“Ke mana … Rumi?” Qai memasuki lift, yang didalamnya sudah ada Dandi terlebih dahulu. Pria itu berdiri seorang diri dan Qai tidak melihat sosok Rumi di mana pun. Bahkan, ketika ia melewati lobi dengan tergesa untuk mengejar Dandi, Qai tidak melihat siluet wanita yang mirip dengan Rumi. “Bukannya dia mulai kerja hari ini? Nggak mungkin dia datang dulu—” “Rumi di rumah.” Lebih baik memotong ucapan Qai, daripada pria itu terus saja mengoceh. “Besok baru kerja. Mungkin.” “Mungkin?” Qai menarik napas, lalu menenggelamkan satu tangan ke dalam saku celana ketika pintu lift tertutup. Ia menghadap Dandi dan menelisik pria itu dari atas sampai bawah. “Rumi sakit?” “Ini masih pagi dan kamu sudah berisik, Qai.” “Aku cuma tanya,” sahut Qai dengan tersenyum tipis. “Karena baru kali ini aku lihat seorang Dandi betul-betul plin plan.” “Qai.” Dandi akhirnya menoleh pada Qai. “Mending kamu urusin Thea daripada ngurusin istriku.” Qai segera mengangkat kedua tangannya sebatas dada. Ia tidak menduga,
“Pagi Bu Aspri …” Qai bersandar pada bingkai pintu ruang kerja Dandi, lalu bersedekap setelah menyapa Rumi. Gadis itu terlihat sedang serius menatap laptop dan agak sedikit terkejut ketika Qai menyapanya. “Si Bapak ke mana?”“Apaan, sih, Mas!” Rumi terkekeh saat melihat Qai. “Si Bapak lagi meeting di atas sama sekretarisnya dari tadi. Ada presentasi dari orang yang desain hotel.”“Kamu nggak diajak?” ledek Qai.Rumi menggeleng sembari mencebik. “Sebetulnya aku, tuh, bingung. Mas Dandi sudah punya sekretaris, tapi kenapa masih nyuruh aku kerja jadi asprinya. Padahal, aku bisa aja ngelamar di Angkasa, atau minta kerjaan sama mbak Thea. Mumpung ada orang dalam.”Qai balas mencebik pada Rumi. “Dulu, sudah pernah aku tawarin jadi sekretaris Dandi, tapi ditolak.”“Itu …” Rumi tertawa garing saat mengingat kebodohannya dahulu kala. Cinta sungguh telah membutakan Rumi. “Ya mau gimana lagi, Mas. Belum jodohnya.”“Jadi, sekarang sudah ketemu jodohnya?” Qai kembali meledek Rumi, kemudian beranja
“Hera?” Bagas menautkan jemari di atas kepala dan menghela panjang. Melihat kakak sepupunya yang berdiri di sudut meja makan, Bagas pun sampai tidak bisa berkata-kata. Hera benar-benar terlihat seperti dahulu kala. Sama sekali tidak terlihat tanda-tanda, bawah wanita itu pernah sakit sebelumnya.“Duduk, Gas,” titah Agnes yang maklum melihat keterkejutan Bagas.“Ah, iya, duduk!” Bagas terkekeh. Namun, ia tidak langsung duduk seperti yang dititahkan Agnes. Bagas menghampiri Hera, kemudian mencubit gemas pipi wanita itu dengan cepat.“Bagas!” hardik Hera segera menepis tangan Bagas dengan keras. “Apaan, sih!”“Yaaa, lo sudah bisa berdiri, Ra!” Bagas kembali terkekeh. “Sudah bisa jalan juga?”“Sudah.” Hera kemudian duduk dan meraih piring yang sudah berada di depannya. Sembari mengambil nasi, Hera meminta Bagas untuk duduk agar mereka bisa segera menikmati makan malam. “Gimana kinerja mas Rafa di Glory, Gas?”“Heh, aku baru duduk, tapi sudah ditanyain masalah kerjaan.” Bagas juga meraih p
Sejauh ini, Rafa sudah menjalankan semua rencana yang ada di kepala. Namun, kali ini hasilnya benar-benar berjalan sangat lamban. Seolah tidak ada kemajuan dan hal tersebut membuat Rafa pesimis dengan semua dugaannya. Mungkin saja, semua perintah yang belakangan ini muncul memang berasal dari mulut Agnes sendiri.Begitu pula dengan rapat yang diadakan secara dadakan sore ini oleh Bagas. Pria itu mengadakan rapat di ujung waktu jam kantor akan selesai, tanpa membicarakan semua pada Rafa terlebih dahulu. “Aku duluan, Mas!”“Hei!” Rafa yang berjalan pelan sembari melamun itu, mendadak mempercepat langkahnya ketika Bagas menyalipnya. Ia berusaha menyamakan langkah mereka, yang menuju satu tujuan, yakin ruangan meeting yang berada di lantai teratas. “Kenapa harus mendadak begini, Gas? Apa yang mau dibahas?”“Aku juga nggak tahu?” Meskipun tahu, Bagas pun tidak bisa berbuat banyak. Yang bisa Bagas lakukan hanyalah menutup mulut dan melakukan semua instruksi Hera.“Kamu nggak tahu?” Rafa se
“Apa-apaan ini.” Masih di ruang rapat, Alpha melempar berkas yang sempat diedarkan Bagas tepat di hadapan Hera. Akan tetapi, Alpha melakukannya ketika rapat alot yang mereka lakukan sudah selesai. Di ruangan tersebut, hanya menyisakan Agnes, Hera, Bagas, juga Rafa. “Kalian … Hera!” Alpha menunjuk sang adik yang menatapnya datar. “Selama ini, kamu cuma pura-pura sakit, pura-pura depresi untuk cari simpati, biar mama ngasih semuanya ke kamu.”“Al—”Hera menyentuh tangan sang mama, untuk memutus ucapan yang akan dilontarkan Agnes. Kali ini, Hera tidak ingin berdiam diri seperti dahulu kala. Hera merasa punya tanggung jawab lebih untuk memajukan perusahaan, mengingat karena dirinyalah sang papa akhirnya jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Rasa bersalah itu masih saja terkurung di hati Hera sampai detik ini, sehingga ia tidak akan membiarkan Glory jatuh sepeninggalnya Rafa nanti.“Memangnya kamu tahu apa, Mas?” balas Hera. “Coba hitung, berapa kali kamu jenguk aku di rumah mama? Apa
“Jadi …” Agnes jadi serba salah. Tidak tahu harus memulai darimana, ketika hendak memberi penjelasan pada Rafa. Pria itu datang ke rumahnya seperti biasa, tetapi kali ini Rafa memilih untuk tetap berada di ruang tamu. “Begini, Raf—”“Mama nggak tahu apa-apa.” Hera segera mengambil alih, ketika melihat sikap Agnes. Tidak ada lagi yang perlu dirahasiakan dan Hera akan membuka semuanya di depan Rafa. “Yang tahu pertama kali itu suster dan saya yang minta dia untuk diam.”“Ohh …” Meskipun belum puas dengan penjelasan Hera yang terdengar singkat, tetapi Rafa sedikitnya sudah bisa menyimpulkan beberapa hal. “Jadi, sejak kapan?”“Sebelumnya, saya juga mau minta maaf karena merahasiakan semua ini dari Mas Rafa.” Hera memberanikan diri menatap Rafa. Mencoba melihat pria itu dengan tatapan yang sama seperti dulu. Tidak ada yang boleh berubah, karena Hera tahu pasti hubungan mereka hanyalah sebatas hubungan kerja. Tidak boleh lebih. “Yang jelas, saya mulai bisa jalan sebelum … Mas Rafa pergi dar
“Berhenti lagi di situ!” titah Dandi sambil menunjuk salah satu monitor CCTV, yang berada pada lorong tempat ia menginap. Matanya menyipit ketika ada seorang pria berdiri di luar kamarnya dan tengah membawa amplop berukuran kertas HVS. Tidak lama berselang, pria itu menyerahkan amplop tersebut pada seseorang yang berada di pintu dan Dandi yakin orang itu adalah Rumi.Setelah bertanya pada pihak wedding organizer, makeup artist, serta pihak hotel yang diminta khusus untuk mengawasi jalannya acara, Dandi segera melihat CCTV hotel.Tidak hanya itu, mereka yang berada di ruang tersebut juga sudah melihat kepergian Rumi dari hotel. Gadis itu menyelinap pergi seorang diri, tanpa ada satu orang pun yang menemani. Dan sudah pasti, nomor ponsel Rumi tidak bisa dihubungi sama sekali.“Itu karyawan hotel, kan?” sambung Qai mengingat seragam yang dikenakan oleh pria yang berada di layar. Sebelumnya, Qai sudah meminta pihak hotel untuk mencari taksi yang ditumpangi Rumi berdasarkan pelat nomor ken
“Mamamu sama Thea masih nemani bu Yanti.” Qai masuk ke dalam kamar Dandi, lalu berdiri di belakang pria itu. Dandi tengah duduk diam di depan laptop dan Qai memicing saat melihat apa yang pria itu lakukan. “Dan, mau kamu apakan daftar orang-orang pemegang saham Glory?”“Redaksi Angkasa sudah dikondisikan, Qai?” tanya Dandi masih harus bersabar hingga pagi hari, untuk penerbangannya ke Jakarta. Untuk masalah keluarga Rumi, terutama dengan Yanti yang semakin tertekan, Dandi telah menyerahkan urusan itu pada sang mama. Lebih baik ia berkonsentrasi pada hal lain, agar fokusnya tidak terpecah.“Sudah.” Melihat Dandi tidak berminat menjawab pertanyaannya, Qai memilih mundur lalu duduk di tepi ranjang. Sampai detik ini, Qai sama sekali tidak bisa menebak arah pemikiran Dandi. Meskipun terlihat tenang, tetapi Qai yakin sekali, Dandi saat ini tengah kalut memikirkan istrinya.Kabar terakhir yang diterima, sopir taksi yang mengantarkan Rumi mengatakan, gadis itu pergi ke Surabaya dengan menggun
Alpha mematung, ketika pelukan hangat Anges menyambutnya di saat ia melewati pintu penjara. Ia tidak melihat siapa pun, selain Agnes yang mulai menangis haru ketika memeluknya. Ke mana perginya Hera? Kenapa adiknya itu tidak ikut menjemputnya? “Mama sendiri?” tanya Alpha akhirnya bersuara, ketika Agnes mengurai pelukannya. Agnes mengangguk-angguk dan mengerti dengan maksud Alpha. “Nanti, Mama jelasin sambil jalan.” Yang bisa Alpha lakukan, hanya mengangguk. Tanpa bertanya lagi, Alpha segera memasuki mobil bersama Agnes. Dua tahun lebih berada di balik jeruji, membuat Alpha mendapat banyak pelajaran. Ia bertemu dengan berbagai macam orang, dari berbagai tingkat sosial dan pendidikan yang berbeda. Semua itu, membuatnya lebih banyak memahami tentang kesakitan yang ada di dunia lebih luas lagi. “Jadi, ke mana Hera?” “Cairo mendadak demam kemarin sore.” Agnes bercerita tentang putra Rafa dan Hera yang berusia tiga bulan. “Tadi malam sudah dibawa ke dokter, jadi, Hera nggak bisa ikut
“Kamu yakin nggak mau ngadain resepsi?” Rafa kembali mengulang pertanyaannya pada Hera, setelah mereka masuk ke dalam kamar. Tepatnya, di kamar Hera yang berada di rumah Agnes. Beberapa waktu lalu, mereka sudah melangsungkan ijab kabul di kediaman Soerapraja dan digelar dengan tertutup. Tidak hanya pernikahan mereka yang dirahasiakan, tetapi kedatangan Alpha ke kediaman Soerapraja pun dilakukan secara diam-diam. Semua bisa dilaksanakan, karena koneksi Hermawan dengan beberapa petinggi terkait. Tidak ada yang mengetahui hal tersebut, kecuali pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.Bahkan, Agnes sama sekali tidak mengabari Qai, untuk menghindari gesekan yang mungkin saja terjadi sewaktu-waktu. “Mas Rafa mau ngadain resepsi?” Hera bertanya balik, karena sudah kesekian kalinya Rafa mempertanyakan hal tersebut padanya.“Aku ikut kamu.” Rafa menarik lengan Hera yang hendak pergi menjauh darinya. Kemudian, Rafa mengalungkan kedua tangan di tubuh Hera dan tidak membiarkan wanitanya pergi ke
“Akhirnya!” Dandi berseru lega, sambil menghampiri Rumi yang duduk di ruang tengah. Istrinya itu sedang menonton televisi, sambil makan martabak seorang diri. “Akhirnya, tidur juga.” Rumi terkekeh, lalu menepuk sisi kosong di sebelahnya. “Haduuh!” Dandi menghempaskan tubuhnya, kemudian menyomot satu potong martabak yang ada di pangkuan Rumi. “Dia bolak balik nanyain kamu terus dan nggak berhenti ngoceh.” “Aku nggak tega sebenernya, Mas.” Rumi semakin merapatkan tubuhnya, lalu bersandar pada tubuh Dandi. “Tapi, Dirga kalau nggak diginiin, nggak bakal lepas-lepas ASI. Sudah dua tahun lebih, tapi masih aja nempel.” Putra mereka yang diberi nama Dirgantara Sebastian, memang masih saja menyesap ASI meskipun usianya sudah dua tahun lebih dua bulan. Rumi sudah melakukan segala cara, tetapi selalu berujung sia-sia. Tingkahnya benar-benar seperti Dandi yang selalu menempel, ketika Rumi masih hamil. Sampai akhirnya, Dandi memutuskan untuk memisahkan kamarnya dengan kamar putranya, karena
“Rumi.”Dandi kembali memasuki rumah, karena Rumi tidak kunjung keluar sedari tadi. Mobil sudah selesai di panasi, tetapi sang istri masih berada di dalam. Dandi memasuki kamar mereka terlebih dahulu dan berdecak ketika melihat Rumi ternyata tengah duduk di sofa.“Ayo—”“Perutku mules,” potong Rumi mengangkat satu tangan, agar Dandi tidak meneruskan ucapannya. “Baru aja berhenti.”Detik itu juga, wajah datar Dandi berubah semringah. Senyum lebar langsung menghiasi bibirnya, sembari menghampiri Rumi dengan segera. Dandi berlutut di depan sang istri lalu menempelkan telinganya di perut Rumi, sambil mengusapnya.“Keluar hari ini, oke!” telunjuk Dandi mengetuk perut Rumi dua kali. “Dan nggak usah pake drama.”“Apa, sih, Mas.” Rumi terkekeh sambil mengusap kepala Dandi. “Kalau sudah waktunya keluar, dia pasti keluar.”Dandi menarik diri, tetap kedua tangannya masih menempel di perut Rumi. “Apa perlu dijenguk lagi, biar makin—”“Maaas!” Tawa Rumi semakin keras. “Ini, tuh, sudah mulai mules,
Hari pertama di awal tahun sudah terlewat. Namun, Rumi belum menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rumi masih mengerjakan beberapa hal seperti biasa, meskipun pergerakannya sudah tidak segesit dulu. Ia gampang lelah, cepat gerah, sehingga terkadang malas melakukan apa-apa.Namun, saat mengingat ucapan ibunya, Rumi harus memaksakan diri untuk bergerak agar bisa melahirkan dengan mudah. Begitulah salah satu ucapan sang ibu, di antara banyak wejangan yang kadang membuat Rumi hanya geleng-geleng, tetapi tidak berani membantah.“Rumi, gimana kalau kita telpon dokter dan minta operasi.” Dandi jadi uring-uringan sendiri, karena belum bisa menjumpai buah hatinya secara langsung. Terlebih ketika mengingat Alaska yang semakin gembul dan mulai belajar membalikkan tubuhnya.“Mas, tanggal HPL baru lewat dua hari.” Rumi mencuci tangan, sesudah beres menyiram tanaman di halaman depan. Setelahnya, Rumi menghela dan terdiam sambil mengusap punggungnya yang pegal. Dandi yang sejak tadi hanya mondar
“Dandi! Balikin, Dan!” Thea melotot dan menghardik sepupunya. Pria itu baru saja masuk ke kamar Thea dan bersikap seenaknya. Tanpa izin, Dandi mengeluarkan bayi yang tengah tertidur pulas di boksnya, lalu menggendongnya. Meskipun Dandi terlihat sangat hati-hati, tetapi Thea tetap saja merasa ngeri.“Mamamu berisik!” desis Dandi sambil berbalik memunggungi Thea. Ia berjalan santai menuju sofa sambil menggendong keponakannya, lalu duduk dengan perlahan.Dandi sengaja menunggu Thea pulang ke rumah terlebih dahulu, barulah ia menjenguk sepupunya agar bisa lebih bebas. Andai Rumi lelah karena terlalu lama menjenguk Thea, istrinya bisa beristirahat bebas di kamar tamu.“Dandiii!” Thea hendak bangkit dari tempat tidur, tetapi tidak jadi, mengingat jahitan di jalan lahirnya masih terasa sedikit nyeri.“Aku belum beli kado,” ujar Dandi lalu melihat ke arah pintu. Ia melihat Rumi masuk menghampirinya, setelah pergi ke toilet terlebih dahulu. “Aku bingung mau ngasih apa, karena Alaska sudah puny
“Jangan mentang-mentang istriku pintar masak, kamu jadi seenaknyammpp—”“Apasih!” Thea yang baru berada di teras, langsung membekap mulut Dandi dengan tangan kanannya. “Kamu itu jadi cowok berisik banget! Ini urusan bumil, jadi nggak usah ikut campur.”Dandi melepas tangan Thea dan berdecak. “Untung kamu lagi hamil. Coba kal—”“Sudah.” putus Qai dengan membawa beberapa paper bag dan kantong plastik di kedua tangan. “Cobalah sehari aja kalian ini nggak ribut. Masa’ nggak bisa?”“Nggak bisa!” seru Thea dan Dandi bersamaan.Qai tercengang, tetapi tidak menghentikan langkahnya memasuki rumah Dandi, meskipun belum dipersilakan. Daripada mendengar kedua orang itu ribut, lebih baik Qai duluan masuk dan merebahkan diri di sofa.“Ngapain lagi kamu ke sini?” Dandi berbalik dan segera menyusul Qai.“Aku mules dari pagi,” ujar Thea berjalan di belakang Dandi, sambil mengusap perutnya. “Sudah ke rumah sakit, tapi ternyata belum bukaan.”Dandi menoleh dan memperlambat langkahnya. “Memang sudah wakt
“Ngapain senyum-senyum lihat hape.” Merasa curiga dan penasaran, Dandi merampas ponsel dari tangan Rumi, hingga istrinya itu langsung berteriak protes.“Mas!”“Apa ini?” Dahi Dandi mengerut, melihat deretan foto yang dikirimkan oleh Thea. Ternyata, istrinya sedang berkirim pesan dengan istri Qai yang semakin menyebalkan. “Ini—”“Buat bayi!” Rumi kembali merampas ponselnya. “Emang Mas kira aku ngapain?”“Selingkuh,” jawab Dandi dengan entengnya, lalu duduk di samping Rumi. Namun, baru saja bokongnya itu menyentuh sofa, Rumi langsung memberi cubitan pada sisi perut dengan Dandi dengan keras. “RUMI!”“APA!” Rumi balas menghardik, karena tidak suka dengan tuduhan Dandi. “Aku nggak suka dituduh-tuduh gitu! Aku nggak selingkuh!”Untuk beberapa saat, Dandi terngaga sambil mengusap sisi perutnya. Ini kali pertama, Dandi mendengar Rumi meninggikan suara di depannya dan bersikap bar-bar. Istrinya itu terlihat benar-benar marah, dengan kedua mata yang melotot kesal.“Bercanda, Rum,” desis Dandi
“Ini masih jam 11 kurang, Ra.” Rafa membuka pintu pagar dan mempersilakan Hera masuk. Ia melihat sebuah tas spunbond yang ditenteng Hera dengan kedua tangan dan tidak bisa menebak-nebak isi di dalamnya. “Mama yang nyuruh datang cepat, biar bisa bantuin mas Rafa nyiapin makan siang.” Hera menyerahkan tas yang dibawanya pada Rafa. “Ini dibawain mama, sate sama kari ayam. Biar nggak ngerepotin.” “Oh ...” Rafa terkekeh sambil mengambil alih tas spunbond berwarna merah dari tangan Hera. “Kalau begini, aku yang jadi ngerepotin. Oia, masuk dulu.” “Nggak ngerepotin,” ujar Hera sembari berjalan masuk ke rumah Rafa. “Sekalian masak buat di rumah soalnya.” “Kamu yang masak?” selidik Rafa. “Nggak mungkin.” Hera meringis malu. “Saya nggak jago masak.” “It’s okay.” Rafa tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. “Aku cari istri, bukan cari tukang masak.” Langkah Hera terhenti tepat di ruang tamu yang bernuansa hitam putih. “Mas, saya nggak bi—” “Bercanda, Ra.” Rafa terus berjalan masuk dan