"Seperti yang kubilang kemarin. Aku datang ke sini, untuk menuntut kamu atas pencemaran nama baik," ujar Karin langsung ke pokok permasalahan.Ratna tampak sangat kaget. Apalagi dia juga bisa melihat dengan jelas, kedua lelaki berseragam polisi berada di antara kami.Dengan cepat wanita siluman itu mengendalikan diri dari keterkejuttannya."Eh, Karin. Ayo, masuk dulu," ujar Ratna sok lembut.Saat melihat lelaki di samping Karin, Ratna langsung membulatkan mata, seperti melihat mangsa.Tanpa pikir panjang, dia langsung menyambar tangan Bang Ilyas. Padahal orang yang dekat dari jangkauannya adalah Karin.Huuhh, dasar ulat bulu!Pantang lihat yang bening dikit, main sikat!Ratna langsung membawa Bang Ilyas duduk di sampinya.Ada, ya, wanita sudah bersuami berkelakuan seperti itu! Hiiihhhh, bagaimana kalau sampai ketahuan suaminya?Karin melotot tak suka ke arah abangnya dan ulat bulu itu."Silahkan duduk!" ujar Ratna mempersilahkan kami duduk mengikutinya di sofa.Aku dan Karin duduk ber
"Rin, aku mau tanya. Emangnya video itu beneran ada samamu? 'kan kemarin, nggak ada yang ngerekam, kita?" tanyaku dipenuhi rasa penasaran. Aneh aja gitu. Kemarin, nggak ada orang pegang HP. kenapa pula, bisa ngerekam kami. Apa Kak Butet yang merekam diam-diam."Ya, enggaklah!" jawabnya enteng."Jadi, kau bohong?" tanyaku heran."Iya, hehehehe," jawabnya cengengesan."Gil4! Pantas aja, kau, mau berdamai dengan uang lima belas juta, dari tuntutan tiga puluh juta.""Heheheheh, udah nggak usah berisik. Nanti mereka dengar. Uangnya bisa kita sumbangin selebihnya buat jalan-jalan ke danau toba," ujarnya tanpa rasa bersalah."Wahhh, iya juga, ya. Boleh jugalah, biar mereka tahu rasa. Lagian udah lama kali aku nggak liburan. Eh, abangmu tau, kalau nggak ada video di hape?" tanyaku lagi."Enggak, dia memang beneran mau nuntut mereka. Tapi, kalau mereka masuk penjara, aku rugi dong. Lebih baik kuduitkan aja." Karin sangat santai menanggapi semua ini. Apa dia tak takut ketahuan."Huuuhhh, dasar
"Iya. Aku juga awalnya nggak tau kalau suamiku mantannya dia. Kok bisa sih, Mel. Kau buang batu berlian seperti Mas Dendi?" tanyanya beralih padaku."Karena aku udah nggak level sama berlian," jawabku malas."Jadi, levelnya sama batu akik? Atau batu kali gitu?" cemoohnya."Yang penting, seleraku, bukan seperti seleramu!" ketusku."Oh, ya jelas dong!" sahutnya cepat."Jelas, kau seleranya barang bekas dan aku barang yang masih segelan, kan? Hahahah," ejekku.Ratna melengos tak suka. Dia kembali melanjutkan aktivitasnya.Cring! Cring! Lagi-lagi dia memainkan tangannya."Gelang baru, Rat?" tanya Kak Leha tetangga samping rumah Kak Butet.Dia baru saja datang. Mungkin juga mau berbelanja."Iya," jawabnya fokus menimbang ayam."Tiga puluh juta itu, dibelinya," ucap Kak Butet memberi tahu."Apa yang tiga puluh juta?" tanya Kak Leha bingung."Gelang si Ratna," jawab Kak Butet."Mana ada. Aku tadi lihat dia beli di pajak UKA. Tempat orang jualan emas KW itu. Harganya cuma 30ribu pergelang. M
"Kenapa?" tanya Rama ketus, saat aku terus menatapnya."Nggak ada," jawabku singkat.Apakah memang dia, yang menerorku beberapa hari ini?Aku tidak bisa langsung menuduhnya, karena tak memiliki bukti. Bisa saja nanti malah aku yang dikatakan memfitnah.Bagaimana caranya aku mencari informasi tentang kejadian semalam. Selama ini, aku baik-baik saja tinggal di rumah tanpa ada pengganggu. Namun setelah Karin pergi dan Rama datang, teror bermunculan."Halo!" seru Rama, pada sambungan telpon. "....""Besok malam saja. Aku capek, baru pulang kerja," ujar Rama lagi.Pulang kerja?Apakah dia sudah bekerja?Jika memang dia bekerja, lalu siapa yang menerorku?"Oke, ya sudah." Sambungan telpon langsung dimatikannya."Sudah bekerja, kau rupanya?" tanyaku berbasa basi. Mungkin dengan jalan ini, aku bisa mengorek sedikit informasi. "Kau, nguping! Dasar!" umpatnya.Aku tidak begitu ingat, saat memukuli lelaki yang berusaha menerobos masuk ke rumahku, entah bagian mananya yang terkena pukulan. Jadi
"Kalau saya, sebagai orang tua, menyerahkan semua keputusan di tangan Melia. Nak Ilyas, tahu sendiri. Anak saya ini, sudah pernah gagal dalam rumah tangga. Jadi, kami sebagai orang tua, tidak ingin putri satu-satunya mengalami kegagalan lagi. Cukup yang lalu menjali pelajaran. Jangan sampai terulang kembali." Bapak berbicara dengan wajah sendu.Ya, aku juga merasa gagal jadi putri bapak. pernikahan yang kuimpikan sekali seumur hidup, bersama dari muda hingga ajal menjemput. Tapi siapa sangka akan berakhir.Dulu aku berpikir, dengan menikah maka semuanya akan selesai. Tak perlu bersusah payah bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup. Skincare, pakaiaan, segala kebutuhan pasti terpenuhi oleh suami. Pagi memasak, mencuci, membersihkan rumah dan sore hanya duduk manis menunggu suami pulang bekerja.Segitu simplenya pemikiranku saat itu. Tapi nyatanya, pernikahan adalah awal dari kehidupan yang lain. Bukan hanya untuk sehari atau dua hari, sebulan atau dua bulan, setahun atau dua tahun, tapi
"Bangun! Melia! Susah kali bangunkan, ini orang. Kalau tidur udah kayak sapi mati!" Samar-samar aku mendengar suara omelan Karina.Biarkan aja. Malas kali buka mata."Melia! Cepetan bangun. Kusiram pake air baru tau, kau!" ancamnya. Dapat kurasakam sisi kasur bergerak. Itu tandanya Karin sudah bangakit. Kadang ini anak ada sedengnya. Pula-pula aku beneran disiram air sama dia."Ha, udah diancam baru bangun, kau! Nggak lihat itu jam. Udah siang ini." Omel Karin seperti mamak tiri."Apaan sih? Orang lagi mimpi indah pun!" ketusku."Mimpi nikah sama Bang Ilyas?" tanyanya antusias.Aku heran sama Karin. Kenapa dia semangat kali, bila bahas tentang menikah dengan abangnya. Padahal semalam aku udah katakan padanya, jika masih butuh waktu."Hei, kepiting laut! Itu ajalah pikiran, kau! Udah nggak sabar rupanya pengen nikah?" cibirku."Ya, iya lah. Aku takut Mas Sutejo diambil orang!""Huuu. Pegangan tangan sama lelaki nggak mau. Tapi pacaran juga!" sindirku."Kami bukan pacaran kayak anak zam
"Kenapa, kau, melamun?" tanya Karin melihatku menatap kosong langit malam.Aku sedang duduk di bangku yang berada tepat di bawah pohon mangga. Meskipun tidak baik berada di bawah pohon jika malam hari, tetapi rasanya aku ingin berlama-lama menatap bulan purnama itu."Nggak ada," jawabku singkat, masih fokus pada indahnya sinar yang terpancar."Aku tau, kau mikirin lamaran abangku, kan?" tebaknya.Yah, sedikit banyaknya, pasti aku juga memikirkannya. Harus bagaimana, terima atau tidak."Hmmmm ....""Apa kau, nggak suka sama abangku?" tanyanya, seraya duduk di sampingku.Entahlah. Aku juga bingung dengan perasaanku sendiri. Terkadang sangat suka melihatnya dekat dengan keluargaku. Tapi hati kecil masih ragu dengan segalanya.Kegagalan membuatku harus lebih berhati-hati dalam memilih pasangan lagi."Dia laki-laki baik. Bukan karena aku, adiknya. Tapi memang begitulah kenyataannya. Dari dulu, tak pernah menyakiti hati wanita manapun. Kau, percayalah sama, aku!" katanya mempromosikan abang
"Sah!" Satu kata yang membuat stasusku berubah.Kini aku sudah menjadi istri Bang Ilyas. Hari ini, tepat seminggu setelah lamaran. Sesuai tanggal yang sudah ditentukan kami menikah dengan sederhana di KUA.Aku sengaja tak menyelenggarakan pesta. Karena malas ribet. Keluarga Bang Ilyas juga nantinya akan membuat acara di kediamannya. Mengadati sesuai tradisi suku batak simalungun. Jadi, kuputuskan untuk di sana sajalah diadakan pestanya.Tangan Bang Ilyas disodorkan padaku, dan kusambut lalu mencium punggung tangannya. Lelaki yang sudah sah menjadi suamiku saat ini, juga mengecup sekilas keningku.Lelaki yang dulu sangat kuhindari, ternyata sekarang menjadi yang setiap hari dijumpai.Jodoh, terkadang memang aneh. Ada orang yang dulunya dibenci, malah sekarang menjadi dinikahi. Seperti aku saat ini, contohnya."Selamat, ya. Akhirnya resmi jadi kakak ipar," ujar Karin memelukku hangat, saat aku sudah terlebih dahulu menyalami keluarga yang lain."Bersiap kau, jadi adik ipar teraniaya," b
"Mel, maafkan aku!" ujar lelaki yang ternyata Mas Dendi.Semenjak kejadian dia bertengkar dan adiknya ditangkap polisi, aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Mengapa sekarang dia muncul lagi dihadapanku?Aku heran, darimana dia tahu aku tinggal di sini. Padahal, selama pindah, tak pernah sekalipun aku memberi tahunya tinggal di mana.Apa jangan-jangan dia memata-mataiku?"Maaf, untuk apa?" tanyaku malas.Malas jika harus bertemu dengannya. Malas segalanya bila berurusan dengan yang namanya mantan. Jika sudah menjadi mantan, maka semuanya telah usai bagiku."Untuk segala yang sudah kulakukan padamu dulu. Aku menyesal telah melepaskanmu demi adik tak tahu diri itu!" ucapnya dengan mimik wajah yang penuh dengan penyesalan.Semuanya sudah terlambat. Untuk apa lagi dia meminta maaf. Toh, tidak akan merubah segalanya yang sudah terjadi."Sudahlah. Lagi pula, semuanya sudah berlalu.""Tapi, aku benar-benar menyesal, Mel. Bila waktu bisa diputar kembali. Aku, ingin memperbaiki segalanya. Dan
Sesuai dengan ucapannya. Bang Ilyas membawaku dan Karin melihat rumah baru kami. Hari ini, dia libur bekerja karena sudah berjanji untuk melihat-lihat rumah tersebut. Dan jika cocok, maka langsung bayaran.Rumah ini cukup besar. Apalagi jika hanya untuk kami berdua tinggal. Bahkan menurutku, terlalu besar. Hanya rumah, sementara ruko seperti yang kami bicarakan sebelumnya, tidak ada."Rumah dulu, Dek. Nanti, kita bangun ruko di samping. Tanahnya juga kebetulan masih luas." Bang Ilyas, seperti bisa membaca isi hatiku. Tanpa aku berbicara, dia sudah mengatakan yang baru saja kupikirkan."Iya, gimana bagusnya aja, Bang." Aku tersenyum."Cantik kali ini, kalau jadi rumahmu, Kak!" ucap Karin takjub.Karena di depan abangnya ini, makanya dia panggil Kak. Coba kalau nggak, udah pasti aku, kau."Iya, aku suka kali rumah ini. Cocok untuk buka usaha juga. Depan langsung jalan besar.""Iya, kan. Bisa buka toko sekalian jualan online ini," ucap Karin sambil terus berkeliling untuk melihat-lihat.
"Lelaki itu, adiknya Dendi, Dek?" tanya suamiku, melihat kepergian dua makhluk yang tak bisa disebutkan jenisnya itu."Iya," jawabku singkat padat dan jelas.Malas bahas manusia tak tahu diri itu. Bikin nambah dosa aja."Kok, mereka tega sih, main belakang begitu?" tanyanya lagi.Kok tumben suamiku ini mengurusi kehidupan orang. Kalau aku sih malas."Nggak tau, Bang. Mungkin mereka dibutakan oleh hawa nafsu. Ah, udahlah, malas bahas mereka. Ayo, kita balik ke penginapan aja." Aku menarik tangannya pelan dan membawanya berjalan menuju tempat istirahat kami.Gara-gara ketemu mereka jadi bad mood deh. Hemmmm...Udah nggak semangat untuk jalan-jalan. Pengen cepat pulang aja deh."Abang, udah dapat rumah yang pas untuk kita pindah, Dek!" ucapnya saat kami masih melangkahkan kaki beriringan.Syukurlah, akhirnya bisa menjauh dari mereka semua yang selalu bikin rusuh.Berjalan sambil mengobrol begini, setidaknya bisa mengurangi rasa jengkelku pada Rama dan Ratna.Mereka yang ketahuan selingku
Tak salah lagi. Itu memang Ratna. Dia melihat ke arahku, dan Aku sepontan menutup sebagian wajah dengan menggunakan hijab yang menjuntai. Sengaja membentuknya seperti cadar agar dia tak mengenaliku.Nanti, dia berpikir pula kalau aku sengaja membuntutinya. Padahal, nggat tau sama sekali kalau dia juga sedang berada di sini. Dan parahnya bersama adik iparnya sendiri.Mereka berdua berjalan mendekat ke arahku, dengan Ratna yang bersandar pada bahu Rama.Kalau Bang Ilyas datang ke sini, bisa hancur penyamaranku ini.[Abang, tolong ke penginapan dulu, ambilkan jaket. Adek sedikit kedinginan nih!] aku mengirimkan pesan pada suamiku. Sengaja mengulur waktu agar tak bertemu dengan kedua manusia lucknut ini.[Oke, sayang. Ditunggu, jangan kemana-mana.] balasnya.Kedua makhluk tak tahu diri itu terus berjalan mendekat ke arahku. Kebetulan, bangku yang kududuki masih luas dan kosong.Tamatlah riwayatku. Mereka duduk di sampingku. Sekitar satu meter dari tempat dudukku."Aku, terlalu bosan denga
Aku tersenyum saat suamiku menyentuh tanganku. Aku tau kalau dia tidak suka aku berdebat dengan tantenya."Jangan Marah gitu dong, tan. Aku kan cuma bercanda. Jangan dibawa serius ah!" kilahku."Halah! Nggak usah banyak kali alasanmu!" serunya emosi."Udah tante, jangan emosi. Nanti naik loh, gula darahnya! Ayo, Bang. Kita berangkat!" Aku mengalihkan pembicaraan, karena yakin Bang Ilyas tak suka dengan pertdebatan kami."Abang, masih lama menginap di rumah tante?" tanya Saras memulai percakapan, setelah beberapa saat terdiam."Belum tau, kenapa?" tanya suamiku."Nggak apa. Kalau masih lama, aku kan bisa main lagi ke sana," ujar Saras."Kayaknya, kalau nggak besok atau nanti sore, kami udah pulang sih, Ras. Soalnya pengen honeymoon!" Aku ikut menanggapi obrolan mereka.Padahal, tak ada rencana honeymoon. Ini hanya alasan biar si Saras semakin kepanasan. Dia pasti tak suka melihatku menikmati hidup bersama suamiku.Bang Ilyas menoleh ke arahku. Wajahnya seperti ingin bertanya. Karena se
"Eeehhh. Mau ngapain, Bang?" Aku terus beringsut mundur saat Bang Ilyas mendekat."Mengulang yang tadi malam," ucapnya santai."Isshhh. Udah terang gini. Nanti dipanggil sarapan sama yang lain gimana?" protesku, mencoba mendorongnya."Udah, biarkan aja mereka sarapan duluan." Dia tetap kekeuh melanjutkan aksinya.Ngeyel banget sih, Bang!Tok! Tok! Tok!"Ilyas! Ayo sarapan!" panggil Mama.Bang Ilyas menghentikan aksinya dan mengacak rambutnya asal."Hmmm... Mama datang di saat yang tidak tepat. Padahal anaknya sedang berusaha memberikannya cucu!" omel suamiku lucu sekali. Aku cekikikan melihatnya."Nanti Ilyas dan Melia menyusul. Mama dan yang lain, lanjutkan aja sarapannya!" ujar suamiku dengan sedikit berteriak."Nggak bisa dong, Nak. Tante Yulia dan Saras akan pulang pagi ini. Jadi kita sarapan bersama dulu!" ujar Mama lagi. Wah, ternyata mereka tahu diri juga. Kupikir mau sampai aku dan suamiku pergi dari sini, baru mereka pulang.Tak perlu lah, tarik urat sepanjang hari. Karena p
Seketika, raut wajahnya berberubah garang. Saras yang berada di sampingnya juga terlihat semakin sinis.Hahahah, mereka pikir aku takut? Ya, jelas enggaklah. Selama masih sama-sama memijak bumi. Tak akan pernah aku takuti. Kecuali udah jadi kunti, barulah aku bacakan ayat kursi."Eeehh, perempuan kampung! Nggak ada lah ot*kmu itu! Kau suruh pula aku jadi babu!" makinya sambil menunjuk mukaku.Semakin dia emosi, semakin suka aku melawannya."Lah, kan kalau aku udah pernah jadi babu. Kalau tante kan belum. Apa salahnya sekarang kita bergantian," sahutku enteng dan menepis tangannya tak lupa kuberikan senyuman sinis."Berani kali kau, melawanku!" sungutnya.Kalau di pilem kartun yang sering kutonton, pasti lah tante Yulia udah keluar asap dari telinga saking emosinya. "Kenapa harus nggak berani?" sahutku."Memang, lah. Salah kali si Ilyas udah menikahimu. Berani kau menjawab orang tua. Lebih bagus lagi Saras. Sopan santunnya ada. Nggak macam kau! Kampungan!" Wanita itu terus saja berbic
"Abang, pikir aku, set*n?" tanyaku ketus langsung membalikkan badan menghadapnya.Bang Ilyas tersenyum salah tingkah. Dia sampai menggaruk-garuk kepalanya yang kurasa tak gatal."Bukan begitu, Dek. Siapa coba yang bilang, kalau adek, set*n?" tanyanya sambil tersenyum manis, semanis gula jawa."Itu, tadi. Omongan Abang, nggak tahan godaan. Emang, aku set*n penggoda manusia?" tanyaku mulai tersulut emosi. Mata sengaja kubesarkan agar dia tau kalau istrinya yang cantik ini lagi marah."Enggak sayang, bahkan kamu seperti bidadari yang cantiknya tiada tara," ungkapnya lembut.Mau melayang karena pujian, tapi gengsi dong. Kan masih ngambek!"Bilang cantik kayak bidadari, tapi selalu menghindari. Sebenarnya, Abang normal atau nggak sih?" tanyaku to the point.Mata Bang Ilyas melotot, mulutnya mengaga lebar. Ekspresi ini, bisa dikatakan sangat terkejut bukan?"Nggak usah akting sok terkejut gitu deh!" ucapku ketus karena dia tak kunjung mengeluarkan suara."Adek, kok sampai berpikiran kalau A
"Maaf tante, saya tidak tertarik untuk menikah lebih dari satu. Cukup, Melia saja yang menemani hingga nanti ajal menjemput." Good, man! Jawaban dari lelakiku ini, mampu mengukir senyum di bibir ini.Sedikit legah mendendarnya berkata seperti itu aku pikir, dia hanya akan diam aja saat didesak menikah dengan paribannya."Kalau bisa dua kenapa harus satu?" tanya Tante Yulia lagi, tersenyum miring.Wahhhh, belum pernah beserak ginjalnya kubuat?Belum lihat dia gimana kalau aku marah, bisa patah-patah kubuat tulang keringnya, baru tahu rasa!"Kalau bisa setia, kenapa harus mendua?" sahut suamiku membalikkan ucapannya.Duhhh, abang sayang, pengen meluk deh... Sweet banget sih, suamiku ini..."Sekarang, bisa kau bilang begitu. Tapi nanti, setelah orang tuamu semakin ingin memiliki cucu, pasti lah kau mencari cara untuk menikah lagi. Lagian Saras ini masih perawan kok. Coba kalau istrimu, sudah pernah menikah kan? Selama tiga tahun lagi. Tapi, belum memiliki keturunan. Dari situ kita bisa