Pintu kamar terdengar terbuka, aku yakin itu Anisa. Nafasku sudah kembang kempis rasanya karena tak sabar ingin mencakar mukanya, namun setelah mempertimbangkan lagi dampak yang akan terjadi, aku mencoba untuk menahan diri. Aku hanya ingin tahu sejauh mana mereka berhubungan di belakangku selama ini. Baru setelahnya aku bisa mengambil keputusan.
"Kalau kamu menuruti Mas untuk pergi ke hotel saja tadi pagi, Mas enggak akan repot-repot buat Ola tidur seperti ini!"
Apa? Jadi ternyata Mas Dani tadi pagi menyusul Anisa, bukan karena ada meeting di kantornya seperti yang ia katakan padaku?
Dasar pembohong!
"Aku kurang bergairah kalau di hotel, Mas. Tiap denger desah*n dan er*nganmu di samping Mbak Ola itu memberi kepuasan sendiri buat aku!"
Ya Tuhan, dadaku rasanya sesak sekali mendengar ucapan adik tiriku. Apa yang membuat wanita itu sangat membenciku, padahal selama ini aku sudah memperlakukannya dengan sangat baik. Pada kesempatan tertentu aku memang sering tak bisa mengontrol emosi ketika aku merasa terusik. Namun kemarahanku hanya sekejap, setelah emosiku mereda aku akan menyesali omongan kasarku dan meminta maaf.
"Padahal kalau di hotel kamu lebih bebas mendes*h dengan suara keras bukan takut-takut ketahuan seperti di kamar ini!"
Aku meremas selimut di bawahku saking tak tahannya mendengar ucapan suamiku yang terdengar sangat menjijikan itu. Aku sudah tak peduli seandainya mereka sampai memergokiku yang ternyata hanya berpura-pura tidur saja.
"Pokoknya aku enggak mau di hotel. Enggak seru kalau kita ngelakuin enggak di sebelah Mbak Ola!"
"Ya udah, Mas turuti perintah kamu. Sekarang ayo puasin Mas. Kemarin kamu sudah banyak ngabisin duit Mas, loh!" ucap suamiku.
"Eits, tunggu dulu, Mas. Kamu harus janji dulu gajian nanti kamu harus kasih uang aku lebih banyak dari Mbak Ola. Aku yang sudah puasin kamu, aku enggak terima kamu kasih uang Mbak Ola melebihiku. Kalau bisa enggak usah kasih uang sekalian dia biar dia tahu rasa!"
Sepertinya tujuan pelakor kecil ini mau melayani suamiku bukan hanya karena uangnya saja. Tapi karena kebenciannya padaku. Dari awal dia masuk ke kamar ini, dia tak berhenti menjelekanku. Jujur aku sangat penasaran kenapa bisa dia sebenci ini padaku.
"Sayang, kalau Mas enggak kasih Ola uang dia pasti ngamuk. Kamu mau lihat Mas berantem lagi sama dia?"
Aku masih setia menyimak obrolan dua manusia jahat ini, meski aku sangat marah aku terus mencoba menahan diri untuk tidak meledakannya sekarang.
"Mas kenapa kamu takut banget sama Mbak Ola, sih. Bukannya kamu bilang enggak cinta sama dia selama ini. Kamu cuma bertahan karena Elsa."
Sekali lagi aku di buat terkejut dengan ucapan Anisa, jadi cinta dan kebaikan Mas Dani yang ia tunjukan padaku selama ini hanya palsu? Kalau dia tak mencintaiku jadi kenapa dia menikahiku?
Tak ada jawaban dari suamiku, padahal aku ingin sekali mendengar jawaban dari mulutnya sekarang juga.
"Kenapa kamu enggak jawab Mas? Apa bener dugaanku, kalau sebenarnya alasan kamu bilang enggak cinta sama Mbak Ola cuma karena ingin ambil hatiku saja. Dasar pembong!" bentak Anisa.
"Mas enggak bohong kok, sayang. Mas sama sekali engak cinta sama Mbakmu. Kalau Mas cinta dia kenapa juga Mas tega khianati dia seperti ini!"
Tak terasa air mataku menetes begitu saja mendengar ucapan Mas Dani. Tega kamu bilang seperti itu Mas. Kalau kamu memang tak cinta sama aku, harusnya kamu bilang langsung saja padaku. Aku siap mundur daripada sakit hati mendapat pengkhianatanmu di belakangku.
Kali ini Anisa tak bersuara, mungkin dia belum yakin seratus persen dengan ucapan Mas Dani barusan.
"Kok masih ngambek? Mas kan sudah bicara sejujur-jujurnya sama kamu."
Mas Dani terderngar menghela nafas panjang kemudian melanjutkan ucapannya.
"Besok gajian Mas akan belikan kamu cincin tunangan. Lalu setelah kamu lulus sekolah baru kita akan nikah. Gimana, kamu masih mau ngambek sama Mas?" bujuk Mas Dani. Aku yakin wanita itu makin besar kepala mendengar Mas Dani seolah mengemis maaf darinya seperti itu.
"Aku enggak mau di jadikan istri kedua Mas. Mending aku cari lelaki kaya lainnya kalau cuma mau dijadikan istri kedua sama kamu!"
"Sssttt....Kamu enggak boleh ngomong gitu. Siapa yang bilang Mas akan jadikan kamu yang ke dua. Mas akan ceraikan kakakmu kok saat akan nikahin kamu !"
Airmataku makin deras mengalir, sebisa mungkin aku mencoba agar tidak mengeluarkan suara.
"Bener Mas, kalau gitu aku udah enggak akan pernah ragu lagi buat puasin kamu. Sini buka handukmu sekarang!"
Tak ada obrolan lagi diantara mereka. Hanya suara desah*n dan er*ngan yang bersahutan diantara keduanya. Malam ini aku menjadi saksi kebej*dan suamiku beserta adik tiriku di samping tubuhku sendiri.
"Aaarrggghhh...Anisa...Kamu nikmat sekali!"
Desah*n panjang keluar dari mulut Mas Dani. Terdengar sangat menjijikan. Sungguh sangat menjijikan!
"Brengs*k kamu Mas, kamu selalu saja mendes*h di sebelah istrimu seperti ini. Sumpah aku makin berga*rah melayanimu!"
Kali ini aku sudah kehilangan kesabaran. Persetan dengan harta suamiku, perset*n juga dengan kehidupan susahku setelah bercerai dengannya. Pengkhianatan ini harus segera ku akhiri.
"Brengs*k kalian berdua!" teriakku sembari melempar bantal pada dua orang yang sedang melakukan penyat*an itu. Saking terkejutnya karena teriakanku, tubuh kedua orang itu sampai terjatuh dari ranjang.
"Ola, ini semua tidak seperti yang ada dalam pikiranmu!'
Benar-benar biad*b, aku sudah memergoki kebiad*ban perbuatan mereka pun masih bisa Mas Dani mencoba membela dirinya.
"Ola, ini semua tidak seperti yang ada dalam pikiranmu!" ucap Mas Dani setelah ia bangkit. Terlihat Anisa bersembunyi dengan tangan gemetar di belakang tubuhnya. Entah kemana keberaniannya menghilang padahal saat aku pura-pura tidur tadi dia sangat menikmati caciannya yang tak henti ia lontarkan padaku."Enggak seperti yang aku pikirkan gimana? Dari awal kalian bicara aku sudah mendengarnya. Gila kamu Mas, tega-teganya kamu melakukan ini di belakangku!""Mas cuma--""Cuma apa? Nafsu? Dasar memang kamu doyan sama pelakor kecil ini!" teriakku kemudian melemparkan lagi semua barang yang ada di sekitarku. Mas Dani melindungi gund*knya dari seranganku menggunakan tubuhnya. Sebegitu takutnya dia kalau seranganku akan membuat gund*k kecilnya terluka."Hentikan Ola, kamu jangan kaya orang kesetanan gini!" ucap suamiku. Aku tak peduli dengan ucapannya hingga pada akhirnya saat aku meraih vas bunga yang lumayan besar, Mas Dani berlari kearahku dan menggagalkan seranganku.Plak!Sebuah tamparan
"Enggak ada gunanya menangis, ayo kita bawa Elsa ke rumah sakit sekarang juga!" ucap suamiku sambil mengambil alih Elsa dari pangkuanku. Tak ku pedulikan darah Elsa yang ikut mengotori bajuku. Kami harus sampai ke rumah sakit secepatnya agar putri kecilku segera mendapatkan pertolongan."Mas, aku ikut!"Anisa merengek ikut layaknya anak kecil yang tak mau ditinggal Ayahnya pergi tanpa peduli keadaan sedang sangat genting seperti ini. Benar-benar tak tahu malu."Kamu jaga rumah saja, Mas buru-buru!" ucap suamiku sambil meletakan Elsa dalam pangkuanku di jok mobil belakang."Mas, aku enggak mau di tinggal sendiri di rumah. Aku maunya selalu sama kamu! Pleace, aku ikut ya!" rengeknya sekali lagi sembari menahan tubuh suamiku agar tidak masuk dalam mobil.Rasanya ingin sekali mencakar wajah adik tiriku sekali lagi. Elsa sedang bertaruh nyawa di pangkaunku tapi wanita itu seolah sengaja mengulur waktu agar kami terlambat ke rumah sakit."Kamu enggak mikir ya kalau sekarang keadaan Elsa lag
Pov Anisa"Nis, layar ponsel kamu sudah retak gitu. Enggak mau ganti ponsel?" tanya temanku yang bernama Bening."Iya, Nis. Masa dari kelas satu aku lihat ponsel kamu enggak pernah ganti. Enggak bosen apa pakai ponsel buruk kamu itu terus!" temanku Intan menimpali. Aku sangat malu mendengar ejekan mereka, akhirnya aku jawab sekenanya saja."Minggu depan aku ganti kok ponselnya. Kata kakakku, minggu depan suaminya baru gajian jadi harus sabar dulu sementara ini!""Kakakmu orang kaya, masa mau belikan ponsel kamu saja nunggu suaminya gajian sih!" Aku menunduk malu mendengar ucapan Intan."Mbak Ola kan dari dulu orangnya pelit. Aku tahu juga dari kakakku yang kebetulan dulu satu sekolah sama dia!" Dalam hatiku membenarkan ucapan Bening barusan, Mbak Ola memang sangat pelit, jangankan ponsel. Uang sakuku saja selalu dia kasih pas saja. Aku harus selalu gigit jari melihat temen-temenku yang selalu shoping sepulang sekolah karena uang saku mereka yang banyak."Kakakmu kaya tapi pelit, masa
Pov AnisaPlak!Sekali lagi Ibu Mas Dani menamparku dengan sangat kuat, rasanya sama perihnya dengan tamparan yang pertama."Dasar wanita enggak tahu terima kasih. Di kasih tumpangan di sini malah godain suami kakak sendiri!"Sial, jadi aku gagal mencuci otak ibu mertua Mbak Ola. Malah sekarang jadi senjata makan tuan buatku."Maaf, ya, jeng. Jangan salahin anak saya saja, anak situ kalau enggak kegatelan sama anak saya, semua ini enggak mungkin terjadi!"Tatapan ibu Mas Dani beralih ke ibuku, dia maju beberapa langkah sembari mencekeram kerah baju ibuku."Aku yakin kamu dalang di balik semua perbuatan bej*d mereka berdua kan?"Sebenarnya ucapan Ibu Mas Dani benar, ibuku yang awalnya menyuruhku untuk memakai baju seksi sehingga Mas Dani tergoda dengan kemolekan tubuhku. Tapi kenapa ya, meski ucapannya benar aku tetep enggak terima dengan tuduhannya."Ya ampun, jeng. Jangan fitnah sembarangan, ya. Saya saja terkejut mendengar kabar ini. Seharusnya yang marah itu saya. Saya pihak dari p
Pov Anisa"Mas, kamu jadi suami kok bod*h banget. Katanya enggak cinta sama Mbak Ola, nyatanya semua uang tabunganmu kamu percayakan sama wanita itu. Gimana, sih!"Jujur, aku sangat kecewa pada Mas Dani. Setahuku Mbak Ola cuma di kasih setengah gajinya saja, tapi di luar dugaan lelaki itu juga mempercayakan uang tabungannya pada Mbak Ola. Kalau ceritanya begini, aku tidak akan sudi mau tidur dengannya. Rugi dong, kalau aku tak sampai dapat apa-apa.Memang sih beberapa hari ini sudah tumbuh benih-benih cinta untuk lelaki itu, tapi makan cinta saja aku enggak mungkin bisa kenyang. Aku butuh uang dan kemewahan agar teman-temanku tidak pernah lagi memandangku sebelah mata."Ola orangnya hemat, makanya Mas percayakan uang Mas pada dia. Lagian dia enggak pernah banyak bertanya kalau Mas sewaktu-waktu mau ambil uang buat kebutuhan mendesak ataupun buat kebutuhan Nayla.""Terus tiap bulan Mas cuma dapet capenya saja kalau semua uang Mas percayakan pada Mbak Ola?" tanyaku semakin geram."Ya en
Pov Dani"Mas, kok sampai gebrak meja gitu. Memangnya enggak takut apa kalau sakit jantung ibuku kumat?" bentak Anisa sambil melotot marah kearahku. Menurutku lebih baik ibu Anisa terkena serangan jantung dan mati saja dari pada hidup pun percuma tiap hari kerjaannya cuma mempengaruhi Anisa untuk memeras uangku.Belum seminggu aku dan Anisa menjalin hubungan, uang tabungan pribadiku hampir habis. Untung di rekening Ola uangku masih banyak, jadi aku enggak terlalu down.Terus terang, aku banyak mengarang cerita demi mendapatkan hati Anisa. Aku memang sempat berbohong padanya kalau aku tidak mencintai Ola. Nyatanya selama pernikahanku, hatiku tidak pernah berpaling ke wanita lain sebelum Anisa muncul dalam rumah tanggaku dan Ola.Antara cinta dan nafsu, aku tak tahu yang mana yang lebih mendominasi perasaanku untuk Anisa. Setiap kali aku berhubungan badan dengannya, aku selalu merasa dipuaskan."Gimana Mas enggak marah, kamu ambil uang Mas tanpa izin. Itu uang baru Mas ambil dari ATM bu
Pov Ola"La, ibu pulang, ya. Ibu mau masakin sarapan buat kamu dulu. Setelah selesai, nanti ibu baru kesini lagi." pamit Ibu mertuaku pagi ini. Dalam hatiku yang paling dalam, jujur aku tak tega meninggalkan dia. Tapi jika aku terus berada disini, aku dan Elsa akan makin tersakiti karena secara terang-terangan melihat perselingkuhan Mas Dani dan Anisa.Meninggalkan Mas Dani adalah pilihan tersulit yang mau tak mau aku ambil. Delapan tahun ini dia sangat baik, hingga pada akhirnya dia berubah setelah menjalin hubungan dengan adikku Anisa.Memang tak ikhlas melepaskan Mas Dani begitu saja untuk Anisa. Tapi setelah kupikir lagi, buat apa mempertahankan si pengkhianat, bukankah aku malah akan makin tersakiti jika pada akhirnya lelaki yang aku pertahankan justru lebih memilih si pelakor daripada aku istri sahnya.Setelah kepergian ibu mertua, aku menemui Dokter Eric. Dia adalah Dokter yang menangani Elsa untuk sekarang ini.Aku mengetuk pintu ruangannya, setelah di izinkan masuk baru aku b
Pov Dani"Dan, kamu enggak mau cari kerja apa? Sampai kapan kamu nganggur gini terus, bosan ibu di kasih makan sayur kangkung sama sayur ubi terus sama kamu." tanya ibu Anisa saat aku asik-asiknya main game online. Dulu sebelum aku di pecat kerja, dia selalu menyebutku dengan sebutan 'Nak'. Namun setelah aku tidak bisa menghasilkan uang banyak lagi, dia langsung memanggil namaku seperti tadi."Nanti kalau aku kerja, ibu masukan lelaki ke dalam rumah ini lagi. Aku sudah kehilangan semuanya demi Anisa, jadi aku tak mau ibu menjual Anisa gara-gara aku sudah jatuh miskin." Aku pernah memergoki ada seorang lelaki keluar dari rumah ini ketika aku baru pulang kerja. Ibu dan Anisa bilang dia datang cuma untuk memperbaiki keran di kamar mandi yang rusak. Tapi melihat penampilan lelaki itu begitu rapih, aku sama sekali tak percaya ucapan mereka. Terlebih saat itu aku melihat Anisa dan ibunya mulai belanja gila-gilaan padahal aku tak memberi mereka uang banyak."Kamu ini orangnya curigaan terus
Hendrik, lelaki tampan berumur 35 tahun itu tampak marah sambil mengetuk sebuah kaca mobil yang beberapa saat lalu mengikuti mobil bos wanitanya. Kaca mobil diturunkan, lelaki yang ada di dalamnya sama sekali tak menyangkal tuduhan Hendrik saat itu.Ya, lelaki di dalam mobil tersebut ternyata adalah Roy. Dia sengaja tidak membalas kemarahan Hendrik melainkan mengajak bicara Hendrik saat itu. Hendrik di tawari sepuluh kali lipat uang yang Eric berikan pada Hendrik jika lelaki itu mau mengkhianati Eric dan berpihak pada Roy.Siapa yang tak tergiur dengan uang yang dijanjikan Roy, termasuk Hendrik. Namun selama ini tidak sekalipun dia mengkhianati majikan meski dibayar dengan bayaran sangat mahal. Lelaki itu lalu mengajak rekannya yang bernama Irvant untuk mengerjai Roy. Caranya dengan mengajak Renata dan pembantu rumah tangga di rumah Eric untuk bekerjasama melakukan skenario yang sudah direncanakan Roy."Kamu?"Roy menatap tajam kearah Hendrik, dia sama sekali tak menyangka lelaki tamp
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" bisik Marvin tepat disebelah Eric."Kita sudah terkepung. Istri saya bisa dalam bahaya jika kita tetap mau melawan lelaki gila itu. Untuk sementara waktu kita ikuti saja perintah lelaki gila itu." Eric terlihat pasrah, dia belum menemukan jalan keluar dari masalah yang tengah mereka hadapi. Dia tak mau istri dan anak tirinya terluka sedikitpun karena kecerobohannya.Eric dan Marvin mengikuti arahan Roy untuk masuk dalam rumah Nayla. Disana Nayla dan ibunya juga sudah terikat. Ternyata Roy sudah curiga kalau Eric tahu tentangnya sejak Azam dan Marvin menemui lelaki itu diam-diam. Anak buah Roy ada dimana-mana jadi dengan mudah ia mengawasi gerak gerik orang yang ingin dia pantau.Semua sandra diikat, Roy tertawa puas melihat musuhnya berada di hadapannya tanpa berdaya."Jadi wanita ini yang buat Ayah saya masuk penjara. Saya ingin tahu apa spesialnya wanita ini sampai buat Ayah saya tergila-gila!" Roy mendekat kearah Ola. Seketika Emosi Eric melu
"Anda mau bawa saya kemana?" tanya Eric pada Marvin saat lelaki itu membawanya pergi."Ke suatu tempat yang pastinya membuat Anda terkejut!"Eric akhirnya diam, meski dia belum mengenal Marvin tapi entah kenapa dia langsung percaya begitu saja pada lelaki itu. "Rumah siapa ini?" tanya Eric setelah sampai di sebuah rumah yang kelihatannya seperti rumah kosong tak terawat. Tapi anehnya disana terparkir beberapa mobil mewah. Padahal lampu di rumah itu sama sekali tak menyala."Di dalam rumah itu ada kedua orang tua Renata. Mereka di sekap oleh seseorang.""A-apa?""Entah apa yang sudah Renata lakukan beberapa hari ini sama Anda dan keluarga Anda. Saya cuma ingin kasih tahu Anda saja kalau itu semua bukan kemauan Renata. Ada seseorang yang memaksanya melakukan itu!""Pak, tanpa diancam seseorang pun memang Renata selalu mengganggku keluarga saya. Jangan mengada-ngada dech!" ucap Eric sambil tertawa. Dia ingat betul betapa jahatnya Renata yang pura-pura koma demi bisa tetap memasukan Ola
"Doc, maaf. Saya ada perlu sebentar!"Saat hendak kembali ke ruangannya Eric di hadang oleh kakak lelaki Grecia. Dia ingin menyampaikan sesuatu pada Eric setelah selesai menjenguk adiknya di penjara."Dokter Eric, bisa bicara sebentar? Ada hal penting yang ingin sampaikan pada Anda!" ucap lelaki yang bernama Azam tersebut."Ok, bicaralah. Saya ada waktu sekitar 30 menitan lagi!"Eric agak penasaran dengan wajah Azam yang menunjukan ketakutan saat hendak bicara."Kamu kenapa?" tanya Eric karena Azam tak langsung bicara."Sa-saya sebenernya takut mau bicara disini. Takut ada yang nguping pembicaraan kita!""Ok, kalau gitu kamu ikut ke ruanganku ya. Kita bicarakan disana saja!"Azam mengangguk kemudian mengikuti Eric menuju ruangannya."Sekarang katakan apa yang mau kamu sampaikan!" ucap Eric setelah menutup pintu ruangannya."Tadi saya menjenguk Grecia. Dia bilang anda dan Mbak Ola sedang dalam bahaya!" ucap Azam dengan suara lirih."Dalam bahaya?" Eric bertanya dan Azam mengangguk."Se
"Ric, kalau kamu sayang ibu. Tolong ceraikan Ola. Dia perempuan enggak bener Kamu harus jauhi wanita jahat seperti dia!"Seketika Ola dibuat lemas dengan ucapan ibu mertuanya. Wanita yang selama ini selalu mendukungnya tiba-tiba termakan fitnah dan berubah menjadi sangat membencinya."Saya akan selesaikan masalah ini secepatnya. Ibu jangan khawatir, ya. Sekarang ibu istirahat. Aku enggak mau penyakit ibu kambuh kalau ibu banyak pikiran."Ola salah paham dengan kalimat Eric barusan. Dia pikir Eric sama seperti Hani, terpengaruh dengan fitnah yang Renata berikan.Eric menarik tangan Ola ke luar kamar, jika biasanya Renata senang karena rencananya berhasil, kali ini dia merasa bersalah karena sudah membuat berantakan keluarga Eric."Renata, kalau Eric bercerai dengan Ola nanti. Ibu janji akan merestui kamu dan Eric."Renata pura-pura tersenyum. Dia sudah sadar, restu dari Hani saja tak cukup untuk membuat Eric jatuh lagi ke pelukannya. Eric begitu keras kepala. Lelaki itu pasti akan me
Jam menunjukan pukul 1 malam. Eric masih belum juga bisa memejamkan matanya. Dia terus mengingat kejadian beberapa saat yang lalu. Dia ingin percaya dengan Ola namun dia bingung kenapa bisa bungkusan obat pencuci perut itu ada di meja rias istrinya kalau bukan wanita itu pelakunya.Eric menatap Ola yang sudah pulas tidur disampingnya. Ia kembali meyakinkan hatinya kalau Ola bukan orang jahat seperti apa yang ada di dalam pikirannya.Karena suntuk, Eric memutuskan untuk keluar kamar. Dia menuju dapur dan meneguk segelas air putih hangat untuk menetralkan perasaan kacaunya.Saat ingin kembali ke kamar, Eric berhenti sejenak karena mendengar suara isakan ibunya. Lelaki itu takut ibunya masih sakit jadi buru-buru mendatangi kamar ibunya."Bu, ini aku. Apa ibu baik-baik saja?" tanya Eric setelah mengetuk pintu. Ibunya tak merespon ucapan Eric, lelaki itu mencoba membuka pintu dan beruntungnya pintu kamar Hani memang tak terkunci."Bu, maaf. Aku tahu aku salah. Maaf sudah buat ibu sedih sep
"La, ada orang tua Adrian di ruang tamu. Mereka datang untuk bela sungkawa sekaligus meminta maaf karena pernah salah paham sama kamu!" Hani mendatangi kamar Ola. Setelah pemakaman Anisa selesai, Ola lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kamar. Memang Ola sangat membenci Anisa tapi kepergian Anisa yang terlalu mendadak dan penuh dengan misteri membuat wanita itu sangat syok."Tunggu, sebentar lagi saya turun untuk menemui mereka, Bu.""Kami tunggu di bawah, ya. Suamimu Eric juga ada disana!""Baik, Bu."Ola berganti baju sebelum turun. Dia juga sedikit memoles wajah agar tidak terlalu terlihat pucat."Maaf Tante, Om. Saya baru tahu kalian ada disini!" ucap Ola setelah menemui keluarga Adrian."Enggak apa-apa, Ola. Maaf ya kami baru tahu kabar kematian adik kamu jadi kami baru bisa datang," ucap Ayah Adrian."Enggak apa-apa, Om. Melihat kalian datang saja sudah buat kami senang." Ola bicara sembari tersenyum, tak ada dendam sama sekali terlihat di wajahnya."Begini, La. Kami sebe
[Kamu pikir dengan cara menyewa bodyguard, kamu bisa lepas dari pengawasanku?]Renata yang tengah makan tersedak karena membaca pesan dari Roy.[Aku tidak mau ikut campur dengan balas dendammu. Tolong jangan ganggu aku lagi!]Renata mengetik pesan dengan gemetar, meski baru mengenal Roy tapi dia tahu betapa jahatnya lelaki itu. Renata curiga, kecelakaan yang menimpa pengacaranya itu juga ulah Roy.[Tak ada siapapun yang berhak menolak tawaran kerjasamaku. Menolak berarti mati!]Renata tak melanjutkan makan malamnya. Dia berniat mematikan ponsel karena tak mau diganggu oleh Roy lagi. Namun sayangnya sebelum dia berhasil, satu lagi pesan masuk dari Roy. Lelaki itu mengirimkan sebuah gambar orang tua Renata yang sedang di sekap oleh lelaki itu. Renata marah bukan main dia langsung menelepon Roy. Malam ini juga Renata akhirnya menemui Roy di sebuah restoran. Mereka akhirnya sepakat melakukan kerjasama.Keesokan harinya, Renata mendapatkan kabar kalau adik Ola meninggal. Roy ternyata yang
"Bu, kamu lihat obat yang aku simpan kemarin enggak?" tanya Anisa sambil mengobrak-abrik lemari bajunya."Enggak, Nis. Kamu yang simpan kok malah tanya ibu?""Aku letak dalam lemari sini tapi kok enggak ada, ya? Aneh!"Anisa kembali mengecek isi lemarinya. Tapi dia masih juga tak mendapatkan obat yang ia cari."Jangan-jangan ada yang mencurinya, Nis!"Anisa dan ibunya saling berpandangan kemudian tatapan mereka beralih ke Grecia yang sedang pura-pura tak mendengar apapun."Grecia, kamu ambil obat dalam lemariku?""Obat apa?" tanya Grecia pura-pura tak tahu.Anisa gelagapan, dia tak mungkin menjawab jujur kalau obat itu adalah obat pencuci perut dengan dosis cukup tinggi. Dia pikir dengan cara itu dia bisa dibawa ke rumah sakit sehingga bisa melarikan diri tentunya di bantu oleh orang-orang Roy."Kamu jawab aja pertanyaanku, kamu tahu tidak?"Grecia dengan santainya menggelengkan kepalanya."Kamu enggak bohong kan?"Anisa tak percaya dengan jawaban Grecia."Buat apa aku bohong. Enggak