"Nyonya. Di depan ada polisi mencari Tuan dan Nyonya," ujar asisten rumah tangga keluarga Khalif. Pasangan suami istri itu merasa terkejut. Keduanya saling tahap dengan ekspresi penuh tanya akan penjelasan dari pekerjanya."Polisi, Pa?" tanya Windi. "Ngapain polisi nyari kita?" Dia bertanya-tanya."Ya pastinya ada sesuatu, Ma." Khalif menjawab dengan nada biasa berharap kalau istrinya tidak akan panik. Ya ... meskipun dia sendiri juga bertanya-tanya akan perlunya kedatangan polisi di rumahnya."Ya tapi apa? Kenapa tiba-tiba begini? Perasaan mama jadi nggak enak, Pa. Pasti ada sesuatu yang tidak beres." Windi memegang dadanya karena tiba-tiba detaknya menjadi lebih cepat."Ya sudah. Daripada kita banyak bertanya-tanya sendiri dak tidak menemukan jawabannya. Mungkin lebih baik kita temui mereka sekarang," ujar Khalif yang mencoba berpikir positif.Windi langsung mengangguk. "Ya, ya, ya. Kita temui saja, Pa." Pasangan suami istri itu pun segera bangkit dari tempat duduknya dan segera me
Okta memasukkan beberapa jajanan kedalam keranjang yang dia bawa. Saat ini, Okta tengah berada di minimarket yang tidak jauh dari apartemennya. Setelah bangun kesiangan, dia merasa lapar. Karena tak ada makanan apa pun di dalam apartemen, dia pun memutuskan untuk membelinya saja dan tidak lupa mampir ke tempat ini untuk membeli apa saja yang perlu dia sediakan stoknya di apartemen.Pria itu mengantren untuk melakukan pembayaran. Ktika dia sudah menyelesaikannya, Okta pun berniat untuk kembali ke apartemennya.Namun, ada yang lain kali ini. Tiba-tiba saja dia ingin menuju lantai unitnya berada melalui tangga darurat, tidak melalui lift seperti biasa.Ketika dia berbelok menuju lorong apartemennya, langkah Okta terhenti kala melihat banyak pria berseragam dengan senjatadi tangan tengah berdiri di depan unit apartemennya.Okta pun langsung mundur dan menempelkan punggung di dinding. "Si*l. Kenapa banyak sekali polisi di depan apartemenku?" tanyanya pada diri sendiri.Pria itu kembali men
Kafka pulang dari kantor dan melihat kedua orang tuanya yang memasang ekspresi panik. Dia pun mengerutkan kening lalu mendekati kedua orang tuanya. "Ada apa ini? Kenapa muka Papa dan Mama sepertinya tegang sekali?" tanyanya yang langsung duduk pada sofa yang ada di depan Khalif dan juga Windi.Pasangan suami istri itu menatap putra bungsunya. "Kakak kamu. Dia dicari polisi," ujar Windi. Kedua tangannya saling meremas satu sama lain di atas pangkuan.Kafka yang mendengar itu tentu saja merasa heran. "Ha? Maksudnya?" Khalif menghela napas dalam. "Tadi siang ada polisi datang ke rumah. Mereka mencari keberadaan kakak kamu. Katanya, kakak kamu terlibat dalam sebuah kecelakaan yang membuat seseorang masuk rumah sakit," jelas Khalif lebih rinci."Siapa, Pa?" Kafka terkejut. Tentu saja. Dia tidak menyangka kalau kakaknya bisa terlibat dalam hal seperti itu.Khalif tampak berpikir beberapa saat. "Kalau tidak salah, namanya Bowo."Kafka langsung mengerutkan kening. Dia seperti tidak asing den
"Sial*n! Bagaimana bisa polisi-polisi itu menemukan tempatku? Dan bagaimana bisa mereka tahu kalau aku yang mencelakai pria tua itu?" tanya Okta yang berhasil kabur melarikan diri dari apartemen tetangganya.Entah kenapa dia begitu yakin kalau polisi-polisi tadi yang mendatangi apartemennya adalah polisi yang mengincar dirinya atas kasus dirinya yang sudah mencelakai orang tua calon suami mantan istrinya."Sekarang, aku harus mencari tempat baru untuk bersembunyi," ujar pria itu kemudian."Tapi di mana?" Dia tampak berpikir. Dia menggigit kepalan tangannya.Asal kalian tahu saja kalau saat ini Okta tengah berada di sebuah kamar mandi, di tempat pusat perbelanjaan di tengah kota. Terkadang, tempat yang terlihat sangat rawan untuk dia berada adalah tempat persembunyian yang paling baik."Aku tidak mungkin kembali ke rumah Papa dan Mama. Polisi pasti sudah mendatangi rumah mereka dan pastinya mereka akan terus mengintai rumah itu untuk menunggu semisal aku pulang." Okta menduga. Kini dia
Kafka yang mendapat pertanyaan seperti itu hanya tersenyum. Dia sudah menduga kalau tuduhan ini pasti akan terarah padanya. Dia tidak merasa heran. Hanya saja, dia tidak bisa membayangkan bagaimana jika dia tadi datang bersama kedua orang tuanya yang jelas keinginan Windi adalah meminta korban mencabut laporannya.Beruntung tadi dia datang seorang diri. Dia menggeleng kemudian. "Tidak, Om. Saya tahu itu adalah hal yang tidak mungkin diminta. Saya ke sini karena murni ingin meninta maaf atas semua yang terjadi," ujar Kafka menjelaskan sejujurnya.Tuan Bagus tampak terdiam beberapa saat mencerna kalimat dari Kafka. Detik kemudian dia kembali bertanya, "Kamu ke sini sendiri?"Kafka mengangguk. "Ya.""Sudahlah, Gus. Niat baik orang janganlah kita curigai." Tuan Bagus kembali berujar. "Terima kasih, Nak. Tidak perlu kamu meminta maaf. Ini bukan salah kamu." Pak Bowo pun berujar.Argo berdehem. "Maaf. Saya mau bertanya. Apakah Anda tahu di mana keberadaan Kakak Anda saat ini?" Dia tahu kal
Melissa langsung menatap ke belakang dengan bola matanya yang melotot. Dia terkejut akan keberadaan Okta yang bisa ada di mobilnya. "Ngapain kamu di sini?" tanya Melissa yang mulai panik.Okta yang mendengar pertanyaan Melissa tidak langsung tertawa. Dia malah tertawa dengan keras. "Ya mau ketemu kamulah. Apalagi? Mau ngelamar kerja? Mana bisa? Kan aku ydah dikeluarin dati perusahaan ini." Dia menjawab dengan begitu santai, seolah tidak ada takut-takutnya."Apa mau kamu?" Melissa kembali bertanya dengan syara tinggi. Dia buat suaranya segalak mungkin karena dia tidak ingin Okta tahu kalau saat ini dia sedang merasa ketakutan."Kamu," jawab Okta cepat. "Aku mau kamu. Kok masih tanya terus sih?" Dia melanjutkan kata-katanya.Melissa merasa marah, dia mencoba untuk tetap bersikap berani. "Sebaiknya kamu menyerahkan diri ke kantor polisi. Apa yang kamu lakukan itu sudah sangat keterlaluan. Itu kriminal. Mencelakai orang lain itu perbuatan melanggar hukum!" ujar Melissa sembari berteriak.
Lisa memeluk Argo dengan era setelah beberapa saat lalu dia mwnagis cukup lama. Kejadian Tuan Bagus kehilangan kesadaran diri membuat dia merasa takut dan juga panik.Setelah asisten rumah tangga Tuan Bagus memanggil dokter untuk datang ke rumah, dia pun diminta untuk menghubungi Argo oleh Lisa sehingga Argo lekas datang. Pak Bowo yang baru sembuh pun juga tidak ingin ketinggalan."Sebenarnya apa yang terjadi, Bi?" tanya Argo pada asisten rumah tangga Tuan Bagus.Perempuan tua itu menggeleng pelan sembari menunduk. "Sayabtuda tahu, Tuan. Karena sebelumnya saya ada di belakang. Saya mendengar teriakan Non Lisa dan akhirya datang sudah melihat Tuan Yang kesakitan dan akhirnya tidak sadarkan diri," jelasnya kemudian."Melissa mana?" Pak Bowo bertanya."Itulah, Tuan. Non Melissa sepertinya lembur. Tapi, saya sudah menghubungi Non Melisaa tidak bisa." Asisten rumah tangga itu kembali menjelaskan."Kok nggak bisa?" tanya Argo bingung. Sedangkan perempuan itu hanya menggeleng pelan."Memang
"Iya. Tolong bantu cari, ya. Saya harap kalian bisa menemukannya dengan segera." Argo menutup panggilannya dengan seseorang.Dia menatap benda pipih yang ada di tangannya dengan lamat-lamat. Dia tampak mengembuskan napasnya kasar karena masalah ini sangat berlarut-larut. Ternyata berurusan dengan Okta bukan hal yang bagus.Argo memutuskan untuk mengambil minuman di dapur untuk meredakan rasa pusingnya malam ini. Tak adanya kabar Melissa membuat dia benar-benar tidak bisa tidur.Ketika akan kembali ke kamar, dia melihat pintu samping yang menuju taman terbuka. Dia pun memutuskan untuk melihat mungkinkah lupa ditutup.Namun, ternyata salah. Di sana ada sosok perempuan yang diketahui adik dari Melissa, Rani. "Kamu kenapa di sini sendirian?" tanya Argo kemudian.Rani pun menoleh dan tersenyum tipis. "Hanya ingin melepaskan penat saja." Dia menjawab seadanya dan kembali menatap langit yang gelap. Pikirannya kembali berkelana tentang keadaan sang kakak.Argo yang mengingat sesuatu pun memu
Melissa yang mendapat laporan dari Irit pun merasa bingung. Perempuan itu mengerutkan kening pertanda berpikir. "Seingat aku ini bukanlah hari di mana aku dan dia harus mengecek lokasi pekerjaan."Namun, Argo menepuk pundaknya dan membuat mereka saling tetap. Argo meggangguk. "Temuilah dulu. Toh pekerjaan kita selesai bukan? Aku akan pulang lebih dulu," ujar pria itu kemudian.Melissa mengangguk. "Baikkah."Dia menatap Irin. "Minta saja dia masuk," ujar Melisa kemudian."Ya sudah. Kalau begitu aku pulang dulu," ujar Argo. pria itu berpamitan lalu keluar dari ruangan Melisa.Di depan ruangan, dia berpapasan dengan Kafka. Keduanya hanya saling mengangguk tanpa berbicara lalu melanjutkan langkah.Kafka sendiri langsung memasuki ruang Melissa. "Selamat siang.""Siang. Duduklah," ujar Melisaa dengan menunjuk ke arah kursi yang ada di hadapannya.Kafka pun mengangguk, pria itu duduk dan berhadapan dengan Melissa "Ada apa? Bukankah hari ini bukan jadwal kita untuk meninjau lokasi?" tanya Me
Suasana ruangan tempat Melissa dirawat tampak akwward. kedatangan Keluarga Kafka membuat Tuan Bagus tidak menyukai hal itu. Namun, adanya campur tangan Kafka dalam menyelamatkan Melissa membuat pria tua itu tidak bisa mengusir mereka yang datang.Windi mendekati Melissa. Perempuan itu tersenyum tipis dan berdiri di samping brankar mantan menantunya. Dia meraih tangan Melissa dan menggenggamnya."Kabar kamu bagaimana?" tanya Windy dengan suara pelan.Melissa pun tersenyum tipis. "Baik, Tante."Windi yang mendengar itu sedikit merasa tercubit hatinya, karena rasa sakit ini. Beberapa waktu lalu Melisa masih memanggilnya dengan sebutan Mama, tapi kini tak ada lagi panggilan itu.Melissa sudah memanggilnya dengan sebutan Tante. Windi menarik nafas dalam. "Syukurlah," ujarnya kemudian.Namun, ada ekspresi sedih yang dipasang perempuan itu. "Maafkan Okta, ya sudah merepotkan kamu. Maaf kalau Okta sudah membuat kamu seperti ini," ujar perempuan itu. Dia mengelus punggung tangan Melissa yang s
"Kami berhasil menyelamatkan Melissa dan saat ini Kak Okta sudah ditahan oleh polisi," ujar Kafka lebih jelas.Windi yang mendengar itu meremas tangannya. Ada rasa lega kalau Kafka mengatakan jika mereka berhasil menyelamatkan Melissa. Namun, ada rasa sedih juga ketika mendengar putra pertamanya kini sedang dalam penjara.Jujur saja dia merasa tidak tega terlepas bagaimana parahnya sikap anaknya itu selama ini."Mama sedih?" tanya Kafka yang melihat ekspresi mamanya.Windi langsung tersenyum sedikit samar. "Tidak," jawabnya kemudian. Meskipun perempuan itu mengatakan tidak, Kafka tahu benar bagaimana perasaan mamanya. Dia meraih tangan Windi dan menggenggamnya dengan erat."Kafka tahu Mama sayang sama Kak Okta. Sama seperti mama sayang pada Kafka. Kami tahu itu. Tapi, apa pun itu Kak Okta harus mendapatkan hukumannya. Dia harus menjalani itu semua. Itu adalah risiko dari apa yang sudah dia lakukan." Kafka mencoba menjelaskan."Iya Mama tahu," ujar Windi seperti seseorang yang frustas
Kejadian itu begitu tiba-tiba dan mengejutkan semua orang. Kini, semua mata tertuju pada dua pria yang kali ini sedang beradu mekanik. Okta yang sempat mengambil pisau kecil dari saku celananya sempat melukai lengan pria yang tidak dikenal dan mencampuri urusannya itu."Lisa," panggil Argo lirih. Dia pun berlari cepat untuk mendekati Melissa."Melissa," panggil Argo sekali lagi ketika berada di samping perempuan itu."Argo," panggil Melissa dengan suara takut. Perempuan itu langsung memeluk Argo dengan erat."Aku takut," ujarnya kemudian.Argo membelai kepala Melissa dengan lembut. "Tenang. Kamu tenang, ya. Kamu sudah aman sekarang," ujarnya kemudian."Bawa dia menjauh," ujar Kafka menatap Argo.Argo pun mengangguk. "Ayo kita menjauh dari tempat ini," ujarnya pada Melissa.Melissa pun mengangguk lalu mengikuti langkah Argo untuk berada di tempat yang aman.Kafka yang melihat itu hanya tersenyum sendu. Sedih pastinya, karena dia melihat kemesraan antara Argo dan juga Melissa. Namun, di
"Diam!" bentak Okta kemudian. Dia merasa kesal karena mobilnya tidak bisa dikendalikan.Dan kini Melissa yang sudah sadar. "Apa yang kamu lakukan, Okta? Apa yang terjadi?" tanya Melissa bertubi-tubi. Dia tidak peduli jika Okta marah dan memintanya untuk diam.Hingga sebuah sirine dia dengar. Melissa langsung mengalihkan pandangan ke luar jendela kaca mobil. Dia melihat beberapa mobil polisi yang terparkir tidak jauh dari keberadaan mobilnya. "Polisi," ujarnya penuh dengan rasa senang.Dia merasa bahwa dirinya akan selamat dari tragedi ini. Melisa pun mencoba untuk membuka pintu mobil yang tertutup. Namun, tidak bisa. "Buka pintunya, Okta," ujar Melissa kemudian dengan mencoba, terus mencoba disertai tatapannya yang begitu tajam ke arah Okta."Tidak. Kamu tidak boleh ke mana-mana. Kamu harus tetap sama aku," ujar Okta Yang sepertinya tidak tahu jika nasibnya sudah berakhir."Kamu sudah terkepung Okta. Kamu tidak bisa lari. Lebih baik menyerah saja. Kamu tidak melihat begitu banyak poli
Okta langsung membanting ponsel miliknya k atas ranjang. Dia pun bangkit dari duduknya sembari meraih tangan Melissa. "Ayo," ujarnya dengan ekspresi yang menunjukkan kepanikan.Melisaa yang tida tahu apa yang terjadi pun menatap Okta dengan bingung. "Ayo?" tanyanya kemudian."Iya ayo. Cepat kita pergi." Okta kembali berujar. Kali ini dengan sedikit menarik tangan Melissa.Melisaa yang masih belum paham pun tetap pada posisinya. "Pergi? Pergi ke mana? Makanannya kan belum habis," ujar Melissa dengan menunjuk ke arah mangkuk miliknya yang masih teleihat banyak.Okta menggeram kesal. "Hah! Itu kita bisa beli lagi nanti. Yang penting ayo kita pergi sekarang," ujar Okta yang semakin terlihat panik."Ngapain sih buru-buru banget?" Melissa menatap curiga Okta. Hingga sesuatu terlintas di kepalanya."Nanti lah." Dia menarik tangannya yang dipegang Okta. "Nikmatin dulu aja makanannya. Udah dari pagi belum makan, sekarang makan malah disuruh cepet-cepet. Mending kalau udah habis. Lah ini masih
Argo menatap Tuan Bagus. "Irin baru saja menghubungi saya, Om. Dia mengatakan satpam yang kemarin bertugas menjaga pos melihat kedatangan Okta yang katanya ingin mengambil uang pesangon. Tapi mereka baru sadar tidak pernah melihat Okta keluar dari perusahaan. Dugaan Argo, bisa saja yang mengendarai mobil Melissa ketika pergi dari perusahaan adalah Okta," jelasnya tanpa ada yang ditutupi karena rasanya itu percuma.Sebab Tuan Bagus bukanlah orang yang mudah dibohongi."Jadi menurutmu Okta menjebak Melisa?" tanya dengan mengepalkan tangan.Argo mengangguk dan menggeleng sedikit. Terlihat rumit. "Entahlah. Ini susah dijelaskan tapi saya yakin dia yang melakukan semua ini. Dan saya juga yakin dia juga yang membawa mobil Melissa.""Jadi, menurutmu Melissa dibawa ke mana sama dia?" tanya Tuan Bagus.Argo menggeleng. "Saya juga belum tahu, Om. Tapi yang jelas dia ingin membawa Melisa jauh dari kita karena yang kita tahu Okta sangat menginginkan Melisa bersamanya," ujarnya kemudian.Tuhan Bag
Kepulangan Argo Malam ini terasa sangat berat. Aplagi dia yang belum bisa menemukan Melisa dan tidak tahu harus mengatakan apa pada Tuan bagus. Mengingat bagaimana kondisi pria itu saat ini sepertinya tidak boleh mendengarkan hal-hal buruk tentang apapun.Argo memasuki rumah, dia langsung disambut oleh tawa Lisa yang berlari ke arah dirinya dan memeluk pria itu. "Papa baru pulang?" tanya Lisa dengan suara khas anak kecilnya.Argo tersenyum, lebih tepatnya memaksakan senyum. Pria itu mengangguk di depan Lisa. "Ya. Papa baru pulang.""Pasti papa lelah," ucapnya kemudian."Kamu tahu saja." Argo menyentil hidung Lisa lalu keduanya tertawa bersama."Gimana, Pa? Papa sudah menemukan Mama?' tanya Lisa kemudian.Dia tahu betul kalau kepergian Argo hari ini adalah untuk mencari Melisa. Argo yang mendapat pertanyaan seperti itu hanya bisa mengembuskan napas kasarnya. "Maaf, Sayang. Papa belum bisa menemukan Mama," ujarnya penuh penyesalan.Lisa yang sebelumnya penuh senyuman ini melunturkan sen
Melissa melotot melihat keberadaan Okta di hadapannya. erempuan itu menata benci mantan suaminya yang telah menculik dirinya."Di mana aku?" tanya Melisa dengan suara keras. Dia masih berusaha untuk melepaskan tangannya meski saat ini sudah merasakan sakit.Okta yang melihat itu malah tersenyum. "Jangan teriak-teriak. Nanti suara kamu jadi serak terus tenggorokan kamu jadi sakit," ujar Okta. Pria itu menutup kembali pintu lalu mendekati Melissa dan duduk di samping mantan istrinya itu.Dia menatap Melissa yang masih terus berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan yang dia buat. Okta hanya tersenyum miring. Dia meletakkan bungkusan makanan yang baru saja dia beli di atas meja samping ranjang."Kamu jangan bergerak seperti itu. Nanti tangan kamu lecet." Kali ini Okta mengulurkan tangan dan melihat tangan Melissa yang masih terikat."Tuh lihat. Pergelangan tangan kamu sudah memerah. Kalau kamu terus seperti ini, nanti benar-benar luka," ujar pria itu penuh perhatian.Mungkin jika Okta m