“Telpon resepsionis dan buka kamarmu sendiri.” Begitu keluar dari kamar mandi, telunjuk Jaya langsung mengarah pada Dandi yang duduk lesu di tepi tempat tidur. Hampir semalaman, tidur Jaya sungguh tidak nyenyak karena Dandi selalu saja bergerak gelisah. “Yaaa.” Dandi mengusap wajah bantalnya hingga berulang kali, guna mengusir kantuk yang masih merajai. Hingga pagi ini, Dandi belum bisa mengambil keputusan sama sekali. Pikirannya masih buntu dan tidak mendapatkan jalan keluar selain menikahi Rumi. “Kalian semua itu licik. Kalian nggak pernah mikir bagaimana perasaanku.” “Sejak kapan kamu punya perasaan, Dan,” sindir Jaya sembari membuka pintu balkon. Karena masih ingin bicara dengan keponakannya, Jaya pun hanya berdiri di bibir pintu, menatap Dandi. “Jangan-jangan, sejak kenal sama Rumi kamu jadi punya perasaan.” “Om, please.” Dandi heran, mengapa semua orang menginginkannya menikah dengan Rumi. “Nikah itu, nggak main-main.” “Kalau begitu, seriuslah.” “Bagaimana mau serius, kalau
Dalam waktu singkat dan tanpa rencana, pernikahan antara Dandi dan Rumi akhirnya terlaksana juga. Bertempat di sebuah kamar hotel yang baru dibuka Dandi dan dilakukan secara sederhana juga tertutup. Pernikahan tersebut benar-benar dirahasiakan, untuk menjaga nama baik keluarga Rumi dari gosip miring yang mungkin saja tercipta dari mulut para tetangga.“Ibu … masih marah?” Rumi semakin merasa serba salah. Meskipun saat ini Rumi sudah menikah dengan Dandi, sang ibu tetap saja mendiamkannya. Yanti hanya menjawab pertanyaan atau ucapan Rumi seperlunya dan tidak ada percakapan panjang seperti biasa.Rumi tahu ia bersalah. Bahkan, kesalahan yang sudah dilakukan Rumi masih lebih banyak lagi, daripada yang Yanti ketahui. Ia tidak bisa membayangkan, apa yang akan terjadi pada ibunya, jika Yanti mengetahui kelakuan Rumi di Jakarta selama ini.“Apa marah masih berguna?”Rumi bergegas menuju pintu dan menutupnya. Karena kamar yang ditempatinya saat ini adalah tipe family room, maka Rumi bisa bica
“Aku jadi penasaran sama yang namanya Rumi.” Bagas meletakkan salinan surat yang telah ditandatangani oleh Alpha di karpet. Kemudian, ia meluruskan kaki dan bersandar pada sofa panjang yang ada di belakangnnya. Menatap Hera yang masih duduk di kursi roda dalam diam, kemudian beralih pada Agnes yang duduk tepat di sebelah putrinya. “Secantik apa, sampai-sampai Alpha sama Rafa sepertinya tergila-gila sama dia.” “Cantik.” Agnes hanya menjawab singkat, karena tidak ingin membicarakan gadis yang telah membuat Glory jatuh. Tidak hanya Glory, bahkan kedua anaknya juga mendapatkan masalah hanya karena seorang Rumi. Namun, Agnes tidak akan menampik jika gadis itu memang sangatlah cantik, meskipun tanpa polesan make up menghiasi wajahnya. Jadi, rasanya wajar bila Alpha dan Rafa sama-sama tertarik dengan gadis itu. “Aku tambah penasaran, Tan,” timpal Bagas kembali menatap Hera. “Seandainya Hera sudah sembuh, apa Rafa masih tetap—” “Bisa kita nggak bicara masalah Rumi, Gas?” Agnes segera menol
Dandi baru saja duduk di kursi kerjanya dan bersandar sambil menutup mata, ketika Qai masuk tanpa mengetuk pintu lalu mengusik kedamaian yang baru saja hendak ia nikmati. “Selamat, Dan!” Dandi memutar sedikit kursinya sembari membuka mata. Tanpa merubah posisi tubuhnya, Dandi menaikkan satu sudut bibirnya. “Kamu sama Thea pasti tertawa di belakangku.” Qai mengangguk saat menarik kursi yang berseberangan dengan Dandi, lalu duduk di sana. “Tertawa bahagia!” “Berengsek!” maki Dandi dengan intonasi datar dan tanpa minat untuk berdebat. “Aku dijebak sampai nggak bisa berkutik.” “Dan!” Sebenarnya, Qai ingin tertawa sejak masuk ke dalam ruangan Dandi. Namun, melihat wajah Dandi yang hanya menampilkan ekspresi datar, Qai tidak melakukannya. “Kamu sebenarnya selalu punya pilihan. Kamu bisa bicara baik-baik dengan ibunya Rumi dan keluargamu sekaligus. Kumpulkan mereka di dalam satu ruang—” “Kamu pernah ketemu ibunya Rumi, Qai?” “Be … lum.” Dandi seolah ingin menyampaikan sesuatu. Karena i
“Kamu … ngapain?” Dandi memperlambat langkahnya ketika menuruni tangga. Sebenarnya, tanpa ditanya pun, Dandi sudah tahu yang dilakukan Rumi saat ini. “Bersih-bersih rumah, Mas.” Rumi hanya menoleh sebentar pada Dandi, kemudian kembali menyapu lantai. “Oia, jam sembilanan saya mau ke kantor mau ambil surat referensi sama ngajarin anak baru sebentar. Habis makan siang, saya pulang.” “Sudah ada orang yang datang dua atau tiga kali seminggu untuk bersih-bersih rumah.” Dandi tidak melangkah ke mana pun, ketika kakinya sudah berada di lantai satu. Ia hanya melihat pergerakan Rumi yang gesit dan tidak memedulikannya sejak tadi. “Jadi, habis ini kamu nggak perlu lagi nyapu, ngepel, atau … kamu nggak perlu ngerjain kerjaan rumah.” Rumi berhenti mengayunkan sapunya, kemudian menatap Dandi. “Rumah ini memang kelihatan selalu bersih, tapi saya nggak pernah lihat ada orang datang terus—” “Karena kamu selalu berangkat ke kantor terlalu pagi, Rumi,” putus Dandi kemudian beranjak menuju sofa dan m
“Dan!” Qai mempercepat langkahnya, karena Dandi sama sekali tidak mengacuhkan panggilannya. Pria itu hanya menoleh, tetapi terus berjalan dan tidak memperlambat langkahnya sama sekali. “Hei, Dan! Tunggu sebentar!” “Aku buru-buru!” Dandi akhirnya berhenti, ketika ia berada di depan lift. Melihat jam tangannya sebentar, kemudian menoleh pada Qai yang baru saja berhenti di sebelahnya. “Ada masalah?” “Kalian belum bilang ke Rafa kalau—” “Belum.” Dandi segera masuk ke dalam lift, ketika pintunya terbuka. Ia tahu apa yang akan dikatakan oleh Qai, karena itu Dandi segera memberi jawaban. “Memangnya siapa dia?” Qai menghela sembari mengikuti Dandi. Melihat pria itu menekan tombol menuju lobi, maka Qai hanya berdiam diri karena tujuan mereka sama. “Dia nelpon aku. Dua kali hari ini, karena dia nggak bisa nelpon Rumi.” “Aku suruh Rumi blokir semua yang berhubungan dengan Rafa.” Kedua alis Qai sontak terangkat begitu tinggi. Hampir-hampir tidak percaya dengan ucapan Dandi barusan. Bahkan, Q
“Kenapa belum tidur?” Dandi membelokkan langkahnya menuju sofa di ruang tengah, ketika melihat Rumi masih duduk sembari menonton televisi. Malam itu, Dandi memang sudah mengabarkan akan pulang larut karena harus pergi bersama Qai. Namun, ia tidak menduga jika Rumi belum juga tidur padahal jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Rumi tersenyum kecil dan masih diliputi rasa canggung. “Saya nggak enak mau tidur di kamar Mas Dandi sendirian.” Karena semua barang-barang Rumi sudah berada di kamar Dandi, maka malam ini mereka akan mulai berbagi kamar. Namun, Rumi masih sungkan untuk berada di kamar tersebut, tetapi ia juga tidak enak pada Dandi jika harus kembali ke kamarnya sendiri. “Nggak enak kenapa?” Dandi menghempaskan tubuhnya di sofa yang sama dengan Rumi. Namun, ia tetap menjaga jarak. Perasaannya pada Rumi semakin tidak karuan, karena banyak hal yang tidak dimengerti Dandi ketika berada bersama gadis itu. Lagi-lagi, Dandi mengingat ucapan Qai mengenai “cinta”. Apa bena
“Tidurmu nyenyak?”Sejenak, Rumi yang baru saja berbalik setelah menutup lemari pendingin membeku. Tatapannya bersirobok dengan Dandi dan hal tersebut langsung membuat jantungnya berdebar kencang.Setelah semalam pria itu membuat Rumi hampir tidak bisa tidur, pagi ini Dandi bersikap seolah tidak ada sesuatu yang terjadi di antara mereka. Pria itu masih tetap cuek dan santai seperti biasa. Dandi bahkan langsung menarik kursi di meja makan, lalu duduk di sana tanpa rasa canggung sama sekali.“Nyenyak, Mas.” Rumi mengangguk salah tingkah. Ada hal yang tidak biasa, tetapi Rumi tidak bisa berbuat apa-apa. Hubungannya dengan Dandi, tidak seperti jalinan kasih yang sempat dijalaninya dengan Alpha. Rumi tidak melihat ada romantisme yang membara, seperti hubungannya sebelumnya. Jadi, Rumi masih saja merasa seperti orang asing di depan Dandi. “Kenapa … Mas Dandi sudah di dapur? Biasanya—”“Jam berapa kamu bangun, Rum?” sela Dandi seraya memangku wajah dan melihat semua pergerakan Rumi di dapur.
Alpha mematung, ketika pelukan hangat Anges menyambutnya di saat ia melewati pintu penjara. Ia tidak melihat siapa pun, selain Agnes yang mulai menangis haru ketika memeluknya. Ke mana perginya Hera? Kenapa adiknya itu tidak ikut menjemputnya? “Mama sendiri?” tanya Alpha akhirnya bersuara, ketika Agnes mengurai pelukannya. Agnes mengangguk-angguk dan mengerti dengan maksud Alpha. “Nanti, Mama jelasin sambil jalan.” Yang bisa Alpha lakukan, hanya mengangguk. Tanpa bertanya lagi, Alpha segera memasuki mobil bersama Agnes. Dua tahun lebih berada di balik jeruji, membuat Alpha mendapat banyak pelajaran. Ia bertemu dengan berbagai macam orang, dari berbagai tingkat sosial dan pendidikan yang berbeda. Semua itu, membuatnya lebih banyak memahami tentang kesakitan yang ada di dunia lebih luas lagi. “Jadi, ke mana Hera?” “Cairo mendadak demam kemarin sore.” Agnes bercerita tentang putra Rafa dan Hera yang berusia tiga bulan. “Tadi malam sudah dibawa ke dokter, jadi, Hera nggak bisa ikut
“Kamu yakin nggak mau ngadain resepsi?” Rafa kembali mengulang pertanyaannya pada Hera, setelah mereka masuk ke dalam kamar. Tepatnya, di kamar Hera yang berada di rumah Agnes. Beberapa waktu lalu, mereka sudah melangsungkan ijab kabul di kediaman Soerapraja dan digelar dengan tertutup. Tidak hanya pernikahan mereka yang dirahasiakan, tetapi kedatangan Alpha ke kediaman Soerapraja pun dilakukan secara diam-diam. Semua bisa dilaksanakan, karena koneksi Hermawan dengan beberapa petinggi terkait. Tidak ada yang mengetahui hal tersebut, kecuali pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.Bahkan, Agnes sama sekali tidak mengabari Qai, untuk menghindari gesekan yang mungkin saja terjadi sewaktu-waktu. “Mas Rafa mau ngadain resepsi?” Hera bertanya balik, karena sudah kesekian kalinya Rafa mempertanyakan hal tersebut padanya.“Aku ikut kamu.” Rafa menarik lengan Hera yang hendak pergi menjauh darinya. Kemudian, Rafa mengalungkan kedua tangan di tubuh Hera dan tidak membiarkan wanitanya pergi ke
“Akhirnya!” Dandi berseru lega, sambil menghampiri Rumi yang duduk di ruang tengah. Istrinya itu sedang menonton televisi, sambil makan martabak seorang diri. “Akhirnya, tidur juga.” Rumi terkekeh, lalu menepuk sisi kosong di sebelahnya. “Haduuh!” Dandi menghempaskan tubuhnya, kemudian menyomot satu potong martabak yang ada di pangkuan Rumi. “Dia bolak balik nanyain kamu terus dan nggak berhenti ngoceh.” “Aku nggak tega sebenernya, Mas.” Rumi semakin merapatkan tubuhnya, lalu bersandar pada tubuh Dandi. “Tapi, Dirga kalau nggak diginiin, nggak bakal lepas-lepas ASI. Sudah dua tahun lebih, tapi masih aja nempel.” Putra mereka yang diberi nama Dirgantara Sebastian, memang masih saja menyesap ASI meskipun usianya sudah dua tahun lebih dua bulan. Rumi sudah melakukan segala cara, tetapi selalu berujung sia-sia. Tingkahnya benar-benar seperti Dandi yang selalu menempel, ketika Rumi masih hamil. Sampai akhirnya, Dandi memutuskan untuk memisahkan kamarnya dengan kamar putranya, karena
“Rumi.”Dandi kembali memasuki rumah, karena Rumi tidak kunjung keluar sedari tadi. Mobil sudah selesai di panasi, tetapi sang istri masih berada di dalam. Dandi memasuki kamar mereka terlebih dahulu dan berdecak ketika melihat Rumi ternyata tengah duduk di sofa.“Ayo—”“Perutku mules,” potong Rumi mengangkat satu tangan, agar Dandi tidak meneruskan ucapannya. “Baru aja berhenti.”Detik itu juga, wajah datar Dandi berubah semringah. Senyum lebar langsung menghiasi bibirnya, sembari menghampiri Rumi dengan segera. Dandi berlutut di depan sang istri lalu menempelkan telinganya di perut Rumi, sambil mengusapnya.“Keluar hari ini, oke!” telunjuk Dandi mengetuk perut Rumi dua kali. “Dan nggak usah pake drama.”“Apa, sih, Mas.” Rumi terkekeh sambil mengusap kepala Dandi. “Kalau sudah waktunya keluar, dia pasti keluar.”Dandi menarik diri, tetap kedua tangannya masih menempel di perut Rumi. “Apa perlu dijenguk lagi, biar makin—”“Maaas!” Tawa Rumi semakin keras. “Ini, tuh, sudah mulai mules,
Hari pertama di awal tahun sudah terlewat. Namun, Rumi belum menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rumi masih mengerjakan beberapa hal seperti biasa, meskipun pergerakannya sudah tidak segesit dulu. Ia gampang lelah, cepat gerah, sehingga terkadang malas melakukan apa-apa.Namun, saat mengingat ucapan ibunya, Rumi harus memaksakan diri untuk bergerak agar bisa melahirkan dengan mudah. Begitulah salah satu ucapan sang ibu, di antara banyak wejangan yang kadang membuat Rumi hanya geleng-geleng, tetapi tidak berani membantah.“Rumi, gimana kalau kita telpon dokter dan minta operasi.” Dandi jadi uring-uringan sendiri, karena belum bisa menjumpai buah hatinya secara langsung. Terlebih ketika mengingat Alaska yang semakin gembul dan mulai belajar membalikkan tubuhnya.“Mas, tanggal HPL baru lewat dua hari.” Rumi mencuci tangan, sesudah beres menyiram tanaman di halaman depan. Setelahnya, Rumi menghela dan terdiam sambil mengusap punggungnya yang pegal. Dandi yang sejak tadi hanya mondar
“Dandi! Balikin, Dan!” Thea melotot dan menghardik sepupunya. Pria itu baru saja masuk ke kamar Thea dan bersikap seenaknya. Tanpa izin, Dandi mengeluarkan bayi yang tengah tertidur pulas di boksnya, lalu menggendongnya. Meskipun Dandi terlihat sangat hati-hati, tetapi Thea tetap saja merasa ngeri.“Mamamu berisik!” desis Dandi sambil berbalik memunggungi Thea. Ia berjalan santai menuju sofa sambil menggendong keponakannya, lalu duduk dengan perlahan.Dandi sengaja menunggu Thea pulang ke rumah terlebih dahulu, barulah ia menjenguk sepupunya agar bisa lebih bebas. Andai Rumi lelah karena terlalu lama menjenguk Thea, istrinya bisa beristirahat bebas di kamar tamu.“Dandiii!” Thea hendak bangkit dari tempat tidur, tetapi tidak jadi, mengingat jahitan di jalan lahirnya masih terasa sedikit nyeri.“Aku belum beli kado,” ujar Dandi lalu melihat ke arah pintu. Ia melihat Rumi masuk menghampirinya, setelah pergi ke toilet terlebih dahulu. “Aku bingung mau ngasih apa, karena Alaska sudah puny
“Jangan mentang-mentang istriku pintar masak, kamu jadi seenaknyammpp—”“Apasih!” Thea yang baru berada di teras, langsung membekap mulut Dandi dengan tangan kanannya. “Kamu itu jadi cowok berisik banget! Ini urusan bumil, jadi nggak usah ikut campur.”Dandi melepas tangan Thea dan berdecak. “Untung kamu lagi hamil. Coba kal—”“Sudah.” putus Qai dengan membawa beberapa paper bag dan kantong plastik di kedua tangan. “Cobalah sehari aja kalian ini nggak ribut. Masa’ nggak bisa?”“Nggak bisa!” seru Thea dan Dandi bersamaan.Qai tercengang, tetapi tidak menghentikan langkahnya memasuki rumah Dandi, meskipun belum dipersilakan. Daripada mendengar kedua orang itu ribut, lebih baik Qai duluan masuk dan merebahkan diri di sofa.“Ngapain lagi kamu ke sini?” Dandi berbalik dan segera menyusul Qai.“Aku mules dari pagi,” ujar Thea berjalan di belakang Dandi, sambil mengusap perutnya. “Sudah ke rumah sakit, tapi ternyata belum bukaan.”Dandi menoleh dan memperlambat langkahnya. “Memang sudah wakt
“Ngapain senyum-senyum lihat hape.” Merasa curiga dan penasaran, Dandi merampas ponsel dari tangan Rumi, hingga istrinya itu langsung berteriak protes.“Mas!”“Apa ini?” Dahi Dandi mengerut, melihat deretan foto yang dikirimkan oleh Thea. Ternyata, istrinya sedang berkirim pesan dengan istri Qai yang semakin menyebalkan. “Ini—”“Buat bayi!” Rumi kembali merampas ponselnya. “Emang Mas kira aku ngapain?”“Selingkuh,” jawab Dandi dengan entengnya, lalu duduk di samping Rumi. Namun, baru saja bokongnya itu menyentuh sofa, Rumi langsung memberi cubitan pada sisi perut dengan Dandi dengan keras. “RUMI!”“APA!” Rumi balas menghardik, karena tidak suka dengan tuduhan Dandi. “Aku nggak suka dituduh-tuduh gitu! Aku nggak selingkuh!”Untuk beberapa saat, Dandi terngaga sambil mengusap sisi perutnya. Ini kali pertama, Dandi mendengar Rumi meninggikan suara di depannya dan bersikap bar-bar. Istrinya itu terlihat benar-benar marah, dengan kedua mata yang melotot kesal.“Bercanda, Rum,” desis Dandi
“Ini masih jam 11 kurang, Ra.” Rafa membuka pintu pagar dan mempersilakan Hera masuk. Ia melihat sebuah tas spunbond yang ditenteng Hera dengan kedua tangan dan tidak bisa menebak-nebak isi di dalamnya. “Mama yang nyuruh datang cepat, biar bisa bantuin mas Rafa nyiapin makan siang.” Hera menyerahkan tas yang dibawanya pada Rafa. “Ini dibawain mama, sate sama kari ayam. Biar nggak ngerepotin.” “Oh ...” Rafa terkekeh sambil mengambil alih tas spunbond berwarna merah dari tangan Hera. “Kalau begini, aku yang jadi ngerepotin. Oia, masuk dulu.” “Nggak ngerepotin,” ujar Hera sembari berjalan masuk ke rumah Rafa. “Sekalian masak buat di rumah soalnya.” “Kamu yang masak?” selidik Rafa. “Nggak mungkin.” Hera meringis malu. “Saya nggak jago masak.” “It’s okay.” Rafa tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. “Aku cari istri, bukan cari tukang masak.” Langkah Hera terhenti tepat di ruang tamu yang bernuansa hitam putih. “Mas, saya nggak bi—” “Bercanda, Ra.” Rafa terus berjalan masuk dan