Pov Dani"Dasar wanita mura*an, pamit pergi sekolah tapi ternyata janjian sama lelaki lain!"Mendengar makianku, sepasang kekasih yang tengah kasmaran itu menoleh kearahku. Alangkah terkejutnya mereka berdua setelah melihat ada aku di depan mereka sekarang. Cepat-cepat mereka berdua saling melepaskan tangan mereka yang tadinya bergandengan mesra."Mas Dani, bukannya tadi kamu pamit interview, tapi kenapa malah disini?" tanya Anisa terlihat sangat ketakutan."Jadi ini kelakuan kamu di belakang aku, Anisa? Sumpah demi apapun aku sangat jijik dengan kamu. Jangan-jangan anak dalam kandunganmu itu bukan anak aku melainkan anak lelaki baji*gan ini!"Memaki Anisa lebih ku utamakan daripada menjawab pertanyaan wanita mura*an itu. Biarlah semua orang tahu tentang kehamilan Anisa. Biar wanita itu malu dan menjadi gunjingan banyak orang. Syukur-syukur ada yang memviralkan kejadian ini biar sekalian dia di keluarkan dari sekolahnya.Anisa menoleh kesekitar, betapa malunya dia menjadi pusat perhat
Pov Dani"Mas, akhirnya aku bisa bertemu denganmu juga. Aku tahu kamu tinggal di rumah ibumu tapi aku takut mau nemuin kamu!"Anisa mencoba meraih tanganku tapi segera ku tepis. Wanita yang dulu sangat ku banggakan ini sudah terlihat sangat menjijikan. Kecantikannya benar-benar memudar sejak perutnya mulai membesar."Mau apa kamu cari aku? Kita berdua sudah lama putus!" ucapku setengah berbisik. Biar bagaimanapun juga aku tak mau membuat keributan di sekitar tempat kerjaku."Mas, aku enggak mau putus. Aku sedang hamil anak kamu! Kamu harus bertanggung jawab!"Cuih! Ingin ku ludahi wajah Anisa saat mengucapkan hal itu. Hamil anakku katanya? Berani sekali dia langsung bilang kalau anak dalam kandungannya itu anakku padahal bukan hanya denganku wanita itu melakukan hubungan int*m."Pada kemana laki-laki yang ikut menikmati tubuhmu? Setelah kamu hamil kamu cuma minta tanggung jawabku!" cibirku."Mas memang aku sempat melakukan hubungan intim dengan pria lain, tapi aku yakin ini anak kamu.
Pov Dani"Om Dokter tolong Elsa, Om. Elsa enggak mau di bawa Papah!"Sekali lagi Elsa mencoba memberontak, namun sayangnya aku tak mau melepaskan anak yang sudah lama ku cari ini."Pak, kasihan Elsa ketakutan gitu. Tolong lepasin Elsa!" mohon Dokter Eric, dia terlihat tak tega melihat Elsa menangis dan menjerit meminta tolong padanya."Diem kamu, kamu cuma orang luar. Jangan ikut campur urusan keluarga saya. Saya lebih berhak ambil Elsa daripada kamu!" bentakku pada dokter itu. Aku tak peduli kini kami sedang menjadi tontonan banyak orang.Segera ku ambil dompetku kemudian meninggalkan beberapa lembar uang berwarna merah di atas meja. Setelah itu baru ku bawa Elsa ke dalam mobil. Aku sama sekali tak pedulikan teriakan dan tangisan Elsa. Karena ini satu-satunya cara untuk memancing kedatangan istriku Ola.Mobilku telah sampai di depan rumah ibu. Sampai sekarang Elsa masih belum mau berhenti menangis. Telingaku sampai sakit karena dia terus memnaggil-manggil nama ibunya.Mendengar suar
POV OLA"Ola, bilang pada teman kamu, jangan kurangajar sama Dani. Biar bagaimana pun juga Dani masih suami kamu. Dia berhak melarang kamu tinggal atau pergi dari rumah sini!"Ini bentakan pertama dari ibu mertuaku. Sebelumnya dia tidak pernah berkata keras apalagi kasar terhadapku."Dok, cukup!" aku menghentikan Dokter Eric ketika dia hendak mendaratkan satu bogeman lagi pada Mas Dani.Aku tidak membenarkan apa yang di lakukan Dokter Eric pada Mas Dani. Tapi aku juga tidak bisa menyalahkan tindakan refleknya. Dia sudah tahu semua masalah rumah tanggaku karena saat aku membawa kabur Elsa dulu aku mengungkapkan alasan kenapa aku ingin membawa Elsa pergi."Bu, lihat menantu kesayangan ibu. Menantu yang ibu bela mati-matian sampai ibu tega mengusirku dari rumahku sendiri waktu itu. Belum juga resmi bercerai tapi dia berani membawa seorang lelaki ke hadapan kita. Ola tidak lebih baik dariku, Bu. Dia munafik!"Aku menghela nafas panjang mendengar tuduhan Mas Dani. Memang salahku telah meli
Pov OlaKesadaranku pelan-pelan pulih, meski kepalaku masih terasa berat. Ku paksa mata ini untuk terbuka.Saat mataku berhasil sepenuh nya terbuka, ku pindai pandangan ke sekeliling sembari mengumpulkan potongan-potongan ingatanku sebelum aku hilang kesadaran.Astaga, apa ini? Kenapa tubuhku terbaring di kamar ini tanpa sehelai bajupun?Brengs*k, apa mungkin ini ulah Mas Dani. Masih tercetak jelas ingatan di kepalaku saat mendengar tawanya sebelum aku tak sadarkan diri."Akhirnya kamu sadar juga, La!" ucap Mas Dani yang baru saja keluar dari kamar mandi."Apa yang sudah kamu lakukan sama aku, Mas?" tanyaku penuh amarah. Lelaki itu menjawab santai seraya mengeringkan rambutnya dengan handuknya."Kamu bukan anak kecil lagi, pasti kamu tahu apa yang sudah aku lakukan sama kamu!""Brengs*k kamu, Mas. Apa kamu pikir dengan menggunakan cara murahan seperti ini bisa membuatku berubah pikiran? Tidak akan!"Mas Dani hanya terkekeh kecil sambil menyisir rambutnya. Setelah itu dia duduk di sebe
Pov Ola"Cukup, Mas. Aku lebih baik menanggung malu daripada melihat Elsa ketakutan seperti ini!"Aku berteriak mengancam Mas Dani sambil merebut Elsa dari gendongan Mas Dani. Melihat Mas Dani kasar pada Elsa membuatku berubah pikiran. Aku tak sudi memberinya kesempatan kedua. Aku siap di permalukan asalkan putriku baik-baik saja."Dok, cepat bawa Elsa ke dalam mobil!" perintahku pada Dokter Eric. Lelaki itu menurut lalu mengambil alih Elsa dariku setelah itu dia segera berlari ke mobilnya.Mas Dani hendak mengejar Dokter Eric namun aku hentikan."Satu langkah saja Mas melangkah, aku tak mau memberimu kesempatan kedua!"Meski terlihat tak terima putrinya di bawa lagi oleh Dokter Eric tapi Mas Dani akhirnya mengurungkan niatnya mengejar mereka."Elsa anakku, La. Aku juga berhak melarangnya dekat dengan lelaki sial*n itu!" Aku menggelengkan kepala mendengar keegoisan lelaki itu. Bukankah sudah ku jelaskan bahwa Dokter Eric hanya majikanku? Tapi entah kenapa dia masih saja membenci Dokt
Pov Dani"Dan, bodoh banget kamu mau nglepasin Ola gitu saja. Kamu enggak takut kehilangan dia lagi?" tanya ibu menyalahkanku."Ibu denger sendiri tadi, Ola sempet ngancam enggak akan ngasih kesempatan kedua kalau aku maksa nahan mereka tinggal." jawabku dengan menampilkan wajah frustasi."Mbak Ola sekarang lebih tegas dari yang dulu, Bu. Susah sekali dia di gertak." sahut Nayla."Benar kata Nayla, untuk itulah kita harus merubah rencana mulai sekarang. Ola enggak bisa di gertak dengan ancaman jadi kita harus gunakan cara lembut!""Ya sudah kalau begitu, yang penting secepatnya kamu bawa mereka kesini lagi. Ibu enggak mau kehilangan mereka berdua lagi!""Iya, Bu. Aku janji. Aku akan ngelakuin cara apapun untuk mendapatkan mereka kembali!"Selesai berbincang, kami pun masuk ke kamar kami masing-masing. Saat mataku hampir terpejam, aku di kejutkan dengan suara notifikasi pesan di ponselku.Setelah membuka pesan tersebut, aku tersenyum lebar sekali karena mendapat alamat rumah Dokter Eri
Pov Dani"Kalian sekongkol dengan salah satu Dokter disini untuk memanipulasi hasil tes DNA ini kan?" aku menatap kedua wanita di depanku dengan tatapan curiga."Maksud kamu apa ngomong seperti itu, Dan? Kami mana kenal siapa-siapa disini!" Ibu Anisa balik menatapku dengan tatapan marah."Jangan pura-pura. Kalian selama ini memata-mataiku pasti kalian tahu ada satu Dokter yang sedang dekat Ola. Kalian diam-diam menghubunginya dan mengajak kerjasama dengannya untuk menjebakku kan?"Aku menuduh kedua wanita di depanku bukan tanpa alasan. Mereka kan sangat licik, tidak mustahil mereka mengajak kerja sama Dokter Erik agar mereka sama-sama mendapatkan keuntungan."Kamu kok tega nuduh gitu sama kami, Mas. Iya aku akui memang selama ini kami memata-matai kamu. Tapi sumpah kami tidak pernah mengajak kerjasama Dokter yang sedang dekat dengan Mbak Ola. Kalau kamu tidak percaya hasil tes di rumah sakit ini, ayo kita tes di rumah sakit lain!" Anisa balik menantangku. Di lihat dari kepercayaan dir
Hendrik, lelaki tampan berumur 35 tahun itu tampak marah sambil mengetuk sebuah kaca mobil yang beberapa saat lalu mengikuti mobil bos wanitanya. Kaca mobil diturunkan, lelaki yang ada di dalamnya sama sekali tak menyangkal tuduhan Hendrik saat itu.Ya, lelaki di dalam mobil tersebut ternyata adalah Roy. Dia sengaja tidak membalas kemarahan Hendrik melainkan mengajak bicara Hendrik saat itu. Hendrik di tawari sepuluh kali lipat uang yang Eric berikan pada Hendrik jika lelaki itu mau mengkhianati Eric dan berpihak pada Roy.Siapa yang tak tergiur dengan uang yang dijanjikan Roy, termasuk Hendrik. Namun selama ini tidak sekalipun dia mengkhianati majikan meski dibayar dengan bayaran sangat mahal. Lelaki itu lalu mengajak rekannya yang bernama Irvant untuk mengerjai Roy. Caranya dengan mengajak Renata dan pembantu rumah tangga di rumah Eric untuk bekerjasama melakukan skenario yang sudah direncanakan Roy."Kamu?"Roy menatap tajam kearah Hendrik, dia sama sekali tak menyangka lelaki tamp
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" bisik Marvin tepat disebelah Eric."Kita sudah terkepung. Istri saya bisa dalam bahaya jika kita tetap mau melawan lelaki gila itu. Untuk sementara waktu kita ikuti saja perintah lelaki gila itu." Eric terlihat pasrah, dia belum menemukan jalan keluar dari masalah yang tengah mereka hadapi. Dia tak mau istri dan anak tirinya terluka sedikitpun karena kecerobohannya.Eric dan Marvin mengikuti arahan Roy untuk masuk dalam rumah Nayla. Disana Nayla dan ibunya juga sudah terikat. Ternyata Roy sudah curiga kalau Eric tahu tentangnya sejak Azam dan Marvin menemui lelaki itu diam-diam. Anak buah Roy ada dimana-mana jadi dengan mudah ia mengawasi gerak gerik orang yang ingin dia pantau.Semua sandra diikat, Roy tertawa puas melihat musuhnya berada di hadapannya tanpa berdaya."Jadi wanita ini yang buat Ayah saya masuk penjara. Saya ingin tahu apa spesialnya wanita ini sampai buat Ayah saya tergila-gila!" Roy mendekat kearah Ola. Seketika Emosi Eric melu
"Anda mau bawa saya kemana?" tanya Eric pada Marvin saat lelaki itu membawanya pergi."Ke suatu tempat yang pastinya membuat Anda terkejut!"Eric akhirnya diam, meski dia belum mengenal Marvin tapi entah kenapa dia langsung percaya begitu saja pada lelaki itu. "Rumah siapa ini?" tanya Eric setelah sampai di sebuah rumah yang kelihatannya seperti rumah kosong tak terawat. Tapi anehnya disana terparkir beberapa mobil mewah. Padahal lampu di rumah itu sama sekali tak menyala."Di dalam rumah itu ada kedua orang tua Renata. Mereka di sekap oleh seseorang.""A-apa?""Entah apa yang sudah Renata lakukan beberapa hari ini sama Anda dan keluarga Anda. Saya cuma ingin kasih tahu Anda saja kalau itu semua bukan kemauan Renata. Ada seseorang yang memaksanya melakukan itu!""Pak, tanpa diancam seseorang pun memang Renata selalu mengganggku keluarga saya. Jangan mengada-ngada dech!" ucap Eric sambil tertawa. Dia ingat betul betapa jahatnya Renata yang pura-pura koma demi bisa tetap memasukan Ola
"Doc, maaf. Saya ada perlu sebentar!"Saat hendak kembali ke ruangannya Eric di hadang oleh kakak lelaki Grecia. Dia ingin menyampaikan sesuatu pada Eric setelah selesai menjenguk adiknya di penjara."Dokter Eric, bisa bicara sebentar? Ada hal penting yang ingin sampaikan pada Anda!" ucap lelaki yang bernama Azam tersebut."Ok, bicaralah. Saya ada waktu sekitar 30 menitan lagi!"Eric agak penasaran dengan wajah Azam yang menunjukan ketakutan saat hendak bicara."Kamu kenapa?" tanya Eric karena Azam tak langsung bicara."Sa-saya sebenernya takut mau bicara disini. Takut ada yang nguping pembicaraan kita!""Ok, kalau gitu kamu ikut ke ruanganku ya. Kita bicarakan disana saja!"Azam mengangguk kemudian mengikuti Eric menuju ruangannya."Sekarang katakan apa yang mau kamu sampaikan!" ucap Eric setelah menutup pintu ruangannya."Tadi saya menjenguk Grecia. Dia bilang anda dan Mbak Ola sedang dalam bahaya!" ucap Azam dengan suara lirih."Dalam bahaya?" Eric bertanya dan Azam mengangguk."Se
"Ric, kalau kamu sayang ibu. Tolong ceraikan Ola. Dia perempuan enggak bener Kamu harus jauhi wanita jahat seperti dia!"Seketika Ola dibuat lemas dengan ucapan ibu mertuanya. Wanita yang selama ini selalu mendukungnya tiba-tiba termakan fitnah dan berubah menjadi sangat membencinya."Saya akan selesaikan masalah ini secepatnya. Ibu jangan khawatir, ya. Sekarang ibu istirahat. Aku enggak mau penyakit ibu kambuh kalau ibu banyak pikiran."Ola salah paham dengan kalimat Eric barusan. Dia pikir Eric sama seperti Hani, terpengaruh dengan fitnah yang Renata berikan.Eric menarik tangan Ola ke luar kamar, jika biasanya Renata senang karena rencananya berhasil, kali ini dia merasa bersalah karena sudah membuat berantakan keluarga Eric."Renata, kalau Eric bercerai dengan Ola nanti. Ibu janji akan merestui kamu dan Eric."Renata pura-pura tersenyum. Dia sudah sadar, restu dari Hani saja tak cukup untuk membuat Eric jatuh lagi ke pelukannya. Eric begitu keras kepala. Lelaki itu pasti akan me
Jam menunjukan pukul 1 malam. Eric masih belum juga bisa memejamkan matanya. Dia terus mengingat kejadian beberapa saat yang lalu. Dia ingin percaya dengan Ola namun dia bingung kenapa bisa bungkusan obat pencuci perut itu ada di meja rias istrinya kalau bukan wanita itu pelakunya.Eric menatap Ola yang sudah pulas tidur disampingnya. Ia kembali meyakinkan hatinya kalau Ola bukan orang jahat seperti apa yang ada di dalam pikirannya.Karena suntuk, Eric memutuskan untuk keluar kamar. Dia menuju dapur dan meneguk segelas air putih hangat untuk menetralkan perasaan kacaunya.Saat ingin kembali ke kamar, Eric berhenti sejenak karena mendengar suara isakan ibunya. Lelaki itu takut ibunya masih sakit jadi buru-buru mendatangi kamar ibunya."Bu, ini aku. Apa ibu baik-baik saja?" tanya Eric setelah mengetuk pintu. Ibunya tak merespon ucapan Eric, lelaki itu mencoba membuka pintu dan beruntungnya pintu kamar Hani memang tak terkunci."Bu, maaf. Aku tahu aku salah. Maaf sudah buat ibu sedih sep
"La, ada orang tua Adrian di ruang tamu. Mereka datang untuk bela sungkawa sekaligus meminta maaf karena pernah salah paham sama kamu!" Hani mendatangi kamar Ola. Setelah pemakaman Anisa selesai, Ola lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kamar. Memang Ola sangat membenci Anisa tapi kepergian Anisa yang terlalu mendadak dan penuh dengan misteri membuat wanita itu sangat syok."Tunggu, sebentar lagi saya turun untuk menemui mereka, Bu.""Kami tunggu di bawah, ya. Suamimu Eric juga ada disana!""Baik, Bu."Ola berganti baju sebelum turun. Dia juga sedikit memoles wajah agar tidak terlalu terlihat pucat."Maaf Tante, Om. Saya baru tahu kalian ada disini!" ucap Ola setelah menemui keluarga Adrian."Enggak apa-apa, Ola. Maaf ya kami baru tahu kabar kematian adik kamu jadi kami baru bisa datang," ucap Ayah Adrian."Enggak apa-apa, Om. Melihat kalian datang saja sudah buat kami senang." Ola bicara sembari tersenyum, tak ada dendam sama sekali terlihat di wajahnya."Begini, La. Kami sebe
[Kamu pikir dengan cara menyewa bodyguard, kamu bisa lepas dari pengawasanku?]Renata yang tengah makan tersedak karena membaca pesan dari Roy.[Aku tidak mau ikut campur dengan balas dendammu. Tolong jangan ganggu aku lagi!]Renata mengetik pesan dengan gemetar, meski baru mengenal Roy tapi dia tahu betapa jahatnya lelaki itu. Renata curiga, kecelakaan yang menimpa pengacaranya itu juga ulah Roy.[Tak ada siapapun yang berhak menolak tawaran kerjasamaku. Menolak berarti mati!]Renata tak melanjutkan makan malamnya. Dia berniat mematikan ponsel karena tak mau diganggu oleh Roy lagi. Namun sayangnya sebelum dia berhasil, satu lagi pesan masuk dari Roy. Lelaki itu mengirimkan sebuah gambar orang tua Renata yang sedang di sekap oleh lelaki itu. Renata marah bukan main dia langsung menelepon Roy. Malam ini juga Renata akhirnya menemui Roy di sebuah restoran. Mereka akhirnya sepakat melakukan kerjasama.Keesokan harinya, Renata mendapatkan kabar kalau adik Ola meninggal. Roy ternyata yang
"Bu, kamu lihat obat yang aku simpan kemarin enggak?" tanya Anisa sambil mengobrak-abrik lemari bajunya."Enggak, Nis. Kamu yang simpan kok malah tanya ibu?""Aku letak dalam lemari sini tapi kok enggak ada, ya? Aneh!"Anisa kembali mengecek isi lemarinya. Tapi dia masih juga tak mendapatkan obat yang ia cari."Jangan-jangan ada yang mencurinya, Nis!"Anisa dan ibunya saling berpandangan kemudian tatapan mereka beralih ke Grecia yang sedang pura-pura tak mendengar apapun."Grecia, kamu ambil obat dalam lemariku?""Obat apa?" tanya Grecia pura-pura tak tahu.Anisa gelagapan, dia tak mungkin menjawab jujur kalau obat itu adalah obat pencuci perut dengan dosis cukup tinggi. Dia pikir dengan cara itu dia bisa dibawa ke rumah sakit sehingga bisa melarikan diri tentunya di bantu oleh orang-orang Roy."Kamu jawab aja pertanyaanku, kamu tahu tidak?"Grecia dengan santainya menggelengkan kepalanya."Kamu enggak bohong kan?"Anisa tak percaya dengan jawaban Grecia."Buat apa aku bohong. Enggak