"Kenapa kamu masih bingung dan berdiri di sini!" sindir Rasti. Dia melipat kedua tangan lalu dia letak sejajar dengan dada. "Lebih baik angkat kaki dari sini sebelum diseret paksa sama satpam," imbuhnya memperingatkan Habib. "Bagaimana bisa kalian mengganti nama ibuku menjadi nama kalian?!" sela Habib tidak terima. "Apa yang tidak bisa di dunia ini? Aku bisa melakukan apa saja apapun itu yang aku mau.""Benar-benar manusia berhati iblis! Aku tidak akan membiarkan rumah semegah ini jatuh kepada tangan yang salah!" racau Habib semakin tersulut emosi. Ia melangkah menghampiri ayahnya yang diam dan tidak berdaya duduk di kursi roda.***Habib pergi pulang dengan penuh hinaan. Ia datang ke rumah peninggalan almarhum ibunya untuk melihat keadaan sang ayah. Hatinya mencelos melihat ayahnya yang sudah tidak berdaya. Mempunyai harta berlimpah tidak menjamin senang dan bahagia. Itulah yang dirasakan Habib. Harapan untuk membahagiakan ayahnya sudah pupus di tengah jalan. Harta yang paling berha
"Akhirnya kamu datang juga kemari," ucap Rasti dengan nada sarkasme. Sorot mata yang dia cipta sangat sinis. Tidak ada sama sekali basa-basi mempersilakan masuk ke dalam rumah. Padahal rumah ini warisan ayah dan ibunya. Nabila meneguk saliva dengan kasar."Aa-aku terpaksa datang ke sini untuk sekedar singgah,"jawabnya parau. Suaranya serak menahan Isak tangis."Banyak bacot!" sindir Rasti tidak terima. "Jangan harap kamu bisa singgah ke mari. Ini bukan rumah ke dua orang tuamu." Nabila berpikir sejenak. Sejak kapan rumah itu bukan rumah ayah dan ibunya? Daripada sakit hati, Nabila memutuskan untuk pergi dan mengurungkan niatnya singgah. Namun, langkah kakinya terhenti ketika Rasti menghalangi. "Mau ke mana lagi?!" tanya Rasti menyeringai. Dia menatap ke dua bola mata Nabila tanpa berkedip. "Bukan kah kamu lupa kalau surat tanda yang kamu tanda tangani itu adalah setuju menghibahkan semua harta warisan peninggalan ayah dan ibumu?" bisiknya kembali sambil mengulas senyum. "Durjana syai
Part 15: Ceramah atau Mengejek?"Lepaskan!" murka Habib. Walau bagaimana pun. Ia tidak tega melihat ayah kandungnya disiksa begitu saja di depan mata kepalanya sendiri."Bilang sama pria sampah ini lekas ditandatanganinya surat warisan itu!" jawabnya memekakkan telinga. Habib mencoba melepas tangan ibu tirinya dari leher ayahnya. Kamu kira dia lepas begitu saja!" imbuhnya menyeringai.Rasti mengambil kuda-kuda kalau Habib berbuat tidak senonoh kepada ibunya. "Bunuh saja aku sekarang juga!" desak Hermawan. Rossa tertawa bahagia. Dia menunduk lalu mendekatkan wajahnya ke arah muka suaminya. Kini jaraknya sudah sejengkal. Habib melihat reaksi ibu tirinya dengan seksama dan mempersiapkan kuda-kuda juga. "Aku bukan seekor keledai yang sangat bodoh. Sebelum kertas itu kamu tandatangani, aku tidak akan membiarkanmu mati konyol begitu saja." "Kalau kamu memang haus akan harta warisan. Kenapa tidak menyuruh kakek nenek moyangmu kaya raya?! Kenapa harta suami ke duamu yang kamu incar?!" ucapan
"Gembel kok ada di sini?!" sindir Fadli. Dia heran kenapa Habib ada di dalam restauran hotal bintang lima. Ide jahat menjalar di otaknya. "Silakan bersihkan lantai itu!" desaknya sembari menyuruh Habib jongkok untuk mengeringkan lantai yang baru saja dia siram dengan air putih dari gelasnya. "Kenapa kamu masih diam! Kamu itu tidak cocok sebagai tamu di sini. Cocoknya itu sebagai cleaning service!" imbuhnya dengan menaikkan volume suaranya dari biasanya. Semua mata tertuju kepadanya.Nabila terkejut melihat suaminya diperlakukan dengan tidak wajar. "Kenapa kamu menyiram suamiku!" ucap Nabila sembari melangkah menghampiri Habib. Tadi dirinya ke arah dessert sehingga berpisah dengan suaminya. Nabila jongkok lalu mencoba membersihkan kepala suaminya yang disiram Fadli dengan kuah curry.Dia memang pantas diperlakukan seperti ini!" Perkataan Fadli membuat Nabila heran. "Asal kamu tahu! Suamimu ini penipu dan sebentar lagi aku akan memastikan kalian berdua bakalan mencuci piring karena tida
Sudah dua hari Habib dan Nabila menginap di hotel itu. Namun, Nabila hendak buka suara semenjak kejadian yang dialaminya. Meskipun itu dalam mimpi. Akan tetapi, dia tidak berani buka suara. Dia takut kalau mimpinya itu jadi kenyataan."Apa yang terjadi sama kamu, Nabila?!" tanya Habib. Ia heran melihat istrinya uring-uringan dan awut-awutan. Habib memang berniat mau membahagiakan istrinya dengan konsep stay cation. Usahnya sia-sia melihat Nabila tidak bahagia.Nabila menggeliat dan langsung terbangun dari atas dipan. "Aa-aku tidak mau mati mengenaskan," jawabnya sambil melihat perutnya yang sudah mulai buncit.Habib merasa heran mendengar perkataan istrinya. Ma-maksudnya?!" tanya Habib dengan melahirkan wajah bingung."Aku mati mengenaskan." Nabila mengatur duduknya agar lebih leluasa bernapas. "Kemarin malam aku ditikam Bu Rossa." Ekor matanya mengarah kepada Habib. Dia takut kalau suaminya marah karena berhubungan dengan ibu tirinya. "Untung saja tragedi itu mimpi.""Sudahlah! Lupak
Laki dan istri sama saja!" celetuk Habib dengan wajah memerah. "Cepat minta maaf kepada Habib!" seru Fadli dengan sedikit memaksa. Sebelum semuanya terlambat," imbuhnya kembali."Terlambat atau tidaknya, aku tetap mendepak istrimu dari sini. Sebentar lagi dia bakalan surat cinta dari pemilik toko ini. Siap-siap menjadi gembel selamanya!" sindir Habib dengan senyum picik."Ja-jangan lakukan itu, Bib! Aku mohon?" ucapnya sambil berlari menghampiri Habib. Dia bersembah lutut di ke dua kalinya, Habib."Bukan kah pepatah mengatakan berpikir dulu sebelum berucap?" sindinya kembali dengan senyum tawa puas dan bahagia. "Dan penyesalan selalu datang terlambat."Benar ... itu semua benar adanya. Fadli kini sudah di pecat karena keangkuha. Dan kesombongannya kepada Habib. Kini hidupnya berubah tiga ratus enam puluh derajat Celcius. Melempar lamaran ke sana ke mari, tidak ada yang mau menerima. Akhirnya dia kesal dan ada dendam terselubung kepada pria yang ada di depannya."Aku akan memaafkan is
Ponsel milik Habib kini jatuh dan pecah. Senyum sumringah terbit di raut wajah Rossa. "Jangan kamu kira bisa menang atau mengalahkan Rossa super king sejagat raya." Ketawanya menggelegar. Habib merasa dipermainkan ibu tirinya. Walaupun bagaimana, ia tidak mau kalah dari seorang benalu yang numpang hidup kepada harta ayahnya. "Suatu saat aku akan menjamin kamu bakalan datang bersimpuh di hadapanmu dengan uraian air mata," imbunya meyakinkan."Tidak bakalan! Jangan merasa mendahului kekuasaan Sang Penguasa Alam," jawab Habib lirih. Dadanya sudah bergemuruh, akan tetapi ia masih bisa menahan larva emosi yang sudah meronta-ronta dari tadi.Hermawan kini terbatuk dan segera meminta tolong. "Ros-Rossa ...!" teriaknya parau. Suara panggilan itu memecahkan keheningan. Tanpa menunggu aba-aba, Habib berlari melangkah menuju asal suara itu. Namun, langkahnya terhenti. "Kamu mau ke mana?!" tanya Rossa dengan menarik lengan Habib. Sorot matanya menyeringai sangat tajam."Aku mau melihat ayahku!" j
"Cepat tangkap gembel itu, Pak!" seru Rasti dengan wajah memerah."Ha-Habib," ucap pria yang memegang pistol itu terbata. Dia tidak menyangka kenapa kawan dekatnya itu disuruh ditangkap. Seketika Habib mengedipkan mata agar lelaki berseragam itu tidak menyebutkan namanya kembali. Ia tidak mau kalau jati dirinya diketahui oleh ibu dan saudara tirinya."Kenapa kamu masih diam?!" desak Rasti mencoba mendorong Lukman. Namanya pria itu adalah Lukman. Dia sahabat dekat Habib waktu mencicipi masa putih abu-abu."Cepat tangkap gembel itu!" desaknya lagi tidak sabaran. Sebelum melanjutkan perintah, Rasti berkata kembali "Dan dia itu seorang pembunuh!"Lukman tidak tega melakukan penangkapan. Ini pasti ada salah paham. Sejenak dia berpikir untuk mencari solusi. Namun, otaknya tidak bisa diajak kompromi."Kalau kamu berani menangkapku, silakan!" tantang Habib dengan sorot mata menyeringai. "Sebelum aku ditangkap, kupastikan kalian manusia bedebah bakalan menyesal," imbuhnya. "Mau beli makan ses
Suasana semakin memanas. Manusia mana yang mau terlahir ke dunia dengan cara tidak sah di mata hukum negara dan juga di mata hukum Islam. 'Kalau boleh memilih, aku juga tidak mau lahir dari cara yang salah,' ucap Abizar bermonolog.Suasana hening seketika. Habib mengulas senyum bahagia. Ia merasa menang atas perdebatan yang sangat alot itu."Wajar saja tingkah lakumu seperti ibumu!" ejek Abizar sponta dengan ekspersi datar. Dia memutar balikkan fakta.Habib tertawa terbahak-bahak tanpa peduli dengan sang ayah. Sementara Abizar dan Hermawan saling adu pandang. Mereka kira Habib sudah gila."Apa aku tidak salah dengar?!" tanya Habib memperjelas perkataan Abizar. Retinanya mengarah ke arah Hermawan. "Apakah aku wajar dan pantas dikatakan gila?" imbuhnya meyakinkan apa yang baru saja dikatakan Abizar kepadanya.Hermawan hanya diam membisu. Dia tidak berani menjawab. Walau bagaimanapun itu Habib dan Abizar anak kandung alias darah dagingnya sendiri. Walaupun itu Abizar tidak dalam alam sa
"Secepatnya!" balasnya menimpali.Rossa memang istri sirinya, Hermawan. Dia sempat tanam saham duluan daripada menikahi ibunya, Habib. Namun, itu tidak terendus alias semua tersimpan rapi tanpa ada yang tahu.Seketika Habib mengulas senyum melihat Abizar. "Betapa malangnya nasibmu," sindir Habib kepada Abizar. Ternyata kamu anak yang tidak diinginkan." Ledekan Habib membuat Abizar semakin marah.Biasanya dia yang selalu menghina dan mengolok-olok Habib. Sekarang malah terbalik seratus delapan puluh derajat Celcius. Api amarah kini terpaut di wajahnya. Dia ingin sekali membungkam mulut adik tirinya agar bisa diam. Namun, dia sadar akan kesehatan Hermawan. Walaupun dia tidak pernah memanggil ayah atau pun bapak kepada pria yang terbaring lemas di atas brangkar."Kenapa kamu diam?!" pancing Habib kembali. Wajahmu nggak usah ditekuk seperti itu. Coba deh berkaca, kamu laksana menahan berak," ujar Habib terus mengejek."Persetan!" Akhirnya, Abizar tidak sanggup menahan gejolak larva amarah
Abizar melepaskan cengkeramannya lalu membuang napas kasar."Ceritanya seperti ini," ucap Hermawan lirih. Dia memejamkan mata sekejap sembari menghela napas. Setelah jiwa dan raganya sudah merasa tenang. Barulah dia mulai buka suara. "Sayang, aku hamil!" ucap Rossa kepada Hermawan ketika mereka berdua janjian ketemuan di waktu makan siang."Tidak mungkin! Aku selalu memakai pengaman dan jika pun itu tidak. Aku tidak pernah mengeluarkannya di dalam. Jangan mengada-ada kamu, Rossa!" tolak Hermawan atas perkataan Rossa yang baru saja dia dengar.Rossa terisak mendengar perkataan calon suaminya. Dia sudah merelakan perawannya direguk oleh Hermawan. Ternyata apa yang dia harapkan telah sirna menjadi suami seorang pria kaya raya. Tidak peduli semua mata tertuju kepadanya. Isaknya semakin kuat dan semakin membuat retina pengunjung cafe semakin penasaran."Kamu tega, sayang!" ucap Rossa terisak. Dia memukul-mukul dada Hermawan sekuat hati sangking kesalnya. "Jangan coba-coba mengganggu hidup
Part 36: Minta TanggungjawabSiska baru saja tersadar ketika dirinya sudah ada di atas brangkar rumah sakit. Padahal dia baru saja merasa di atas motor dan terprental dari atas lalu meringis kesakitan."Aa-aku ada di mana?!" racaunya sesekali menyapu ruangan sekitar. Di samping kanan ada Abizar. Dia terkejut dan terbangun dari tidurnya. Ternyata sudah pukul dua puluh tiga lewat lima belas menit. Sangking lelahnya Abizar, dia tertidur pada saat menjaga Siska yang baru saja kecelakaan."Di rumah sakit," jawab Abizar sambil menguap. Setelah selesai menguap, dia mengucek terinya dan kembali meneruskan perkataannya, "tadi kamu kecelakaan.""Ini pasti gara-gara, Habib," umpatnya dengan menekuk wajah kesal. "Bisa kamu kasih pelajaran agar dia tidak semena-mena kepadaku, Bang?!" ucapnya lirih. Di sebelah kanan bagian betis terasa sakit akibat ditimpa motor pada saat dirinya terseret."Kasih pelajaran seperti apa? Dia saja telah menang telak dan sudah mengetahui sisi kelemahanku," jelas Abizar
"Kenapa kamu malah diam saja tua bangka! Seharusnya kamu ngoceh membela aku sebagai anakmu. Bukan hanya meratap seperti anak TK meminta mainan tidak dikasih sama ibunya." Siska benar-benar tidak ada akhlak ngatain Hermawan tua bangka. Padahal selama ini dia hidup hedon dan glamour karena uang yang dikasih Hermawan kepadanya."Hentikan ucapanmu!" bentak Hermawan dengan menaikkan suaranya dari biasanya. Dia mencoba duduk dan bersandar ke dinding ruangan. Habib membantu sang ayah. Namun, Hermawan tidak mau dibantu sang anak. "Aku bisa sendiri, kok," imbuhnya membuat Siska tersenyum puas."Siska! Mulai dari sekarang kamu harus angkat kaki dari rumahku!" racau Hermawan setelah dadanya tenang. Dan kamu tidak boleh menggunakan fasilitas yang aku berikan kepadamu!" desisnya menimpali.Raut wajahnya terlihat memerah seolah tidak suka atas informasi yang dia dapatkan barusan."Tidak bisa begitu, Yah!" bujuknya agar Hermawan menarik ucapannya. Aku mau tidur di mana kalau tidak boleh tinggal di r
Habib mengindahkan ide suster dengan cepat. Kini semua sudah aman dan terkendali."Kenapa sudah tidak ada orang?! tanya Siska ketika sudah di depan kamar mayat. "Pasti ada yang tidak beres ini," imbuhnya memasang wajah heran. Mau bertanya pun sudah tidak ada orang. Akhirnya dia kembali ke ruang informasi untuk mencari tahu keberadaan jenazah ayahnya.***Di kamar yang berbeda masih di lokasi rumah sakit. Habib menyuap Hermawan dengan lembut. Sang ayah yang selama ini ia rindukan kasih sayangnya kini sudah terkulai layu di atas brangkar rumah sakit."Ayah harus kuat makan agar ada tenaga," ucap Habib parau. Suaranya terasa serak menahan Isak tangis. Andai saja sang ayah mendengar apa katanya dulu sebelum menikah dengan Rossa. Mungkin beliau tidak menderita seperti ini. Bukan kebahagiaan yang dia dapat, hanya derita yang tercipta selama bersama dengan Rossa."Sudah!" tolak Hermawan. Dia tidak mau lagi menghabiskan makanan yang telah disediakan oleh pihak rumah sakit. "Ayah sudah kenyang
Habib keceplosan kalau Hermawan belum meninggal. 'Gawat ... kenapa pula aku berkata seperti itu,' ucap Habib dalam hati."Sudahlah lupakan saja!" ujar Habib lirih. Ia mencoba mengabaikan perkataannya. Mencoba mengalihkan pembicaraan."Kamu jangan menghindar dari apa yang kamu katakan. Dari mana kamu bisa berkata seperti itu? Apa jangan-jangan Hermawan belum meninggal?!" desak Rossa agar Habib mengatakan yang sejujurnya."Lebih bagus kita memikirkan bagaimana proses pemakaman sang ayah, Bu," ketus Habib. Baru kali ini ia berkata ibu kepada Rossa. Selama ini ia sangat enggan menyebut ibu walaupun di depan Hermawan."Urus saja sendiri! Jangan libatkan aku dan Siska dalam hal itu. Apalagi masalah biaya," jawab Rossa tidak mau kalah sengit dari perkataan Habib. Rossa baru sadar kenapa Habib mengulur waktu untuk mengeluarkan jenazah suaminya dengan cepat. "Apa kamu tidak mempunyai uang sehingga mayat ayahmu belum boleh keluar untuk segera dimakamkan?!" sindirnya dengan mencipta wajah sinis.
Sudah dua jam Rossa dan Siska menunggu jasad Hermawan agar segera dibawa pulang. Namun, mereka berdua belum ada kepikiran mau di makamkan di mana. Rasa resah dan gelisah kini menghantui pikirannya masing-masing."Mah! Bagaimana proses pemakamannya? Apakah sudah dikasih tahu kepada masyarakat atau warga tetangga kalau papah sudah meninggal?" tanya Siska dengan penuh selidik."Apa kamu sudah gila! Mama saja sedang bergelut di balik jeruji besi. Bagaimana pula bisa mengurus itu semua. Ini saja tangan Mamah di borgol keluar dari penjara menuju rumah sakit," ketus Rossa dengan wajah cemberut dan masam. "Ada-ada saja, kamu!" imbuhnya semakin geram."Terus si gembel itu pergi ke mana? Kenapa dia malah tidak kelihatan batang hidungnya?!" desis Siska. Larva amarah kini terus meronta agar dimuntahkan. Namun, tidak tahu harus marah kepada siapa."Mana mamah tahu. Kamu lamat-lamat semakin gila. Apa yang membuatmu seperti ini?" seru Rossa tidak terima pertanyaan anaknya seolah meleceh dirinya. Pa
Nabila kini sudah terbaring lemas di atas brangkar rumah sakit. Habib masih belum tenang akibat memikirkan keselamatan sang ayah. Mau izin pamit, Nabila belum kuat dan belum bisa apa-apa. Mau minum saja mesti dibantu oleh Habib."Ya Allah! Hamba mohon petunjuk darimu!" ucap Habib dalam hati.Beginilah hidup sebatang kara. Ketika ada dua masalah menimpa dalam waktu yang sama. Tidak ada kawan untuk bercerita. Jangankan berbagi kisah, mau gantian untuk menopang terpaan cobaan juga tidak ada. Tidak mungkin berbagi duka kepada orang lain.Habib memang sudah lama tidak menghadap kepada penguasa alam. Kali ini ia memang sangat butuh mengadu kepada-Nya. Cuma rasa enggan paling menyeringai di hatinya sehingga tidak jadi bersujud walau hanya sekejap mata."Sayang, maafin aku yang selalu merepotkanmu. Kenapa masih ada di sini?!" tanya Nabila dengan suara serak. Dia merasa pusing setelah berucap barusan kepada sang suami."Aa-aku akan setia menjaga dan merawatmu di sini," jawab Habib parau. Hatin