"Rin? Kamu bisa denger aku?" Justin merasa Karina ada pergerakan dan mulai sadar, tapi belum membuka matanya. Justin menunggu respon dari wanita yang ia gendong, namun Karina tidak kembali bergerak. Justin terpaksa menggunakan kekuatannya untuk menyadarkan Karina, karena jika terlalu lama Karina dalam pengaruh dimensi hampa, Karina bisa mati, karena ia manusia biasa.Justin mendudukkan Karina di kursi kristal milik Norman, kemudian ia memusatkan cakra kekuatannya pada telapak tangan, dan mentransfer energi baik agar pengaruh dimensi hampa hilang dari tubuh Karina. Beberapa saat kemudian, Karina mulai sadar, matanya mengerjap-ngerjap karena baru saja menerima cahaya terang dari alam fana. Sesuatu yang pertama kali Karina lihat saat membuka matanya adalah Justin, wajahnya hanya berjarak beberapa centimeter saja dari wajah Karina.Saat Karina sadar bahwa itu adalah Justin, ia membelalak dan langsung memeluk Justin. Yang dipeluk tentu saja terkejut, Karina seperti baru saja mengalami hal
Ketiganya mematung, matanya menatap sebuah tubuh yang tak lagi terbentuk karena sebagian sudah sirna. Justin benar-benar merasa ini adalah pertempuran terbesarnya sepanjang ia memburu makhluk jahat di bumi. Meski pertempurannya dengan Ruin, Sin Rose, dan juga rubah ekor sembilan adalah pertempuran besar, Justin merasa perlawanannya dengan Norman adalah perlawanan terbesar. Ia tidak tahu mengapa ia merasa demikian, apa karena Norman menggunakan Karina sebagai tamengnya?Mereka masih hening, bahkan saat makhluk itu sudah benar-benar tiada, musnah dari hadapan mereka. Pangeran membuyarkan lamunan mereka dengan menghilangkan dimensi persempitan ruangan. Mereka bisa melihat ada cahaya biru yang sedang melindungi seseorang di dalamnya, Karina.Mata Justin tertuju pada wanita yang tengah tergeletak itu, ia berlari menghampirinya karena takut Karina terluka. Mendengar langkah yang jelas, Karina membuka matanya, melihat ada Justin yang mendekat, benteng itu kemudian musnah saat Justin menembus
Keesokan paginya, Karina terbangun, dan pemandangan yang pertama kali ia lihat adalah wajah Justin."Kamu kalau tidur meskipun ngiler begini, tetep ganteng," Karina menoel hidung Justin."Kamu kalau tidur ngorok juga tetep cantik," balas Justin yang masih memejamkan mata."Ih Kak! Kamu boongin aku, ya!" Karina menggeplak lengan Justin."Aku gak boongin kamu, aku cuma pura-pura tidur, biar kamu liatin.""Kamu tuh narsis banget ya? Gak cocok banget jadi Justin yang tinggal di galaksi putih," Karina mengatakan itu dengan nada manja."Yang penting kamu suka sama aku.""Gak tau deh, kamu kepedean banget!" Karina menyingkirkan tangan Justin dari tubuhnya, dan beranjak dari kasur."Mau ke mana, sayang?"Karina terhenyak, menoleh ke arah Justin. Ia terpaku dan pipinya memerah karena Justin memanggilnya demikian."Ih apa sih kok manggilnya gitu!" Karina berkacak pinggang."Emang gak boleh?""Nanti kalau aku baper gimana?""Ya gak apa-apa dong, biar bukan aku aja yang baper.""Berisik ih!' Kari
Hari semakin gelap, mereka masih di bibir pantai menikmati angin perpisahan. Karina ingin waktu berhenti, agar Justin tidak segera pergi. Justin yang sedari tadi sadar kalau Karina sedang diam, kini menangkup bahu Karina."Jangan diem aja, udah malem, ayo pulang," ajak Justin. Karina terlihat sangat berat hati, karena waktu untuk berpisah semakin dekat dan mungkin nanti malam Justin sudah kembali ke galaksinya.Karina berdiri setelah Justin mengulurkan tangannya. Mereka bangkit dari hamparan pasir di tepi pantai yang airnya semakin pasang. Mereka menuju tempat parkir, tapi Karina berjalan dengan sangat lambat, bahkan berkali-kali ia menoleh ke belakang, melihat apakah senja sudah benar-benar pergi.Karina mengibaratkan Justin seperti senja dan fajar, ia begitu indah tapi keindahannya tidak bisa dimiliki, karena ia harus pergi. Ketika senja pergi, keesokan harinya fajar akan tiba untuk menggantikan senja. Sepertinya siklus pertemuan manusia, jika siap bertemu maka harus siap berpisah.
Setelah siang tiba, Karina bersiap untuk mencari pekerjaan. Ia tidak bisa hidup seperti ini, karena tidak ada pasokan uang yang masuk, untuk membayar tagihan listrik, air dan lain-lain. Ia menyiapkan beberapa dokumen penting. Meski Justin meninggalkan mobilnya, Karina tidak ingin menggunakannya, ia lebih memilih naik taxi.Dengan setelan rapi, Karina menghentikan sebuah taxi."Ahjussi, jalan saja," kata Karina yang sudah duduk manis di jok belakang."Kita ke mana?" tanya sang supir ramah."Udah Pak, jalan aja. Saya sendiri juga bingung mau ke mana," jawab Karina. Sang supir tentu saja bingung dengan jawaban Karina, ia tidak tahu harus membawa wanita itu ke mana?Saat taxi berjalan, Karina melamun, matanya menatap gedung-gedung tinggi di pinggiran jalan raya pusat kota Incheon. Sesekali ada gambaran saat ia bersama Justin. Ia memandang papan iklan di dekat persimpangan jalan, menunjukkan iklan yang mempromosikan wahana baru di Wolmido, tempat wisata yang pernah Karina datangi bersama J
Karina berjalan di jalanan yang cukup sepi, di tepian jalannya hanya ada semak-semak dan juga pohon tinggi. Karina mengomel terus-menerus lantaran ia berjalan sangat jauh. Sebenarnya jaraknya sekarang dengan jarak bar hanyalah tiga ratus meter, tapi bagi orang mabuk itu sangatlah jauh.Pandangan Karina tiba-tiba saja memburam. Kepalanya terasa lebih berat dari sebelumnya. Keseimbangan tubuh Karina hilang begitu saja, ia ambruk di semak-semak yang tinggi. Karina tak peduli, ia merasa sangat nyaman berada di atas semak-semak tersebut. Matanya menatap hamparan langit yang bertabur jutaan bintang.Matanya mulai terpejam, hingga Karina benar-benar tidak sadarkan diri. Karina tahu bahwa ia tidak sedang berada di kasur, tapi apa pedulinya? Hari ini ia hancur sehancur-hancurnya. Tidak memiliki seseorang untuk ia ceritakan, sedang sehancur apa perasaannya sekarang. Kalaupun bercerita, mana ada orang yang percaya bahwa Karina sedang ditinggal kekasihnya pergi ke galaksi lain. Mereka malah bisa
Karina melepas kedua earphone di telinganya. Ia terdiam untuk sesaat, mencoba mendengarkan lagi suara yang memanggil namanya. Suara itu benar-benar tidak asing, lantas ia tergerak untuk keluar kamar, dan melihat siapa yang datang. Saat membuka pintu, Karina agak terkejut karena suara itu memang suara papanya. "Papa? Papa kenapa? Tumben banget," Karina membuka jalan agar papanya masuk."Rin, papa minta maaf," papa Karina menunduk setelah duduk di sofa, tangannya tergerak menyatukan telapak tangan. "Papa kenapa minta maaf?" Karina mendekat. "Selama ini papa udah jahat sama kamu, papa cuman mikirin uang, uang dan uang. Papa gak mikirin kamu sama sekali. Papa minta maaf," katanya dengan nada tersendat karena menahan tangis. "Pa, jangan minta maaf gitu," Karina meraih tangan papanya, dan memeluk pria itu."Papa menyesal lakuin itu semua, papa minta maaf, Rin.""Papa itu papa Karina, papa gak perlu minta maaf sampai kayak gini.""Kamu gak benci sama papa?""Karina emang pernah benci sama pa
Sudah sejak tujuh hari lalu, Justin pergi dari dunia Karina. Kini Karina sudah merasa ia bisa hidup meski tanpa Justin. Karena Justin ada di hatinya, untuk ia kenang sebagai mimpi yang terindah. Kemampuan Karina untuk merasakan adanya kehadiran iblis juga semakin sirna. Tidak lagi seperti saat ia bersama Justin, ia bisa melihat makhluk jahat dan merasakan energinya dengan jelas.Hari ini ia pergi ke kantor, tapi terlambat karena taxi yang biasa ia tumpangi, sekarang tidak lewat di depan jalan rumahnya. Karina terpaksa menunggu taxi lebih lama karena tidak ada kendaraan lain. Meski ia memiliki mobil papanya, Karina tidak mau menggunakan itu, ia ingin suatu saat Karina bisa membeli mobilnya sendiri.Selang beberapa menit, ada taxi yang dari kejauhan mendekat ke arah Karina. Karina menghentikannya. Ia lega karena ada taxi yang lewat, bukan apa-apa, ini hari Minggu, jadi sangat jarang taxi yang lewat."Pak, ke kantor Moon interior, ya?""Baik. Minggu-minggu begini kerja, mbak?""Sebenarny