Sinar mentari menerobos masuk lewat celah-celah jendela. Rasa hangat yang menyengat kulitku membuatku menggeliat dalam lelap. Pelan ku buka mata setelah mendengar teriakan tukang sayur keliling, bukankah Bang Fandi biasa berjualan sekitar pukul 9 pagi? Jadi apakah kali ini aku juga bangun kesiangan lagi?
Mataku melotot melihat jam dinding di kamarku, ternyata benar ini sudah jam sembilan pagi. Bagaimana bisa tiga hari berturut-turut aku selalu kesiangan bangun seperti ini?
Aku hendak bangkit untuk meraih ponselku di atas nakas, tapi kepalaku masih terasa sangat berat. Akhirnya dengan sedikit dipaksakan aku berhasil juga pelan-pelan bangkit lalu beralih ke sofa dengan menggenggam ponsel di tanganku.
Baru saja selesai mengetik, ku dengar suara gemercik air dalam kamar mandi. Mungkinkah itu Mas Dani? Hari sudah sesiang ini, bagaimana bisa dia masih berada dalam rumah?
"Kamu sudah bangun sayang?" tanya suamiku setelah keluar dari kamar mandi.
"Ya, baru saja aku bangun. Maafin aku ya, Mas. Sudah tiga hari ini aku selalu bangun kesiangan." jawabku dengan raut wajah bersalah.
"Enggak apa-apa. Mas paham kok, kamu pasti kecapean mengurus rumah!" balas suamiku sembari tersenyum menampilkan lesung pipinya. Wajahnya terlihat selalu tampan, aku tak pernah bosan menatap wajahnya meski usia pernikahan kami sudah menginjak delapan tahun.
"Cape? Semua pekerjaan rumah Mbok Yuli yang ngerjain. Mana mungkin aku kecapean Mas."
Suamiku hanya tersenyum menanggapi ucapanku sambil mengenakan baju santainya.
"Loh, Mas kok pakai baju santai. Memangnya Mas enggak kerja hari ini?" tanyaku kemudian.
"Hari ini hari minggu sayang, masa kamu lupa hari?"
"Astaga, pantes saja aku heran. Sudah sesiang ini kamu belum berangkat kerja!" aku menepuk jidatku sendiri setelah menyadari kekonyolanku.
"Kayaknya kamu lagi banyak pikiran, La. Masa hari saja kamu sampai lupa!"
"Entahlah Mas, padahal aku enggak lagi mikirin apa-apa. Tapi tiga hari ini kepalaku sangat sakit ketika bangun tidur."
"Ya udah enggak usah di pikirin, mungkin kamu butuh istirahat saja!"
"Ya, Mas. Aku juga berpikir seperti itu. Sekarang aku mau turun ke bawah, mau lihat apa Mbok Yuli sudah selesai siapin sarapan atau belum!"
"Ok!" balas suamiku.
Saat aku hendak berdiri, tak sengaja tanganku menyentuh sebuah ikat rambut. Aku mengernyit sejenak melihat ikat rambut adikku ada disini. Bukankah semalam ketika kami bertengkar dia masih menggunakan ikat rambut ini? Lalu kenapa sekarang benda ini bisa berada disini?
"Mas, apa semalam Anisa datang ke kamar ini?" tanyaku pada suamiku.
"E...enggak...kok...! Memangnya kenapa?" jawabnya terlihat sedikit gugup.
"Ini ikat rambutnya, kenapa ada di atas sofa sini?" tanyaku sembari memperlihatkan ikat rambut merah milik Anisa kearah Mas Dani.
"Owh itu. Semalem Mas enggak sengaja liat ikat rambut itu di depan kamarnya. Karena segan mau ketuk pintu kamarnya, jadi Mas bawa saja ke dalam sini.
"Owh!" aku mengangguk mengerti kemudian melangkah untuk membasuh mukaku. Setelah selesai baru aku keluar kamar menuju dapur.
"Mbok, sarapan sudah siap kan?" tanyaku pada Mbok Yuli yang sedang mengepel lantai dapur.
"Sudah, Buk. Semua masakan sudah terhidang di ruang makan!" balas Mbok Yuli.
"Ya sudah kalau begitu. Saya panggil suami saya dan yang lainnya untuk sarapan sekarang juga!"
Aku pun bergegas naik lagi ke lantai dua. Sebelum masuk dalam kamar, aku berhenti di depan kamar Anisa yang kebetulan letaknya tepat di hadapan kamarku. Awalnya aku ragu mengetuk pintu, tapi setelah melalui banyak pertimbangan, aku beranikan diri untuk mengetuk pintu kamarnya juga.
"Nis, sarapan sudah siap. Kamu turun makan ya!"
Tak ada sahutan, aku kembali mengetuk pintu.
"Nis, maafin ucapan Mbak kemarin. Mbak cuma lagi emosi!"
Beberapa saat kemudian pintu terbuka. Anisa terlihat sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk. Dia memakai t shirt sangat ketat hingga bagian dadanya terlihat sangat besar.
"Mbak turun dulu, aku keringin rambutku bentar!" ucapnya. Syukurlah kelihatannya Anisa sudah tak marah lagi denganku.
"Nis, kamu ganti baju ya. Enggak enak di lihat Mas Dani kalau kamu sarapan dengan baju seketat itu!" ucapku setengah berbisik.
"Maleslah Mbak kalau mau ganti lagi."
"Tapi, Nis. Bajumu itu terlalu ketat. Apa kamu enggak malu terlalu memperlihatkan bagian dadamu di depan Mas Dani!"
"Emang kenapa sih, Mbak. Mbak takut perhatian Mas Dani akan teralihkan kepadaku kalau aku pakai baju ketat ini?"
"Kamu kok makin ngelunjak jadi orang ya. Mbak sebagai perempuan saja malu lihat kamu pakai baju seperti ini, apalagi Mas Dani. Terserahlah sekarang kamu mau pakai baju seperti apa, yang penting Mbak sudah ingetin kamu!"
Dengan nafas kembang kempis aku membuka pintu kamarku lalu membantingnya. Suamiku yang tengah sibuk dengan ponselnya sampai terjengkit kaget karena perbuatanku.
"Kamu ini kenapa, La. Kok kasar seperti ini?" tanya suamiku dengan nada sedikit tinggi.
"Aku kesel sama Anisa, Mas. Di nasehatin untuk tukar baju yang lebih sopan malah nuduh aku yang bukan-bukan!" jawabku dengan raut wajah ketus.
"Kamu ini kenapa akhir-akhir ini cerewet sekali sama Anisa. Biarin dia lah mau pakai baju seperti apa itu hak dia!" lagi-lagi suamiku membela Anisa.
"Mas disini ada kamu, apa dia enggak ngerasa segan sama sekali sama kamu kalau pakai baju ketat seperti itu!"
"Namanya juga Anisa masih muda, wajarlah kalau dia lebih suka pakai baju ketat dari pada yang longgar-longgar. Sudahlah, La. Mas lapar. Enggak usah bahas ini lagi. Cape dengerin curhatanmu yang sama terus dari kemarin-kemarin!" suamiku bangkit lalu keluar kamar. Aku terpaksa mengikutinya dari belakang.
Di ruang makan sudah ada Elsa duduk di sebelah ibu tiriku. Kemudian aku dan Mas Dani duduk bersebelahan. Baru setelah itu ku lihat Anisa datang.
"Pagi Mas Dani!" ucap ramah Anisa. Sepertinya dia sengaja memancing amarahku lagi karena terang-terangan sekali dia tersenyum nakal kearah suamiku.
"Pa...pagi...Nis...!" balas suamiku gugup.
Saat Anisa mengambil tempat duduk tepat di depanku, tak sengaja aku melihat satu jejak merah di lehernya. Aku terkejut bukan main, semalam saat kami bertengkar aku belum melihat ada tanda itu di lehernya. Lalu kenapa sekarang ada?
"Nis, semalam kamu enggak pergi kemana-mana kan?" tanyaku pada Anisa. Melihat tanda merah di lehernya tiba-tiba mengingatkanku pada ucapannya semalam bahwa mulai sekarang dia bisa dapatkan uang sendiri tanpa bantuanku. Sumpah saat ini aku sangat takut kalau dia benar-benar membuktikan ucapannya. Di luar sana banyak sekali lelaki hidung belang, hidup Anisa bisa benar-benar hancur jika dia salah melangkah sedikit saja."Pergi kemana sih, Mbak. Mbak tahu sendiri kan setelah bertengkar dengan Mbak aku langsung mengurung diri dalam kamar!"Bohong, Anisa pasti sedang mencari alasan untuk menutupi kesalahannya. Kalau dia tak keluar bagaimana bisa jejak merah itu bisa ada di lehernya."Nis, sekarang jujur sama Mbak. Setelah Mbak tidur kamu mengendap-endap pergi dari rumah kan?"Sarapan belum di mulai tapi aku sudah merusak mood semua orang karena emosiku mendengar kebohongan Anisa."Kamu kenapa sih, La. Dari kemarin kayaknya kok emosi terus sama adikmu!" protes ibu tiriku. Aku tak segera menj
Kakiku terasa lemah saat ku gerakan, seluruh kekuatanku seakan ikut menghilang setelah mendengar cerita Elsa barusan. Suamiku sebelumnya orang yang sangat baik, dia bukan lelaki gampangan yang mudah tergoda oleh seorang perempuan. Jadi aku belum bisa menyimpulkan apapun saat ini sebelum aku melihat kebej*dan suamiku melalui kedua mataku sendiri. Namun meski begitu tetap saja, ucapan Elsa terus mengganggu pikiranku. Aku takut kehilangan orang sebaik Mas Dani. Dia satu-satunya penguatku saat aku kehilangan kasih sayang Ayahku yang lebih mencintai putri keduanya yakni Anisa.Baru saja membuka pintu kamar, aku menemukan suamiku dengan penampilan yang sudah rapih. Tak lupa lelaki itu menyemproti tubuhnya dengan parfum yang sangat wangi."Mas, kok sudah rapih. Mau kemana kamu?" tanyaku pada Mas Dani."Mau makan diluar." jawabnya tanpa mau menatap kearahku."Kok makan di luar, sih. Mas. Di rumah makanan masih banyak, loh!""Aku sudah kehilangan selera makan di rumah ini." jawabnya ketus se
Hari menjelang sore, aku membantu Bik Yuli menyirami bunga di halaman rumah ini. Saat kami sedang asik berbincang, aku melihat sebuah taksi berhenti di depan pagar. Aku dan Mbok Yuli kompak melihat kearah taksi tersebut.Seorang wanita dengan dres seksi yang di kenakannya membuat moodku yang awalnya baik-baik saja seketika berubah menjadi buruk. Wanita itu adalah Anisa, adik tiriku yang tak tau terimakasih itu."Mbok, bukain gerbangnya dong!" mohon Anisa sambil berdiri tepat di depan pagar."Mbok Yuli sedang sibuk, kamu kan punya tangan. Mending langsung buka saja dengan tanganmu. Enggak usah ngerepotin orang yang lagi sibuk!""Aku bawa banyak barang, Mbak. Susah!" ucapnya sambil memamerkan beberapa papper bag yang ada di tangannya."Susah gimana, Nis. Kamu loh tinggal letakin papper bag itu lalu geser gerbangnya. Apa susahnya?"Wajah Anisa cemberut, namun meski begitu wanita itu tetap melakukan seperti apa yang ku suruh. Setelah selesai, dia berjalan melewatiku, aku membiarkannya lew
Hari yang sangat melelahkan, setelah semalaman tadi Mas Dani menguras tenagaku, pagi ini aku di sibukan dengan aktivitas mencuci pakaian yang menggunung milik Mas Dani juga Elsa. Pagi ini mbok Yuli izin pulang karena mendadak anaknya sakit, jadi dia tak sempat mencucikan baju kami semua.Saat aku hendak menyikat celana milik Mas Dani yang dia gunakan semalam. Tak sengaja aku menemukan beberapa lembaran uang biru dalam saku celananya. Dan diantara uang-uang tersebut, aku menemukan sebuah nota pembelian dari salah satu butik ternama di kota ini.Melihat nominal yang tertera dalam nota itu membuat mataku membulat sempurna. Buat apa Mas Dani menghabiskan hingga sepuluh juta rupiah dalam waktu sehari saja.Ku baca satu persatu barang yang Mas Dani beli. Aneh, kenapa dia membeli baju wanita?Aku membungkam mulutku sendiri saat mengingat kalau butik yang di datangi Mas Dani ternyata sama dengan yang Anisa datangi kemarin. Jadi benar dugaanku sebelumnya kalau mereka sebenarnya janjian pergi?
Pintu kamar terdengar terbuka, aku yakin itu Anisa. Nafasku sudah kembang kempis rasanya karena tak sabar ingin mencakar mukanya, namun setelah mempertimbangkan lagi dampak yang akan terjadi, aku mencoba untuk menahan diri. Aku hanya ingin tahu sejauh mana mereka berhubungan di belakangku selama ini. Baru setelahnya aku bisa mengambil keputusan."Kalau kamu menuruti Mas untuk pergi ke hotel saja tadi pagi, Mas enggak akan repot-repot buat Ola tidur seperti ini!"Apa? Jadi ternyata Mas Dani tadi pagi menyusul Anisa, bukan karena ada meeting di kantornya seperti yang ia katakan padaku?Dasar pembohong!"Aku kurang bergairah kalau di hotel, Mas. Tiap denger desah*n dan er*nganmu di samping Mbak Ola itu memberi kepuasan sendiri buat aku!"Ya Tuhan, dadaku rasanya sesak sekali mendengar ucapan adik tiriku. Apa yang membuat wanita itu sangat membenciku, padahal selama ini aku sudah memperlakukannya dengan sangat baik. Pada kesempatan tertentu aku memang sering tak bisa mengontrol emosi keti
"Ola, ini semua tidak seperti yang ada dalam pikiranmu!" ucap Mas Dani setelah ia bangkit. Terlihat Anisa bersembunyi dengan tangan gemetar di belakang tubuhnya. Entah kemana keberaniannya menghilang padahal saat aku pura-pura tidur tadi dia sangat menikmati caciannya yang tak henti ia lontarkan padaku."Enggak seperti yang aku pikirkan gimana? Dari awal kalian bicara aku sudah mendengarnya. Gila kamu Mas, tega-teganya kamu melakukan ini di belakangku!""Mas cuma--""Cuma apa? Nafsu? Dasar memang kamu doyan sama pelakor kecil ini!" teriakku kemudian melemparkan lagi semua barang yang ada di sekitarku. Mas Dani melindungi gund*knya dari seranganku menggunakan tubuhnya. Sebegitu takutnya dia kalau seranganku akan membuat gund*k kecilnya terluka."Hentikan Ola, kamu jangan kaya orang kesetanan gini!" ucap suamiku. Aku tak peduli dengan ucapannya hingga pada akhirnya saat aku meraih vas bunga yang lumayan besar, Mas Dani berlari kearahku dan menggagalkan seranganku.Plak!Sebuah tamparan
"Enggak ada gunanya menangis, ayo kita bawa Elsa ke rumah sakit sekarang juga!" ucap suamiku sambil mengambil alih Elsa dari pangkuanku. Tak ku pedulikan darah Elsa yang ikut mengotori bajuku. Kami harus sampai ke rumah sakit secepatnya agar putri kecilku segera mendapatkan pertolongan."Mas, aku ikut!"Anisa merengek ikut layaknya anak kecil yang tak mau ditinggal Ayahnya pergi tanpa peduli keadaan sedang sangat genting seperti ini. Benar-benar tak tahu malu."Kamu jaga rumah saja, Mas buru-buru!" ucap suamiku sambil meletakan Elsa dalam pangkuanku di jok mobil belakang."Mas, aku enggak mau di tinggal sendiri di rumah. Aku maunya selalu sama kamu! Pleace, aku ikut ya!" rengeknya sekali lagi sembari menahan tubuh suamiku agar tidak masuk dalam mobil.Rasanya ingin sekali mencakar wajah adik tiriku sekali lagi. Elsa sedang bertaruh nyawa di pangkaunku tapi wanita itu seolah sengaja mengulur waktu agar kami terlambat ke rumah sakit."Kamu enggak mikir ya kalau sekarang keadaan Elsa lag
Pov Anisa"Nis, layar ponsel kamu sudah retak gitu. Enggak mau ganti ponsel?" tanya temanku yang bernama Bening."Iya, Nis. Masa dari kelas satu aku lihat ponsel kamu enggak pernah ganti. Enggak bosen apa pakai ponsel buruk kamu itu terus!" temanku Intan menimpali. Aku sangat malu mendengar ejekan mereka, akhirnya aku jawab sekenanya saja."Minggu depan aku ganti kok ponselnya. Kata kakakku, minggu depan suaminya baru gajian jadi harus sabar dulu sementara ini!""Kakakmu orang kaya, masa mau belikan ponsel kamu saja nunggu suaminya gajian sih!" Aku menunduk malu mendengar ucapan Intan."Mbak Ola kan dari dulu orangnya pelit. Aku tahu juga dari kakakku yang kebetulan dulu satu sekolah sama dia!" Dalam hatiku membenarkan ucapan Bening barusan, Mbak Ola memang sangat pelit, jangankan ponsel. Uang sakuku saja selalu dia kasih pas saja. Aku harus selalu gigit jari melihat temen-temenku yang selalu shoping sepulang sekolah karena uang saku mereka yang banyak."Kakakmu kaya tapi pelit, masa
Hendrik, lelaki tampan berumur 35 tahun itu tampak marah sambil mengetuk sebuah kaca mobil yang beberapa saat lalu mengikuti mobil bos wanitanya. Kaca mobil diturunkan, lelaki yang ada di dalamnya sama sekali tak menyangkal tuduhan Hendrik saat itu.Ya, lelaki di dalam mobil tersebut ternyata adalah Roy. Dia sengaja tidak membalas kemarahan Hendrik melainkan mengajak bicara Hendrik saat itu. Hendrik di tawari sepuluh kali lipat uang yang Eric berikan pada Hendrik jika lelaki itu mau mengkhianati Eric dan berpihak pada Roy.Siapa yang tak tergiur dengan uang yang dijanjikan Roy, termasuk Hendrik. Namun selama ini tidak sekalipun dia mengkhianati majikan meski dibayar dengan bayaran sangat mahal. Lelaki itu lalu mengajak rekannya yang bernama Irvant untuk mengerjai Roy. Caranya dengan mengajak Renata dan pembantu rumah tangga di rumah Eric untuk bekerjasama melakukan skenario yang sudah direncanakan Roy."Kamu?"Roy menatap tajam kearah Hendrik, dia sama sekali tak menyangka lelaki tamp
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" bisik Marvin tepat disebelah Eric."Kita sudah terkepung. Istri saya bisa dalam bahaya jika kita tetap mau melawan lelaki gila itu. Untuk sementara waktu kita ikuti saja perintah lelaki gila itu." Eric terlihat pasrah, dia belum menemukan jalan keluar dari masalah yang tengah mereka hadapi. Dia tak mau istri dan anak tirinya terluka sedikitpun karena kecerobohannya.Eric dan Marvin mengikuti arahan Roy untuk masuk dalam rumah Nayla. Disana Nayla dan ibunya juga sudah terikat. Ternyata Roy sudah curiga kalau Eric tahu tentangnya sejak Azam dan Marvin menemui lelaki itu diam-diam. Anak buah Roy ada dimana-mana jadi dengan mudah ia mengawasi gerak gerik orang yang ingin dia pantau.Semua sandra diikat, Roy tertawa puas melihat musuhnya berada di hadapannya tanpa berdaya."Jadi wanita ini yang buat Ayah saya masuk penjara. Saya ingin tahu apa spesialnya wanita ini sampai buat Ayah saya tergila-gila!" Roy mendekat kearah Ola. Seketika Emosi Eric melu
"Anda mau bawa saya kemana?" tanya Eric pada Marvin saat lelaki itu membawanya pergi."Ke suatu tempat yang pastinya membuat Anda terkejut!"Eric akhirnya diam, meski dia belum mengenal Marvin tapi entah kenapa dia langsung percaya begitu saja pada lelaki itu. "Rumah siapa ini?" tanya Eric setelah sampai di sebuah rumah yang kelihatannya seperti rumah kosong tak terawat. Tapi anehnya disana terparkir beberapa mobil mewah. Padahal lampu di rumah itu sama sekali tak menyala."Di dalam rumah itu ada kedua orang tua Renata. Mereka di sekap oleh seseorang.""A-apa?""Entah apa yang sudah Renata lakukan beberapa hari ini sama Anda dan keluarga Anda. Saya cuma ingin kasih tahu Anda saja kalau itu semua bukan kemauan Renata. Ada seseorang yang memaksanya melakukan itu!""Pak, tanpa diancam seseorang pun memang Renata selalu mengganggku keluarga saya. Jangan mengada-ngada dech!" ucap Eric sambil tertawa. Dia ingat betul betapa jahatnya Renata yang pura-pura koma demi bisa tetap memasukan Ola
"Doc, maaf. Saya ada perlu sebentar!"Saat hendak kembali ke ruangannya Eric di hadang oleh kakak lelaki Grecia. Dia ingin menyampaikan sesuatu pada Eric setelah selesai menjenguk adiknya di penjara."Dokter Eric, bisa bicara sebentar? Ada hal penting yang ingin sampaikan pada Anda!" ucap lelaki yang bernama Azam tersebut."Ok, bicaralah. Saya ada waktu sekitar 30 menitan lagi!"Eric agak penasaran dengan wajah Azam yang menunjukan ketakutan saat hendak bicara."Kamu kenapa?" tanya Eric karena Azam tak langsung bicara."Sa-saya sebenernya takut mau bicara disini. Takut ada yang nguping pembicaraan kita!""Ok, kalau gitu kamu ikut ke ruanganku ya. Kita bicarakan disana saja!"Azam mengangguk kemudian mengikuti Eric menuju ruangannya."Sekarang katakan apa yang mau kamu sampaikan!" ucap Eric setelah menutup pintu ruangannya."Tadi saya menjenguk Grecia. Dia bilang anda dan Mbak Ola sedang dalam bahaya!" ucap Azam dengan suara lirih."Dalam bahaya?" Eric bertanya dan Azam mengangguk."Se
"Ric, kalau kamu sayang ibu. Tolong ceraikan Ola. Dia perempuan enggak bener Kamu harus jauhi wanita jahat seperti dia!"Seketika Ola dibuat lemas dengan ucapan ibu mertuanya. Wanita yang selama ini selalu mendukungnya tiba-tiba termakan fitnah dan berubah menjadi sangat membencinya."Saya akan selesaikan masalah ini secepatnya. Ibu jangan khawatir, ya. Sekarang ibu istirahat. Aku enggak mau penyakit ibu kambuh kalau ibu banyak pikiran."Ola salah paham dengan kalimat Eric barusan. Dia pikir Eric sama seperti Hani, terpengaruh dengan fitnah yang Renata berikan.Eric menarik tangan Ola ke luar kamar, jika biasanya Renata senang karena rencananya berhasil, kali ini dia merasa bersalah karena sudah membuat berantakan keluarga Eric."Renata, kalau Eric bercerai dengan Ola nanti. Ibu janji akan merestui kamu dan Eric."Renata pura-pura tersenyum. Dia sudah sadar, restu dari Hani saja tak cukup untuk membuat Eric jatuh lagi ke pelukannya. Eric begitu keras kepala. Lelaki itu pasti akan me
Jam menunjukan pukul 1 malam. Eric masih belum juga bisa memejamkan matanya. Dia terus mengingat kejadian beberapa saat yang lalu. Dia ingin percaya dengan Ola namun dia bingung kenapa bisa bungkusan obat pencuci perut itu ada di meja rias istrinya kalau bukan wanita itu pelakunya.Eric menatap Ola yang sudah pulas tidur disampingnya. Ia kembali meyakinkan hatinya kalau Ola bukan orang jahat seperti apa yang ada di dalam pikirannya.Karena suntuk, Eric memutuskan untuk keluar kamar. Dia menuju dapur dan meneguk segelas air putih hangat untuk menetralkan perasaan kacaunya.Saat ingin kembali ke kamar, Eric berhenti sejenak karena mendengar suara isakan ibunya. Lelaki itu takut ibunya masih sakit jadi buru-buru mendatangi kamar ibunya."Bu, ini aku. Apa ibu baik-baik saja?" tanya Eric setelah mengetuk pintu. Ibunya tak merespon ucapan Eric, lelaki itu mencoba membuka pintu dan beruntungnya pintu kamar Hani memang tak terkunci."Bu, maaf. Aku tahu aku salah. Maaf sudah buat ibu sedih sep
"La, ada orang tua Adrian di ruang tamu. Mereka datang untuk bela sungkawa sekaligus meminta maaf karena pernah salah paham sama kamu!" Hani mendatangi kamar Ola. Setelah pemakaman Anisa selesai, Ola lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kamar. Memang Ola sangat membenci Anisa tapi kepergian Anisa yang terlalu mendadak dan penuh dengan misteri membuat wanita itu sangat syok."Tunggu, sebentar lagi saya turun untuk menemui mereka, Bu.""Kami tunggu di bawah, ya. Suamimu Eric juga ada disana!""Baik, Bu."Ola berganti baju sebelum turun. Dia juga sedikit memoles wajah agar tidak terlalu terlihat pucat."Maaf Tante, Om. Saya baru tahu kalian ada disini!" ucap Ola setelah menemui keluarga Adrian."Enggak apa-apa, Ola. Maaf ya kami baru tahu kabar kematian adik kamu jadi kami baru bisa datang," ucap Ayah Adrian."Enggak apa-apa, Om. Melihat kalian datang saja sudah buat kami senang." Ola bicara sembari tersenyum, tak ada dendam sama sekali terlihat di wajahnya."Begini, La. Kami sebe
[Kamu pikir dengan cara menyewa bodyguard, kamu bisa lepas dari pengawasanku?]Renata yang tengah makan tersedak karena membaca pesan dari Roy.[Aku tidak mau ikut campur dengan balas dendammu. Tolong jangan ganggu aku lagi!]Renata mengetik pesan dengan gemetar, meski baru mengenal Roy tapi dia tahu betapa jahatnya lelaki itu. Renata curiga, kecelakaan yang menimpa pengacaranya itu juga ulah Roy.[Tak ada siapapun yang berhak menolak tawaran kerjasamaku. Menolak berarti mati!]Renata tak melanjutkan makan malamnya. Dia berniat mematikan ponsel karena tak mau diganggu oleh Roy lagi. Namun sayangnya sebelum dia berhasil, satu lagi pesan masuk dari Roy. Lelaki itu mengirimkan sebuah gambar orang tua Renata yang sedang di sekap oleh lelaki itu. Renata marah bukan main dia langsung menelepon Roy. Malam ini juga Renata akhirnya menemui Roy di sebuah restoran. Mereka akhirnya sepakat melakukan kerjasama.Keesokan harinya, Renata mendapatkan kabar kalau adik Ola meninggal. Roy ternyata yang
"Bu, kamu lihat obat yang aku simpan kemarin enggak?" tanya Anisa sambil mengobrak-abrik lemari bajunya."Enggak, Nis. Kamu yang simpan kok malah tanya ibu?""Aku letak dalam lemari sini tapi kok enggak ada, ya? Aneh!"Anisa kembali mengecek isi lemarinya. Tapi dia masih juga tak mendapatkan obat yang ia cari."Jangan-jangan ada yang mencurinya, Nis!"Anisa dan ibunya saling berpandangan kemudian tatapan mereka beralih ke Grecia yang sedang pura-pura tak mendengar apapun."Grecia, kamu ambil obat dalam lemariku?""Obat apa?" tanya Grecia pura-pura tak tahu.Anisa gelagapan, dia tak mungkin menjawab jujur kalau obat itu adalah obat pencuci perut dengan dosis cukup tinggi. Dia pikir dengan cara itu dia bisa dibawa ke rumah sakit sehingga bisa melarikan diri tentunya di bantu oleh orang-orang Roy."Kamu jawab aja pertanyaanku, kamu tahu tidak?"Grecia dengan santainya menggelengkan kepalanya."Kamu enggak bohong kan?"Anisa tak percaya dengan jawaban Grecia."Buat apa aku bohong. Enggak