Rumi segera berlari meninggalkan Dandi di dapur, ketika pria itu mengabarkan Rafa datang untuk menemuinya. Terlebih, saat Dandi mengatakan Rafa membawa kabar tentang Alpha. Debaran jantungnya mendadak berpacu laju, karena mengingat kondisi terakhir ketika Rumi meninggalkan Alpha di apartemen.
“Pak Rafa!” Rumi berseru ketika melihat pria itu benar-benar ada di ruang tamu. Ia benar-benar gelisah, memikirkan nasibnya setelah ini. “Mas Al gimana? Apa dia baik-baik aja?”
“Aa …” Rafa berdiri seketika saat melihat sosok Rumi di depan mata. Sangat sederhana dan hal tersebut membuat ketertarikan tersendiri bagi Rafa. Rasa itu, ternyata belum benar-benar pergi meskipun sudah ada Hera yang Rafa pikirkan setiap hari. “Aku mau ngajak kamu keluar.”
Mendengar Rafa tidak menggunakan bahasa formalnya, Rumi mendadak canggung. Mereka memang bukan lagi atasan dan bawahan seperti dulu, tetapi Rumi tetap merasa ada sebuah jarak yang tetap harus dijaga. Bahkan, Rumi saja masih memanggil pria itu dengan sebutan “pak”.
“Ke-luar?” Rumi terpaku tepat di sudut sofa panjang yang diduduki Rafa. Pria itu berdiri di sisi yang berlawanan dan mengangguk menatap Rumi.
“Ya, ada yang mau aku bicarakan, tapi cuma empat mata.”
“Masalah mas Alpha?”
“Itu juga termasuk.”
“Apa … Bapak mau masukin saya ke penjara?” Rumi kembali mengingat dengan tuduhan Alpha perihal membocorkan rahasia perusahaan.
“Bukan.” Rafa menggeleng. Sedikit menipiskan jarak, lalu meraih tangan Rumi dan membawanya duduk di sofa yang sama.
“Terus, Pak?” Rumi segera menarik tangannya dan kembali teringat masalah Alpha. “Mas Alpha gimana?”
“Dia baik.” Rafa tidak bisa menilai kecemasan yang saat ini ditunjukkan Rumi. Apakah gadis itu khawatir dengan kondisi Alpha karena masih menyimpan rasa, atau Rumi khawatir akan masuk penjara atas perbuatannya pada pria itu. “Dia masih di apartemennya, sama Risa.”
“Oh …” Rasa lega yang tadinya sudah merasuk dalam perasaan Rumi, mendadak tergantikan dengan rasa kecewa. Rumi mungkin bodoh, karena sudah disakiti sekian kali masih saja menyimpan rasa pada Alpha. Akan tetapi, siapa yang bisa melawan perasaan?
Apalagi, Alpha adalah cinta pertama dan pria pertama yang membuat Rumi benar-benar jatuh cinta, sekaligus jatuh ke dalam jurang penderitaan.
“Jadi, aku rasa kamu nggak perlu khawatir lagi masalah dia,” tambah Rafa.
“Tapi, Pak, gimana kalau mas Al nuntut saya karena—”
“Nggak usah khawatir masalah itu,” sela Rafa ingin segera mengajak Rumi keluar dari rumah Dandi, agar mereka bisa bicara lebih bebas dan lebih santai lagi. “Jadi, bisa kita keluar sebentar? Karena banyak yang aku bicarakan sama kamu.”
“Apa nggak bisa bicara di sini aja, Pak?” Bukannya tidak menghargai Rafa, tetapi Rumi pasti akan merasa canggung serta sungkan jika berada berdua dengan pria itu.
“Ya, lebih baik bicara di sini aja,” sambar Dandi tiba-tiba menimpali, setelah mendengar ucapan Rafa barusan. “Alasan pertama, kamu itu sudah punya istri, Mas. Alasan yang kedua, kalian nggak punya topik pembicaraan yang harus disampaikan secara empat mata. Yang ketiga, jujur aku masih abu-abu dengan keberpihakanmu di sini, Mas. Keempat—”
“Dandi.” Jika tidak dihentikan, pria yang terlihat mulai posesif dengan Rumi itu pasti akan mengoceh panjang lebar. “Kita sudah bicarakan masalah itu, tadi.”
“Dan Rumi barusan sudah mengambil keputusan,” sahut Dandi bersedekap ketika Rafa mulai berdiri dari tempatnya. “Dia minta kalian bicara di sini aja. Aku bukannya mau nguping, tapi aku datang ke sini supaya kamu nggak “maksa” Rumi untuk ngikuti kemauanmu.”
Karena Rafa tahu percuma bicara dengan Dandi, maka ia segera beralih pada Rumi yang bengong mendengar sedikit perdebatan mereka. “Rumi, aku mau ngajak kamu bicara di luar. Kita bisa bicara santai di kafe dekat sini, karena ada permasalah Glory yang mau aku tanyakan, dan nggak ada satu pun orang luar yang boleh nguping.”
“Emm …” Rumi jadi serba salah, ketika melihat wajah Dandi yang tampak sedikit masam. Pria itu memang tidak pernah tersenyum pada Rumi, tetapi Dandi juga tidak pernah menunjukkan ekspresi masam dan cenderung sinis padanya. Beberapa kali bertemu dengan Dandi, pria hanya menunjukkan sifat dan sikap tidak peduli. Tidak seperti saat ini. “Mas—”
“Aku cuma mau bilang, kamu itu sekarang masih ada dalam tanggung jawabku,” sela Dandi memberi penjelasan agar Rumi tidak salah paham. “Kamu tahu sendiri, gimana tingkah om Jaya sama mamaku tadi pagi, kan? Jadi—”
“Biarkan Rumi yang memutuskan.” Giliran Rafa yang menyela Dandi. “Aku bisa telpon pak Jaya, dan langsung minta izin ke beliau untuk bawa Rumi keluar.”
“Emm …” Rumi segera berdiri menengahi. Ketegangan yang ada di antara kedua pria itu semakin memanas saja, sehingga Rumi harus segera mengambil tindakan. “Mas Dandi, saya minta izin keluar sebentar sama Pak Rafa. Apa ada kafe, atau tempat—”
“Ada taman di ujung perumahan ini.” Dandi berbalik pergi dan masuk ke bagian dalam Rumah. “Aku kasih kamu waktu satu jam, setelah itu kembali pulang ke rumah. Jalan kaki aja, nggak usah pake mobil.”
“Kamu tinggal berdua aja sama Dandi?” Rafa memecah keheningan, karena Rumi hanya menutup mulutnya sejak keluar dari rumah Dandi. Mereka berdua benar-benar berjalan kaki, menuju taman yang ternyata tidak terlalu jauh dari rumah Dandi. “Nggak ada ART? Atau keluarganya dia di sana?”
Rumi mengangguk pelan. Masih menyimpan rasa khawatir, akan nasibnya ke depan. “Cuma berdua.”
“Harusnya kamu nolak, Rum.” Bagi Rafa, mereka berdua tidak seharusnya tinggal bersama dalam satu atap. “Kalian berdua itu orang asing yang berbeda, jadi, nggak selayaknya kalian tinggal sama-sama.”
“Apa saya punya pilihan, Pak?” Bagi Rumi, tinggal bersama Dandi lebih aman daripada berada di kosannya. Rumi sempat khawatir, jika Alpha dapat melacaknya dan melaporkan kejadian malam itu pada pihak berwenang. “Kemarin malam, saya sampai nggak bisa tidur waktu ada di kosan karena mikirin mas Alpha. Andai dia kenapa-napa, saya pasti ngerasa bersalah banget.”
“Kamu masih cinta sama Alpha?” Hal tersebut harus ditanyakan langsung pada Rumi, agar Rafa bisa memperhitungkan sikapnya ke depan. “Nggak usah ditutupi lagi, karena aku sudah tahu semuanya.
“Cinta …” Rumi memandang langit sore yang masih membiru, dengan gumpalan awan yang berjarak. Ia juga tidak akan mengelak, ataupun bertanya pada Rafa tentang bagaimana pria itu tahu perihal hubungannya dengan Alpha. “Kalau dibilang cinta … mungkin … saya benci lihat mas Al, tapi … ada perasaan yang masih susah dijelaskan.”
Rafa menunjuk sebuah bangku besi panjang yang berada di pinggir taman. “Complicated.”
“Perasaan saya yang complicated, Pak.” Rumi tidak mengelak. Kali ini, ia akan berusaha mengatakan semua hal dengan jujur dan tidak menyembunyikan apa pun. “Tapi logika saya jelas nggak akan mau balik sama dia. Cuma … menyelesaikan masalah hati ini yang agak … susah.”
“Aku ngerti.”
“Yakin bapak ngerti?” Rumi menoleh pada Rafa, ketika ia sudah lebih dulu duduk di bangku.
“Ya!” Rafa duduk bersebelahan dan mengatur jarak dan juga menoleh pada Rumi. “Aku ngerti karena aku juga … merasakan hal yang sama waktu ketemu lagi sama kamu.”
Rumi mendadak tegang. “Ma-maksud Bapak?”
Rafa sungguh tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang ada pada saat ini. “Maksudnya …
“Maaf …” Dengan begini, Rumi jadi tahu bagaimana harus mengambil sikap ketika menghadapi Rafa. Rumi tahu, pria itu pernah mencoba mendekatinya dahulu kala. Namun, Rumi memilih mundur dan menjauh karena saat itu masih menjalin hubungan dengan Alpha.Untuk sekarang, Rumi juga akan tetap memilih menjaga jarak, karena Rafa saat ini sudah menikah dengan Hera. Dan bagian terpenting dari semuanya ialah, Rumi tidak memiliki perasaan apa pun pada Rafa. Tidak pernah ada percikan sedikit pun, ketika ia melihat atau sedang bersama Rafa seperti sekarang. Tidak hanya itu, saat ini Rumi hanya ingin fokus pada dirinya sendiri dan menata karir yang harus kembali ia mulai dari bawah.“Kamu nggak perlu minta maaf.” Dari ekspresi Rumi, Rafa mengerti saat ini gadis itu kembali akan menolaknya. Setelah berterus terang dengan perasaannya Rafa, wajah Rumi sudah tidak seantusias sebelumnya. Senyum yang ditampilkannya pun, benar-benar terkesan datar dan dipaksakan.“Saya harus minta maaf, karena nggak akan bis
“Mama mau pergi?” Rafa baru saja menginjakkan kaki di ruang keluarga, ketika melihat Agnes sudah terlihat rapi dengan sebuah tas yang menggantung di bahu kanannya. Tidak melihat ada Hera di sebelahnya, Rafa menyimpulkan Agnes akan pergi seorang diri dan tentunya bukan ke rumah sakit.Agnes mengangguk, sembari memasukkan ponsel ke tasnya. “Mama mau ke apartemen Alpha. Hera sudah makan dan lagi sama susternya di kamar. Titip sebentar, ya, Rafa.”“Risa yang hubungi Mama?” tebak Rafa. Karena yang mengetahui keberadaan Alpha saat ini hanyalah dirinya dan Risa. Dandi dan Rumi tidak masuk hitungan karena mereka berdua tidak mungkin menghubungi Agnes.“Yaaah.” Agnes berhenti di hadapan Alpha. Menghela sebentar dengan wajah lesu dan banyak pikiran. “Risa bilang mau bicara masalah Rumi, Alpha … banyak yang janggal, jadi Mama sendiri harus pergi ke sana langsung.”“Bisa kita bicara sebentar, Ma?” pinta Rafa ingin membahas beberapa hal sebelum Agnes pergi menemui Alpha dan Risa. “Ada yang mau say
“Saya mau batalin pernikahan dengan Mas Alpha.” Risa melirik tajam pada Alpha yang tidak memedulikannya sama sekali sejak siang tadi. Tepatnya setelah pertengkaran yang terjadi di antara mereka, sejak Rafa pergi dari apartemen. Dari sanalah, Risa tahu bahwa Alpha tidak jadi membawa Rumi ke kantor polisi melainkan ke apartemen pria itu. Dari situ pula, Risa mengetahui bahwa Alpha telah berbohong kepadanya. Sebelumnya, Alpha mengatakan bahwa Rumi menyerangnya, ketika mereka berdua mampir berhenti untuk mengisi bahan bakar. Setelah itu, Rumi kabur dan Alpha tidak bisa mengejar karena kondisinya yang tidak memungkinkan. Tadinya, Risa percaya-percaya saja dengan semua ucapan Alpha. Namun, ketika ia menguping pembicaraan yang terjadi antara Alpha dan Rafa, akhirnya Risa tahu semua kebenarannya. “Batal?” Kepala Agnes semakin berdenyut. Baru saja ia mendengar kabar mengenai Rafa yang ingin melepaskan Hera, kini Risa pun ingin membatalkan pernikahan yang sudah direncanakan bersama Alpha. Me
“Kamu sudah gila, Qai?” Dandi menyeret Qai keluar dari dapur menuju ruang tamu, agar obrolan mereka tidak didengar oleh Rumi. “Kenapa—” “Cuma pura-pura, Dan.” Qai menarik tangannya dari cengkraman Dandi. “Jangan dianggap serius. Jadi aku minta tol—” “Kenapa harus aku?” Dandi bersedekap, menunggu penjelasan. Qai bergegas menghampiri sofa, lalu menghempas tubuhnya di sana. “Dan, kamu tahu betul gimana sejarah Glory sampai jatuh. Dan Hera, sampai seperti sekarang karena kamu juga ada di belakang itu semua.” “Jangan salahkan aku,” sahut Dandi cuek dan ikut duduk pada sofa tunggal yang berada di samping Qai. “Kamu yang punya rencana dan minta untuk menjatuhkan Glory, jadi—” “Karena itu, aku merasa bertanggung jawab dengan Glory, terutama Hera.” Hingga saat ini, Qai masih memendam rasa sesal yang mendalam akibat balas dendamnya kala itu. Orang-orang yang tidak berdosa, akhirnya ikut terseret dan menerima imbas dari ulahnya tersebut. “Andai … aku—” “Pengandaianmu itu sudah nggak berlaku
Tegang.Rumi sungguh merasa gugup, ketika berhadapan dengan Agnes yang sejak tadi menatapnya dengan selisik. Biasanya, Rumi hanya menatap wanita tua itu dari jauh dan tidak pernah mendekat satu kali pun. Namun, tidak kali ini. Rumi harus berhadapan langsung, karena harus menjelaskan beberapa perkara yang terjadi di masa lalu.Beruntung Rafa tidak ikut menemani Agnes, sehingga Rumi bisa merasa sedikit tenang. Sementara Deri, pria yang ditugaskan untuk menemani Rumi, kini berada di meja yang berbeda. Pria itu hanya berjaga-jaga, jika Rafa tiba-tiba datang dan melakukan beberapa hal yang tidak terduga.“Saya … minta maaf dengan semua yang sudah saya perbuat sama Glory … Bu.” Rumi tertunduk. Merasa bersalah dan tidak berani menatap Agnes. “Saya nggak tahu kalau semua itu bakal jadi …” Rumi mendadak mengingat ucapan Alpha. Glory jatuh, Lingga meninggal, dan Hera kini depresi. Pria itu menyalahkan Rumi atas semua akibat yang telah terjadi.“Kamu punya dendam dengan Glory?” tanya Agnes semba
“Rumi!” Qai berbalik ketika menyadari Rumi tidak berada di sampingnya. Gadis itu berjalan pelan di belakang, setelah mereka keluar dari lift lobi gedung apartemen Alpha. “Kenapa lagi?”“Mas.” Begitu menyadari dirinya tertinggal, Rumi segera berlari kecil menghampiri Qai. “Apa surat yang ditandatangani mas Al tadi kuat? Kita nggak pake materai dan surat itu juga nggak ditandatangani di depan notaris. Sorry, Mas, tapi aku makin nggak tenang ngelihat mas Al yang … aku kenal dia, Mas. Kenal banget, jadi—”“Rumi.” Tangan Qai reflek terangkat dan berniat untuk memegang kedua lengan gadis itu. Namun, mengingat statusnya saat ini adalah seorang suami, maka Qai mengurungkannya. “Tenang. Bu Agnes … aku memang belum kenal betul dengan beliau. Tapi sejauh ini, bu Agnes adalah orang yang jujur di dalam keluarga Mahawira. Selain Hera.”“Tapi suratnya pasti nggak kuat, Mas.” Rumi memang tidak mengerti hukum secara mendalam, tetapi ia yakin sekali surat yang baru saja dibuatnya dan ditandatangani ter
Pagi itu, penampilan Rumi sudah terlihat rapi. Dengan setelan blazer merah muda dan celana kerja berwarna hitam, sangat membuat penampilan Rumi tampak menawan. Namun, perasaannya masih saja resah terkait ucapan Dandi tadi malam.Selama Rumi menghilang dari peredaran, ia sangat membatasi pergerakannya. Terlebih, tempat tinggal Rumi saat ini berada di perkampungan yang hanya bisa dilewati dengan berjalan kaki. Jarak antara kantornya dengan kosannya pun hanya membutuhkan waktu 15 menit dan itu pun Rumi berangkat melalui jalan tikus yang bebas hambatan.Karena itulah, selama ini tidak ada siapa pun yang bisa menemukan di mana posisi Rumi.“Sudah mau berangkat?” Dandi tidak jadi meneruskan langkahnya menuju dapur, saat melihat Rumi baru saja keluar dari kamarnya. “Pagi-pagi begini?”Rumi mengangguk pelan penuh keraguan dan rasa cemas. Ia menghampiri Dandi, sembari menggenggam erat tali tas kerjanya.”"Saya sudah buatin sarapan. Bekal makan siangnya Mas Dandi juga sudah di meja makan.”“Teru
“Rafa otewe ke …” Dandi lantas menunjuk sedan hitam, yang baru saja berhenti di depan rumahnya. Memberitahu pada Qai yang juga baru sampai di rumah Dandi. “Aku sebenarnya sudah malas ngeladeni iparmu itu, Qai. Tapi dia rupanya keras kepala.” Setelah melihat sedan hitam tersebut, Qai kembali beralih pada Dandi. Awalnya, Qai tidak ingin ikut campur dengan permasalahan Rafa, Hera, dan Rumi. Namun, setelah Qai memikirkannya lagi, Qai merasa memiliki tanggung jawab dengan kondisi Hera, pun dengan Glory saat ini. Karena itulah, Qai tiba-tiba tidak setuju jika Rafa ingin melepas semua yang telah menjadi tanggung jawabnya. “Rumi ngapain?” tanya Qai. Dandi mengendik. Tidak melepas tatapannya pada sosok Rafa yang baru keluar dari mobil. Pria itu bisa langsung memasuki rumahnya, karena Dandi tidak menutup dan mengunci pagar setelah kedatangan Qai. Lagi pula lingkungan di perumahan Dandi termasuk sangat aman, meskipun hampir-hampir tidak ada interaksi antar tetangga di sana. “Sore,” sapa Dandi
Alpha mematung, ketika pelukan hangat Anges menyambutnya di saat ia melewati pintu penjara. Ia tidak melihat siapa pun, selain Agnes yang mulai menangis haru ketika memeluknya. Ke mana perginya Hera? Kenapa adiknya itu tidak ikut menjemputnya? “Mama sendiri?” tanya Alpha akhirnya bersuara, ketika Agnes mengurai pelukannya. Agnes mengangguk-angguk dan mengerti dengan maksud Alpha. “Nanti, Mama jelasin sambil jalan.” Yang bisa Alpha lakukan, hanya mengangguk. Tanpa bertanya lagi, Alpha segera memasuki mobil bersama Agnes. Dua tahun lebih berada di balik jeruji, membuat Alpha mendapat banyak pelajaran. Ia bertemu dengan berbagai macam orang, dari berbagai tingkat sosial dan pendidikan yang berbeda. Semua itu, membuatnya lebih banyak memahami tentang kesakitan yang ada di dunia lebih luas lagi. “Jadi, ke mana Hera?” “Cairo mendadak demam kemarin sore.” Agnes bercerita tentang putra Rafa dan Hera yang berusia tiga bulan. “Tadi malam sudah dibawa ke dokter, jadi, Hera nggak bisa ikut
“Kamu yakin nggak mau ngadain resepsi?” Rafa kembali mengulang pertanyaannya pada Hera, setelah mereka masuk ke dalam kamar. Tepatnya, di kamar Hera yang berada di rumah Agnes. Beberapa waktu lalu, mereka sudah melangsungkan ijab kabul di kediaman Soerapraja dan digelar dengan tertutup. Tidak hanya pernikahan mereka yang dirahasiakan, tetapi kedatangan Alpha ke kediaman Soerapraja pun dilakukan secara diam-diam. Semua bisa dilaksanakan, karena koneksi Hermawan dengan beberapa petinggi terkait. Tidak ada yang mengetahui hal tersebut, kecuali pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.Bahkan, Agnes sama sekali tidak mengabari Qai, untuk menghindari gesekan yang mungkin saja terjadi sewaktu-waktu. “Mas Rafa mau ngadain resepsi?” Hera bertanya balik, karena sudah kesekian kalinya Rafa mempertanyakan hal tersebut padanya.“Aku ikut kamu.” Rafa menarik lengan Hera yang hendak pergi menjauh darinya. Kemudian, Rafa mengalungkan kedua tangan di tubuh Hera dan tidak membiarkan wanitanya pergi ke
“Akhirnya!” Dandi berseru lega, sambil menghampiri Rumi yang duduk di ruang tengah. Istrinya itu sedang menonton televisi, sambil makan martabak seorang diri. “Akhirnya, tidur juga.” Rumi terkekeh, lalu menepuk sisi kosong di sebelahnya. “Haduuh!” Dandi menghempaskan tubuhnya, kemudian menyomot satu potong martabak yang ada di pangkuan Rumi. “Dia bolak balik nanyain kamu terus dan nggak berhenti ngoceh.” “Aku nggak tega sebenernya, Mas.” Rumi semakin merapatkan tubuhnya, lalu bersandar pada tubuh Dandi. “Tapi, Dirga kalau nggak diginiin, nggak bakal lepas-lepas ASI. Sudah dua tahun lebih, tapi masih aja nempel.” Putra mereka yang diberi nama Dirgantara Sebastian, memang masih saja menyesap ASI meskipun usianya sudah dua tahun lebih dua bulan. Rumi sudah melakukan segala cara, tetapi selalu berujung sia-sia. Tingkahnya benar-benar seperti Dandi yang selalu menempel, ketika Rumi masih hamil. Sampai akhirnya, Dandi memutuskan untuk memisahkan kamarnya dengan kamar putranya, karena
“Rumi.”Dandi kembali memasuki rumah, karena Rumi tidak kunjung keluar sedari tadi. Mobil sudah selesai di panasi, tetapi sang istri masih berada di dalam. Dandi memasuki kamar mereka terlebih dahulu dan berdecak ketika melihat Rumi ternyata tengah duduk di sofa.“Ayo—”“Perutku mules,” potong Rumi mengangkat satu tangan, agar Dandi tidak meneruskan ucapannya. “Baru aja berhenti.”Detik itu juga, wajah datar Dandi berubah semringah. Senyum lebar langsung menghiasi bibirnya, sembari menghampiri Rumi dengan segera. Dandi berlutut di depan sang istri lalu menempelkan telinganya di perut Rumi, sambil mengusapnya.“Keluar hari ini, oke!” telunjuk Dandi mengetuk perut Rumi dua kali. “Dan nggak usah pake drama.”“Apa, sih, Mas.” Rumi terkekeh sambil mengusap kepala Dandi. “Kalau sudah waktunya keluar, dia pasti keluar.”Dandi menarik diri, tetap kedua tangannya masih menempel di perut Rumi. “Apa perlu dijenguk lagi, biar makin—”“Maaas!” Tawa Rumi semakin keras. “Ini, tuh, sudah mulai mules,
Hari pertama di awal tahun sudah terlewat. Namun, Rumi belum menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rumi masih mengerjakan beberapa hal seperti biasa, meskipun pergerakannya sudah tidak segesit dulu. Ia gampang lelah, cepat gerah, sehingga terkadang malas melakukan apa-apa.Namun, saat mengingat ucapan ibunya, Rumi harus memaksakan diri untuk bergerak agar bisa melahirkan dengan mudah. Begitulah salah satu ucapan sang ibu, di antara banyak wejangan yang kadang membuat Rumi hanya geleng-geleng, tetapi tidak berani membantah.“Rumi, gimana kalau kita telpon dokter dan minta operasi.” Dandi jadi uring-uringan sendiri, karena belum bisa menjumpai buah hatinya secara langsung. Terlebih ketika mengingat Alaska yang semakin gembul dan mulai belajar membalikkan tubuhnya.“Mas, tanggal HPL baru lewat dua hari.” Rumi mencuci tangan, sesudah beres menyiram tanaman di halaman depan. Setelahnya, Rumi menghela dan terdiam sambil mengusap punggungnya yang pegal. Dandi yang sejak tadi hanya mondar
“Dandi! Balikin, Dan!” Thea melotot dan menghardik sepupunya. Pria itu baru saja masuk ke kamar Thea dan bersikap seenaknya. Tanpa izin, Dandi mengeluarkan bayi yang tengah tertidur pulas di boksnya, lalu menggendongnya. Meskipun Dandi terlihat sangat hati-hati, tetapi Thea tetap saja merasa ngeri.“Mamamu berisik!” desis Dandi sambil berbalik memunggungi Thea. Ia berjalan santai menuju sofa sambil menggendong keponakannya, lalu duduk dengan perlahan.Dandi sengaja menunggu Thea pulang ke rumah terlebih dahulu, barulah ia menjenguk sepupunya agar bisa lebih bebas. Andai Rumi lelah karena terlalu lama menjenguk Thea, istrinya bisa beristirahat bebas di kamar tamu.“Dandiii!” Thea hendak bangkit dari tempat tidur, tetapi tidak jadi, mengingat jahitan di jalan lahirnya masih terasa sedikit nyeri.“Aku belum beli kado,” ujar Dandi lalu melihat ke arah pintu. Ia melihat Rumi masuk menghampirinya, setelah pergi ke toilet terlebih dahulu. “Aku bingung mau ngasih apa, karena Alaska sudah puny
“Jangan mentang-mentang istriku pintar masak, kamu jadi seenaknyammpp—”“Apasih!” Thea yang baru berada di teras, langsung membekap mulut Dandi dengan tangan kanannya. “Kamu itu jadi cowok berisik banget! Ini urusan bumil, jadi nggak usah ikut campur.”Dandi melepas tangan Thea dan berdecak. “Untung kamu lagi hamil. Coba kal—”“Sudah.” putus Qai dengan membawa beberapa paper bag dan kantong plastik di kedua tangan. “Cobalah sehari aja kalian ini nggak ribut. Masa’ nggak bisa?”“Nggak bisa!” seru Thea dan Dandi bersamaan.Qai tercengang, tetapi tidak menghentikan langkahnya memasuki rumah Dandi, meskipun belum dipersilakan. Daripada mendengar kedua orang itu ribut, lebih baik Qai duluan masuk dan merebahkan diri di sofa.“Ngapain lagi kamu ke sini?” Dandi berbalik dan segera menyusul Qai.“Aku mules dari pagi,” ujar Thea berjalan di belakang Dandi, sambil mengusap perutnya. “Sudah ke rumah sakit, tapi ternyata belum bukaan.”Dandi menoleh dan memperlambat langkahnya. “Memang sudah wakt
“Ngapain senyum-senyum lihat hape.” Merasa curiga dan penasaran, Dandi merampas ponsel dari tangan Rumi, hingga istrinya itu langsung berteriak protes.“Mas!”“Apa ini?” Dahi Dandi mengerut, melihat deretan foto yang dikirimkan oleh Thea. Ternyata, istrinya sedang berkirim pesan dengan istri Qai yang semakin menyebalkan. “Ini—”“Buat bayi!” Rumi kembali merampas ponselnya. “Emang Mas kira aku ngapain?”“Selingkuh,” jawab Dandi dengan entengnya, lalu duduk di samping Rumi. Namun, baru saja bokongnya itu menyentuh sofa, Rumi langsung memberi cubitan pada sisi perut dengan Dandi dengan keras. “RUMI!”“APA!” Rumi balas menghardik, karena tidak suka dengan tuduhan Dandi. “Aku nggak suka dituduh-tuduh gitu! Aku nggak selingkuh!”Untuk beberapa saat, Dandi terngaga sambil mengusap sisi perutnya. Ini kali pertama, Dandi mendengar Rumi meninggikan suara di depannya dan bersikap bar-bar. Istrinya itu terlihat benar-benar marah, dengan kedua mata yang melotot kesal.“Bercanda, Rum,” desis Dandi
“Ini masih jam 11 kurang, Ra.” Rafa membuka pintu pagar dan mempersilakan Hera masuk. Ia melihat sebuah tas spunbond yang ditenteng Hera dengan kedua tangan dan tidak bisa menebak-nebak isi di dalamnya. “Mama yang nyuruh datang cepat, biar bisa bantuin mas Rafa nyiapin makan siang.” Hera menyerahkan tas yang dibawanya pada Rafa. “Ini dibawain mama, sate sama kari ayam. Biar nggak ngerepotin.” “Oh ...” Rafa terkekeh sambil mengambil alih tas spunbond berwarna merah dari tangan Hera. “Kalau begini, aku yang jadi ngerepotin. Oia, masuk dulu.” “Nggak ngerepotin,” ujar Hera sembari berjalan masuk ke rumah Rafa. “Sekalian masak buat di rumah soalnya.” “Kamu yang masak?” selidik Rafa. “Nggak mungkin.” Hera meringis malu. “Saya nggak jago masak.” “It’s okay.” Rafa tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. “Aku cari istri, bukan cari tukang masak.” Langkah Hera terhenti tepat di ruang tamu yang bernuansa hitam putih. “Mas, saya nggak bi—” “Bercanda, Ra.” Rafa terus berjalan masuk dan