diadakan pestanya.Tangan Bang Ilyas disodorkan padaku, dan kusambut lalu mencium punggung tangannya. Lelaki yang sudah sah menjadi suamiku saat ini, juga mengecup sekilas keningku.Lelaki yang dulu sangat kuhindari, ternyata sekarang menjadi yang setiap hari dijumpai.Jodoh, terkadang memang aneh. Ada orang yang dulunya dibenci, malah sekarang menjadi dinikahi. Seperti aku saat ini, contohnya."Selamat, ya. Akhirnya resmi jadi kakak ipar," ujar Karin memelukku hangat, saat aku sudah terlebih dahulu menyalami keluarga yang lain."Bersiap kau, jadi adik ipar teraniaya," b
Udah seperti maling, aja aku, diteriaki. Sebenarnya, mereka semua kenapa sih?Sudah cukup ramai manusia berkumpul di luar pagar. Ada beberapa ibu-ibu juga. Termasuk si mulut berbisa. Hanya dia wanita yang berdiri dibarisan terdepan bersama para lelaki."Ada apa ini, Pak?" tanyaku pada seseorang di belakang Mas Dendi.Aku sudah mendekat ke pagar. Tapi tidak membukakan pintu. Takut mereka berbuat rusuh."Kami, dapat laporan dari Pak Dendi dan Bu Ratna. Katanya, Bu Melia memasukkan lelaki ke dalam rumah. Dari siang hingga kini, tamu tersebut belum keluar, dan mobilnya masih terpakir," tunjuknya pada mobil Bang Ilyas.Ya, ampun. Ternyata, gara-gara aku seharian di rumah bersama suamiku.Tapi mengapa sampai mengumpulkan masa? Kan bisa ditanya baik-baik.Apalagi, yang melaporkan adalah tetangga samping rumah. Mungkin mereka sengaja ingin mempermalukanku di depan warga."Udah, kita, rusak aja pagar ini. Usir mereka dari desa kita. Jangan sampai semua warga terkena musibah akibat perzinahan
"Ini semua, gara-gara kalian!" teriak Ratna dari luar pagar sambil menunjuk ke arah kami.Kok jadi menyalahkan kami? Bukankah dia yang memulai ini semua?Dengan lancang dan sok tau, langsung memanggil masa. Padahal kami tetanggaan, kan bisa ditanya baik-baik dulu. Memang merekanya aja yang mau cari ribut. "Ehhh, bagudung! Udah kau yang salah. Pake menyalahkan orang lain pula, muncungmu itu!" bentak Kak Butet sengit. Dia dan Bu Saidah, masih setia berdiri di dekat para perusuh itu."Kenapa jadi salahku? Aku hanya ingin, desa kita ini terhindar dari musibah karena zinah. Aku hanya antisipasi. Seharusnya kalian bersyukur karena aku cepat tanggap. Bukan menyalahkan kami seperti ini!" gerutu Ratna."Tapi, tak seharusnya kau, memanggil masa. Masih bisa ditanyakan baik-baik. Apalagi, kalian bertetangga tepat di samping rumah. Jika sudah dibicarakan baik-baik tapi mereka tidak mendengarnya barulah bisa memanggil masa. Ini, belum tau apa yang sebenarnya terjadi, main panggil warga aja. Mana
"Kalau lagi nyayur, jangan sambil cemberut gitu dong!" tegur lelaki bertubuh bak model majalah, yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut basah, sepertinya dia habis keramas. Padahal tadi malam kami kan, nggak ngapa-ngalain.Aku tidak menjawab perkataannya. Malas, masih jengkel dengan kejadian semalam. Kepalaku masih dipenuhi dengan bayangan Bang Ilyas sedang bermesraan dengan lelaki lain.Jika biasanya saingan istri adalah wanita lain. Kali ini aku beda. Sainganku lelaki juga. Hadeuuhh, parah ini. Pasti susah menyadarkannya.Hiihhh, serem juga sih. Kalau selama ini dia GGB (ganteng ganteng belok)."Senyum dong! Nanti yang dimasak rasanya nggak enak, kalau bibirnya mencucu gitu!" ucapnya sambil memelukku dari belakang. Hidungnya yang mancung seperti pinokio menempel pada tengkukku. Dia terus menendus seperti kucing. Isssshhhh!"Adek, kenapa sih? Kok dari tadi diam aja?" tanyanya, semakin erat memeluk.Kecupan-kecupan kecil terus ia hujani di tengkuk hingga pundak yang kebet
"Sepertinya, Abang, pengen kita pindah rumah, Dek. Di sini udah merasa tak nyaman dengan tetangga sebelah." Bang Ilyas membuka obrolan setelah Ratna pergi dari kediaman kami.Ya, wanita itu, pergi dengan mulut mengomel disepanjang jalan. Dia terus memaki tak jelas dan menghentak-hentakan kaki."Mmmm. Gimana, ya Bang! Rumah ini, masih panjang kreditannya. Kalau dilepas, sayang juga." Aku bersusah payah membelinya. Bahkan harus memperjuangkannya saat berpisah dengan Mas Dendi. Masa sekarang harus dilepas begitu saja. Rasanya tidak rela."Dek, kamu oper kredit aja sama yang mau, atau dikontrakan. Nanti, kita beli rumah jauh dari sini, biar sekalian jauh dari mereka. Abang sudah bosan terus-terusan diganggu. Dulu, sebelum kita menikah, kamu dan Karin juga diganggu kan?" tanyanya.Memang benar yang dikatakannya. Aku selalu diganggu dengan tetangga samping rumah. Dari semenjak mereka pindah ke samping, selalu aja ada masalah yang menimpaku dan merekalah biang keroknya. Entah apa maunya.Ak
"Oh, hai, Rin!" Dia menyapa adik iparku ini. Berarti mereka semua sudah saling kenal. Ternyata, wanita itu terlebih dahulu yang menyadari kami datang. Sedangkan suamiku dia tidak menyadarinya karena asyik mengobrol."Haiii. Kau pakai pakaian, nggak bisa bener sedikit apa? Masa baju keponakanmu pun dipake!" ketus Karin. Nih orang, mulutnya kenapa nggak bisa direm. Sama siapa saja selalu asal ceplos. "Apalah, kau ini! Kudet banget sih! Ini tuh pakaian kekinian. Sudah biasalah dipakai orang kenapa norak banget sih kamu?" cibir wanita itu kecentilan."Biar norak, yang penting tidak mengumbar aurat!" seru adik iparku."Halah! Nggak usah sok suci. Belum tentu juga masuk surga!""Ya, memang belum tentu masuk surga. Tapi setidaknya nggak nambahi dosa.""Nggak usah ngomongin dosa. Banyak yang lebih berdosa dari pada aku.""Terserah kau, lah! Minggir dari situ! Istri Bang Ilyas mau duduk di sampingnya." Karin terang-terangan mengusirnya. Bukannya mendengarkan, wanita itu tetap duduk dan sedik
"Maaf tante, saya tidak tertarik untuk menikah lebih dari satu. Cukup, Melia saja yang menemani hingga nanti ajal menjemput." Good, man! Jawaban dari lelakiku ini, mampu mengukir senyum di bibir ini.Sedikit legah mendendarnya berkata seperti itu aku pikir, dia hanya akan diam aja saat didesak menikah dengan paribannya."Kalau bisa dua kenapa harus satu?" tanya Tante Yulia lagi, tersenyum miring.Wahhhh, belum pernah beserak ginjalnya kubuat?Belum lihat dia gimana kalau aku marah, bisa patah-patah kubuat tulang keringnya, baru tahu rasa!"Kalau bisa setia, kenapa harus mendua?" sahut suamiku membalikkan ucapannya.Duhhh, abang sayang, pengen meluk deh... Sweet banget sih, suamiku ini..."Sekarang, bisa kau bilang begitu. Tapi nanti, setelah orang tuamu semakin ingin memiliki cucu, pasti lah kau mencari cara untuk menikah lagi. Lagian Saras ini masih perawan kok. Coba kalau istrimu, sudah pernah menikah kan? Selama tiga tahun lagi. Tapi, belum memiliki keturunan. Dari situ kita bisa
"Abang, pikir aku, set*n?" tanyaku ketus langsung membalikkan badan menghadapnya.Bang Ilyas tersenyum salah tingkah. Dia sampai menggaruk-garuk kepalanya yang kurasa tak gatal."Bukan begitu, Dek. Siapa coba yang bilang, kalau adek, set*n?" tanyanya sambil tersenyum manis, semanis gula jawa."Itu, tadi. Omongan Abang, nggak tahan godaan. Emang, aku set*n penggoda manusia?" tanyaku mulai tersulut emosi. Mata sengaja kubesarkan agar dia tau kalau istrinya yang cantik ini lagi marah."Enggak sayang, bahkan kamu seperti bidadari yang cantiknya tiada tara," ungkapnya lembut.Mau melayang karena pujian, tapi gengsi dong. Kan masih ngambek!"Bilang cantik kayak bidadari, tapi selalu menghindari. Sebenarnya, Abang normal atau nggak sih?" tanyaku to the point.Mata Bang Ilyas melotot, mulutnya mengaga lebar. Ekspresi ini, bisa dikatakan sangat terkejut bukan?"Nggak usah akting sok terkejut gitu deh!" ucapku ketus karena dia tak kunjung mengeluarkan suara."Adek, kok sampai berpikiran kalau A
"Mel, maafkan aku!" ujar lelaki yang ternyata Mas Dendi.Semenjak kejadian dia bertengkar dan adiknya ditangkap polisi, aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Mengapa sekarang dia muncul lagi dihadapanku?Aku heran, darimana dia tahu aku tinggal di sini. Padahal, selama pindah, tak pernah sekalipun aku memberi tahunya tinggal di mana.Apa jangan-jangan dia memata-mataiku?"Maaf, untuk apa?" tanyaku malas.Malas jika harus bertemu dengannya. Malas segalanya bila berurusan dengan yang namanya mantan. Jika sudah menjadi mantan, maka semuanya telah usai bagiku."Untuk segala yang sudah kulakukan padamu dulu. Aku menyesal telah melepaskanmu demi adik tak tahu diri itu!" ucapnya dengan mimik wajah yang penuh dengan penyesalan.Semuanya sudah terlambat. Untuk apa lagi dia meminta maaf. Toh, tidak akan merubah segalanya yang sudah terjadi."Sudahlah. Lagi pula, semuanya sudah berlalu.""Tapi, aku benar-benar menyesal, Mel. Bila waktu bisa diputar kembali. Aku, ingin memperbaiki segalanya. Dan
Sesuai dengan ucapannya. Bang Ilyas membawaku dan Karin melihat rumah baru kami. Hari ini, dia libur bekerja karena sudah berjanji untuk melihat-lihat rumah tersebut. Dan jika cocok, maka langsung bayaran.Rumah ini cukup besar. Apalagi jika hanya untuk kami berdua tinggal. Bahkan menurutku, terlalu besar. Hanya rumah, sementara ruko seperti yang kami bicarakan sebelumnya, tidak ada."Rumah dulu, Dek. Nanti, kita bangun ruko di samping. Tanahnya juga kebetulan masih luas." Bang Ilyas, seperti bisa membaca isi hatiku. Tanpa aku berbicara, dia sudah mengatakan yang baru saja kupikirkan."Iya, gimana bagusnya aja, Bang." Aku tersenyum."Cantik kali ini, kalau jadi rumahmu, Kak!" ucap Karin takjub.Karena di depan abangnya ini, makanya dia panggil Kak. Coba kalau nggak, udah pasti aku, kau."Iya, aku suka kali rumah ini. Cocok untuk buka usaha juga. Depan langsung jalan besar.""Iya, kan. Bisa buka toko sekalian jualan online ini," ucap Karin sambil terus berkeliling untuk melihat-lihat.
"Lelaki itu, adiknya Dendi, Dek?" tanya suamiku, melihat kepergian dua makhluk yang tak bisa disebutkan jenisnya itu."Iya," jawabku singkat padat dan jelas.Malas bahas manusia tak tahu diri itu. Bikin nambah dosa aja."Kok, mereka tega sih, main belakang begitu?" tanyanya lagi.Kok tumben suamiku ini mengurusi kehidupan orang. Kalau aku sih malas."Nggak tau, Bang. Mungkin mereka dibutakan oleh hawa nafsu. Ah, udahlah, malas bahas mereka. Ayo, kita balik ke penginapan aja." Aku menarik tangannya pelan dan membawanya berjalan menuju tempat istirahat kami.Gara-gara ketemu mereka jadi bad mood deh. Hemmmm...Udah nggak semangat untuk jalan-jalan. Pengen cepat pulang aja deh."Abang, udah dapat rumah yang pas untuk kita pindah, Dek!" ucapnya saat kami masih melangkahkan kaki beriringan.Syukurlah, akhirnya bisa menjauh dari mereka semua yang selalu bikin rusuh.Berjalan sambil mengobrol begini, setidaknya bisa mengurangi rasa jengkelku pada Rama dan Ratna.Mereka yang ketahuan selingku
Tak salah lagi. Itu memang Ratna. Dia melihat ke arahku, dan Aku sepontan menutup sebagian wajah dengan menggunakan hijab yang menjuntai. Sengaja membentuknya seperti cadar agar dia tak mengenaliku.Nanti, dia berpikir pula kalau aku sengaja membuntutinya. Padahal, nggat tau sama sekali kalau dia juga sedang berada di sini. Dan parahnya bersama adik iparnya sendiri.Mereka berdua berjalan mendekat ke arahku, dengan Ratna yang bersandar pada bahu Rama.Kalau Bang Ilyas datang ke sini, bisa hancur penyamaranku ini.[Abang, tolong ke penginapan dulu, ambilkan jaket. Adek sedikit kedinginan nih!] aku mengirimkan pesan pada suamiku. Sengaja mengulur waktu agar tak bertemu dengan kedua manusia lucknut ini.[Oke, sayang. Ditunggu, jangan kemana-mana.] balasnya.Kedua makhluk tak tahu diri itu terus berjalan mendekat ke arahku. Kebetulan, bangku yang kududuki masih luas dan kosong.Tamatlah riwayatku. Mereka duduk di sampingku. Sekitar satu meter dari tempat dudukku."Aku, terlalu bosan denga
Aku tersenyum saat suamiku menyentuh tanganku. Aku tau kalau dia tidak suka aku berdebat dengan tantenya."Jangan Marah gitu dong, tan. Aku kan cuma bercanda. Jangan dibawa serius ah!" kilahku."Halah! Nggak usah banyak kali alasanmu!" serunya emosi."Udah tante, jangan emosi. Nanti naik loh, gula darahnya! Ayo, Bang. Kita berangkat!" Aku mengalihkan pembicaraan, karena yakin Bang Ilyas tak suka dengan pertdebatan kami."Abang, masih lama menginap di rumah tante?" tanya Saras memulai percakapan, setelah beberapa saat terdiam."Belum tau, kenapa?" tanya suamiku."Nggak apa. Kalau masih lama, aku kan bisa main lagi ke sana," ujar Saras."Kayaknya, kalau nggak besok atau nanti sore, kami udah pulang sih, Ras. Soalnya pengen honeymoon!" Aku ikut menanggapi obrolan mereka.Padahal, tak ada rencana honeymoon. Ini hanya alasan biar si Saras semakin kepanasan. Dia pasti tak suka melihatku menikmati hidup bersama suamiku.Bang Ilyas menoleh ke arahku. Wajahnya seperti ingin bertanya. Karena se
"Eeehhh. Mau ngapain, Bang?" Aku terus beringsut mundur saat Bang Ilyas mendekat."Mengulang yang tadi malam," ucapnya santai."Isshhh. Udah terang gini. Nanti dipanggil sarapan sama yang lain gimana?" protesku, mencoba mendorongnya."Udah, biarkan aja mereka sarapan duluan." Dia tetap kekeuh melanjutkan aksinya.Ngeyel banget sih, Bang!Tok! Tok! Tok!"Ilyas! Ayo sarapan!" panggil Mama.Bang Ilyas menghentikan aksinya dan mengacak rambutnya asal."Hmmm... Mama datang di saat yang tidak tepat. Padahal anaknya sedang berusaha memberikannya cucu!" omel suamiku lucu sekali. Aku cekikikan melihatnya."Nanti Ilyas dan Melia menyusul. Mama dan yang lain, lanjutkan aja sarapannya!" ujar suamiku dengan sedikit berteriak."Nggak bisa dong, Nak. Tante Yulia dan Saras akan pulang pagi ini. Jadi kita sarapan bersama dulu!" ujar Mama lagi. Wah, ternyata mereka tahu diri juga. Kupikir mau sampai aku dan suamiku pergi dari sini, baru mereka pulang.Tak perlu lah, tarik urat sepanjang hari. Karena p
Seketika, raut wajahnya berberubah garang. Saras yang berada di sampingnya juga terlihat semakin sinis.Hahahah, mereka pikir aku takut? Ya, jelas enggaklah. Selama masih sama-sama memijak bumi. Tak akan pernah aku takuti. Kecuali udah jadi kunti, barulah aku bacakan ayat kursi."Eeehh, perempuan kampung! Nggak ada lah ot*kmu itu! Kau suruh pula aku jadi babu!" makinya sambil menunjuk mukaku.Semakin dia emosi, semakin suka aku melawannya."Lah, kan kalau aku udah pernah jadi babu. Kalau tante kan belum. Apa salahnya sekarang kita bergantian," sahutku enteng dan menepis tangannya tak lupa kuberikan senyuman sinis."Berani kali kau, melawanku!" sungutnya.Kalau di pilem kartun yang sering kutonton, pasti lah tante Yulia udah keluar asap dari telinga saking emosinya. "Kenapa harus nggak berani?" sahutku."Memang, lah. Salah kali si Ilyas udah menikahimu. Berani kau menjawab orang tua. Lebih bagus lagi Saras. Sopan santunnya ada. Nggak macam kau! Kampungan!" Wanita itu terus saja berbic
"Abang, pikir aku, set*n?" tanyaku ketus langsung membalikkan badan menghadapnya.Bang Ilyas tersenyum salah tingkah. Dia sampai menggaruk-garuk kepalanya yang kurasa tak gatal."Bukan begitu, Dek. Siapa coba yang bilang, kalau adek, set*n?" tanyanya sambil tersenyum manis, semanis gula jawa."Itu, tadi. Omongan Abang, nggak tahan godaan. Emang, aku set*n penggoda manusia?" tanyaku mulai tersulut emosi. Mata sengaja kubesarkan agar dia tau kalau istrinya yang cantik ini lagi marah."Enggak sayang, bahkan kamu seperti bidadari yang cantiknya tiada tara," ungkapnya lembut.Mau melayang karena pujian, tapi gengsi dong. Kan masih ngambek!"Bilang cantik kayak bidadari, tapi selalu menghindari. Sebenarnya, Abang normal atau nggak sih?" tanyaku to the point.Mata Bang Ilyas melotot, mulutnya mengaga lebar. Ekspresi ini, bisa dikatakan sangat terkejut bukan?"Nggak usah akting sok terkejut gitu deh!" ucapku ketus karena dia tak kunjung mengeluarkan suara."Adek, kok sampai berpikiran kalau A
"Maaf tante, saya tidak tertarik untuk menikah lebih dari satu. Cukup, Melia saja yang menemani hingga nanti ajal menjemput." Good, man! Jawaban dari lelakiku ini, mampu mengukir senyum di bibir ini.Sedikit legah mendendarnya berkata seperti itu aku pikir, dia hanya akan diam aja saat didesak menikah dengan paribannya."Kalau bisa dua kenapa harus satu?" tanya Tante Yulia lagi, tersenyum miring.Wahhhh, belum pernah beserak ginjalnya kubuat?Belum lihat dia gimana kalau aku marah, bisa patah-patah kubuat tulang keringnya, baru tahu rasa!"Kalau bisa setia, kenapa harus mendua?" sahut suamiku membalikkan ucapannya.Duhhh, abang sayang, pengen meluk deh... Sweet banget sih, suamiku ini..."Sekarang, bisa kau bilang begitu. Tapi nanti, setelah orang tuamu semakin ingin memiliki cucu, pasti lah kau mencari cara untuk menikah lagi. Lagian Saras ini masih perawan kok. Coba kalau istrimu, sudah pernah menikah kan? Selama tiga tahun lagi. Tapi, belum memiliki keturunan. Dari situ kita bisa