Perjamuan makan malam sudah berakhir beberapa menit yang lalu, tuan Franco sangat bahagia karena malam ini anak dan menantunya menginap di rumah. Tapi, yang menjadi pertanyaannya sejak tadi dimana istrinya? Malam ini bunda tidak keluar untuk makan bersama, asisten rumah yang mengantarkan makanannya ke kamar. Bunda belum mau bicara pada siapapun. "Jadi, kenapa sama bunda? Terus Adryan, apa yang mau kamu sampaikan?" Helsa tampak gugup saat ayah mertuanya mulai bertanya. Namun tangannya mendadak hangat ketika dokter Adryan menggenggam jemarinya. Helsa mendongak, tatapan mereka bertemu, dia membalas senyuman suaminya dengan tulus. "Mungkin kabar ini akan membuat ayah kecewa sekaligus senang," ucap dokter Adryan. Tuan Franco menyerngit. "Helsa hamil," ungkap Adryan. "Wah, ayah mau gendong cucu? Kamu nggak lagi bohong, kan?" "Nggak, yah," sambar Jefry. "Tapi, maaf ayah. Maaf kalau Adryan hamili Helsa sebelum nikah." Helsa menunduk dalam. Dia malu saat suaminya mengatakan hal terse
"DOKTER Adryan!"Suara itu cukup menggelegar sepanjang lorong rumah sakit. Seorang gadis kecil dengan kursi roda baru saja keluar dari ruangan kemoterapi, bibir kecil itu melengkung dengan sempurna ketika mendapati dokternya."Denta," sapanya.Namanya Denta. Pasien pengidap kanker darah atau Leukimia yang ditangani dokter Adryan dan dokter Marcell, gadis kecil yang sesakit apapun tubuhnya akan selalu selalu tersenyum."Dok, aku marah. Nikahnya nggak bilang-bilang," ujar Denta dengan wajah sedikit ditekuk.Ibu dan dokter Marcell yang menemaninya hanya mengulum senyum. Mereka tahu jika gadis kecil itu sangat mengidolakannya."Tadinya dokter mau kasih kabar, keburu Denta minta keluar dari sini.""Nggak asik, sekarang Denta nggak bisa bucinin dokter lagi.""Masih bisa kok," timpalnya. "Asalkan....""Asalkan apa, dok?" tanya Denta penasaran."Mau berjuang buat sembuh. Kalau mau kemo nggak harus dipaksa lagi," jawabnya. "Denta sayang mama, kan? Atau nggak gini deh, setiap kali Denta kemo, d
Helsa duduk di kursi pantry, pandangannya tidak lepas dari situs Setara Daring pada layar macbook dihadapannya. Wanita itu baru saja selesai melihat kemajuan belajarnya, awal bulan April nanti Helsa akan mengikuti ujian setara untuk mendapatkan ijazah Sekolah Menengah Atas.Sebentar lagi wanita itu harus pergi jauh setelah lahiran nanti, meninggalkan Jakarta.Helsa tersenyum miris, ada rindu yang dia pendam selama ini. Helsa merindukan Akmal, laki-laki pemilik janin yang ada didalam rahimnya."Aku kangen," ucapnya. Setitik air mata lolos dari sudut matanya, ternyata sesulit ini jauh dari laki-laki itu."Izinin mami mencintai papi seperti mami mencintai papa kamu, sayang. Maaf mami egois," ucapnya lirih sembari mengusap perutnya.Suara pintu masuk mengalihkan perhatiannya, sepertinya itu dokter Adryan. Wanita itu mengusap wajahnya, agar suaminya tidak mencemaskannya."Sayang ..." Suara itu terdengar semakin dekat."Meja pantry, mas.""Lagi ngapain?" Adryan mendekap istrinya dari belaka
Adryan mengambil langkah panjang menuju dapur. Mimik wajahnya terlihat sangat cemas, entah ada apa dengan pria yang sudah lengkap dengan kemeja hitam lengan panjang.Tangannya mengacak-ngacak pantry, ada sesuatu yang dicarinya. Sedangkan Helsa, wanita itu sibuk menyiapkan sarapan untuknya."Sa...," panggilnya."Hm...," gumam Helsa sembari mengoles selai nutella pada roti."Lihat paperbag Gucci yang semalam diatas meja nggak?"Wanita itu menghentikan aktivitasnya, matanya melirik pada tempat sampah.Adryan yang penasaran segera mengikuti sorot mata istrinya."Astaghfirullah, sayang ... Malang sekali nasibmu," ucapnya penuh ibah, lalu segera memungut kembali paperbag tersebut."Sa..., Kamu nggak lagi sakit kan? Ini parfum Gucci." Adryan mendengus kemudian duduk di kursi tepat disamping istrinya."Mahal tapi wanginya nggak enak. Helsa nggak suka," ketus Helsa."Apanya yang nggak enak, sayang? Untung nggak pecah," ujarnya dengan mengelus dua botol parfum mahal itu."Emang seberarti itu bu
Helsa duduk anteng di sofa tengah, dengan mengenakan dress hitam motif bunga dan jangan lupakan sebuah mangkuk berisi mie instan dipegangnya. Wanita itu sangat menikmati mie instan buatannya sembari menunggu susu vanilla rasa coklat pesanannya.Ini sudah pukul tujuh malam, sedangkan suaminya belum kembali ke apartemen. Apa dokter Adryan lari dari tanggung jawab? Atau dia asyik dengan perempuan lain diluar?Ah, rasanya itu tidak mungkin.Waktu terus berjalan, Helsa terus terlarut dalam drama Korea yang dia tonton sampai tidak menyadari kehadiran pria berjas putih yang sudah duduk disampingnya. Mangkuk bekas makan tadi masih diletakan diatas meja."Segitu seruhnya itu drama sampai suaminya pulang nggak disambut," sindir Adryan.Helsa terlonjak. "Mas, sejak kapan duduk disini?""Sejak scene ciuman," jawab Adryan."Apaan sih!" Ia memukul Adryan dengan bantal sofa, "mana pesanan Helsa?""Pesanannya ada. Tapi, nggak gratis!" Adryan memberi jeda pada ucapannya. "Pulsa yang waktu itu juga bel
"Sayang..., kok nikahan kemarin sahabat-sahabat kamu nggak ada?"Helsa menatap intens Adryan, tangannya Masih menjamah kerah baju milik suaminya. Hal semacam ini sudah menjadi kebiasaannya setiap sebelum suaminya berangkat ke rumah sakit, Helsa yang membena kembali kemeja suaminya. Adryan memang seperti itu, padahal kan dia tidak memakai dasi yang harus dibantu istrinya."Helsa nggak punya sahabat," tukasnya. Namun, di dalam hati kecilnya, Helsa merindukan keempat sahabatnya. Ranaya, Diandra, Citra, dan Keke. Empat gadis itu tidak bersalah. Semua karena Bella. Musuh dibalik selimut.Adryan mengerti, mungkin mereka punya Masalah. Sudah, dia tidak perlu banyak bertanya."Oh, iya sayang, mama apa kabar?" Adryan mengalihkan pertanyaan, lagipula dia juga belum bertemu ibu mertuanya setelah hari pernikahan mereka. Renata memang sangat sibuk dengan perusahaan."Mama baru balik dari Kanada. Helsa lupa bilang sama Mas, mama nyuruh kita main ke rumah.""Ya udah, malam minggu kita menginap disana
Mobil porsche hitam berhenti tepat di halaman rumah dengan nuansa putih, rumah milik wanita yang Masih stay di mobil.Adryan menghela nafasnya, dia tidak rela pisah beberapa hari dengan Helsa. Soal pertengkaran semalam, Helsa ingin menenangkan dirinya dulu."Kamu bisa tidur tanpa Mas?" tanya Adryan. Ini pertanyaan sudah tidak terhitung berapa kali keluar dari mulutnya, mereka sama-sama tahu bahwa Helsa tidak bisa tidur tanpa dipeluk suaminya."Ada mbak Ana," jawab Helsa."Kalau misalkan Mas kangen, boleh kan Mas datang?" tanya Adryan."Sayang...," Adryan memeluk Helsa, mengecup-ngecup lembut surai hitam milik istrinya. "Jawab dong, Mas boleh kesini kan kalau kangen?""Iya," jawabnya singkat.Adryan beralih pada rahim yang sudah menjamah perut milik istrinya, dia melepaskan seatbeltnya dan juga Helsa, lalu sedikit membungkuk agar wajahnya lebih dekat dengan janin dalam rahim istrinya."Jaga Mami ya? Jangan nakal, jangan buat Mami sakit sayang.""Mas, makasih."Adryan mendongak. "Makasi
Cafe Andara itu ramai pengunjung hari ini. Cafe ini terletak sangat strategis di tengah kota. Pengunjungnya juga didominasi oleh anak SMA dan Mahasiswa, mungkin hanya beberapa dari mereka orang kantoran. Dua orang wanita dengan usia yang terpaut jauh sedang asyik bercengkrama di sudut cafe, mereka tampak membicarakan sesuatu yang sangat menyenangkan. Bunda Marimar bersama dokter Uni, layaknya seorang ibu dan anak yang saling melemparkan cerita lucu. Sudah hampir satu jam lamanya mereka belum meninggalkan cafe ini. "Bunda senang bisa ketemu kamu lagi, kalau dulu Adryan nggak lanjutin sekolahnya keluar negeri, mungkin kalian bisa sama-sama terus." Wanita yang mengenakan jaket denim itu hanya membalas dengan ulasan senyum, miris sekali. Benar kata Bunda, mungkin mereka bahkan bisa selamanya bersama. Walaupun Uni tahu Adryan tidak pernah menyukainya, dan hanya menganggapnya sahabat. "Bunda bisa aja, emang kitanya nggak jodoh bun." "Padahal Bunda berharapnya sama kamu, Ni." "Lagian
Lima hari sudah Adryan tidak kembali ke rumah. Kata Bunda, pria itu sedang berada di apartemen. Bunda sudah memberikan kotak berisi testpack padanya. Entah kenapa, tidak ada reaksi apapun dari pria itu.Setelah pulang mengantarkan Devan ke sekolah, wanita yang kini berbadan dua itu mampir kesana. Kebetulan letak Cafe itu tak jauh dari sekolahan anaknya.Helsa hanya ingin menikmati cheesecake. Lagian di rumah hanya dia sendiri. Oh ya, dia dan Devan tetap di rumah mereka. Bunda melarang ia pulang ke rumah Mamanya.Helsa menceritakan kesalahpahaman yang terjadi pada mertuanya.Pandangannya keluar kaca jendela. Kebetulan macam apa yang harus membuatnya bertemu dengan mantan kekasihnya. Akmal lengkap dengan seragamnya.Helsa bercedak pelan, seharusnya dia tidak bertemu lagi dengan pria itu."Helsa, kamu disini juga?"Helsa meraih tas, ingin beranjak dari sana, namun dicegah pria itu. "Cake kamu belum habis. Mubazir," sebut Akmal."Gue boleh duduk disini?" tanya Akmal."Silahkan," kata Helsa
BMW hitam memasuki pekarangan rumah berlantai tiga itu tepat pukul lima sore. Setelah memarkirkan mobil, sang empunya keluar dari sana. Disambut baik istri dan juga anaknya. Helsa mencium punggung tangan kekar itu, lalu dibalas kecupan singkat pada dahinya."Bagaimana harinya?" tanya Adryan.Helsa tersenyum menerima satu buket bunga mawar putih kesukaannya. Buket bunga kelima, di hari kelima cuti."Papi nanya Devan dong, Mami aja yang ditanya," protes Devan yang kini duduk pada kursi piano.Nggak mau kalah ini bocah satu.Adryan mendekatinya. "Bagaimana hari ini Singa kecilnya Papi?" Ia mencium gemas anaknya, tak lupa Devan pun mencium punggung tangan Papinya."Baik dong, hari ini Devan langsung pulang ke rumah. Om Jefry sama tante Vio yang nganterin," jawab Devan, semangat.Helsa berlalu meninggalkan percakapan Ayah dan anak tersebut. Tak lupa membawa serta tas dan juga jas milik Adryan. Akan panjang jika ia harus menunggu keduanya selesai dengan perbincangan, mulai dari yang penting
Siang itu kantor pusat Perusahaan Andrean Corp dibuat panik pada lantai sepuluh, tepatnya di dalam ruangan meeting. Renata memberi perintah untuk mengangkat tubuh lemah tak berdaya putrinya yang jatuh di depan ruangan tersebut setelah hampir dua jam melakukan pertemuan dengan salah satu investor asal Rusia. Beberapa hari ini Helsa terlihat kelelahan karena menyiapkan persentase dan semua laporan untuk melakukan pertemuan ini. Dan pada akhirnya, ia tumbang sesaat setelah investor tersebut menandatangani kontrak kerja sama. "Helsa...," panggil Renata. Wanita paru baya itu menepuk-nepuk pelan pipi putrinya, namun hasilnya nihil, Helsa sama sekali tidak sadarkan diri.Renata segera menghubungi Adryan. Untuk beberapa saat belum ada jawaban, sampai pada panggilan keempat barulah pria itu menjawabnya."Hallo, Ma...,"Renata menarik nafas sebentar. "Rumah sakit Mitra Husada, sekarang Adryan." *** Langkah kakinya dengan cepat menyusuri koridor rumah sakit Mitra Husada. Adryan tidak mengh
"Devan..., tante Diandra kangen," seru Diandra sembari memeluk bocah tersebut."Tante Andra cantik deh," puji Devan."Makasih, Sayang," balas Diandra.Devan menyodorkan tangan, "bagi duit merah tante Andra, kan Devan udah bilang tante cantik."Diandra memelototkan matanya, bisa-bisanya bocah ini meminta imbalan padanya. Duh, ajaran siapa sih bocah satu ini."Jangan gitu dong, kita kan temenan," rayu Diandra."Tante Andra tuh temannya Mami, bukan Devan," balas Devan. Ia kemudian sibuk melihat-lihat beberapa pajangan di dalam caffe tersebut.Helsa dan Citra terkikik mendengar percakapan Diandra dan Devan. Pas banget Devan ketemu sama aunty yang lemot nya nggak hilang-hilang."Sa, anak lo ngeselin banget, sumpah!""Devan lo ajak bicara," celetuk Citra.Sore itu mereka tidak sengaja bertemu di Cafe yang ada di rumah sakit Mawar Medika. Citra dan Diandra akan menjenguk Ando yang sakit. Guru olahraga itu mengalami kecelakaan beberapa hari yang lalu."Kalian kenapa nggak bilang sama gue kala
Acara reuni sudah selesai. Helsa pikir dia tidak akan bertemu Akmal lagi setelah itu, tapi hari ini mereka dipertemukan kembali.Seperti saat ini, lagi-lagi dia bersama Akmal di pinggir jalan yang tidak jauh dari markas TNI. Akmal yang baru saja akan menjemput kekasihnya pun bertemu Helsa yang sedang meratapi ban mobilnya yang pecah."Pakai derek aja ke bengkelnya, aku antar kamu pulang," ujar Akmal. Pria itu lengkap dengan seragam lorengnya.Entah sudah berapa kali Akmal menawarinya, tapi Helsa tetap menolak. Hari sudah semakin gelap."Gue nggak mau terjadi salah paham," jujur Helsa."Aku yang tanggung jawab di depan suami kamu," sahut Akmal, "ponsel kamu aja mati total."Tertegun. Mungkin lebih baik Helsa pulang bersama Akmal, lagian setelah dipikir-pikir dia tak ada apa-apanya dengan tentara satu ini."Mau, kan?" Akmal bertanya lagi, memastikan Helsa mau pulang bersamanya."Antar gue di depan perumahan aja," jawab Helsa.Dia tidak ingin Akmal tahu dimana rumahnya sekarang, karena j
Weekend adalah hari bermalas-malasan Adryan untuk berangkat ke rumah sakit. Bagaimana tidak, istri dan anaknya asyik di rumah, sedangkan ia harus bekerja. Padahal kan, dia juga ingin berlibur.Ya, setiap sabtu Helsa dan Devan memang libur.Pukul lima pagi Helsa sudah terjaga. Mandi, menyiapkan sarapan, dan juga pakaian kerja suaminya. Helsa juga sempat mengintip Devan di kamar, anaknya masih tertidur, sama seperti Adryan.Sudah selesai dengan semuanya, wanita tersebut kembali ke kamar untuk membangunkan bayi besarnya.Bayi besar? Itu karena Adryan berlaku manja sejak Helsa kembali dari Kanada.Helsa duduk pada bibir ranjang, ia usap lengan suaminya, "Mas, Helsa udah sejam berkutat di dapur, masih aja tidur,"Hanya sedikit erangan yang terdengar, sekali lagi Helsa membangunkannya. Menarik selimut yang menutup sebatas pinggang."Good morning, babe," ucap Adryan. Ia menarik tangan Helsa dan mengecupnya. Aish, jantung aman?Helsa hanya bergumam, ia beranjak dari sana membuka gorden jendel
Satu minggu setelah pertemuan Akmal dan Helsa. Devan selalu memberitahu bahwa teman Maminya yang ia panggil om tentara itu selalu mendatangi sekolahnya. Akmal mengetahui sekolah Devan dari Ranaya. Pria itu memaksa Ranaya agar mau jujur. Takut dimarahi Helsa, sebelum Akmal bertemu Devan, Ranaya meminta maaf pada sahabatnya. Helsa tidak menyalahkan Ranaya, sama sekali tidak. Karena dia tahu hal semacam ini akan terjadi. "Jadi, dia sering ke sekolah bertemu Devan?" tanya Adryan. Helsa menjawab dengan anggukan kecil. Sekarang mereka berada dalam satu mobil menuju rumah Mamanya. Seharian ini Devan di rumah Renata. "Kamu nggak marah, kan, kalau Akmal sering ketemu Devan?" tanya Adryan lagi. "Mas tau apa yang paling Helsa takutin disini." Adryan meraih tangan kanan istrinya, mencium punggung tangan itu. "Dia tahu Devan lebih butuh kamu, Sayang." "Mas, apa Helsa cerita sama Mama?" tanya Helsa. "Jangan buat Mama sakit karena hal semacam ini. Kamu tau kan, gimana perasaan Mama sama dia
"Mami..!Wanita itu menoleh, tersenyum melihat jagoan kecilnya berlari menghampirinya. Helsa merentangkan tangan, menyambut pelukan Devan. Devan mencium pipi Helsa, lalu mencium punggung tangan wanita itu. "Mami pakai mobil Papi? Mobil Mami kemana? Kok Papi nggak jemput Devan?" tanyanya beruntun. "Lagi di service. Emang salah kalau Mami yang jemput?" Devan mencebik, "Devan kan udah bilang Mami nggak boleh jemput Devan.""Papi lagi sibuk," timpal Helsa. "Mami nggak kerja? Emang Oma nggak marah?" "Nggak. Mami udah ijin sama Oma," sahut Helsa, "ayo kita masuk." Helsa membuka pintu mobil untuk Devan, memakaikan seatbelt untuknya, lalu turut masuk ke dalam. "Kita jemput Papi dulu," kata Helsa. "Papi pulang cepet banget." "Nggak tau, Mami cuma disuruh gitu." Mobil keluar dari parkiran sekolah tersebut, dan melaju dengan kecepatan sedang menuju Mawar Medika. Hari ini mobilnya masuk service, jadi Helsa memakai mobil Adryan. Pria itu pun meminta untuk menjemput Devan sebelum kemba
Hari berlalu, bulan pun berganti. Satu tahun sudah Helsa berada di Jakarta. Selain mengurus keluarganya, Helsa pun disibukkan dengan pekerjaannya. Jabatannya yang hanya karyawan biasa di perusahaan Papanya sudah naik satu tingkat menjadi sekretaris Mamanya. Helsa sendiri yang meminta belajar dari bawah dahulu. "Devan-," panggil Adryan. Suasana meja makan terasa hening, biasanya Devan yang selalu banyak bicara. Menceritakan tentang sekolahnya, tentang teman-temannya yang absurd, guru yang cerewet, dan masih banyak lagi."Devandra-," sekali lagi Adryan memanggilnya.Tidak ada sahutan sama sekali, bocah itu malahan turun dengan membawa piringnya hendak makan di pantry dapur. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar deheman pria dewasa tersebut. "Azlan Devandra Van Brawi-," "Ia, Papi," sahut Devan. Jika Adryan sudah menyebut dengan nama lengkapnya, maka Devan tahu Papinya sedang tidak bercanda."Kenapa diemin Maminya dari kemarin, hm?" Devan mendekat pada kursi yang ditempati Ad